“...Di balik Olympus, Krito
di balik Olympus. Senja begitu merah
begitu saga. Seumur hidup belum pernah
kusaksikan senja secemerlang itu...”
Petikan puisi Mochtar Pabottingi
di atas, barangkali adalah puisi yang muram. Di balik Olympus, Krito, di balik
Olympus, adalah gelagat lema yang ditangkap bahasa, tentang Socrates, filsuf
yang akhirnya mati –memanggul kebenaran-- tanpa guyah sedikit pun terhadap
maut.
Puisi Krito, Senja Saga Di
Athena, memang puisi atas rekaman sejarah, tapi dialog Krito dan Socrates,
sebenarnya, adalah dialog yang dibutuhkan bagi orang-orang yang merindukan kebenaran seperti Socrates.
Begitulah kebenaran, ikhwal yang
akhir-akhir ini lebih banyak membuat polemik daripada suatu ikhtiar yang menyenangkan.
Di masa Socrates hidup, kebenaran sesuatu yang musykil ditanggung seseorang
daripada akhirnya menyerah untuk menemukannya. Kebenaran, sejauh diandaikan
sebagai pencapaian epistemik, atau bahkan ontologis, adalah “sesuatu” yang
memang diraih inci demi inci, hasta demi hasta, setapak demi setapak. Dengan
kata lain, kebenaran adalah kebenaran, sesuatu yang harus diperjuangkan.
Olympus, kita tahu adalah puncak
gunung tempat dewa-dewa Yunani bersemayam. Di sana selain merepresentesekan
alam berpikir masyararakat Yunani tentang dunia yang dihuni mahluk-mahluk
berkekuatan luar biasa, juga merupakan puncak kebenaran segala pencapaian
manusia: keindahan, moral, pengetahuan, nasib…
Ibarat Platon menyebut dunia
idea sebagai presentase segala ikhwal, gunung Olympus adalah kulminasi
semuanya, termasuk kebenaran.
Itulah sebabnya, di masa-masa
Socrates hidup, dunia akan begitu boyak ketika tidak melibatkan kehadiran
dewa-dewa sebagai tolok ukurnya. Hidup tanpa bergantung sepenuhnya kepada
dewa-dewa bagaikan hidup yang diombang ambingkan gelombang di tengah samudra.
Tapi, pelaut mana yang bisa
lahir dari laut yang tenang? Socrates, singkatnya, adalah filsuf yang mengajak
“pelaut-pelaut” agar mau menentang arus. Menghadapi gelombang demi gelombang,
samudra demi samudra, demi meraih kebenaran.
Di puisi Mochtar, Socrates
mengajak sahabatnya Crito –tapi juga sebenarnya semua orang Athena, atau semua
manusia—untuk menengok saga, langit orange di balik gunung Olympus. Sesuatu
yang sering kali hanya dipahami sebagai background, dari pada suatu pokok
dasar.
Dengan kata lain, metafora
langit saga, yang ada di balik Olympus adalah “sesuatu” yang sebenarnya harus
dicari, diperjuangkan. Bukan apa yang tampak sebagai puncak gunung Olympus,
atau berhenti begitu saja di atas bukitnya.
Kebenaran memang tak mudah, ia
awalnya samar-samar, dan bersembunyi di balik hijab yang merintanginya.
Rintangan kebenaran di masa
Socrates adalah kekuasaan dewa-dewa yang tak lagi adil dan bijaksana. Di sini,
atau di mana pun itu, kebenaran merupakan ikhwal yang kadang selalu ditawan kekuasaan.
***
Berbeda dari puisi Mochtar
Pabottingi, yang muram, belakangan, seringkali tampak dalam kehidupan berdemokrasi
di sekitar kita. Kebenaran yang harus tampak sebagai simbolitas masih
bekerjanya nalar kemanusiaan, justru disekat-sekat, bahkan ditawan oleh
ambisi-ambisi rendah kekuasaan.
Istana Negara, yang menjadi puncak tertinggi hirarki kekuasaan, mesti tahu, kebenaran yang disendat-sendat pada akhirnya
akan datang kepadanya. Biarpun itu adalah ikhwal yang awalnya nampak sederhana,
tapi seperti yang sudah seringkali terjadi, ikhwal yang sederhana nampak runyam
akibat bias kepentingan di dalamnya.
Walaupun demikian, di satu sisi
selalu ada harapan, seperti langit saga, --yang dalam puisi Mochtar, Socrates
nampak bahagia menatapnya—kebenaran tidak akan pernah mampu dikelabui.
“…Ketahuilah, Krito
Bagiku menjalani hukuman mati
Takkan pernah, seperti katamu, memenangkan
Mereka yang menghendaki kematianku
Maka seumur hidup tak sekali pun kucemaskan
Kematian. Cemasku selalu hanya jika
Aku tak lagi bisa menyimak
Dan berbagi cahaya
Kepalsuan, Krito, takkan pernah mengalahkan
Kebenaran, Sekalipun ia dibelenggu
Berkali-kali kematian
Dan aku bukanlah Oedipus yang terpahat
Kutuk labuda
Aku bukan mainan para dewa…”
Socrates bukanlah Oedipus, yang
menjalani takdir panjang nasib yang sudah ditentukan jauh sebelum ia ada. “Aku
bukan mainan para dewa”, adalah ikhtisar suatu ikhtiar bahwa apa pun itu
segalanya mesti diperjuangkan dimulai dari manusia itu sendiri.
Begitu juga orang-orang yang
teguh memperjuangkan nasibnya, ketika kebenaran nampak sumir akibat dipangkas
hirarki kekuasaan, mesti memulai bukan dari mana-mana melainkan dari dirinya
sendiri.
***
“...Di balik Olympus, Krito
di balik Olympus.
Hatta, kebenaran memang bukan
hal yang lumrah dikatakan jika semuanya nampak biasa mengucapkannya. Kisah
Socrates sebenarnya sebaliknya, ketika yang lain dijebak kehidupan yang nampak
normal, dia mengutarakan apa yang tak pernah diucapkan di bawah tirani, dengan
sungguh-sungguh, dengan berterus terang.
Kini, apa yang tampak benar
begitu mudah ditemukan, tapi belum tentu kebenaran itu sendiri.
“...Di balik Olympus, Krito
di balik Olympus . Senja begitu merah
begitu saga…”
---
*Puisi Mochtar Pabottingi dalam bukunya Konsierto di Tokyo, 2016.