Alkisah, sekali tempo dalam suatu perjalanan, Nasruddin Khoja bersama anaknya berjalan masuk ke sebuah desa menggunakan seekor keledai. Saat itu, karena sayang anak, Nasruddin Khoja memilih jalan kaki menuntun keledai dari depan, sementara anaknya yang duduk di atas keledai. Melihat itu, tanpa tedeng aling-aling warga desa membully si anak.
”Dasar
anak tak tahu diuntung. Masak ia enak-enakkan di atas keledai, sementara
ayahnya dibiarkan sendiri berjalan kaki!”
Masuk di
desa selanjutnya, karena takut dihardik warga desa, giliran si anak yang
berjalan kaki dan Nasruddin Khoja yang kini duduk di atas pelana keledai.
“Coba
lihat, itu ayah yang egois, kok ia rela membiarkan anaknya berjalan kaki
sedangkan ia santai geboy di atas keledainya!”
Tidak
ingin mengulang dua kejadian sebelumnya, kali ini saat tiba di desa ketiga,
Nasruddin Khoja dan anaknya sama sekali tidak menumpangi keledai dengan memilih
berjalan kaki belaka.
Tidak
menunggu waktu lama, kali ini mereka masih dibully warga sekampung.
“Betapa
bodohnya anak dan bapak itu, punya keledai tapi tidak ditumpangi!” Cela warga
desa sambil menertawakan Nasruddin Khoja beberapa saat pasca mereka tiba.
Ini kisah
masyhur Nasruddin Khoja, figur kocak nan ugahari dalam dunia sufisme, yang
bercerita tentang betapa sulitnya menyenangkan hati semua orang. Apa pun yang
Anda lakukan, pasti akan ada saja pihak yang tidak suka dengan tindakan dan
pilihan Anda.
Berbicara
suka tidak suka, kisah di atas juga menceritakan betapa ”kejamnya” kata orang,
lantaran hanya karena tidak suka dengan apa yang sudah dilakukan, Anda pasti
akan jadi bahan omongan orang. Kisah Nasruddin di atas memberikan suatu
pemahaman betapa seringnya ”kata orang” mampu mengubah pendirian seseorang.
Di dunia
seperti sekarang, ”kata orang” sering membuat diri kita menjadi sulit
bertingkah. Karena ”kata orang” fulan bin fulan bisa menjadi bukan dirinya.
Demi rasa aman, terkadang ”kata orang” lebih dipilih alih-alih memutuskan
berdasarkan pendirian sendiri.
Dari pada
menjadi bahan olok-olokkan, lebih baik mengikuti “kata orang”, seperti
galibnya, ya orang-orang itu. Agar tidak dicela dan dikritik.
Menjadi
seperti ”kata orang” hakikatnya menjadi manusia yang tidak otentik. Dalam hal
ini ”kata orang” sering menjadi lawan ”kata hati” yang menjadi faktor penting
untuk menjalani kehidupan merdeka.
Coba
renungkan kembali kisah Nasruddin Khoja dan anaknya di atas, pasti betapa
gagunya mereka setelah dinilai bermacam-macam oleh orang lain. Ini salah, itu
salah. Betapa tidak bebasnya mereka bertindak akibat ”kata orang”.
Di kisah
itu, Nasruddin bersama anaknya jadi sulit bersikap apa adanya. Karena takut
salah dan jadi bahan omongan banyak orang, mereka terpaksa mengikuti pendapat
banyak orang. Tapi, apa daya, siapa yang mampu menjamin setiap kata orang
berpendapat sama. Akhirnya, alih-alih karena ingin mengikuti kata orang, justru
Nasruddin dan anaknya, malah dibikin pusing juga oleh kata orang. Akibatnya
mereka jadi tidak bebas bertindak. Menjadi tidak merdeka.
Mungkin,
yang paling merdeka di kisah itu adalah keledainya. Naik tidak naik Nasruddin
bersama anaknya, ora urus! Apa pun kata orang, tetap saja ia yang bakal
menerima nasib menjadi hewan tumpangan. Ikhlas.
Kisah di
atas seolah-olah mengafirmasi ungkapan terkenal dari Jean Paul Sartre, filsuf
eksistensialis Prancis yang mengatakan orang lain adalah neraka. Ungkapan ini
bukan berarti anjuran agar kita hidup dengan cara menghindari orang lain,
melainkan betapa seringnya ”kata orang” membelenggu kebebasan manusia.
Di dunia
macam sekarang, relasi antara manusia terkadang hadir dalam keadaan tidak adil.
Hubungan negara dengan warganya, atasan dengan bawahan, si kaya dan si miskin,
antara suami dan istrinya, dlsb., adalah macam-macam relasi yang kerap saling
mendominasi dan didominasi. Satu pihak dengan pihak lain terlibat pembatasan
sehingga yang satu lebih merdeka dari pihak lainnya.
Di saat
bersamaan, relasi satu sama sama juga bisa diracuni prasangka-prasangka
negatif. Dalam hal ini persepsi mengambil peran signifikan di dalam membangun
kepribadian seseorang. Sebelum orang lain terlibat jauh dalam suatu hubungan,
persepsilah yang kali pertama menjembatani perkenalaan di antara keduanya.
Tapi
terkadang, persepsi seseorang atas pihak lain cenderung seporadis, sebab si
penilai bisa semena-mena membangun praanggapan tidak-tidak bagi yang
bersangkutan. Dalam hal ini, pandangan atau tatapan (gaze) menjadi jalan
masuk invasi pikiran atas orang yang dinilai. Di sinilah ”neraka” itu pertama
kali terbentuk. Di antara pertemuan dua orang, terbangun persepsi yang saling
mencurigai dan mengintrogasi demi mendominasi satu sama lain.
Syahdan,
kisah Nasruddin dan anaknya juga pada dasarnya adalah cerita mengenai persepsi.
Karena ingin bertindak sesuai persepsi banyak orang, Nasruddin dan anaknya rela
mengubah sikapnya. Jadi tidak otentik.
Namun
malang, tidak semua persepsi dapat membuat orang hidup nyaman, apalagi merdeka.
Di kisah itu, justru Nasruddin dan anaknya malah keluar masuk persepsi
orang-orang yang membuat mereka jadi sulit sendiri. Persepsi di kisah Nasruddin
dan anaknya, singkatnya, justru bukan menjadi surga kebaikan, malah berubah
menjadi tempat seperti ”neraka”.
===
Telah dimuat di Belopainfo.id