Sejarah dunia, bila meminjam analisis Marxian adalah
persitegangan tiada henti. Dunia adalah medan pertarungan dari kepentingan atas
dasar kekuasaan. Melalui mekanisme yang antagonistik, dunia banyak disuguhi
hororisme, ketakutan, penghancuran, perang, perbudakan, genosida, serta
penghisapan.
Awal sejarah, tindak penghancuran seperti juga diakui dalam kitab suci, sejatinya sudah dimulai oleh nenek moyang manusia beberapa milenium sebelumnya. Melalui kisah Qabil dan Habil, agama hendak mengingatkan sebenarnya kekerasan dan penghancuran merupakan tindak manusia yang inheren dan paling purba dalam diri manusia. Dalam abad modern, ingatan umat manusia tertuju pada pembersihan ras oleh Nazi atas dasar pemurnian etnis, perang yang dialami rakyat Bosnia, pendudukan etnis Yahudi di tanah Palestina serta menguatnya tindakan terorisme internasional akhir-akhir ini.
Nampaknya tatanan dunia
belakangan ini tengah diuji. Aksi-aksi kekerasan yang kerap menelan korban
banyak, mau tak mau menyimpan duka mendalam bagi korban pasca peristiwa. Baik
global maupun nasional, kekerasan sudah menjadi peristiwa integral dalam
kehidupan manusia. Betapa mudahnya dunia menyuguhkan aksi-aksi brutal yang
begitu transparan ditengah-tengah kita, seakan kekerasan adalah hukum natural
yang sedang memperbaiki dirinya. Ataukah boleh jadi, kekerasan sebenarnya
adalah hasil kreasi manusia yang mengambil peran untuk meneguhkan eksitensi
kekuasaannya. Ini berarti kekerasan-entah peperangan, pembunuhan, kemiskinan
struktural sampai manipulasi tindakan-adalah sistem yang tidak lahir dengan
alamiah dengan mengacu pada bentuk-bentuk yang terpola berdasarkan tingkatan
dan kedalamannya.
Menanggapi itu, dalam ulasan ini kami berusaha untuk
menyoroti beberapa kasus-kasus semisal kekerasan yang terintitusionalkan
melalui kepentingan politikal dan ekonomikal terhadap pengidap hemofilia dan
AIDS di kawasan Amerika Utara, dampak lokal dari kepenguasaan totaliter
pemerintahan Mao Zhe Dong terhadap masyarakat Cina, kekerasan struktural pada
tatanan kelas menengah masyarakat Amerika dan apropriasi kekerasan kultural
dalam image media. Melalui pembacaan demikian, sekiranya akan memberikan
gambaran terang melalui taxonomi kekerasan yang inheren dalam wajah
sehari-hari. Dengan cara demikian, setidaknya dampak kekerasan yang muncul dari
beragam bentuk, dengan implikatif mampu dilihat seberapa jauh dan besar
kekerasan terbentuk pada tatanan individual maupun kolektif di dalam tubuh
masyarakat.
Sejauh ini, sebagai kerangka pengertian, studi kami
menyangkut kekerasan tidak keluar dari pemahaman yang melibatkan bentuk-bentuk
hubungan antara negara dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ini berarti dari kasus-kasus yang kami eksplore, masih dalam rangka
mengikuti kerangka pengertian yang dimaksud. Namun bukan berarti melalui
kasus-kasus yang ada, secara monolog hanya memberikan pengertian yang seragam,
tetapi juga turut mengembangkan pengertian yang lebih purnaragam.
Kasus pertama. Varietas
Borjuis. Kekerasan struktural dalam kelas menengah masyarakat Amerika
Utara. Jane Huffberg seorang perempuan pekerja dari
Amerika Utara yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan bedah anatomi
masyarakat Amerika Utara, keadaan sosial ekonomi lebih banyak mengalami keadaan
alienatif dari sistem ekonomi kapitalisme. Masyarakat yang tumbuh dari
mekanisme ekonomi yang kapitalistik turut mengkofigurasi kelompok masyarakat
berdasarkan kepemilikan ekonomi. Dengan konteks yang demikian akses-akses
terhadap hak-hak publik hanya dapat dimanfaatkan oleh golongan masyarakat atas.
