catatan kelas menulis PI, pekan 15

Kelas dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam. “Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya. Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah jadi mekanisme menggeledah tulisan. Siapa pun punya tulisan akan tetap dilucuti satusatu , entah itu soal EYD, kelogisan gagasan, keterhubungan kalimat, atau bahkan sampai soal gaya tulisan.

Tulisan Asran Salam kalau dibaca adalah esai yang menyorot sisi manusiawi filsuf eksistensialis asal Denmark: cinta. Di moment kritikal ini, ada pertanyaan yang sempat diajukan Sulhan Yusuf. Kalau tidak silap ingat adalah apakah Kierkegaard juga mengadaptasikan pandangan filsafat eksistensialisnya di saat lagi kasmaran.

Dalam tulisan Asran Salam, kasmaran filsuf ini melibatkan seorang perempuan bernama Regina. Asran Salam bilang, cinta adalah pengalaman eksistensial yang melibatkan keyakinan agar manusia dapat bertindak dan bersikap. Cinta adalah pengalaman yang ditulisnya harus menanggung konsekuensi: penantian. Sampai di sini sempat Asran Salam memapar pemikirannya lingkait filsafat eksistensialisme terutama apakah Kierkegaard mengimplementasikan filsafatnya dalam kehidupan asmaranya.

Di akhir tulisannya, Soren Abaye Kierkegaard terpaksa harus meninggalkan Regina hanya karena problem belas kasih. Ternyata, dari yang ditulis Asran Salam, cinta Kierkegaard disambut hanya dengan perlibatan belas kasih dari Regina. Cinta yang demikian bukan cinta yang sejati. Asran tulis, jalan cinta Kierkegaard adalah pilihan yang dibentang atas dasar pertimbangan filosofis. Pilihan yang disebutnya sudah jadi pilihan hidupnya.

Karena tulisan ini, juga sempat ada perbedaan konseptual soal apa yang dinyatakan cinta sebagai pengalaman eksistensial. Cinta bagaimanakah yang disebut pengalaman eksistensial? Kalau pengalaman cinta Kierkegaard dan Regina adalah fenomena eksistensial, lantas apa yang membuat dia begitu khas dari pengalaman yang semua orang rasakan? Bukankah cinta adala gejala universal? Kalau begitu, cinta khas yang bagaimanakah jika mau disebut pengalaman eksistensial? Cinta yang khas dialami seorang diri, bukan cinta yang dipersepsi oleh “kita” atau banyak orang?

***

Sekarang hari Jumat, belum ada email yang masuk. Maklum, tiap hari Jumat saya jadi orang pertama yang akan membaca tulisannya. Akibatnya, jika Jumat jelang saya bakal menunggu tulisannya via surat elektronik. Kebiasaan ini sudah dimulai dari beberapa pekan silam. Biasanya, jika matahari sudah meninggi di waktu itu pula tulisannya masuk. Kalau sudah begitu saya bakal lega.

Tapi kala sore tulisannya pun belum jua datang. Saya pikir barangkali lepas magrib tulisannya bakal masuk. Barangkali beliau masih kurang enak badan hingga memperlambat mengirim tulisan. Info ini saya dapat kala berkunjung di mukimnya di sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan hari Kamis kemarin.

Dari anaknya yang paling gede, saya dapat kabar kalau beliau kecapean paska dari Bantaeng, kampung halamannya yang sering dikunjunginya akhirakhir ini. “Sakitki Abi kodong, kecapeanki dari Bantaeng,” begitu ucap Aqila kala saya datang bertandang.

Aqila hanya sendiri bersetia dengan tumpukan bukubuku yang dijagainya. Di waktu saya datang nampak wajahnya kelelahan, atau mungkin boring. Tak lama berselang saya menerka wajahnya yang agak kusut itu kalau tidak salah akibat memikirkan tugas akhirnya. Saya tahu itu selang setelah beberapa lama bercerita, Qila telah mengubah perencanaan penulisan penelitiannya. Dulu dia bilang bakal meneliti kecenderungan aktifitas kawula mudamudi yang disebutnya masuk kategori gerakan sosial baru. Kiwari, indikator yang dibilangnya itu adalah tipe aktifivis kampus yang senang mengikuti kegiatankegiatan programatik yang tak mengikat secara total. Aktifitas ini hanya diikat oleh kontrak secara temporal. Contoh kongkritnya dibilangnya adalah anakanak muda yang suka jadi volunteer.

