Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali: Kemelut Manusia Modern dalam cerita Obrolan Sederhana


Judul: Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali
Penulis: Puthut EA
Penerbit: Insist Press
Edisi: Maret 2009
Tebal: xii + 160 halaman
ISBN: 978-602-8384-20-9

ADA tiga hal ditemui dari Obrolan Sederhana dalam kumcer Puthut EA, Seekor Bebek Yang Mati di Pinggir Kali. Pertama, esensi manusia sebagai makhluk sosial. Kedua, sebagai makhluk sosial, selalu ada dorongan untuk berinteraksi walau dua orang itu tidak diperantai keakraban

Dan yang ketiga,  obrolan remeh temeh dari dua orang yang tidak saling kenal, dan hanya dipertemukan lantaran tidak sengaja, bisa menjadi pintu masuk kepada sebuah problem yang lebih pelik: permenungan atas centang-perenang kehidupan manusia.

Obrolan Sederhana dimulai dari tokoh Aku yang tak sengaja dipertemukan dengan seseorang akibat hujan. Di cerita itu, si Aku secara kebetulan lewat di depan vila seseorang yang tak dikenal pasca membeli rokok. Tak dinyana ketika si Aku lewat, seseorang di balik pagar mengajaknya masuk berteduh dari lebatnya hujan.

Di beranda rumah tetangga yang mengajaknya masuk itulah berlangsung hampir keseluruhan cerita yang ditulis Puthut. Sampai di sini melalui dialog pembuka yang dipakai, pembaca bisa langsung menangkap suasana ketika mengalami hal yang sama: hujan lebat datang, tanpa payung, dan tibatiba harus berteduh di beranda rumah yang tak kita kenal.

Peristiwa semacam itu sering kali dialami siapapun. Tapi sangat jarang di saat demikian seseorang bisa terlibat pembicaraan yang akrab sekaligus mendalam. Apalagi dalam konteks masyarakat perkotaan yang dikenal sebagai pribadi yang individualis. Namun di Obrolan Sederhana, Puthut justru memperlihatkan karakter tak didugaduga yang dimiliki manusia perkotaan: sikap toleran.

Karakter yang tak disangka ini bukan berarti tak dipunyai oleh masyarakat perkotaan umumnya, namun membayangkan itu sebagai sesuatu yang diharapkan agaknya terkesan berlebihan mengingat cara hidup perkotaan yang sering kali acuh antar sesama.

Hal itulah yang menurut saya ingin ditolak Puthut, dan sekaligus ingin memperlihatkan betapa sering abainya manusia perkotaan, perhatian antara sesama justru bisa datang dari obrolan sederhana di beranda suatu vila di atas bukit. Dan kejadian itu malah terjadi di saat yang tak terdugaduga. Saat hujan lebat.

Sebagaimana kaum lelaki perkotaan, rokok menjadi kunci penghubung dua orang yang semula tak saling kenal. Puthut menggambarkan hal itu sebagai jembatan untuk membuka obrolan di mana pembicaraan selanjutnya sedikitbanyak menyentuh tema-tema yang realatif berat. Melalui rokok, simbol yang kuat penekanan maskulinnya menjadi cara Puthut mendialogkan dua tokoh ceritanya sembari menyeruput kopi yang mengencerkan suasana.

Dari perkenalan masing-masing tokoh, awalnya cerita disuguhkan dengan perbincangan ala kadarnya seperti perbincangan orang biasa, namun setelah perkenalan basa-basi dengan saling memberikan nama palsu, obrolan dua orang asing ini akhirnya menukik ke persoalan pribadi masing-masing.

Yang unik dari obrolan ini sekaligus dalam ceritanya,  adalah keengganan tokohnya  memberikan identitas asli walaupun dimulai dengan sebuah perkenalan. Saya menduga Puthut sengaja memberlakukan ceritanya dengan cara demikian karena ingin menekankan isi obrolan dari dua tokohnya.

Sebab itulah barangkali cerita ini diberi judul obrolan sederhana. Tapi justru pelan-pelan melalui obrolan tokohnya, nantinya pembaca akan dibawa memasuki problem-problem yang dirasakan tokoh-tokohnya.

