Sore kemarin sepulang
dari TB Paradigma, saya menyempatkan singgah di Bunker. Bunker adalah istilah
untuk menyebut rumah yang kami sewa sebagai sekretariat. Kalau mau dilihat,
rumah yang kami tempati sebenarnya sudah tidak layak huni. Atapnya banyak yang
reyot bocorbocor. Temboknya sudah retakretak. Lantainya saja banyak yang terisi
pasir. Kalau hujan, jangan bilang, kamu bisa mancing ikan di dalamnya. Kalau
bukan ruang tengah yang bertegel, barangkali tak ada yang mau tinggal di sana.
Sejarahnya
panjang mengapa kami bisa tergusur sampai ke sana. Itupun sebenarnya kami hanya
menumpang. Asli menumpang bung! Karena berdasarkan perjanjian, kami harus
angkat kaki dari tempat itu. Hanya saja, pemiliknya masih berbaik hati agar
kami menempatinya. Kabarnya, tempat itu akan dia jadikan koskosan, tapi karena
masih menunggu waktu yang tepat ia urungkan niatnya.
Yang
mesti kamu tahu, selain tempatnya yang di bawah hunian layak. Kata bunker bisa
menjelaskan karakter hunian tempat kami. Dulu tempat kami memiliki pandangan
yang luas menghadap ke selatan. Sedangkan di sebelah barat ada bekas bangunan
yang diruntuhkan. Akibatnya, di sebelah barat juga memiliki pandangan yang
luas.
Itulah sebabnya, tempat itu kami sebut bunker. Selain tempatnya yang tersembunyi dan juga gelap, rumah yang hampir lima tahun kami tempati seperti sudah dijatuhi nuklir. Kami sering berseloroh bahwa tempat ini nyaris punah akibat perang dunia kedua. Untung Nazi tidak sampai mendeteksi tempat ini. Kalau saja radar Nazi sampai kemari, bisa berabe urusannya. Selain langsung diratakan tanpa ampun, kami pasti akan ditangkap akibat banyak mencela Hitler sebagai fasis.
Jadi
kalau dibilang sekretariat, nampaknya itu berlebihan. Nyatanya tempat ini mirip
rumah kumuh yang tak terurus. Tapi, karena insting bertahan hiduplah kami masih
rela tinggal di sini. Apalagi memang tak ada tempat selain di bunker.
Beginibegini kami masih tahan hidup a la mustadaafin. Asli bung, ini karena
tiada tempat paling memungkinkan selain bunker.
Di
situlah kami sering menjalanihidup. Makan, mandi, dan berak. Semuanya di
bunker. Bahkan ketika diskusidiskusi mencela pemerintah juga kami lakukan di
sini. Kami sudah hampir jadi komunis dengan diskusi anti kapitalismenya. Bahkan
kami juga melahap sektesekte pemikiran yang dianggap sesat. Kalau iblis punya
mazhab pemikiran, tak tanggungtanggung pasti kami juga membicarakannya.
Pokoknya, di bunkerlah kami membentuk pikiran, tapi bukan tubuh. Maklum di
bunker kadang paceklik jadi musim yang panjang.
Nah, di
tempat macam itulah kemarin saya singgahi kembali. Seperti biasa bunker
kosongmelompong. Belakangan, Nazi sudah menangkap satu persatu penghuninya.
Yang tinggal hanyalah beberapa teman saja. Mereka ini pandai menyamar dari
kejaran intel Nazi. Kadang menyamar jadi mahasiswa, jadi pemuda tanggung,
bahkan ada yang menyamar jadi ustadz. Tapi sering kali kami menyamar jadi intel
Nazi itu sendiri. Cara ini ampuh untuk menjadikan kami tidak dicurigai kalau
datang ke bunker.
Dengan
cara itu pula kali ini saya singgah. Dengan menggunakan topi dan berpakian
abuabu merah, saya masuk ke dalam bunker. Setelah sebelumnya memarkir motor,
saya masuk lewat pintu belakang. Dengan sekali merogoh dibalik pintu, kunci pun
terbuka. Ini adalah trik yang saya temukan ketika hidup lama di bunker.
Seperti maling saya pun masuk. Seperti yang saya katakan bunker kosong.
Langsung saja saya pergi merebahkan tubuh setelah meyakini situasi aman
terkendali.
Tak
lama saya baringbaring, ternyata masuk seekor kucing kecil. Alamak kucing.
