Langsung ke konten utama

Doa Seorang Penulis Medioker dan Kutukan Buku Pertama


Jejak Dunia yang Retak



DELAPAN tahun lalu saya menerbitkan buku pertama—sebenarnya ini karya borongan bersama empat orang lainnya. Jadi ini bukan murni karya saya. Buku itu diberi judul Jejak Dunia yang Retak. Kata pengantarnya ditulis Eko Prasetyo, penulis kiri kawakan spesialis ”orang miskin”. Penutupnya ditambal Dul Abdul Rahman, novelis asal Makassar spesialis ”dunia hantu-hantu lokal”.

Buku esai ini, di malam ia dilaunching, saya hadiahkan kepada pacar saya—sekarang istri saya. Rasa-rasanya malu sendiri jika membuka buku pemberian itu. Tepat di halaman pertamanya ditulis kata-kata puitis berwarna, alamak, pink! Kata-kata itu jika diukur dari waktu sekarang bernada sok-sok romantis dan norak. Saat kata-kata itu ditulis, jangan ditanya, siapa yang sadar ketika orang sedang kasmaran.

Buku itu dicetak di Jogja oleh penerbit indi Makassar, Carabaca . Sekali tempo dua atau tiga tahun pasca buku itu beredar, seseorang memfotonya di antara lapakan buku di Jogja. Sekarang buku itu ”habis” dengan cara entah bagaimana. Konon buku itu ada yang membeli, tapi saya lebih yakin buku itu lebih banyak habis dibagi-bagi atas dasar (((kemanusiaan))).

Seperti kata Dul Abdul Rahman di epilognya, kutukan penulis pemula ada pada buku kedua. Jika seorang penulis berhasil menerbitkan buku kedua berarti ia lolos dari kutukan betapa sulitnya menerbitkan buku kedua. Itu artinya, jika penulis sudah melahirkan karya keduanya, seperti seorang ibu melahirkan selusin anak, buku ketiga, keempat, kelima dan seterusnya bakal meluncur turun mulus dari rahim kepenulisannya.

Buku pertama diterbitkan bisa jadi keberuntungan pemula. Beruntung saat itu kenekatan menerbitkan buku sedang berada di titik puncak. Beruntung saat itu ada empat penulis lain mau berkolaborasi mengumpulkan tulisannya. Beruntung saat itu ada modal mencetaknya. Beruntung saat itu ada penerbit mau menerimanya. Dan lebih beruntung lagi ada yang rela membelinya.

Sekarang, kutukan itu masih berlaku. Selain Asran Salam yang sudah menelurkan dua karya setelahnya, kami berempat masih tepekur nyaman dibelai mantra kutukan buku pertama.

Tahun 2016 bernomor ISBN 9786028003421 sebuah buku berjudul Telinga Palsu terbit. Esai saya berjudul Antropologi Toilet ikut terpilih ke dalam 100 literasi pilihan Tempo Makassar ini. Tulisan diambil di rentang 2014-2016 yang terbit di Tempo Makassar itu dikurasi dan dieditori Irmawati Puan Mawar. Ini juga belum bisa disebut buku sendiri.

Di laptop sudah kebiasaan membuat folder nama khusus setiap tahun. Itu saya lakukan untuk mengklasifikasi tulisan saya selama setahun penuh. Itu artinya ada folder bertarikh 2020, 2019, 2018, sampai 2010, tahun pertama ketika saya mulai mendisiplinkan mengumpulkan tulisan. Tahun 2019 tercatat 85 esai saya tulis dan 65 yang berhasil saya selesaikan.  2020 entah berapa banyak esai mampu saya hasilkan.

Harapan saya di tahun ini tidak muluk-muluk: bisa salat awal waktu, dan terbebas keluar dari kutukan buku pertama.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...