Saya
kira bukan bapak saja yang kerap mengalami kegagapan ketika menggunakan
handphonenya. Saya yakin banyak orang tua seperti bapak saya. Ibarat masyarakat
terbelakang, bapak menjadi orang yang tak tahu apa-apa di hadapan teknologi
masa kini.
Bapak
menggunakan handphone merk Samsung. Perangkat itu bukan gawai smartphone seperti dipakai kebanyakan
orang. Tapi, bapak sering kali kesulitan mengoperasikan handphonenya ketika,
misalnya, ingin menyetel alarm, atau ingin menggunakan fasilitas short message.
Ketidaktahuan
bapak ditengarai akibat menggunakan handphone yang tidak lagi sama dengan merk
sebelumnya. Sebelumnya bapak menggunakan handphone merk Nokia. Imbas fitur dan
cara pakai yang berbeda, membuat bapak semakin bingung menggunakannya.
Namun
soal sebenarnya bukan akibat cara pakai yang berbeda, melainkan pengetahuan
yang mendasarinya. Ini jauh lebih mendasar dibanding peralihan cara pakai dari
dua merek yang berbeda.
Saya
seringkali kasihan melihat bapak yang kebingungan jika menghadapi masalah di
atas. Tapi, saya juga merasa beruntung, bapak tidak mesti repot-repot
disibukkan dengan segala kelebihan yang dimiliki handphonenya.
Itulah
sebabnya, handphone hanya digunakan bapak untuk memanggil dan menerima telepon.
Kadang kala jika sempat menulis sms. Itupun dengan sedikit perjuangan.
Akan
lucu membayangkan jika bapak turut ikut perkembangan teknologi gawai yang serba
baru itu. Bersama-sama jutaan pengguna lain beralih menggunakan smartphone berbasis layar sentuh. Dan
kemudian, pengalaman baru yang dialami bersamaan dengan segala fitur dan
aplikasi dari smartphone turut
mengubah kebiasaan bapak.
Barangkali
seperti praktik kebudayaan masyarakat kekinian, bapak ikut membuat akun media
sosial, nimbrung berkomentar ria dalam puluhan grup whastup, atau berkali-kali
selfie jika menemui kolega-koleganya di saat ada pertemuan. Namun semua itu
tidak satu pun bapak alami, termasuk harus berkali-kali update status di media
sosial semisal facebook.
Saya
membayangkan betapa jauhnya jarak kemajuan antara pemahaman bapak dengan
kecanggihan teknologi saat ini. Hal ini menjadi lebih rumit jika bapak
diperhadapkan dengan kecanggihan smartphone
era kekinian.
Di
kasus ini bapak seperti orang yang disebut sebagai kelompok masyarakat yang
mengalami cultural lag. Istilah ini
mengacu kepada kesenjangan pengetahuan yang diakibatkan kemajuan unsur-unsur
kebudayaan.
Melalui
konteks pemikiran William F. Ogburn, cultural lag
diakibatkan karena adanya hambatan yang dialami salah satu unsur kebudayaan
dibanding kemajuan unsur kebudayaan yang lain. Dalam kasus ini kemajuan
teknologi informasi tidak diiringi kemajuan sumber daya pemikiran yang menyertainya.
Kegagalan memahami
teknologi, barangkali ditentukan sejauh mana pengalaman itu sendiri tumbuh di
antara kemajuan teknologi. Kita akan sulit menemukan orang-orang pedalaman
Kajang yang memahami cara menggunakan gadget dengan baik akibat pengalaman
mereka yang tidak pernah menjumpai gadget itu sendiri, misalnya.
Itu sebabnya, betapa
mudah menemukan anak-anak usia dini sudah mahir mengoperasikan gadget akibat
betapa gampang pengalamannya bersentuhan dengan alat-alat canggih semacam itu.
Memang pengalaman
dunia sekarang jauh berbeda dengan kemajuan di era sebelumnya. Hampir semua
dimensi kehidupan saat ini diperantai alat canggih. Bahkan, saat ini sudah
ditemukan alat canggih yang mampu menyalakan kendaraan dengan perantara android
melalui suara. Tentu pengalaman ini tidak pernah kita saksikan di dua dekade
kemarin.
