Kelas di suatu waktu bisa bermakna sepetak ruang, yang membagi sesuatu menjadi partisi-partisi. Tapi di lain waktu ia tanda dari kesenjangan. Sesuatu yang membangun jarak.
Kelas
sebagai sesuatu istilah, dipopulerkan pertama kali oleh seorang
sosialis tulen berkebangsaan Jerman, Karl Heinrich Marx. Tapi, kelas yang dia
maksudkan bukan untuk menunjuk pada batas-batas tentang ruang, bukan ruang
petak yang berbentuk kubus, apalagi ruangan yang menggelantung di
dalamnya gambar dua muka penguasa sebuah negeri. Kelas yang ia istilahkan menunjuk pada
entitas yang berjarak sekaligus diskriminatif. Suatu tingkatan sosial yang ia bagi menjadi dua entitas atau kelompok: proletar dan
borjuis. Dua mata sosial yang saling tolak menolak.
Di
hadapan Marx ada masyarakat yang ingin tumbuh. Eropa baru saja kuncup dari
keadaan menyesakkan. Harapan hidup tak lagi semata-mata urusan dominan dogma-dogma gerejawan. Eropa sedang dalam transformasi besar-besaran.
Orang-orang menaruh harap pada pabrik-pabrik yang berdiri gegap, menanggalkan
hidup yang ringkih dengan kehidupan tradisional menuju perhelatan akbar dari
kemajuan peradaban baru; zaman industrialisasi.
Namun, Max murka sekaligus ia berusaha memahami keadaan yang
ia saksikan dengan mata telanjang. Dari pembacaannya ia
berusaha tidak menerima dunia sebagai entitas yang dicipta dalam keadaan begitu
saja. Bagi Marx, dunia adalah entitas yang melibatkan usaha. Namun di balik kenyataan setiap usaha masyarakat, muncul masyarakat elit yang ia katakan mampu mengubah usaha ril menjadi suatu hal yang berbau kumulatif. Bahasanya di suatu
waktu: segalanya yang padat menguap keangkasa.
Bisa
jadi Marx benar tentang tangan-tangan kelas pekerja yang bergulat dengan
barang-barang, yang sembari waktu pada akhirnya ghalib ditelan kehampaan. Tak
ada barang yang dimiliki kelas pekerja, yang ada hanyalah proses perpindahan
barang dari kelas pekerja ke kelas borjuasi. Yang ada, barang yang padat
semuanya berubah menjadi alienasi.
Tapi,
itu Marx yang melihat masyarakat industri awal berdasarkan determinasi
barang-barang. Karena barang-barang yang dikuasai maka keadaan bisa berubah.
Nampaknya nasib hanya bicara tentang barang yang dikuasai dan barang yang
menguasai.
Beda Marx beda Francis Bacon.
Beda Marx beda Francis Bacon.
Bacon
memiliki iman yang lebih menjanjikan, bahwa zaman kelak akan menampik posisi
yang semula akan dikuasi oleh kaum pemodal. Bacon punya iman yang tegas,
bahwa zaman harus diarahkan berdasarkan kemajuan sains, dengan deret ukur yang
tegas dalam memprediksi kebutuhan manusia; ilmu pengetahuan.
Tentu
Marx bukan penganut pikiran Bacon: barang siapa menguasai ilmu pengetahuan maka
nasib serentak bisa ditakdirkan.
Entah
Marx, entah Bacon. Di suatu tempat yang lain, ilmu bisa menjadi sinyalemen yang
kuat untuk membentuk dua wajah yang hirarkis. Ketika insitusi pendidikan
menjadi medan yang sarat dengan kepentingan.
Kelas
bisa berarti pencerahan, atau justru keterasingan.
Kita
tak tahu kapan era dimulainya pengetahuan harus identik dengan sepetak ruang
padat. Seakan-akan pengetahuan harus dihadirkan dalam bentuk-bentuk yang padat
pula: tembok.
Tembok
bagi sejarah silam bisa jadi berarti perlindungan. Itulah mengapa, mungkin saja
setiap kerajaan membangun daerah kekuasaannya dengan tembok-tembok yang tinggi
serta tebal. Benteng bagi kekuasaan masa lalu memanglah penting, apalagi dahulu
batas kekuasaan tak berbanding lurus dengan luas tidaknya tanah yang
dimiliki.
Maka
galibnya tembok cina dibuat untuk menjadi patokan betapa besarnya kekuasaan
dinasti Ming. Ini juga yang menjadi inspirasi bagi Jerman, di mana di Berlin
berdiri tembok setebal hampir dua siku dengan konsekuen geografis yang membagi
Jerman menjadi dua kawasan. Memang tembok adangkala selalu berdiri berbarengan
dengan kedatangan kekuasaan.
Indonesia,
negeri yang pernah dikuasai rezim selama lebih dari tiga puluh dua tahun,
tembok bisa berarti pembelokan ingatan masa silam. Tentu yang saya bicarakan di
sini adalah tembok yang berdiri di tengah-tengan makam tujuh jenderal. Di sana
secara dramatis terpampang gambar perjalanan penumpasan ideologi komunis yang
diakhiri dengan gambar sosok pemimpin sebagai dewa penyelamat yang mengangkat
tangan sebagai simbol penaklukan.
Tembok
memanglah keras, namun apa hendak dikata, kelas berarti seruangan yang harus
dihadirkan dengan petak-petak batu. Ini berarti barang siapa hendak
berpengetahuan, maka hendaknya harus bergumul dengan tembok-tembok. Dan namanya
tembok, pasti ia membatasi.
27
oktober 2011