Sampai di sini cerita akan terasa memasuki satu level pembicaraan yang terbilang serius. Apalagi di saat tokohnya sudah melibatkan arak yang menggantikan kopi sebagai suguhan perbincangan.

Kalau dipilah, ada tiga tema yang secara tidak sadar mengalir begitu saja di antara obrolan dua tokoh ini. Pertama, soal asmara yang dihadapi oleh tokoh kedua sebagai penyedia tumpangan vila. Kedua, adalah soal kebahagiaan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh masingmasing tokoh, terutama tokoh kedua. Dan yang ketiga adalah soal hidup yang dirundung pekerjaan yang tak bermakna apa-apa selain ketidakjujuran.

Tiga hal ini bagi orang kebanyakan, tema perbincangan yang sulit diungkapkan kepada orang yang baru pertama kali bertemu. Kita akan sulit menemukan teman bicara di terminal, misalnya, yang mau bersedia mendengarkan keluh kesah yang dirasakan sembari saat menunggu bus. Toh kalau pun ada, paling tidak pembicaraan hanya pembicaraan yang artifisial.

Tapi, kesan itu malah berbeda dari sikap kedua tokoh ini, terutama tokoh pemilik vila yang disinggahi. Obrolannya menjadi lebih sensistif ketika dia mengajukan pernyataan yang tak lazim dikemukakan kepada orang yang belum dekat. “Aku sedang bimbang, dan aku ingin menyepi.” Sontak penyataannya membuat kaget lawan bicaranya. Tanpa dibalas dia langsung bilang “setahun yang lalu, aku menginap seminggu di vila ini sebelum memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku. Keputusan yang berat saat itu. Dan kini aku berharap, dalam beberapa hari ini, bisa memutuskan, apakah aku akan segera melamar kekasihku atau tidak.”

Bagian dialog inilah perbincangan antara pelaku cerita memasuki tahap perbincangan yang lebih serius. Begitu juga jawaban yang diberikan oleh tokoh kedua ketika menjawab beberapa dialog lanjutan yang bernada pernyataan tentang keharusan meneruskan hubungan yang dijalani tokoh pertama dengan kekasihnya. “Pasangan yang terlalu membuatmu banyak berpikir, apalagi sampai mengasingkan diri, kurasa bukan pasangan yang tepat.” Jawab singkat tokoh kedua.

Kemelut manusia modern

Kita ini mengalami zaman edan
di dalamnya setiap orang kebingungan
orang tak bisa ikut-ikutan ngedan
namun kalau tidak ikut ngedan
orang tidak akan dapat bagian
dan malah akibatnya orang akan mati kelaparan
Ya, Allah; salah adalah salah
berbahagialah mereka yang lupa
tapi lebih berbahagia lagi

mereka yang ingat dan memiliki tilikan yang mendalam1

Abad 21 adalah tonggak modernitas: kecepatan, efektifitas, rasionalitas, birokratisasi, universalisme, logosentrisme, dan kapitalisme; yang mendewasakan manusia dari masa kekanak-kanakannya menjadi titik tolak segala ukuran; estetik, hukum, logis, dan yang kudus. Tidak ada di luar manusia selain ke-aku-annya sebagai fundamen segala sesuatu. Ini adalah salah satu ciri yang disebut Edward Shils, seorang sosiolog A.S sebagai “kehendak-untuk-menjadi-modern.”

Tapi, tidak ada yang tanpa risiko. Justru di belakang panggung pencapaiannya, modernitas banyak memakan korban. Dan korban utamanya sudah tentu adalah manusianya.

Manusia terpapar keterasingan di ceruk-ceruk gedung pencakar langit, di ruang antara keramaian penduduk, di sela-sela etalase gemerlap toko-toko, di hilir mudik kendaraan kekinian sampai nyala-padam lampu-lampu pusat hiburan. Di satu titik semesta itu, jiwa manusia koyak dan jatuh di lubang sumur tanpa dasar.

Kesepian adalah kemelut manusia modern.

