Kelas
dimulai dengan suara abaaba Hajir, itu tanda forum dibuka. Setelah mengucap
beberapa kata, orang pertama yang membacakan tulisannya adalah Asran Salam.
“Cinta Seorang Kierkegaard,” begitu Asran Salam mengucapkan judul tulisannya.
Agak lama ia mengeja tulisannya. Sekira hampir sepuluh menit. Setelah itu, satu
persatu mata mempelototi naskah yang dibagikannya. Hal ini adalah kebiasaan
yang sudah jadi mekanisme menggeledah tulisan. Siapa pun punya tulisan akan
tetap dilucuti satusatu , entah itu soal EYD, kelogisan gagasan, keterhubungan
kalimat, atau bahkan sampai soal gaya tulisan.
Tulisan
Asran Salam kalau dibaca adalah esai yang menyorot sisi manusiawi filsuf
eksistensialis asal Denmark: cinta. Di moment kritikal ini, ada pertanyaan yang
sempat diajukan Sulhan Yusuf. Kalau tidak silap ingat adalah apakah Kierkegaard
juga mengadaptasikan pandangan filsafat eksistensialisnya di saat lagi
kasmaran.
Dalam
tulisan Asran Salam, kasmaran filsuf ini melibatkan seorang perempuan bernama
Regina. Asran Salam bilang, cinta adalah pengalaman eksistensial yang
melibatkan keyakinan agar manusia dapat bertindak dan bersikap. Cinta adalah
pengalaman yang ditulisnya harus menanggung konsekuensi: penantian. Sampai di
sini sempat Asran Salam memapar pemikirannya lingkait filsafat eksistensialisme
terutama apakah Kierkegaard mengimplementasikan filsafatnya dalam kehidupan
asmaranya.
Di
akhir tulisannya, Soren Abaye Kierkegaard terpaksa harus meninggalkan Regina
hanya karena problem belas kasih. Ternyata, dari yang ditulis Asran Salam,
cinta Kierkegaard disambut hanya dengan perlibatan belas kasih dari Regina.
Cinta yang demikian bukan cinta yang sejati. Asran tulis, jalan cinta
Kierkegaard adalah pilihan yang dibentang atas dasar pertimbangan filosofis.
Pilihan yang disebutnya sudah jadi pilihan hidupnya.
Karena
tulisan ini, juga sempat ada perbedaan konseptual soal apa yang dinyatakan
cinta sebagai pengalaman eksistensial. Cinta bagaimanakah yang disebut
pengalaman eksistensial? Kalau pengalaman cinta Kierkegaard dan Regina adalah
fenomena eksistensial, lantas apa yang membuat dia begitu khas dari pengalaman
yang semua orang rasakan? Bukankah cinta adala gejala universal? Kalau begitu,
cinta khas yang bagaimanakah jika mau disebut pengalaman eksistensial? Cinta
yang khas dialami seorang diri, bukan cinta yang dipersepsi oleh “kita” atau
banyak orang?
***
Sekarang hari Jumat, belum ada email yang masuk. Maklum, tiap hari Jumat saya jadi orang pertama yang akan membaca tulisannya. Akibatnya, jika Jumat jelang saya bakal menunggu tulisannya via surat elektronik. Kebiasaan ini sudah dimulai dari beberapa pekan silam. Biasanya, jika matahari sudah meninggi di waktu itu pula tulisannya masuk. Kalau sudah begitu saya bakal lega.
Tapi
kala sore tulisannya pun belum jua datang. Saya pikir barangkali lepas magrib
tulisannya bakal masuk. Barangkali beliau masih kurang enak badan hingga
memperlambat mengirim tulisan. Info ini saya dapat kala berkunjung di mukimnya
di sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan hari Kamis kemarin.
Dari
anaknya yang paling gede, saya dapat kabar kalau beliau kecapean paska dari
Bantaeng, kampung halamannya yang sering dikunjunginya akhirakhir ini. “Sakitki
Abi kodong, kecapeanki dari Bantaeng,” begitu ucap Aqila kala saya datang
bertandang.
Aqila
hanya sendiri bersetia dengan tumpukan bukubuku yang dijagainya. Di waktu saya
datang nampak wajahnya kelelahan, atau mungkin boring. Tak lama berselang saya
menerka wajahnya yang agak kusut itu kalau tidak salah akibat memikirkan tugas
akhirnya. Saya tahu itu selang setelah beberapa lama bercerita, Qila telah
mengubah perencanaan penulisan penelitiannya. Dulu dia bilang bakal meneliti
kecenderungan aktifitas kawula mudamudi yang disebutnya masuk kategori gerakan
sosial baru. Kiwari, indikator yang dibilangnya itu adalah tipe aktifivis
kampus yang senang mengikuti kegiatankegiatan programatik yang tak mengikat
secara total. Aktifitas ini hanya diikat oleh kontrak secara temporal. Contoh
kongkritnya dibilangnya adalah anakanak muda yang suka jadi volunteer.
