A Description

Ada buku yang akhirakhir ini saya baca. Yang saya maksudkan di sini dengan “membaca”  bukan sebagai tindak baca yang kritis. Sebab tindak baca yang kritis harus mengambil jarak terhadap teks yang dihadapi. Dengan begitu si pembaca bisa melepaskan ruang pahamannya dengan jalinan struktur teks yang ada di hadapannya. Sehingga dari sana ia bisa menarik pemahaman yang tidak terkooptasi dengan jaringan makna yang dibentuk oleh teks. Sebagai tindak baca yang kritis harus juga memberikan pemaknaan baru terhadap bacaan yang di ejanya. Dan saya masih jauh dari itu. Makanya saya hanya bisa “menyimak”, bukan dalam arti “memahami”.

Buku yang saya maksud itu adalah buku dengan genre filsafat yang ditulis oleh F. B. Hardiman, seorang yang dikenal sebagai dosen filsafat. Judul buku karangannya itu adalah “Filsafat Fragmentaris”. Buku yang saya simak itu adalah –dalam ukuran saya-  buku yang berat. Oleh sebab banyak ulasan yang butuh pengandaianpengandaian yang lebih memadai. Sebuah sikap baca yang kritis menuntut kita untuk terbuka. Di mana kita direkomendasikan  untuk mencerna tanpa harus kehilangan sikap yang terbuka dan mendaku.

Malangnya buku yang saya simak itu belum sampai habis terbaca. Sehingga saya bukanlah pembaca yang baik dalam hal ini. Namun buku itu punya pesan sederhana yang bisa saya miliki. Dari judul “Filsafat Fragmentaris” , Hardiman mendaku bahwa upaya filsafat yang selama ini berposisi sebagai ilmu yang mampu menerangkan segalanya punya satu residu. Sebuah titik problematis dalam tubuh filsafat yang tak disadarinya, yakni, saya mengistilahkannya dengan istilah selfcontrari. Di mana filsafat yang datang untuk menjelaskan segalanya harus menemukan batas dirinya sendiri, bahwa dirinya juga adalah ilmu yang terbatas. 

Di mana keterbatasannya? Yakni filsafat menjadi ilmu yang terintrepertasi berdasarkan pengandaianpengandaian di kepala para filsuf. Di mana kita tahu, intrepertasi hanya bentuk gambaran yang tak mampu menangkap keseluruhan hakikat kenyataan. Sejauh upaya filsafat ingin menggambarkan realitas dengan benderang, maka dia tak mampu keluar dari kegelapan yang menyelubunginya, yakni gambaran yang ditangkap oleh filsafat itu sendiri adalah batasannya. Dalam arti ini filsafat hanya “menerawang” bukan “menyaksikan” kenyataan.

Artinya filsafat hanya membangun fragmenfragmen tentang kenyataan, bukan sebagai kenyataan itu sendiri. Namun daripada itu, filsafat yang sudah setua manusia tetap memiliki pengandaian yang positif, yakni sifatnya yang “tak berhenti”. Yakni filsafat kita tahu, tak pernah berhenti untuk mengungkap realitas dalam pencahariannya walaupun di dalamnya ada penyakit yang merusupinya.

Dalam buku yang saya baca itu, dimana belum sampai habis, ada tindak pikir yang dituliskan dalam buku yang lumayan berat itu. Cara berpikir secara metodis dalam rangka menggugat keabsolutan pemahaman maupun kebenaran. Dimana kita bisa menyimak, dalam dunia yang sesak dan jejal ini, dunia yang mengalami dystopia ini, dimanamana hadir kelompokkelompok dengan bentuk keyakinan yang dimutlakkan. Dimana kelompokkelompok itu selalu menolak bentuk pemikiran baru dan menganggapnya sebuah kesalahan yang akut untuk diimani.

