Entah seberapa jauh kita bisa mengingat masa-masa dimana
kita kecil? Mungkin banyak yang terlupakan, tetapi bisa jadi tidak sedikit yang
masih tersimpan. Ingatan punya aturannya sendiri; tentang apa yang layak
tersimpan dan apa yang mesti kita lupakan, sebab ingatan diwaktu tertentu punya
masa-masa ia datang kembali; menemukan gejala yang menghubungkan akan dua
peristiwa, dimana masa lalu bisa kita rasakan pada masa sekarang yang punya
kemiripan.
Karena perihal ini, maka terkadang ingatan bisa menjadi
hal yang perlu diatur, apalagi menyangkut ingatan orang banyak. Dimana ingatan
bisa mendatangkan isyarat apa yang patut dan yang harus dibuang jauh-jauh. Maka
bisa saja ingatan kehilangan tentang apa yang sepantasnya diingat, tak
terkecuali masa kita anak-anak.
Ingatan bisa jadi hal yang memupuk
harapan atau sebaliknya?
Harapan?...bisa dikata sejenis utopia; sesuatu tempat
yang menempatkan cita-cita yang ideal didalamnya. Atau sesuatu yang tinggi
tempatnya. Perihal akan segala sesuatu yang menjadi perlawanan dari kehidupan
“bawah” yang serba tak berkecukupan, tak lengkap, tak utuh, tak genap, atau
sejenisnya dan sejenisnya: atau bisa dikata Sesuatu yang sempurna.
Yang mana keberadaannya melampaui jenis kehidupan yang
dipredikatkan oleh label yang tak sempurna, kehidupan manusia yang terapit
serba katakcukupan. Lantas bisakah ia menjadi hal yang benar-benar dirasakan, sesuatu
yang betul-betul dialami, yang mana “keseluruhan” dari diri kita betul-betul
identik pada apa yang kita harapkan.
Lantas apa arti harapan bagi orang-orang kecil yang
terpenggal masa anak-anaknya? Tentang anak-anak kisaran usia lima atau enam
yang tiap harinya berdiri dibawah traffic ligh, kolong
jembatan,-mereka yang menjajal koran, ngamen, ngemis ataukah pekerjaan yang
kita anggap sampah- pada perempatan jalan-jalan yang sering kita lewati. Dan
kita pun silau-mungkin istilah ligh punya persinggungan makna
dengan apa yang sering terjadi pada kita- berusaha menghindari, berupaya
menolak, bahkan menampik kesal pada mereka. Dan kita benar-benar telah
memenggal masa kecil kita?
Bagi mereka yang tak kuasa untuk
berharap?
Bicara tentang realitas ideal, ihwal tentang kebebasan,
ketakterbatasan dan keabadaian, pada permukaan sejarah manusia merupakan hal
yang selalu menjadi kebutuhan eksistensial manusia. Tak terkecuali disaat masa
anak-anak. Masa anak-anak, bisa jadi merupakan masa yang dekat dengan tempat
yang sublim menyimpan keabadian. Tentang ini Freud bicara bahwa setiap manusia
selalu merindukan tempat dimana ia pernah aktual dalam kekekalan, masa yang tak
tersentung rigid waktu dan medium ruang. Bahasa biologis kita adalah rahim ibu.
Disanalah seluruh eksistensi manusia menemukan senyawa yang tak kenal
penderitaan, namun lekas setelah dilahirkan, maka pada saat itulah manusia
mulai menyadur kepedihannya untuk kembali pada momen disaat masih dalam rahim
ibu. Maka sejalan dengan pengalamnnya, manusia selalu mencari subtitusi, dengan
harapan; masa yang tak tersentuh alam yang berbatas waktu dan ruang. Bahkan ide
tentang surga, bisa jadi merupakan subtitusi dari penderitaan yang dialami oleh
manusia.
Maka masa-masa kecil mungkin saja punya sejarahnya
sendiri. Mungkin ia punya konsep kebahagiaan tersendiri, mekanisme subtitusi
yang dekat dengan rahim ibu: pada momen inilah ibu menjadi monumen yang
memangkas jarak dimensi ruang dan waktu bagi rahimnya, untuk mendekatkan masa
anak-anak dengan “ruang” yang pernah ia tinggali. Dan saat inilah kasih sayang
ibu punya dimensi yang tak tersentuh waktu untuk mendampingi perkembangan
anak-anak. Tapi bagaiamana mungkin kita bicara tentang konteks masyarakat yang
di kangkangi oleh mesin giling industri kapital, yang punya peng-alaman dan
bercerita tentang lain hal. Hidup yang dilandasi berdasarkan substratum yang
digerus setiap detik oleh kepentingan pasar. Dan hidup pada latar seperti ini
adalah hidup yang hanya menjadi acuan statistik kemiskinan pada
intitusi-institusi pemerintahan. Maka masa anak-anak dan seorang ibu menjadi
dua pengalaman yang tak memiliki ruang yang tak lagi sama.
Kapitalisme dan kemiskinan mungkin saja dua keberadaan
yang tampil pada permukaan yang sama; masyarakat. Dimana pada masyarakat,
kemiskinan adalah sejenis falaxi dari kapitalisme, yang mencerminkan wajah
sebenarnya dari kapitalisme. Dan kita tak usah malu untuk berujar, dimana
ada isu-isu tentang semangat modal memiliki konsekuensinya yakni kemiskinan
yang akut. Kapitalisme memang semangat yang menekankan kepemilikan modal, entah
ia pada segementasi sosial, ekonomi, budaya maupun politik, namun dia punya
semangat yang sama, yakni akumulasi. Maka kemiskinan pun bukan saja bingkai
dasar yang memberikan citra pada masyarakat, melainkan kehadirannya adalah
peneguhan sistem yang sedang berjalan. Dan akumulasi adalah upaya yang terus
menarik sketsa dengan mimik yang menggulum senyum besar.
Kapitalisme dan masa kanak-kanak mungkin saja sama.
Mereka pasti tumbuh, tetapi mereka punya beda dengan hukum pertumbuhannya
masing-masing. Namun kita tahu kapitalisme punya harapan yang mempertautkan
semuanya menjadi satu; tentang pasar. Bisa jadi masa-kanak-kanak, yang punya
sifat cenderung utopis pada ruang angan-angan, berlaku pula bagi kapitalisme;
punya sejenis utopia yang tak bisa dijangkau, mitos tentang kesejahteraan.
Tatal 14. 3 januari 2012. 13;49