Badaruddin Amir: Esai itu Tulisan yang Genit


Esai itu tulisan yang genit. Dia diibaratkan seseorang yang datang dan mencubit pipimu dan kemudian pergi. Begitulah esai di mata Badaruddin Amir. Pendakuan ini ia sampaikan saat menyampaikan materi dalam pelatihan menulis esai bagi Guru-Guru Bahasa se-Kabupaten Sidrap beberapa waktu lalu.

Badaruddin Amir seorang sastrawan Sulsel. Dia tangkas menghidupkan suasana forum. Sebelumnya, forum ibarat ruang tunggu yang sepi lantaran materi yang cenderung teoritis. Kaku. Dan mungkin membosankan.

Sebelum Pak Badar, begitu ia disapa, eike yang berkesempatan pertama kali memberikan materi. Begitulah, semenjak Pak Badar mendapatkan giliran, dengan pengalamannya yang segudang mengampu pelatihan-pelatihan menulis, forum berubah 180 derajat.

Sebenarnya slide-slide materi yang disampaikan Pak Badar tidak jauh berbeda dari apa yang sudah eike sampaikan. Tapi, dari cara penyampaian, dan beragamnya contoh pengalaman yang ia ajukan, membuatnya menjadi bintang forum. Ya, semenjak mengetahui akan dipanel dengan beliau, dari awal eike sudah memosisikan diri sebagai peserta kesekian yang kebetulan duduk di sebelah Pak Badar.

Kalau mau jujur, selama ini Badaruddin Amir tidak familiar di telinga eike. Ini bukan karena Pak Badar tidak tenar dalam dunia kesusastraan maupun literasi di Sulawesi Selatan, melainkan lingkaran pergaulan eike yang masih selebar daun kelor. Juga jelajah bacaan eike yang tidak meningkat-meningkat sehingga belum sempat membaca tulisan-tulisannya.

Nama Badaruddin Amir pertama kali eike temukan di dunia maya. Secara tidak sengaja eike melihat postingan cerpen beliau yang kebetulan nongol di beranda Fb. Karena merasa ganjil, kala itu eike memberanikan diri mengomentari beberapa kata dalam cerpennya. Tidak disangka komentar itu memancing pendiskusian yang lumayan panjang. Bahkan mengundang orang-orang dekat Pak Badar turut berkomentar.  Akibat saling kritik, eike mencoba mengintip-intip dinding Pak Badar. Setelah beberapa saat, rasa-rasanya beliau ini bukan orang biasa.

Tak disangka kami dipertemukan dalam kegiatan yang sama.

“Rival saya ini,” canda Pak Badar sambil menyalami eike ketika pertama kali bertemu. Sebelum forum dibuka kami sempat terlibat diskusi ringan. Pak Jamal selaku pihak yang mengundang heran. Dia mengira kami sama sekali belum saling mengetahui. Ternyata aksi “kritik-mengkritik” di Fb beberapa waktu lalu cukup berkesan bagi Pak Badar. Dia tidak semata-mata lupa dengan eike.

“Dulu di Pedoman Rakyat tradisi kritik diapresiasi. Saling kritik itu baik, yang penting tidak membawa personalitas di dalamnya” begitu seingat eike perkataan Pak Badar ketika kami duduk berdiskusi ringan. Dia juga menerangkan posisinya terkait “polemik” yang ditimbulkan Denny JA yang belakangan booming. Bahkan dia menilai usaha Denny JA dalam memperkenalkan  “puisi esai-nya” sudah tidak wajar.

“Di Sulawesi Selatan saya yang pertama kali dihubungi Denny JA untuk ikut mengapresiasi puisi esainya,” ucap Pak Badar di saat mengatakan penolakannya. “Dampak-dampaknya kelak berbahaya,” sambungnya.  Apa yang dikatakan Pak Badar ini jelas merujuk kepada upaya yang dilakukan Denny JA menghimpun sastrawan-sastrawan di seluruh daerah Tanah Air dengan memberikan bayaran sebanyak lima juta dengan catatan mau menulis puisi-esai dalam rangka ikut mempromosikannya.
Bahkan kalau tidak salah ingat, ia juga sempat mengatakan sudah menulis beberapa pandangannya tentang puisi-esai dalam esai yang diikutkan dalam kelompok penulis yang tidak sepakat dengan sepak terjang Denny JA.