Sementara minimnya akses yang dimiliki oleh kalangan marginal, justru
menciptakan golongan yang berkubang pada kemiskinan yang akut.
Berdasarkan pendekatan teologi pembebasan, kekerasan
sehari-sehari dalam tingkatan tertentu justru analog dan inklud dalam tatanan
sosial masyarakat. Gambaran demikian diwakili dalam kasus Jane yang mengalami
tekanan psikis dan fisik dari keluarganya yang hidup di dalam mata rantai
kemiskinan. Dampak yang dialami Jane sebenarnya adalah konstruksi realitas sosial
yang timpang dari struktur kemasyarakatan kapitalistik. Dari pengamatan yang
diamati, tatanan yang timpang demikian mengharuskan Jane mengalami pengalaman
waktu yang berlipat. Ia harus bekerja siang dan malam untuk mencari nafkah,
terutama menutupi kekuarangan dalam keluarganya. Dalam pengakuannya ia
bertindak juga seperti bapak; “saya seperti kuda” katanya.
“I don’t show my anger. I let people get angry at me. But
really, you know, I think I’m angry all the time. I’m angry at life, I think.
Really, I’m. it gets to you. It’s too much, really-life is!”
Dari analisis semantik terhadap pernyataan Jane, dapat
disimpulkan bahwa betapa besar tekanan psikis akibat tatanan sosial yang
timpang. Secara sosiomatic, besarnya eksternalitas yang mendistorsi
pemanfaatan waktu yang dialami, mengakibatkan rusaknya tatanan mental dari
keadaan psikodinamik secara kesuluruhan tatanan. Dari kasus Jane Huffberg, dan
juga masyarakat kelas menengah yang hidup dalam kemiskinan, hipotesa yang bisa
kita berikan adalah kemiskinan dan kekerasan adalah dua mata rantai yang
mengikut dan kerap menjadi symptom sosial dalam tatanan sistem
yang kapitalistik.
Kasus kedua. Kekerasan
dalam gambar. Bentuk kedua dari kekerasan dalam
kehidupan sehari-sehari adalah kekerasan dalam gambar. Kasus ini berangkat dari
publikasi Joan Kleinman yang mengeksplor gambar-gambar kekerasan dalam surat
kabar yang apropriatif mempengaruhi mental order dan
sosiokultural sebagai salah satu causal dalam mencipta bentuk kekerasan- moral,
keindahan dan sikap.
Kasus yang ada mengambil sampel dari koran New York Times
bertanggal 18 Juli 1995. Dalam edaran bertanggal 18 juli itu, terpampang gambar
yang mengandung isu global pembersihan etnis masyarakat Yahudi yang diwakili
dari icon tentara, perang sipil masyarakat Bosnia; seorang perempuan separuh
baya dengan anak muda yang tertangkap kamera saat masa perang berlangsung.dan
seruan International Rescue Committee (IRC) yang sedang menggalang permohonan
dana.
Apa yang tertangkap dari kamera jurnalis NYT, mengandung
isu yang problematis. Dengan jeli gambar yang ada sebenarnya adalah suara yang
bungkam oleh kekuasaan yang melampaui wewenang sehari-hari. Pada kasus perang
Bosnia, di sana merupakan impac dari konstalasi politik
merebut kawasan jajahan. Betapa besar pengaruh traumatik dari konflik yang
berkepanjangan. Dari ilustrasi gambar yang ada, kekerasan akibat konflik
berkepanjangan juga dapat ditangkap sebagai kekerasan sistematis untuk
mengontrol keberlangsungan hidup suatu kawasan.
