Kami punya kebiasan baru
di bunker. Bikin lapakan a la orang-orang Jogja. Jadi kalau siang datang cepatcepat kami
bangun. Panas. Maklum bunker tanpa plafon. Setelah itu karpet dikeluarkan.
Tepat di halaman belakang kami gelar.
Awalnya kebiasaan ini
dilakukan oleh Jahir. Dulu jaringan agak susah di bunker. Makanya dia keluar
dudukduduk di belakang, pakai matras a la pendaki. Tujuannya agar mudah
menemukan jaringan.
Kebiasaan itu juga
diikuti Indra, ipar Sabara Nuruddin. Biasanya kalau saya datang bertandang, dia
sudah nongkrong di belakang. Pegang hape lengkap dengan headsetnya.
Tidurtiduran dengan matras kepunyaan Ujhe.
Selang berapa lama
kebiasaan itu ditiru Ridho. Apalagi setelah ia sering tinggal di bunker. Maklum
selama ini dia nomaden. Baru kali ini dia betah di bunker. Karena siang panas,
dia pun keluar. Ambil matras, digelar kemudian nongkrong sambil menatap
gawainya.
Saya
yang lama tak tinggal di bunker merasa cara itu bagian dari inovasi. Jauh
ketika saya masih tinggal, tidak ada kebiasaan seperti yang dilakukan
pemudapemuda tanggung ini. Wajar sebab dulu kamar depan masih berfungsi. Di
situ entah kenapa justru ademayem. Tidak seperti ruangan lain, panas. Di
sanalah saya sering menghabiskan waktu. Membaca dan tidur sepuasnya.
Sekarang, saat bunker
hampir ditelan rumahrumah yang bermunculan, sudah jauh berbeda. Banjir kerap
melanda. Sengsengnya semakin lapuk. Kayukayunya makin reyot. Dan, ruang depan
yang dulu sering dipakai, sekarang malah lebih mirip gudang. Tak ada yang mau
di situ. Gelap.
Satu yang abadi di
bunker, panasnya itu tadi. Banyak yang meninggalkan bunker. Tapi panasnya tak
mau hilanghilang. Setia seperti nasib melarat penghuninya. Karena itulah Jahir
keluar lapakan. Indra nongkrong intimi gawainya. Dan, Ridho lama menghabiskan
waktu di situ karena anginnya yang sepoisepoi.
Akhirnya sepulang dari
Bulukumba saya tidak langsung ke rumah. Saya singgah di rumah Asrul. Menginap
beberapa minggu di sana. Makan dan berak juga di sana. Bahkan kosan Asrul sudah
saya anggap rumah.
Tapi ketika datang ke
bunker, di halaman belakang sudah ada Ridho pulas tertidur. Saya kira
gelandangan yang numpang menepi. Lantas cepatcepat saya ralat. Itu Ridho,
kampret apa yang dia bikin di situ. Dia pakai matras di bawahnya. Dan,
masyaallah. Tanpa baju tidur mirip orang kelaparan.
Maklum Ridho orangnya
kurus. Namun melihatnya tidur di situ asyik juga. Di bawah rindang pohon karsen.
Angin yang bertiup seirama awan di atasnya. Langit yang biru muda jadi atapnya.
Amboi, plus segelas kopi yang dibuatnya.
Saya masuk ke dalam
bunker. Panas. Saya keluar. Saya duduk di sampingnya. Agak lama saya duduk di
situ, hanya sekedar cari angin. Tak lama berselang, memang betul kata saya,
asyik.
Akhirnya saya memutuskan
nginap semalam di bunker. Seperti yang sudahsudah, banyak nyamuk. Juga banyak
yang lainnya; Ujhe, Muhajir, Jahir, dan sudah pasti Ridho. Di tambah satu orang
lagi karpet dibagi. Posisi diatur. Tidur.
Paginya kami bangun
satusatu. Ujhe yang paling dahulu. Kemudian entah Muhajir atau Jahir. Yang
terakhir kalau bukan saya ya Ridho. Begitulah. Saya dan Ridho memang seperti
partner sekaligus rival. Kalau tidur di dalam kelambu yang sama. Tapi soal
mandi, saya sering marahmarah. Ridho mandinya bisa hampir satu jam. Makanya
lebih baik saya lebih dulu mandi dibanding dia. Karena itu saya rivalnya.
Saat bangun ternyata
bukan pagi. Sudah siang. Bunker berubah oven. Panas. Terbesitlah ide itu.
Matras dikeluarkan. Spanduk dibentang jadi alasnya. Di halaman belakang kami
berpindah tempat. Dudukduduk sambil ngopi. Sedikitsedikit diskusi tentang
kenapa awan bisa terbentuk. Ini pertanyaan Ridho kalau sudah kehabisan kuota
internet.
Kebiasaan itu terus
berlanjut. Sampai sekarang. Tapi ada sedikit perubahan. Kali ini bukan lagi
matras, tapi karpet plastik yang dipakai. Jadinya kami leluasa bergerak.
Seperti orang piknik. Itu saya bikin agar banyak menampung orang. Kalau matras
hanya bisa diduduki dua orang belaka.
Sekarang saya, Ridho, dan
Muhajir, sedang di belakang bunker. Tepat di halamannya yang sempit. Lapakan a
la angkringan Jogja. Muhajir bermain gitar flashnya. Ridho memotong kumisnya
sambil ngopi, sesekali sambil menatap awan, kenapa dia bisa terbentuk. Dan,
Saya, ambil laptop, menulis dan menulis.