Bagaimana Cara Menikah dan Membuat Orang Lain Terkesan


CEMILAN cokelat belum habis separuh dan itu membuat saya asik membaca komentar diskusi di grup whatsapp alamamater yang sedang ramai oleh tingkah mantan rektor mereka.

”Sesuai prosedurji. Mereka punya surat izin untuk penggunaan jalan.”

”Mantappp.”

”Piko protes kalo bisako!” Segera seseorang menimpali.  

”Keren memang rektornya kita, karena seluruh rektor se Indonesia dia undang.”

Diskusi ini masih terus berlanjut dan membuat saya seperti orang yang kehilangan informasi penting sehingga saya terdorong men-scrool informasi naik turun agar tidak di ping-pong komentar-komentar mereka.  

Seperti dikebanyakan grup maya, keinginan ikut nimbrung berkomentar meramaikan perbincangan tidak sama seperti saat saya bersemangat membalas komentar-komentar kali pertama aplikasi-aplikasi chatingan diciptakan.

Kadang saya berpikir saat dunia makin riuh dan kehilangan moment-moment reflektif, pepatah diam adalah emas merupakan himbauan yang patut dicoba siapa saja. Saya mencurigai pepatah ini dicetuskan saat si bijaksana menemukan suatu kondisi saat semua orang menggunakan mulut lebih sering daripada otaknya.  

Tapi, saya juga percaya kebanyakan orang membuat grup bukan demi membela mulut mereka, melainkan bagaimana keyakinan-keyakinan seseorang dapat diuji di ranah yang lebih luas.   

Tadi malam, di atas moda penyebrangan perahu yang melintas di atas sungai Jeneberang, informasi tentang rektor UNM menutup jalan karena hajatan perkawinan anaknya jadi makanan empuk media-media lokal. Saya membacanya sekilas dan menutupnya sambil mengumpat. Seorang kawan memberi tagline tautan tentang polah rektor ini agak keras juga: “Beginilah karakter penguasa, bukan pemimpin.” 

Pagi hari seorang teman sehari-hari bekerja sebagai wartawan memasang status WA hasil jepretan layar sebuah media nasional yang menempati urutan pertama di mesin pencari google, bahwa berita ini telah naik statusnya menjadi berita nasional.  

”Sudah lihat berita di facebook, rektor UNM jadi pembicaraan.”  

”Oo, tadi sedang ramai di grup.” 

Saat malam sebelumnya Istri saya hanya menanggapinya sambil lalu tanpa melepas pandangannya dari layar laptop seakan-akan berita itu tidak sama sekali membuatnya bergairah untuk dibicarakan. Ia menjelaskan pernikahan itu merupakan seseorang yang ia katakan yunior di bekas jurusannya. 

”Itu loh, yang calon bupati Barru.” 

Saya tiba-tiba mengingat spanduk seorang anak muda dengan muka memajang senyum seperti elit politik di negeri ini, yang pernah saya pandangi dipaku di pohon-pohon sepanjang jalan poros Pangkep-Barru melalui kaca mobil tumpangan saya tempo lalu. Itu gambar yang sederhana saja pikir saya.  

Kebanyakan orang di kampung saya seringkali menggunakan halaman rumahnya sebagai tempat hajatan. Tanah di kampung-kampung masih lebih mudah ditemukan dibanding di perkotaan, yang banyak dialihfungsikan menjadi area perumahan atau pertokoan.  

Itu juga saya kira sebabnya, seiring semakin mahalnya harga rumah dengan halaman yang minim membuat bisnis properti makin menjamur. Di Makassar sendiri, Anda akan mudah menemukan lokasi-lokasi khusus yang diciptakan untuk menggelar hajatan pernikahan. Jika Anda sedikit gengsi, hotel-hotel besar sudah mengetahui keinginan Anda dengan menyediakan promo khusus jika hotel dipakai tempat menikah daripada menginap.

Waktu menikah, keluarga dekat masih sulit percaya keadaan geografis kampung istri saya, yang membutuhkan perjalanan panjang dengan jalanan  berlumpur tanpa aspal. Sisa dari perjalanan itu masih harus melewati jalan yang tidak semua mobil mampu menembusnya. Di kanan-kirinya jurang demikian menganga dengan dasar sungai yang hanya bisa didengarkan bunyi gemerciknya. 

”Cukup sudah, tobat ma!” celetuk adik mamak ketika melewati bukit-bukit pegunungan yang beralas lumpur berpasir. ”Pantat saya sakit”.  

Sepulang dari hajatan, tidak ada yang paling sering diingat dari saya dan istri kecuali perjalanan panjang saat saya pergi menikahi seorang gadis di pelosok Sulawesi Barat.  

Di Youtube banyak hal membuat saya tak mampu menahan tawa semisal gelaran pernikahan yang tiba-tiba panggung biduannya ambruk, si suami yang duduk di pelaminan sambil bermain game, bahkan baru tempo hari saya melihat pernikahan yang terancam gagal lantaran si mantan datang mencak-mencak dan mengamuk seperti kuda liar.

Tentu saat ini Anda mengingat acara pernikahan dari tanah Sulawesi Selatan yang membuat decak kaget hanya karena ongkos perjamuan yang mencapai miliaran rupiah, atau si kakek-kakek tua yang berhasil mempersunting gadis belia ketika ia di saat bersamaan telah banyak melahirkan cucu-cucu dari anak keturunannya.

Setiap orang memiliki peristiwa berkesan yang membuat semua orang mengingatnya. Saya bagi beberapa orang, bakal sulit melupakan prosesi pernikahan ketika arak-arakan beberapa mobil bertolak dari Bulukumba menuju suatu kampung pelosok demi mengikat sehidup semati gadis pilihan saya.