APALAH arti sebuah nama suatu bangsa dibandingkan suatu museum sejarah yang beralihfungsi menjadi masjid. Sebuah nama, sebuah identitas, yang menandai sesuatu yang hidup, berkembang, dan memiliki takdirnya sendiri.
Apa
jadinya jika suatu nama hilang, atau dihilangkan? Itu artinya hilang pula suatu
kehidupan, diberhentikannya pula suatu yang sedang berkembang. Dengan kata
lain, maka hilang tanpa bekas itu yang namanya takdir hidupnya.
Palestina,
kini hilang—atau tepatnya dihilangkan. Pelan-pelan dan bertahap. Awalnya orang
Yahudi datang, berkabilah, berduyun-duyun, kemudian mengisi tanah-tanah di
hampir segala penjuru. Mereka hidup dan beranak pinak di sana, dan tibalah
suatu waktu di tingkatan global, berkumpul orang-orang elite mereka, yang
memikirkan kaumnya dan berinisiatif membentuk suatu negara, bukan bangsa.
Negara
itu diberi lambang Bintang Sulaiman, suatu simbol dari masa lalu yang bersisi
enam sudut menandai enam penjuru. Kini, lambang itu kian hari jadi makin
agresif dan politis menyerobot tanah-tanah yang masih lapang, atau
pemukiman-pemukiman tidak bertenaga, dilemahkan, tapi enggan menyerah.
Sampai
sekarang, dan ketika dunia saling terhubung dalam lalu lintas informasi yang
kian cepat, nama Palestina dihapus. Bukan dalam benak, tapi dalam peta dunia,
tepatnya dunia maya. Meski hal ini adalah tanda, Palestina akan dihapuskan dari
peta dunia yang sesungguhnya.
Itu
artinya, kelak Palestina akan hilang dalam ilmu pengetahuan; pertama-tama
hilang dalam ilmu geografi, ilmu sosiologi, dan ilmu ekonomi. Kemudian,
masyarakat dunia tidak akan berbicara tentang Palestina di dalam ilmu politik,
karena kedaulatan negara dan kekuasaan tidak relevan bagi mereka, yang
artinya ia juga tidak akan diberikan
tempat dalam sejarah dunia.
Palestina
hilang dalam ilmu pengetahuan, yang tidak akan dipelajari, dipikirkan, apalagi
dibicarakan.
Semua
itu berarti hanya satu, Palestina lenyap di dunia selama-lamanya.
Saya
ingat suatu bacaan tentang aktivis pendidikan bernama Jane, yang beberapa waktu
hidup bersama-sama anak Palestina, dalam gejolak perang dan mayat yang tiap
hari bagai pelangi yang muncul pasca hujan. Akrab tapi sekaligus, akan pergi.
Jane
bersaksi, suatu waktu bangsa Palestina akan merdeka, entah dengan kegigihannya
berjuang, dan atau tekanan internasional—yang sebagian negara masih
hitung-hitungan memperjuangkannya—tapi, di waktu itu, bangsa Palestina akan
menghadapi kenyataan pahit berupa anak-anak mereka yang dinilai lebih mencintai
perang daripada hal lainnya.
Jane,
dalam penilaiannya menggunakan analisis Erich Fromm mengenai gejala
nekrofilia—fenomena menyenangi yang berbau kematian—yang bakal timbul akibat
hidup di tengah peperangan dan kekerasan, dan kematian yang jadi pemandangan
sehari-hari, yang lamat-lamat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan harapan
anak-anak Palestina.
Mereka,
kata Jane, enggan bersekolah dan lebih senang diberikan senjata atau jika mesti
bersekolah di tenda-tenda pengungsian, mesti diajari cara merakit bom, strategi
taktik perang, teknik sabotase, atau latihan para-militer. Mereka lebih mudah
diajak berjuang, daripada duduk manis di kelas mendengarkan pelajaran tentang
puisi, matematika, atau astronomi.
Mereka
menurut Jane, hidup secara tidak normal dibandingkan anak-anak lainnya di dunia.
Mereka tumbuh dengan kehilangan masa anak-anak yang mestinya tumbuh riang
gembira, bermain, dan bernyanyi selayaknya anak-anak tumbuh.
Kata
Jane lagi, coba bayangkan apa yang bakal terjadi jika anak-anak tumbuh tanpa
kehangatan keluarga, ketulusan, kasih sayang, dan persahabatan, yang dari kecil
tidak pernah sama sekali mempercayai suatu itukad baik selain dari golongan
mereka sendiri? Apa jadinya suatu bangsa, yang kelak diisi oleh anak yang
tumbuh dari keadaan semacam ini?
Itu
pertanyaan retoris dari Jane yang tidak bermaksud untuk ia jawab, walaupun
mendengarnya otomatis kita sendiri tahu jawabannya meski tidak pernah
diucapkan.
Apalah
arti sebuah nama kata Shakespeare, yang nampak puitis diucapkan di atas
panggung drama, di taman-taman atau di festival sastra, tapi tidak bagi
Palestina setelah mereka kehilangan anak-anak, orang tua, kedaulatan, dan masa
depan.
Dulu,
saat Adam kali pertama dicipta, ia diajarkan nama-nama, yang kelak
berlapis-lapis generasi setelah pembunuhan pertama Qabil membunuh Habil,
anak-anaknya meneruskan tradisi kekerasan Qabil melalui spiral yang tiada
ujung. Yang dominan menghilangkan yang tertindas, dibinasakan demi supremasi
ras, agama, dan entah apa lagi.
Sebelumnya
suatu bangsa saling membinasakan, dengan pedang, bom dan meriam, kini,
saat progresivitas zaman ditentukan dari
penguasaan ilmu pengetahuan, suatu bangsa bisa hilang dan dihilangkan dimulai
dalam lalu lintas pengetahuan umat manusia.