Sekarang
malah dia berencana bakal mengorek gerakan literasi di kampung ayahnya,
Bantaeng. Penelitiannya diarahkan kepada soal –kalau tidak salah mengapa ada
perbedaan minat baca anakanak muda di kota dan desa. Apa kondisi yang
menyituasikannya demikian? Apa asbabnya, dan bagaimana hubungannya dengan
Boetta Ilmu, komunitas yang digerakkan Ayahnya selama ini? Apakah ada
signifikansinya atau tidak?
Pertanyaan
pertama saat saya mendengarnya: “mengapa di Bantaeng?” Qila hanya bilang,
santai, “ada Abiku bisa jadi informannya nanti.” Mendengarnya saya hanya
tertawa.
Saya
juga mendengar bahwa ia sedang mengumpukan bahanbahan yang berkaitan dengan
perencanaan penelitiaanya. Persiapan ini sering dibilang dengan istilah reading
course. Singkatnya, Qila harus banyakbanyak membaca seluruh literatur yang bisa
ditemukannya yang berbicara soal seluk beluk dunia literasi.
Selang
limabelas menit saya bergegas pulang, membelah punggung aspal panas yang
diterpa kuning matahari. Berpacu dengan kuda besi yang meraungraung. Kota
adalah kota, terutama di jalan raya waktu adalah waktu. Yang cepat pastilah
yang ideal.
Namun, jelang malam tulisan yang ditunggu tak jua datang. Akhirnya, kesimpulan diambil. Masih ada hari Sabtu besok. Yakin dan percaya tulisannya bakal datang. Seperti biasanya, dia bakal menelpon atau sms bertukar kabar kalau tulisannya baru saja dikirim.
Namun, jelang malam tulisan yang ditunggu tak jua datang. Akhirnya, kesimpulan diambil. Masih ada hari Sabtu besok. Yakin dan percaya tulisannya bakal datang. Seperti biasanya, dia bakal menelpon atau sms bertukar kabar kalau tulisannya baru saja dikirim.
***
Menulis di kelas literasi sudah jadi program paten. Jadi bagi kawankawan yang
mau terlibat maka harus mengikuti rumus ini. Setiap pekan harus membawa
tulisan. Dan, di dalam KLPI setiap tulisan langsung ditakwilkan sebagai karya
yang lahir dari seorang tersangka.
Karena
ditulis oleh seorang tersangka, tulisannya akhirnya jadi sorotan. Logikanya,
setiap omongan tersangka patut dicurigai sebagai cara untuk menutupi
kesalahannya. Apalagi kalau seorang tersangka menulis, maka tulisannya pasti
adalah pledoi yang dipakainya untuk menutupi dosadosa yang telah diperbuatnya.
Karena itulah, di KLPI setiap tulisan mengandung dosa, tak ada tulisan yang
bersih dari kesalahan.
Untuk
sampai kepada tulisan yang licin, maka di kelas selama ini menggunakan dua
tahapan introgatif. Pertama, karya yang dibawa bakal dibacakan (sekaligus
dinarasikan), dan kedua adalah momen ktitikal dari setiap mata yang mempelototi
tulisan yang disangkakan bersih oleh penulisnya.
Jadi
kalau ada kawankawan yang mau ikut KLPI, maka salah berkeyakinan bahwa
orangorang yang terlibat di dalamnya adalah orangorang bersih secara literatif.
Justru, yang berkecimpung di dalamnya adalah tersangkatersangka yang ikut di
mahkamah literasi dalam rangka membersihkan jarijarinya dari kesalahan di saat
menulis. Dengan kata lain, orangorang di KLPI adalah orangorang yang banyak
dosa literasinya, mulai dari EYD sampai pola gagasannya.
Kalau
sudah begitu, penolakan kawankawan yang kadung menampik ikut terlibat di KLPI
bisa dibilang orangorang yang mendaku telah bersih jarinya dari dosa literasi.
Atau orangorang yang tak mau dihakimi tulisannya di hadapan majelis hukum
literasi KLPI. Kalau begitu, sudah sampai di mana kemaksuman literatif
orangorang yang menampik terlibat?
***
Ari
membawa tulisan yang lumayan unik. Karya tulisnya mau dia tujukan kepada Rektor
terpilih UNM. Agak tepat tulisan ini kalau disebut surat terbuka, walaupun dia
memberi judul dengan mengikutkan kata catatan di dalamnya. Seperti biasa,
tulisannya penuh nuansa kritik soal pendidikan.