Dengan apik nuansa ini yang eksplisit dalam cerpen Obrolan Sederhana. Tanpa diduga perbincangan dua orang ini mengarah ke soal-soal kritis yang menyasar eksistensi kejiwaan. Dialog mereka berdua semakin ke sini bernuansakan pribadi yang dipapar kesepian laiknya manusia modern umumnya.

Kedua tokoh ini bahkan sampai tinggal di vila puncak sampai berminggu-minggu lamanya tanpa ditemani seorang pun. Ini metafora pribadi kota yang ulet mengejar impian dan butuh waktu jedah setelah menemukan palang pintu yang menyegel jiwa mereka.

“”Apakah kamu bahagia akhir-akhir ini…” kataku sambil mencoba tersenyum.

“Ia tertawa sampai terbatuk-batuk. Lalau segera meracik lagi minuman, kami bersulang lagi.”

“untuk kebahagian yang tinggal sesloki””(hal.30)

Penggalan dialog dua tokoh ini sekiranya cukup mengidentifikasi apa problem eksistensial yang mendera mereka berdua. Kebahagian, entitas kualitatif yang nirfisik bukanlah capaian yang ditemukan dari kehidupan mereka sehari-hari. Ibarat buruh pabrik, jiwa mereka teralienasi secara berlapis di balik pekerjaan yang kian mendesak.

Dengan kata lain, pekerjaan manusia modern bukanlah perolehan yang dicapai secara kualitatif. Di kantor-kantor, perusahaan, swalayan, pemerintahan, sekolah, perguruan tinggi, manusia modern nampak maju dengan peran sosial sebagai makhluk ekonomikus. Tapi, tanpa disadari pekerjaan –sesuatu yang bergerak berdasarkan logika efisiensi dan efektifitas–yang mereka lakoni malah membuat lubang di jiwa mereka.

Secara kuantitatif perolehan fisik manusia modern malah menimbun jiwa mereka. Jiwa yang sejatinya memerlukan capaian-capaian kualitatif, malah rusak akibat berat beban dari peradaban materialisme.

Itulah sebabnya, kebahagiaan bagi manusia modern menjadi utopia. Bahkan demi meraihnya cenderung melahirkan distopia.

Tapi, tidak juga dapat dikatakan kedua tokoh ini larut dalam kekalutan jiwa mereka. Justru keberadaan mereka di puncak, dengan mendiami vila, adalah strategi hidup membuat jarak dengan keseharian kota. Dengan kata lain, mereka melakukan kritik internal terhadap jiwa mereka. Merefleksi.

”“kenapa kita tidak seperti banyak orang yang lain? Mencari tempat yang lebih hingar, untuk mengusir rasa seperti ini.”

“karena kita mencoba menghadapinya. Bukan melarikan diri”” (hal.30)

Orang kebanyakan jika menemukan problem kejiwaan, umumnya mencari ruang eksterior untuk mengkompromikan dirinya. Mal dan diskotik adalah dua tempat yang sering disasar untuk menghilangkan kepenatan jiwa. Terkadang obat-obatan terlarang juga dikonsumsi demi menambah efek ekstase dalam rangka menyelesaikan masalahnya.

Namun, kedua tokoh ini mengambil jalan berbeda. Ibarat pengertian Das Sein Heidegger, mereka membedakan diri dengan Das Man, orang kebanyakan yang tidak mengupayakan suatu jalan masuk ke dalam ruang interior dirinya; jiwanya.

Lewat cara mengambil vila, kedua tokoh ini mengambil jarak memasuki dunia kritis berupa refleksi terhadap problem yang sedang mereka hadapi. Karena kita mencoba menghadapinya. Bukan melarikan diri, kata tokoh kedua di atas.

