”KERJA bagai kuda.” Entah dari mana
istilah ini berasal. Kenyataannya, suatu waktu, sambil melucu istri saya pernah
melontarkannya. Satir memang, mengingat ia sering menghabiskan lebih banyak waktu
bekerja di luar ketimbang saya yang lebih banyak berleha-leha di rumah.
Kami berdua bukan aparatur sipil
negara, tapi rasa-rasanya kami membutuhkan kepastian lebih pasti mengenai penghasilan di akhir bulan dibanding
kebanyakan pegawai negeri sipil.
Bagi sepasang keluarga muda ada
tiga hal pokok yang mesti diperhatikan baik-baik. Kalau perlu mesti
diperjuangkan mati-matian: tempat hunian, penghasilan tetap, dan pekerjaan yang pasti.
Ketiga kebutuhan ini saling
melengkapi. Satu saja tidak dapat direalisasi, hancur berantakan keduanya.
Saat menulis ini saya sedang
membaca Dataran Tortilla karangan
John Steinbeck. Belum selesai memang, tapi cerita Steinbeck sudah memukau saya
dari awal. Dataran Tortilla, sejauh yang saya baca berkisah tentang Danny dan
ketiga sahabatnya yang tinggal di sebuah rumah warisan tak begitu megah di
sebuah kawasan bernama dataran Tortilla, Monterey, Amerika Serikat.
Danny dan sahabat-sahabatnya adalah
penganguran. Hidup mereka berjalan apa adanya. Bebas dan tak terduga, mengalir
dan bergerak sesuai ide-ide konyol yang mereka cetuskan begitu saja.
Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, kadang mereka meminta sisa-sisa makanan restoran, menukar barang curian dengan sepotong roti, mencari kayu pinus untuk dijual, atau meminjam uang demi sebotol anggur untuk mereka nikmati bersama.
Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, kadang mereka meminta sisa-sisa makanan restoran, menukar barang curian dengan sepotong roti, mencari kayu pinus untuk dijual, atau meminjam uang demi sebotol anggur untuk mereka nikmati bersama.
Bahkan mereka bisa saling menipu
satu sama lain demi mengisi perut kosong dan mabuk-mabukkan.
Di luar kekonyolan mereka,
sehari-hari persahabatan adalah segalanya. Empati sesama orang susah dan
bernasib kurang mujur membuat mereka bagai kerumunan srigala. Susah senang
tidak ada bedanya.
Danny, dan sahabat-sahabatnya,
Pilon, Pablo, dan Jesus Maria selalu mewakili semangat kelas proletariat
Steinbeck yang kerap muncul dalam karang-karangannya. Mereka semua diidentikan
sebagai masyarakas kelas bawah, tapi juga orang yang tak ambil pusing dengan
soal-soal tagihan listrik, uang sekolah, kredit kendaraan, pajak, tabungan masa
depan, pasangan hidup, tempat tinggal, dlsb.
Singkatnya, Danny bersama
sahabat-sahabatnya adalah suatu dunia tanpa kerja. Tidak ada sekalipun
Steinbeck menceritakan tokoh-tokohnya terikat pekerjaan dengan jam-jam kerja
bagai penjara. Justru mereka dalam arti tertentu adalah para free man yang tak
terikat beragam soal.
Setiap tokoh adalah pribadi yang
unik dengan keluguan dan cara berpikir masing-masing.
Mereka seolah-olah manusia-manusia yang tidak hidup dalam lintasan sejarah:
pikiran mereka hanya untuk menikmati waktu sebebas-bebasnya, saat ini dan di sini.
Dengan kata lain, Danny dan
kawan-kawannya adalah antitesa bagi masyarakat kapitalistik. Antinomi dari masyarakat
berbudaya tinggi. Lawan dari kelas ningrat yang memuja-muja status sosial. Dan
bahkan mereka adalah suatu dunia yang sulit diimajinasikan melalui cara pandang
masyarakat dominan.
Dunia kiwari mesti belajar dari
kehidupan Danny dan sahabat-sahabatnya. Bagaimana ia melihat dunia melalui
kacamata kebebasan tanpa terikat kepada sistem, institusi, kekuasaan, kelompok,
dan ideologi tertentu yang banyak menuntut pertanggungjawaban. Danny dan
sahabat-sahabatnya adalah suatu sistem kehidupan sendiri yang memiliki
kemampuan mengatur hidupnya secara mandiri dan otonom tanpa dominasi apa pun.
Jika hari ini banyak orang ditawan
pekerjaan yang menyesakkan, Danny dan sahabat-sahabatnya malah memilih suatu
pengertian kerja yang lain. Dalam kehidupan Danny tidak ada jadwal kerja, tidak
ada pimpinan kerja, tidak ada tempat kerja, dan juga tidak ada aturan kerja,
semuanya diasalkan kembali melalui otonominya. Bebas menentukan waktu dan
tempat dalam rangkaian acak kejadian-kejadian yang ia alami.
Ia bahkan seperti ungkapan
filsuf-filsuf eksitensialis: bebas merealisasikan dan mengekspresikan
kehendaknya.
Dengan begitu, cara hidup Danny
adalah cara hidup yang menghancurkan dunia kerja, yang merupakan bagian dari
skema besar atas nama akumulasi modal. Ia menolak menjadi bagian dari sistem,
diperas tenaga dan waktunya demi keuntungan yang tidak diperuntukkan untuknya.
Singkatnya, Danny dan
sahabat-sahabatnya enggan didehumanisasikan. Menolak sistem kerja yang membuat
manusia terasing dari dirinya sendiri.
Sampai di sini, saya kembali
merenungkan celoteh istri saya di atas: ”kerja bagai kuda”. Jangan-jangan kita
selama ini bagian dari berjuta-juta manusia yang diperlakukan bagai kuda. Dihisap
tenaganya, dilucuti pikirannya. Tercerabut dari hakikat diri sendiri.