Sekarang malah dia berencana bakal mengorek gerakan literasi di kampung ayahnya, Bantaeng. Penelitiannya diarahkan kepada soal –kalau tidak salah mengapa ada perbedaan minat baca anakanak muda di kota dan desa. Apa kondisi yang menyituasikannya demikian? Apa asbabnya, dan bagaimana hubungannya dengan Boetta Ilmu, komunitas yang digerakkan Ayahnya selama ini? Apakah ada signifikansinya atau tidak?

Pertanyaan pertama saat saya mendengarnya: “mengapa di Bantaeng?” Qila hanya bilang, santai, “ada Abiku bisa jadi informannya nanti.” Mendengarnya saya hanya tertawa.

Saya juga mendengar bahwa ia sedang mengumpukan bahanbahan yang berkaitan dengan perencanaan penelitiaanya. Persiapan ini sering dibilang dengan istilah reading course. Singkatnya, Qila harus banyakbanyak membaca seluruh literatur yang bisa ditemukannya yang berbicara soal seluk beluk dunia literasi.

Selang limabelas menit saya bergegas pulang, membelah punggung aspal panas yang diterpa kuning matahari. Berpacu dengan kuda besi yang meraungraung. Kota adalah kota, terutama di jalan raya waktu adalah waktu. Yang cepat pastilah yang ideal.

Namun, jelang malam tulisan yang ditunggu tak jua datang. Akhirnya, kesimpulan diambil. Masih ada hari Sabtu besok. Yakin dan percaya tulisannya bakal datang. Seperti biasanya, dia bakal menelpon atau sms bertukar kabar kalau tulisannya baru saja dikirim.

***

Menulis di kelas literasi sudah jadi program paten. Jadi bagi kawankawan yang mau terlibat maka harus mengikuti rumus ini. Setiap pekan harus membawa tulisan. Dan, di dalam KLPI setiap tulisan langsung ditakwilkan sebagai karya yang lahir dari seorang tersangka.

Karena ditulis oleh seorang tersangka, tulisannya akhirnya jadi sorotan. Logikanya, setiap omongan tersangka patut dicurigai sebagai cara untuk menutupi kesalahannya. Apalagi kalau seorang tersangka menulis, maka tulisannya pasti adalah pledoi yang dipakainya untuk menutupi dosadosa yang telah diperbuatnya. Karena itulah, di KLPI setiap tulisan mengandung dosa, tak ada tulisan yang bersih dari kesalahan.

Untuk sampai kepada tulisan yang licin, maka di kelas selama ini menggunakan dua tahapan introgatif. Pertama, karya yang dibawa bakal dibacakan (sekaligus dinarasikan), dan kedua adalah momen ktitikal dari setiap mata yang mempelototi tulisan yang disangkakan bersih oleh penulisnya.

Jadi kalau ada kawankawan yang mau ikut KLPI, maka salah berkeyakinan bahwa orangorang yang terlibat di dalamnya adalah orangorang bersih secara literatif. Justru, yang berkecimpung di dalamnya adalah tersangkatersangka yang ikut di mahkamah literasi dalam rangka membersihkan jarijarinya dari kesalahan di saat menulis. Dengan kata lain, orangorang di KLPI adalah orangorang yang banyak dosa literasinya, mulai dari EYD sampai pola gagasannya.

Kalau sudah begitu, penolakan kawankawan yang kadung menampik ikut terlibat di KLPI bisa dibilang orangorang yang mendaku telah bersih jarinya dari dosa literasi. Atau orangorang yang tak mau dihakimi tulisannya di hadapan majelis hukum literasi KLPI. Kalau begitu, sudah sampai di mana kemaksuman literatif orangorang yang menampik terlibat?

***

Ari membawa tulisan yang lumayan unik. Karya tulisnya mau dia tujukan kepada Rektor terpilih UNM. Agak tepat tulisan ini kalau disebut surat terbuka, walaupun dia memberi judul dengan mengikutkan kata catatan di dalamnya. Seperti biasa, tulisannya penuh nuansa kritik soal pendidikan.

