SAYA tiba-tiba merasa menjadi orang goblok selama 17 detik melihat sekumpulan orang
yang merazia buku. Mereka gagah berdiri bebas memegang buku yang dianggap mampu
meracuni pikiran orang banyak. Merekamnya dengan gawai canggih tanpa rasa was-was.
Pose mereka ini mirip dengan calon guru besar yang hendak mendatangi podium
pengukuhan. Menenteng buku-buku sampai membutuhkan asisten berkaca mata.
Saya
menduga mereka sudah melakukan penelitian berhari-hari, berbulan-berbulan, atau
bertahun-tahun, atau beribu-ribu tahun sampai abad pertengahan bahwa buku memiliki pengaruh langsung terhadap bentuk
pemikiran orang-orang. Seolah-olah teks memiliki akses langsung mengubah
paradigma seseorang.
Padahal
antara buku dan jaringan sinapsis dalam sistem saraf manusia mesti melewati
bermiliar-miliar terminal jaringan untuk sampai menerbitkan pemahaman.
Membaca
adalah peristiwa yang kompleks. Jarak antara teks dan kesadaran manusia begitu
panjangnya. Apalagi rangsangan-rangsangan syaraf ini dialiri kejutan-kejutan
listrik yang luar biasa banyaknya.
Buku
tidak selamanya menentukan jenis pemahaman. Tidak selamanya memberikan warna
pemikiran.
Tapi
mau bagaimana lagi. Kita sedang menghadapi
orang-orang yang diberi kewenangan istimewa. Tanpa surat pengantar
pengadilan pun mereka dapat terdorong berarak menuju rak-rak buku. Kewenangan
gerombolan ini lebih dahsyat dari sekompi tentara. Tanpa mesti berseragam
loreng ilham mereka berhasil membuat gentar anak-anak muda yang ingin
mengembangkan wawasannya.
Mereka
adalah para wakil ilmu pengetahuan yang lebih paham dari kita, yang membutuhkan
dua kali putaran jam hanya untuk menyelesaikan bacaan sebuah buku.
Buku
yang mereka pegang itu sudah menunjukkan gelagat intelektuil dan visioner.
Mereka telah berkumpul dan berembuk mengulas kata demi kata, tanda baca dari
tanda baca, paragraf demi paragraf, bahwa buku bergambar seorang pria dari masa
silam masih bergentayangan di langit-langit persada.
Jadi,
berterima kasihlah kepada mereka. Jibaku mereka telah memangkas rentetan
panjang suatu alur intelektualitas, dari membaca, berdiskusi, berdebat, dan
menyimpulkan, mengenai tradisi intelektual. Merekalah avant garde peradaban
yang telah memutuskan takdir ilmu pengetahuan masyarakatnya. Menentukan
pengetahuan apa yang layak diketahui setiap manusia.
Beberapa
hari sebelumnya, mereka juga bekerja dengan baik menentukan apa yang pantas
dikonsumsi orang-orang. Babi sekalipun adalah daftar pertama yang tidak layak
dipajang di etalase pertokoan. Jika pun harus, setelah memastikan kebersihan
udara dan penciuman dari aroma Babi, mereka akan berencana mengecek satu-satu
mulut orang-orang yang ditemui. ”Sedang mengunyah apakah Anda?”
Mulut
dan otak adalah bagian penting yang mesti suci. Mereka tidak peduli di mulut
orang-orang banyak bakteri yang bertugas menghancurkan makanan. Mereka juga
tidak peduli otak adalah satu organ/benda yang sampai hari ini menyimpan
misteri peradaban. Satu saja keyakinan mereka, mulut dan otak harus steril dari
babi-babi komunisme.
Kepandaian
kelompok ini lebih imajinatif dari Don Quixote. Don Quixote sejenaka-jenakanya
ia, masih menyandarkan imajinasinya kepada buku-buku petualangan ksatria. Tidak
lama setelah itu ia berubah menjadi ksatria pengelana dan melihat segala hal
dari kacamata seorang ksatria. Dalam keyakinannya, kincir angin yang ditemui
adalah monster yang harus diterabasnya.
Sementara
kelompok ini melampaui teks dan konteks. Kesadaran mereka tidak berjejak di
literatur mana pun. Seolah-olah mereka ini diciptakan kembali oleh zaman ini
dari masa ketika pengadilan Socrates terjadi. Dengan cerdik mereka katakan,
buku hanyalah penipu ulung yang menyesatkan. Dan zaman ini harus dikembalikan
seperti saat kitab-kitab suci pertamakali dituliskan.
Ketakutan
mereka adalah ketakutan atas kekosongan. Ketakutan mereka bukan jenis yang
lahir dari dialektika pemikiran, apalagi datang dari bacaan buku-buku.
Keberaksaraan mereka tidak pernah berkembang kemana-mana. Jika ada yang disebut
buta huruf fungsional, merekalah orangnya.
Kepandaian
inilah yang mendorong mereka menggemakan takbir di mana-mana sebagai tanda
kemenangan. Walaupun sulit mereka terima, dalam takbir itu marwah agama yang
menurunkan firman pertamanya dengan perintah membaca sedang jadi lelucon di
tangan mereka sendiri. Sungguh kecendekiawanan mereka gamblang dapat diukur
dari hal-hal semacam ini. Islam manakah yang mereka amalkan sebenarnya!
Itulah
sebabnya, seperti ungkapan Voltaire yang tidak mereka kenali kiprahnya: di
hadapan uang agama semua orang sama. Jangan-jangan mereka-mereka ini adalah
satu sel yang bergerak bersama atas kepentingan tertentu. Merangsek toko-toko
buku, forum-forum, seminar-seminar, lapakan-lapakan, komunitas-komunitas yang
mampu melahirkan pemikiran kritis demi lapangnya jalan keyakinan tertentu?
Tapi.
Mungkin itu teori konspirasi! Tidak ada faedahnya dipikirkan.
Sudah
saatnya jika Anda sampai di bagian ini, berpikirlah 45 detik lamanya kemudian
pertimbangkan untuk hijrah dari kebiasaan mengecam mereka, apalagi mengutuk
perbuatannya. Sudah saatnya kita yang demikian jahanam di mata mereka, berbalik
arah dan menyumbangkan semua buku-buku yang dimiliki. Itulah tanda kemerdekaan
manusia seperti kita ini oleh sebab merekalah satu-satunya palang pintu ilmu
pengetahuan dengan menutup jendela ilmu yang lain. Kepada merekalah nasib
bangsa ini diwariskan.
Dalam
kehidupan, kiprah mereka ini terlampau suci dituliskan dalam sejarah peradaban
yang karut marut ini. Oh Tuhan, mengapa mereka begitu pandai merazia buku?