Sementara dalam icon tentara Nazi, konteks penangkapan
kita tidak akan jauh dari peristiwa holocaust yang dialami
masyarakat Yahudi. Dari keterangan gambar yang diterangkan pada gambar tentara
Nazi, mendeskripsikan perhatian kita menyangkut peristiwa pembersihan etnis
yang pernah terjadi di awal abad dua puluh.
Pada kasus ini, yang menarik dari dua gambar beserta gambar seorang perempuan separuh baya dalam satu halaman koran, berdasarkan penjelasan Klienman adalah pembentukan makna umum untuk publik berkenaan dengan interes kemanusiaan. Walaupun dari peristiwa konflik tak memiliki hubungan sama sekali, karena tak memiliki background sejarah yang sama, tetapi dari cara penyajian gambar yang sedemikian rupa, dapat memberikan kejelasan mengenai kedudukan moral yang sama dari dua peristiwa yang berbeda. Atau dengan kata lain, melalui logika tertentu pemahaman yang tumbuh dari model gambar yang demikian dapat membentuk cara pikir yang analog; horor masyarakat Bosnia adalah horor holocaust.
Pada kasus ini, yang menarik dari dua gambar beserta gambar seorang perempuan separuh baya dalam satu halaman koran, berdasarkan penjelasan Klienman adalah pembentukan makna umum untuk publik berkenaan dengan interes kemanusiaan. Walaupun dari peristiwa konflik tak memiliki hubungan sama sekali, karena tak memiliki background sejarah yang sama, tetapi dari cara penyajian gambar yang sedemikian rupa, dapat memberikan kejelasan mengenai kedudukan moral yang sama dari dua peristiwa yang berbeda. Atau dengan kata lain, melalui logika tertentu pemahaman yang tumbuh dari model gambar yang demikian dapat membentuk cara pikir yang analog; horor masyarakat Bosnia adalah horor holocaust.
Selain itu juga merupakan bagian yang menarik adalah di
saat koran merekam gambar kekerasan untuk memodifikasi rasa kemanusiaan pembaca
lewat mekanisme hiperealitas,IRC sebagai lembaga bantuan
kemanusiaan yang didirikan Albert Einstein, tampil sebagai mediator dalam hal
menjadi penyalur bantuan kemanusiaan. Melalui mekanisme membangun rasa
kemanusiaan yang diapropriasi, tayangan gambar dimaksudkan untuk dikonsumsi dan
direkayasa untuk masuk dalam mentality system pembaca.
Dalam kasus ini apa yang ditampilkan oleh media dapat
pula dikatakan kekerasan sebab penggalangan rasa kemanusiaan melalui citra
kekerasan tak selamanya mewakili kenyataan yang sebenarnya. Artinya sejauh
terjadi distorsi pemberitan menyangkut kenyataan yang sebenarnya, itu juga merupakan
maksud lain dari kekerasan.
Kasus ketiga. Ketakutan
dan Kebencian. Kekerasan dalam negara totaliter. Dari
tahun 1949 hingga sekarang, Cina diatur oleh Partai Komunis Cina (CCP). Kasus
ketiga ini akan memberikan perhatian pada masa kepemimpinan Mao dengan model
pemerintahannya yang totaliter.
Partai Komunis Cina adalah partai yang memiliki wewenang
besar dalam menentukan orientasi kenegaraan berdasarkan garis politik yang
dianut. Partai ini memiliki cara-cara kepemimpinan yang sentralistik untuk
mengatur keberlangsungan 1,2 miliar masyarakatnya. Dengan cara memobilisasi
massa petani, agenda pembebasan lahan pertanian menjadi agenda besar untuk
mensejahterakan masyarakatnya. Namun sisi lain yang ditimbulkan dari model
pemerintahan Mao adalah pemerintahan yang tidak menghendaki kebebasan pendapat
untuk bersuara. Seluruhnya adalah hasil intrepetasi keinginan partai. Juga pada
waktu-waktu tertentu teror menjadi iklim di dalam masyarakat untuk membungkam
pendapat-pendapat berbeda dari partai. Dengan model kekuasaan totaliter,
masyarakat hidup di bawah tekanan pemerintahan dengan suara yang dibungkam.