Politik, agama, hukum, budaya, moral, pengetahuan, ilmu, ideology adalah lingkungan yang saya maksudkan itu.   Dimana pada lapangan yang dibangunnya terdapat pilarpilar yang didirikan untuk membatasi.
  1. Maka dalam buku yang berat itu ada tiga hal yang mesti kita perhatikan. Tiga cara berpikir yang bagi saya bisa dijadikan logika metodis untuk menghindari pemutlakan pemikiran yang berbahaya bagi keberlangsungan keterbukaan pemikiran.Model berpikir Phenomenology. Kita tahu aliran filsafat ini lahir sebagai tertib pikiran yang menolak selubung interpretasi yang kepalang tanggung. Dimana dalam kebanyakan pengalaman manusia, kita selalu menerima kenyataan dengan terlebih dahulu memberikan penilaian yang mendistorsi pengalaman kita. Atau dengan kata lain, pengalaman manusia pertama kali dibentuk oleh interpretasi yang tanpa melihat kenyataan itu sendiri.  Dalam tertib pemikiran ini, kita harus terlebih dahulu menyingkirkan anggapananggapan awal kita terlebih dahulu. Kata aliran pemikiran ini, biarkanlah kenyataan itu sendiri yang datang berbicara melalui dirinya sendiri.
  2. Dalam yang kedua ini, kita dianjurkan untuk menerima kenyataan dengan laku pikiran yang kritis. Dimana pengalaman kita seharihari haruslah bertolak dari metode yang sanksi. Barangkali dalam penjelasan ini, kita bisa meminjam cara berpikir Cartesian yang menyangsikan sesuatu. Namun dalam system berpikir ini, dari yang kita ketahui berasal dari mazhab pemikiran Frankfurt, membawanya pada aspek yang lebih luas yakni ideology. Mazhab Kritis menekankan ‘kecurigaan’ terhadap segala bentuk yang mengedepankan kemajuan sebagai dalihnya. Dalam mazhab Kritis, modernism, kapitalisme, urbanisasi, rasionalisme, positivism dan barangkali segalanya adalah bentuk mitos yang mengalienasi manusia. Seluruh janjijanji yang lahir dari system besar abad modern perlu diberikan peluang untuk dipertanyakan. Dimana cara berpikir ini senantiasa menghendaki bahwa kenyataan hidup kita selama ini janganjangan dibentuk oleh kepentingan dibelakangnya.
  3. Tak ada sesuatu di luar teks. Adagium ini adalah keyakinan yang di anut oleh pemikir strukturalisme. Derrida sebagai salah satu tokohnya, memiliki cara yang populis untuk membongkar pemikiran yang sudah terlanjur dimapankan. Ia menyebutnya dekonstuksi. Dalam mode pemikiran strukturalisme, kenyataan adalah hasil olahan teks, sehingga kenyataan diterima tak lebih dari apa yang keluar dari teks. Dari kenyataan kemudian teks, maka disanalah pengetahuan terbentuk. Maka subjek tak lain adalah hasil jejaring struktur teks. Kembali pada metode dekontruksi, cara ini mempunyai jalan yang unik dalam menarik pemahaman. Dalam keyakinan yang mapan, dekontruksi hadir sebagai godam yang menghancurkan dan memberikan kemungkinan berdirinya pemaknaan yang baru. Dimana dekontruksi, menghancurkan sampai tingkat yang paling dasar struktur pemaknaan yang dimiliki manusia, dengan cara membenturkan jalinan makna dalam jejaring teks itu sendiri. Dengan demikian dekontruksi adalah salah satu cara untuk keluar dari dogmatisasi yang terkadang secara politis mengontrol pengetahuan manusia.
Kirakira seperti itulah penggalan bacaan dari apa yang saya ketahui. Buku yang oleh Hardiman dikelolah sedemikian rupa dari tulisantulisannya yang terpisahpisah, yang mana tulisantulisannya masih menyimpan sejumlah isuisu yang belum habis terjawabkan. Namun buku ini disatu sisi menarik untuk kita baca terutama bagi pegiat pemikiran filsafat.