Jujur saja saya agak geli terhadap kucing. Apalagi kucing yang ini masih
anakanak. Barangkali masih berumur tiga minggu. Saya terka seadanya karena
bulubulunya belum banyak yang tumbuh. Kucing ini mengeongngeong ketika melihat
saya. Barangkali saya dikira induknya. Saya manusia, cing. Sungguh.
Saya
kasihan melihat kucing berbulu orange ini. Dia barangkali ditinggal pergi
induknya karena mencari nafkah. Tapi, saya sungkan mengambilnya. Saya
betulbetul geli. Pikir saya, kok induknya tega meninggalkannya. Apakah ia hasil
hubungan gelap dengan kucingkucing yang banyak berkeliaran di atas seng
bunker? Sehingga ditinggal begitu saja. Atau Induknya malu mengakui ia sebagai
anaknya? Atau kucing ini yang justru malu punya induk yang gampangan? Entahlah.
Tapi, tunggu dulu kucing ini tetap saja melihat saya seperti induknya. Kutu
kumpret!
Sembari
melihat, kucing ini berjalan pelanpelan menuju saya yang berdiri gagap
melihatnya. Gawat, sambil mengeongngeong dia menatap saya dengan iba. Akhirnya
tanpa pikir panjang saya langsung beranjak lari akibat dia datang mengejar.
Meongmeong..meong..!? Saya dengan geli akhirnya harus berlari menghindar karena
takut. Begitu seterusnya saya berlarilari kecil seperti komedi putar.
Peristiwa
itu berlangsung sampai lima menit. Di bunker saya seperti Shahrukh Khan yang
lari dikejarkejar Kajol, persis kayak di lagulagu India. Tapi sayangnya ini
kucing. Apalagi kucing ini sepertinya membutuhkan belaian seseorang. Begitu
inginnya ia dibelai. Cuman saya saja yang geli kalau melihat kucing. Bahkan
saya punya sejarah kejam tentang kucing.
Dulu
saya pernah memukul kucing sampai mencretmencret. Taiknya sampai belepotan di
atas lantai. Semenjak itu, kucing yang saya pukuli jarang bermain ke rumah.
Waktu itu saya kepalang jengkel akibat tingkahnya yang selalu masuk ke kamar
dan kencing sembarangan. Betulbetul ulah yang tak bisa ditolerir. Apalagi bau
kencingnya yang amis bukan main. Baunya kayak menandai bahwa kamar saya adalah
teritorinya. Tunggu saja pembalasanku kucing, niat saya waktu itu. Dan, suatu
siang, ketika saya menemukannya mengendapngendap, langsung saja saya mengambil
sapu dan sekali dua kali tebas, pak..pak!! Dua pukulan mendarat di punggungnya.
Seketika saja dia mengerang. Plup..plup akhirnya taiknya moncer di saat
berlari.
Mengingat
itu tak mungkin saya lakukan kepada kucing mungil ini. Apalagi melihat tubuhnya
yang kurus kering. Apalagi mukanya yang imutimut lugu begitu. Seandainya saya
tidak geli, dengan senang hati saya bakal mengadopsinya. Cepatcepat keesokan
harinya akan saya laporkan di RT setempat dan mengambil surat ijin untuk
merawatnya. Kalau perlu akan saya buatkan akta kelahiran biar lengkap. Tapi,
sungguh saya betulbetul geli.
Akhirnya
sebagai jalan tengah, saya mengambil dan menyimpannya ke dalam kamar yang tak
terpakai. Di situ dia lebih aman dari siapapun. Bahkan dari saya yang bisa saja
gelap mata mencekiknya lantaran selalu dikejarkejar. Sekarang kucing itu masih
ada di sana. Saya meninggalkannya tanpa siapapun. Bahkan tanpa makanan. Dia
mungkin lapar. Barangkali ada yang ingin memeliharanya. Kalau ingin silahkan
hubungi saya secepatnya. Atau datang langsung ke bunker. Kamu tahu kan
tempatnya? Oh iya saya lupa, pasti kalian tidak akan melihatnya. Lagian banyak
intel Nazi yang berkeliaran di sekitarnya. Jadi hatihati, jangan sampai kamu
diciduk. Lebih baik kamu menghubungi saya secepatnya. Di bawah ini gambarnya.
Nb:
Kepada kucing yang dulu saya pukuli, saya mohon maaf. Maaf juga baru sempat
saya katakan. Maaf ya cing..