Isu
pendidikan adalah tema yang konsisten dibetot Ari. Di tulisannya kali ini dia
banyak menyampir mulai dari tukang sapu kampus sampai penyelenggaraan
pendidikan di UNM. Walaupun itu ditulisnya di bawah bayangbayang sebagai
seorang mahasiswa UNM, tulisannya itu sekaligus bisa jadi cermin buat keadaan
kampuskampus lain saat ini. Artinya esai Ari itu bergerak dari subjetivitasnya
sebagai mahasiswa UNM menjadi refleksi atas keadaan objektif kampuskampus masa
kiwari.
Ari
bilang tulisannya ini bakal ia lombakan. Profesi, UKM Pers UNM memang saya
dengar sedang membuat lomba membikin surat buat rektor barunya. Walaupun
niatannya dimulai dengan pragmatisme literatif, tulisannya itu memang berangkat
dari keresahannya yang hidup total di dalam lingkungan kampus.
Tulisan
Ari memang mirip surat, maka pasca ia membacanya ada saran kalau lebih tepat
judul tulisannya diubah jadi “Surat Terbuka Buat Rektor.” Pertimbangan ini
diambil untuk mengikuti trend esai yang berkembang saat ini.Apalagi Muhiddin M.
Dahlan bilang dalam bukunya Inilah Esai, esai itu seperti surat. Karena itulah
tulisan yang memang mirip surat itu diberi judul eksplisit saja: Surat Terbuka
Buat Rektor.
Tak
tahu apakah judul karya literatifnya sudah dibuat judul baru. Soalnya Ari
bilang bakal dia kirim malam harinya, batas waktu pengiriman kalau mau ikut
lomba. Mudahmudahan tulisannya dapat satu posisi di situ. Ini sebagai tanda
bahwa KLPI punya dampak serius dengan karyakarya yang teruji di mata publik.
***
Saya
datang bersamaan hujan yang pecah pasca mendung menggelantung. Kala, buletin
yang sedari Sabtu kemarin dikerjakan sudah diambil alih Hajir untuk digandakan.
Makanya, saya berani menembus pecahan hujan. Tak ada Kala yang dirisaukan
karena basah hujan.
Sekira
lima menit menembus tirai hujan bukan soal buat KLPI. Keyakinan ini sama di
mata kawankawan, akhir pekan adalah hari khusus buat kelas menulis PI.
Setiba
di lokasi sudah ada beberapa yang lebih awal datang. Sulhan Yusuf, pimpinan
Paradigma Institute dengan kaos oblong putih khasnya duduk diapit Asran Salam
dan Muhajir tepat di sampingnya. Nampaknya mereka sedang mengobrolkan sesuatu.
Saya yang baru saja tiba hanya duduk di atas jok motor mengeringkan baju yang
kadung basah.
Nampaknya
di hari yang sama sudah digelar sebelumnya Kelas Parenting. Itulah sebabnya ada
Muchniart datang bersama dua orang lainnya, Nasrah dan Retno Sari. Mereka sibuk
membolak balik buku dari pajangan yang ada di rakrak panjang TB Paradigma.
Sedang di belakang mereka, Muchniart sedang mengobrolkan sesuatu dengan Mauliah
Mulkin, orang yang menginisiasikan kelas parenting selama ini.
Tak
lama berselang entah siapa yang menggiring kawankawan masuk di ruangan belakang
tempat kelas sering dilaksanakan. Nampaknya, di dalam sudah ada Hajrah yang
duduk memegang Kala. Raut mukanya agak lesu. Ternyata dia masih sakit dan baru
saja datang dari Bulukumba. Tidak seperti biasa, Hajrah yang kerap bikin forum
jadi ramai kali ini hanya lebih banyak diam. Barangkali akibat sakit yang
dideritanya. Dia lebih banyak memerhatikan yang lain bercerita.
Seperti
janjinya minggu lalu, Hajrah datang dengan membawa langsat. Sekantung plastik
penuh dibawanya beserta beberapa biji rambutan. Saya yang baru saja datang tak
banyak pikir langsung mengambil beberapa biji. Satu biji, dua biji, tiga biji
dan seterusnya…
Tak
lama saya memanggil Andang dan Sakman masuk ke dalam kelas. Dua orang ini
datang berboncengan bersama saya dari awal. Andang, yang beberapa hari lalu
datang dari Majene akan saya antar pulang kembali ke tempat penyewaan mobil
sebelum jam tujuh nanti.
Berselang
beberapa menit forum bersiap dimulai. Jam sudah hampir pukul empat sore. Hajir
didaulat jadi pimpinan forum. Dia mengucap beberapa kata, tanda kelas di mulai.
Sementara di luar kelas dikepung hujan. Tik tik tik, begitu bunyinya.