Fenonema ini akan
nampak lebih kompleks jika hubungan kebudayaan dilihat sebagai bapak yang
mewakili kebudayaan lama dan handphonenya sebagai wakil kebudayaan baru. Ini
menandai bahwa di kehidupan sehari-hari, dua unsur kebudayaan, atau dua
kebudayaan itu sendiri, mengalami perjumpaan secara bersamaan dengan menyisakan
persoalan di dalamnya.
Atau bapak sebagai
bagian dari masyarakat belahan dunia ketiga, dengan gadget sebagai simbol
budaya masyarakat dunia pertama. Juga bisa diandaikan bapak sebagai perwakilan
type masyarakat praindustrial dengan gadget sebagai bagian kebudayaan
pascaindustri.
Perjumpaan dua paras
kebudayaan yang berbeda ini memang banyak memunculkan pelbagai persoalan. Yang
mutakhir misalnya adalah perasaan keterasingan masyarakat tradisional di tengah
arus modernitas belakangan ini. Seperti juga di dalam soal pemahaman agama
terhadap situasi zaman yang jauh berbeda, soal praktik kebudayaan saat ini
tidak bisa terlepas dari pemahaman yang jauh lebih tanggap menghadapi kemajuan
yang serba berubah.
Jika fundamentalisme
agama imbas dari kesenjangan pemahaman agama yang tidak kontekstual dengan era
kiwari, maka kegagapan budaya seperti kasus bapak juga hal yang paling banyak
ditemukan di sekitar kita.
Kata kunci bagi kasus
ini saya rasa adalah pemahaman, dan juga pengalaman. Sebagaimana
fundamentalisme agama dapat diselesaikan dengan membangun dialog kepahaman dan
berbagi pengalaman, ketertinggalan budaya juga dapat diminimalisir dengan
meningkatkan pemahaman agar terjadi penyesuaian antara satu unsur budaya dengan
unsur budaya lainnya. Atau sebaliknya, pengalaman langsung atasnya memudahkan
peningkatan kapasitas pengetahuan dalam menghadapi kemajuan teknologi.
Terlepas dari semua
itu, juga pelbagai risiko yang menyertainya, bapak nampak baik-baik saja. Tanpa
gadget, pikirannya tidak tercemari hoax,
misalnya, yang massif ditemui melalui media sosial. Atau terjangkiti gangguan
mental akibat selfie yang berlebihan. Bahkan mengalami kebimbangan realitas
seperti yang disebutkan Jean Baudrillard.
Apalagi dari
segmentasi umur, bapak bukan termasuk generasi digital native yang tumbuh dan
beraktifitas dengan alat-alat canggih. Bapak bukan lagi masuk dalam kategori
usia produktif. Sebenarnya usia bapak sudah tergolong lansia. Golongan usia
yang harusnya lebih banyak menghadapi kehidupan dengan cara yang lebih
sederhana, dan juga pikiran yang jauh lebih sederhana.
Bapak karena itu
dengan sendirinya terbentengi dari risiko-risiko penggunaan alat-alat canggih.
Tidak seperti orang-orang kebanyakan, saya melihat bapak jauh lebih simpel
menjalani kehidupannya. Pengalaman kehidupannya saat ini bisa dibilang tidak
banyak tergantung dari alat-alat canggih, semisal smartphone.
Itulah sebenarnya,
saya kira cultural lag tidak berlaku
lagi bagi bapak. Justru pemahamannya tidak harus menyesuaikan dengan segala
macam perubahan yang terjadi di sekitarnya. Toh, bapak tidak pernah banyak
pusing dengan segala macam perkembangan teknologi canggih saat ini. Pikirannya
sudah bukan lagi di wilayah itu. Sudah jauh melampaui.
Saya kira persoalan
kesenjangan budaya, yang tidak dialami bapak, hanya soal bagi orang-orang yang
pengalaman sehari-harinya harus banyak bersentuhan dengan alat-alat canggih
demi menunjang profesi atau pekerjaannya. Semisal guru-guru tua masa kini, yang
kerepotan menggunakan laptop akibat tuntutan kurikulum baru. Mungkin saja.