Pemerintahan Mao juga menciptakan sentimen-sentimen
ideologi untuk mengklasifikasi golongan pengikut dengan pengikut yang memiliki
perbedaan paham. Perbedaan golongan yang sering kali muncul justru diberlakukan
berdasarkan sikap arogan dengan cara politik alienasi.
Dari tahun 1979 sampai sekarang, Klienman melakukan
pembacaan dari penelitian yang dilakukannya, ia menggambarkan dari catatannya
berkenaan dengan kekerasaan sehari-hari dalam pemerintahan Mao yang menimbulkan
trauma mendalam akibat sistem politik totalitarian. Penelitiannya juga
didasarkan pada pengakuan temannya selama 19 tahun.
Pasca revolusi komunisme Mao, moral Cina ditata mengikuti
pemahaman yang dikandung dalam komunisme. Hingga sekarang sistem moral yang
diacu dari nilai-nilai yang diaplikasikan dari pemerintahan masa lalu masih
tercermin dari sikap masyarakat Cina. Ketakutan dan kebencian masih mengendap
di dalam struktur alam bawah sadar masyarakat Cina. Semisal saat masa kini
selalu ditafsirkan berdasarkan pijakan moral masa lalu yang melihat egalitarianism sebagai
moral bersama dan kekayaan adalah musuh bersama untuk dihilangkan.
Dari sikap demikian, tergambar dari pernyataan-pernyataan
membenci kelas ningrat atau borjuis yang dinilai tidak adil. Kebencian ini
sebenarnya adalah olah rasa pemerintah Mao terhadap hypper class dalam
hal menjaga keberlangsungan pemerintahan komunismenya. Terhadap gambaran ini,
dapat dimengerti bahwa ketakutan dan kebencian adalah hal yang dapat diolah
mengingat itu sebagai tindak manipulatif terhadap asasi manusia.
Dari sisi yang lain, dampak traumatis maupun kebencian
juga berlaku terhadap masyarakat yang tak menginginkan pemerintahan yang
totaliter. Masa lalu Cina dengan gaya pemerintahan tertutup adalah momok
berbahaya bagi keberlangsungan keanekaragaman kehidupan sosial. Totalitarian
dengan kontrol yang berlebihan sama halnya menempatkan kesadaran manusia
sebagai zero line. Motivasi kehidupan dengan bentuk negara
yang seperti itu, seperti dibahasakan teman Klienman menjadi orang yang bisu
dan bodoh. Perbedaan pendapat ditiadakan. Hak bersuara menjadi larangan.
Sama halnya seperti negeri totaliter manapun, kekerasan
yang disalurkan dari ketakutan-ketakutan massal adalah bentuk lain dari cara
kekerasan masuk dalam dasar hidup masyarakat. Seperti kasus Cina, masa-masa
50an adalah masa kekerasan yang dibalut oleh sistem pemerintahan yang massif
menebar ketakutan secara ideologis.
Kasus keempat. Kesaksian
penderita AIDS di Amerika Serikat yang mengalami kekerasan sosial yang ekstrim. Dalam chapter yang
diberikan, berdasarkan kesaksian penderita hemofilia dan AIDS, kekerasan bisa
mewujud di dalam sistem komunikasi yang timpang. Di jelaskan di sana,
bahwasannya.selama beberapa lama, penderita hemofilia dan AIDS tidak diberikan
informasi yang cukup menyangkut produk-produk kesehatan dalam hal tranfusi
darah. Akibatnya dari pengalaman bertahun-tahun penderita AIDS dan Hemofilia
bertambah dan sulit dibendung penyebarannya. Sementara pemerintah yang memiliki
wewenang justru abai terhadap keadaan yang dialami oleh para penderita.
Dari pengakuan saksi yang diterima, juga ditemukan
kecenderungan kesengajaan dari perusahan kesehatan untuk membiarkan keadaan
dari penderita atas motif ekonomi. Malangnya lagi dari kesaksian penderita,
ditemukan indikasi bahwa pemerintah turut bekerja sama dengan perusahan
obat-obatan untuk meminimalisir dampak kerugian yang diakibatkan permasalahan
yang terjadi.