““kamu mungkin benar. Pagi tadi, aku melihat seorang petani mencangkul sawah di depan sana. Mungkin pemilik vila ini sengaja mendirikan bangunan ini agar kita, para penghuninya, menonton petani itu sebagai bentuk eksotisme. Biasanya, aku melihatnya seperti itu. Tetapi pagi tadi… Aku melihat sebuah spiritualitas yang dijejakkan ke bumi. Dalam satu bulir padi yang ia tanam kelak, akan menghasilkan beratus-ratus bulir. Dan mungkin ini klise, padi yang ia tanam, padi pulalah yang akan ia panen.””(hal.32)

Setiap orang bisa saja menemukan insight yang menyentuh jiwanya. Tokoh di atas menemukannya melalui seorang petani sederhana. Bukan saja insight yang bermakna keindahan yang disebutnya eksotis, melainkan sebuah spiritualitas. Inilah salah satu makna penjarakan, yakni menemukan penekananan jiwa yang berbeda dari fenomena yang sering disaksikan. Si Aku menemukannya pada peristiwa sederhana dan biasa. Yang sering ia saksikan. Berkat penjarakan dengan kesehariannya.

Yang menarik pula disimak adalah penanda semakin personalnya pembicaraan mereka, maka suguhan yang mereka nikmati ikut berganti. Yang dimaksud di sini adalah disuguhkannya arak setelah kopi mereka berdua tandas.

Kopi, jika bisa diartikan sebagai minuman pengencer suasana, maka arak lebih maju lagi dalam pengertian ia sebagai minuman pendobrak yang tidak lagi mempedulikan segala hal yang ditutupi, bahkan yang tabu. Kopi walaupun sering dipakai sebagai minuman yang menandai kedekatan, tapi masih memberikan peluang bagi orang untuk menjaga normatifitas saat bercakap-cakap. Arak sebaliknya, ia penghangat tapi sekaligus mampu membalik dan bahkan meniadakan batas-batas yang menjadi acuan kemaluan percakapan.

Barangkali, itulah sebabnya mengapa setelah minuman berganti arak, obrolah dua tokoh ini kian dekat. Bahkan seolah-olah mereka adalah kawan lama yang sudah saling mengenal luar dalam. Hal inilah yang menjadikan obrolan mereka kian terbuka dan kian jujur.

““Aku orang yang tidak jujur. Bahkan kepada diriku sendiri. Dan sesuatu di luar sana, entah apa, sedang menghukumku. Aku tidak bahagia”” (hal.33)

Pernyataan ini adalah sebuah pengakuan Aku –pemilik vila. Pengakuan yang justru memperlihatkan kejujurannya kepada diri sendiri, bahwa ia tidak jujur. Yang menarik ugkapan ini lahir setelah obrolan mereka ditemani arak —yang menandakan keterbukaan jiwa tanpa khawatir setelah dikemukakan.

Ini jika dikembalikan ke dalam kenyataan sehari-hari akan ditemukan betapa manusia modern bukanlah pribadi-pribadi yang jujur. Lantaran khawatir penghakiman-hukum sosial, pribadi modern cenderung  menjadi pribadi hipokrit. Mereka mendayagunakan segala ketrampilan untuk membentuk jati diri kedua demi menyembunyikan alter egonya. Dengan kata lain, pribadi manusia modern bukanlah pribadi otentik karena hanya ingin tampil seperti yang diinginkan banyak orang.

Itulah mengapa orang modern sulit menemukan kebahagian. Mereka sulit terbuka dan jujur kepada diri mereka sendiri. Padahal, salah satu pintu kebahagian sederhana belaka, yakni mau menerima diri apa adanya. Mau jujur dengan apa yang ada dan tidak ada dalam diri sendiri.

Obrolan Sederhana sampai di sini nyatanya bukan obrolan yang sederhana lagi. Puthut lihai menggiring jalan ceritanya menjadi kian berbobot dan reflektif. Terbukti salah satu srateginya adalah tidak ada nama tokoh dikemukakan di sini. Hanya Aku yang berdialog dengan Aku yang lain yang dalam hal ini tidak saling mengenal. Mungkin bisa dipahami penggunaan kata ganti orang pertama tunggal ini adalah cara cerpen ini mengidealisasi percakapan menjadi dialog yang akan dialami pembacanya sendiri. Sudahkah Aku bahagia?


1] Dikutip dari buku Melampaui Positivisme dan Modernitas karangan F. Budi Hardiman hal.105. Di situ Hardiman tidak menyebutkan nama penyair puisi ini. Ia hanya menyebutkan Penyair Jawa.