Isu pendidikan adalah tema yang konsisten dibetot Ari. Di tulisannya kali ini dia banyak menyampir mulai dari tukang sapu kampus sampai penyelenggaraan pendidikan di UNM. Walaupun itu ditulisnya di bawah bayangbayang sebagai seorang mahasiswa UNM, tulisannya itu sekaligus bisa jadi cermin buat keadaan kampuskampus lain saat ini. Artinya esai Ari itu bergerak dari subjetivitasnya sebagai mahasiswa UNM menjadi refleksi atas keadaan objektif kampuskampus masa kiwari.

Ari bilang tulisannya ini bakal ia lombakan. Profesi, UKM Pers UNM memang saya dengar sedang membuat lomba membikin surat buat rektor barunya. Walaupun niatannya dimulai dengan pragmatisme literatif, tulisannya itu memang berangkat dari keresahannya yang hidup total di dalam lingkungan kampus.

Tulisan Ari memang mirip surat, maka pasca ia membacanya ada saran kalau lebih tepat judul tulisannya diubah jadi “Surat Terbuka Buat Rektor.” Pertimbangan ini diambil untuk mengikuti trend esai yang berkembang saat ini.Apalagi Muhiddin M. Dahlan bilang dalam bukunya Inilah Esai, esai itu seperti surat. Karena itulah tulisan yang memang mirip surat itu diberi judul eksplisit saja: Surat Terbuka Buat Rektor.

Tak tahu apakah judul karya literatifnya sudah dibuat judul baru. Soalnya Ari bilang bakal dia kirim malam harinya, batas waktu pengiriman kalau mau ikut lomba. Mudahmudahan tulisannya dapat satu posisi di situ. Ini sebagai tanda bahwa KLPI punya dampak serius dengan karyakarya yang teruji di mata publik.

***

Saya datang bersamaan hujan yang pecah pasca mendung menggelantung. Kala, buletin yang sedari Sabtu kemarin dikerjakan sudah diambil alih Hajir untuk digandakan. Makanya, saya berani menembus pecahan hujan. Tak ada Kala yang dirisaukan karena basah hujan.

Sekira lima menit menembus tirai hujan bukan soal buat KLPI. Keyakinan ini sama di mata kawankawan, akhir pekan adalah hari khusus buat kelas menulis PI.

Setiba di lokasi sudah ada beberapa yang lebih awal datang. Sulhan Yusuf, pimpinan Paradigma Institute dengan kaos oblong putih khasnya duduk diapit Asran Salam dan Muhajir tepat di sampingnya. Nampaknya mereka sedang mengobrolkan sesuatu. Saya yang baru saja tiba hanya duduk di atas jok motor mengeringkan baju yang kadung basah.

Nampaknya di hari yang sama sudah digelar sebelumnya Kelas Parenting. Itulah sebabnya ada Muchniart datang bersama dua orang lainnya, Nasrah dan Retno Sari. Mereka sibuk membolak balik buku dari pajangan yang ada di rakrak panjang TB Paradigma. Sedang di belakang mereka, Muchniart sedang mengobrolkan sesuatu dengan Mauliah Mulkin, orang yang menginisiasikan kelas parenting selama ini.

Tak lama berselang entah siapa yang menggiring kawankawan masuk di ruangan belakang tempat kelas sering dilaksanakan. Nampaknya, di dalam sudah ada Hajrah yang duduk memegang Kala. Raut mukanya agak lesu. Ternyata dia masih sakit dan baru saja datang dari Bulukumba. Tidak seperti biasa, Hajrah yang kerap bikin forum jadi ramai kali ini hanya lebih banyak diam. Barangkali akibat sakit yang dideritanya. Dia lebih banyak memerhatikan yang lain bercerita.

Seperti janjinya minggu lalu, Hajrah datang dengan membawa langsat. Sekantung plastik penuh dibawanya beserta beberapa biji rambutan. Saya yang baru saja datang tak banyak pikir langsung mengambil beberapa biji. Satu biji, dua biji, tiga biji dan seterusnya…

Tak lama saya memanggil Andang dan Sakman masuk ke dalam kelas. Dua orang ini datang berboncengan bersama saya dari awal. Andang, yang beberapa hari lalu datang dari Majene akan saya antar pulang kembali ke tempat penyewaan mobil sebelum jam tujuh nanti.

Berselang beberapa menit forum bersiap dimulai. Jam sudah hampir pukul empat sore. Hajir didaulat jadi pimpinan forum. Dia mengucap beberapa kata, tanda kelas di mulai. Sementara di luar kelas dikepung hujan. Tik tik tik, begitu bunyinya.