Dari peristiwa yang diceritakan tidak seperti pengalaman
mereka yang telah mengalami kekerasan etnis, perang dan kekejaman. Dalam rangka
memperingati peristiwa tersebut mereka mengadakan aksi sosial, untuk
menuntut kompensasi atas mereka yang telah menjadi korban dan untuk melindungi
orang lain di masa depan.
Hal ini adalah kenyataan dan kesaksian yang harus
dipahami dalam konteks AIDS di Amerika serikat, dimana para penderita hemofilia
dan AIDS belum benar-benar mendapat perhatian yang layak. Apa yang dialami oleh
penderita ini akibat kekerasan sosial yang ekstrim dan tersistematis yang
dilakukan oleh pihak dalam tatanan ekonomi dan politik di Amerika. Hukum
dan moral menjadi tumbal atas kekuasaan politik. Penderita hemofilia dan
AIDS menjadi orang-orang yang tidak dilindungi oleh pihak yang berkuasa.
Orientasi diskusi. Maka
dari itu, dari hubungan-hubungan yang dianalisis dalam kasus-kasus di atas, ada
beberapa poin yang menjadi bahan dasar untuk menempatkan makna kekerasan pada
diskusi kita bersama. Beberapa yakni;
Pertama. Kekerasan dalam kehidupan sehari-hari
tanpa kita sadari ia hadir seperti dalam keadaaan yang normal-normal saja. Baik
dalam bentuk aturan, hasil dari perubahan interaksi, representasi budaya,
pengalaman sosial dan subjektivitas individu.
Kedua. Pembahasan fenomenologis sebagai bentuk
pengalaman kehidupan sehari-hari, dimana kehadiran kekuasaan juga berorientasi
pada praktek-praktek kekerasan.
Ketiga. Kekerasan menyebabkan bencana mulai
dari hadirnya rasa takut, marah dan kehilangan. Hal ini disebut dengan emosi intrapolitical.
Kekerasan dalam perspektif ini faktor dari proses budaya yang bekerja melalui
penonjolan gambar, struktur dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat. Kekerasan menjadi rutinisasi,
legitimasi, esensialisme, normalisasi dan penyederhanaan di dunia sosial.
Kelima. Kekerasan dalam bentuk gambar, dalam
kehidupan kelas menengah dan bawah tak luput dari rezim kapitalisme yang
menimbulkan kekacauan, praktek kekerasan dalam kelembagaan sosial, seperti yang
dialami oleh komunitas hemofilia dan AIDS setiap waktu.
Keenam. Kekerasan dalam struktur politik yang
dilakukan demi ekonomi setempat, kekerasan sosial dan budaya.
Ketujuh. Kekerasan juga terjadi akibat
ketidakstabilan kondisi manusia dalam dunia moral setempat.
Dari catatan-catatan yang diangkat, kekerasan memiliki
banyak ragam dan bentuk. Mengingat bahwa dalam kehidupan sehari-hari,
potensialitas kekerasan bisa muncul dari mana saja. Kemiskinan, teror, stress
massal, pembunuhan, penculikan hingga peperangan merupakan derivasi langsung
berkat ketimpangan politik maupun ekonomi. Penyelenggaraan pemerintahan oleh
negara harus mengingat bahwa kekerasan tidak muncul dari konteks diluar
kekuasaan, melainkan bisa tumbuh dan berkembang di dalam kekuasaan itu sendiri.
Kekerasan semacam ini bisa menjelma menjadi jalinan yang sulit teridentifikasi,
sebab akses publik yang terkadang terhalangi oleh ketiadaan wewenang untuk
mengidentifikasi penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itu beragam bentuk
kekerasan dari beberapa kasus di atas bisa memberikan gambaran yang beragam
untuk meminimalisir proses terjadinya dalam kehidupan sehari-hari.