Di siang itu forum berjalan lancar-lancar saja. Walaupun sebelumnya eike mesti bergegas dari Makassar semenjak Subuh agar sampai di lokasi kegiatan pukul 8 pagi. Langit yang tidak berubah cerah dan hujan yang awet ikut menemani selama perjalanan.

Apa boleh buat, keadaan tidak bisa dilawan sepenuhnya. Eike tiba pukul delapan lewat. Hampir pukul sembilan, bahkan.

Ketika naik ke lokasi kegiatan di lantai dua, sepintas eike melihat seorang pria paruh baya duduk mengenakan topi hitam melalui celah pintu. Tidak langsung masuk, eike memilih duduk sebentar di bagian depan sambil mengatur napas. Dengan terkejut eike bertemu seorang senior semasa di kampus. Sekarang ia menjadi seorang guru sejarah. Ternyata ia salah satu peserta di kegiatan ini. Tak dinyana, sekarang eike yang bergantian memberikan materi seperti yang pernah ia lakukan di masa masih mahasiswa dulu. Ah, begitulah, dunia bekerja.

Pria paruh baya itulah Pak Badaruddin Amir. Ia datang lebih awal dengan menggunakan topi dan duduk sembari menengok layar gawainya. Nampaknya Pak Badar lumayan aktif di dunia maya. Cerpen maupun esainya, sering ia posting di sana.

“Tulisan yang kamu komentari itu sebelumnya sudah saya kirim di Fajar, tapi saya enggan memotongnya menjadi lebih pendek,” ungkap Pak Badar. Ia nampaknya tidak setuju jika karya tulisnya mesti dipermak sampai harus memenuhi kolom “sempit” yang disediakan koran-koran selama ini. Itulah sebabnya ia lebih memilih memostingnya di dunia maya yang jauh lebih banyak memberikan ruang bagi karya tulis yang panjang.

Di tengah pemaparan materi memang ada sedikit pembahasan tentang apa yang dimaksudkan “pendek” ketika mengartikan cerpen. Apakah ia ditentukan oleh faktor internal semisal jumlah karakter? Atau jalan cerita yang sekali dibaca sudah dapat menangkap karakter tokohnya? Atau memang lebih ditentukan oleh faktor eksternal semisal medium cerita itu diterbitkan, yang dalam hal ini sangat ditentukan oleh space yang ada pada setiap koran, majalah, atau junal?

Pertanyaan ini akan makin membingungkan jika tradisi kepenulisan cerpen dikaitkan dengan tradisi tulis menulis di luar negeri. Pengalaman Eka Kurniawan ketika menerjemahkan karya-karya cerpennya ke bahasa asing  misalnya, menggambarkan ternyata cerpen-cerpen yang ditulis penulis-penulis luar negeri jauh lebih panjang dari apa yang dituliskan cerpenis-cerpenis dalam negeri. Kala itu seperti yang dituliskan Eka melalui blognya, editor yang menerbitkan tulisannya sempat membandingkan cerpen-cerpennya yang lebih pendek dari cerpen-cerpen yang pernah diterbitkan.

Menurut Eka, cerpen-cerpen yang ditulis di Tanah Air selama ini lebih banyak ditentukan oleh kolom yang disediakan media cetak. Sehingga ikut memengaruhi cara bercerita cerpenis ketika membangun narasinya. Menurut eike, efek paling membahayakan bagi pembaca adalah batas kemampuan membaca yang akhirnya tidak tahan membaca narasi yang panjang. Kata “pendek” dengan kata lain sudah pertama kali mendikte pembaca sehingga sulit memiliki energi lebih ketika berhadapan dengan narasi yang lumayan panjang.

Salah satu yang menarik selama pemaparan, menulis diibaratkan Pak Badar seperti berenang. Semua orang tahu seluruh gaya berenang, mereka tahu perbedaan di antara gaya kupu-kupu dengan gaya punggung, tapi itu hanya sebatas pengetahuan. Berenang yang sesungguhnya adalah ketika seseorang sudah di dalam air. Ketika dia sudah berpraktik. Sudah mau melakukannya. Begitulah yang dimaksudkan Pak Badar, menulis hanya disebut menulis ketika dia dilakukan.

Sebelumnya, eike sempat malu sendiri. Pasalnya tidak ada tandamata berupa buku yang eike hadiahkan kepada Pak Badar. Sebaliknya, sebagai pamungkas dan tanda karya, eike diberikan buku kumcer beliau Latopajoko & Anjing Kasmaran. Di sini kelihatan kan, siapa sebenarnya penulis?

---

Terbit sebelumnya di Kalaliterasi.com