Langsung ke konten utama

Ideologi

IDEOLOGI. Dua unsur penting ideologi: edios dan logos. Unsur pertama dari edios mengandaikan terbangunnya tatanan ide, gagasan, konsep pemikiran, atau sekumpulan cita-cita yang menjadi dasar harapan dari sekumpulan atau sekelompok masyarakat.

Sementara logos ditandai dari artinya sebagai kata atau ilmu yang secara sistematis menjadi basis rasional dari edios yang berfungsi sebagai sistem pengetahuannya.

Ideologi yang hanya menitikberatkan kepada unsur edios semata akan menjadi cita-cita utopis. Atau mungkin sekadar menjadi harapan kosong. Hanya sebatas angan-angan belaka.

Tanpa dasar logos, dia hanya menjadi sekumpulan visi tanpa realisasi. Cita-cita tanpa isi, bagai mimpi di siang bolong. Dia menggerakkan, tapi hanya sekadar bergerak.

Sebaliknya jika ia mengandalkan unsur logos saja, ia menjadi sains belaka. Ilmu an sich. Persis seperti kedudukan ilmu-ilmu positivistik yang tidak memiliki visi dan semangat. Dan mungkin saja gairah.

Ilmu tanpa edios, menjadi ilmu yang tak memiliki harapan, tanpa gelora dan cita-cita. Tanpa telos tertentu.

Malangnya, belakangan masyarakat banyak terkonfigurasi oleh ideologi-ideologi politik dan agama yang cacat. Ada ideologi yang hanya mengedepankan unsur edios, dan ada yang sebaliknya lebih mengedepankan unsur logos. Atau malah justru ada yang tanpa kedua-duanya.

Kelompok masyarakat yang mengonsumsi ideologi tanpa logos mudah diidentifikasi dari caranya mengampanyekan ide-idenya: janji-janji semata. Ibarat hidup di atas halimun, hanya mengandalkan surga-surga eskapisme. Jalan pelarian dengan mengandalkan imajinasi semata.

Sementara kelompok-kelompok kepentingan yang mengandalkan unsur logos semata hanya menjadi elit-elit masyarakat tanpa mampu mencium bau harapan-harapan terdalam masyarakatnya. Dia ibarat hidup di menara gading dengan kecanggihan ilmunya, tapi kaki-kakinya tidak pernah melangkah bersama di "tanah" sebenarnya.

Syahdan, ideologi tanpa logos akan menjadi penjual harapan-harapan semu. Hanya akan menjual doktrin-doktrin imajinasi yang membuat masyarakat ibarat katak yang hidup dalam tempurung.
Dan, jika tanpa edios, ideologi hanya menjadi pengetahuan minus inspirasi. Pengetahuan tanpa cita-cita dan tentu saja: cinta.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...