Iman dan Cinta

Iman. Sayangnya, iman agama yang kita menangkan belakangan ini adalah jenis iman tanpa cinta. Bahkan, mungkin kebencian.

Iman minus cinta adalah iman destruktif, iman yang menghancurkan. Itulah sebabnya dia menyerupai kebencian, sifat bejat manusia yang justru ibarat kanker. Ia tumbuh merusak dari dalam.

Lalu, seperti yang kerap terjadi, dari situ iman yang susut dari cinta memasang tiang pancang. Menarik garis batas tanpa tedeng aling-aling. Membelah "kita" menjadi "kami", pun juga dengan model ke-aku-an yang nyaris asosial

Di medan kehidupan ril, iman yang dianut nyaris menyerupai ranting kering. Ia tungkai yang kaku. Sulit beradaptasi. Tapi juga sekaligus gampang terbakar.

Jika demikian, bagaimanakah iman dengan cinta?

Iman dengan cinta adalah iman yang ditopang dengan empat gejala. Seperti pendakuan Erich Fromm, seorang ahli ilmu jiwa, cinta yang sehat adalah cinta yang memiliki care (kepedulian), responsibility (bertanggung jawab), respect (penghormatan), dan knowledge (ilmu pengetahuan). Dengan empat gejala ini, cinta tidaklah seperti yang dibayangkan orang-orang, buta dan nyaris tanpa akal sehat.

Kepedulian adalah gejala pertama dari cinta, dia begitu peka terhadap keberlangsungan seseorang. Dia begitu mudah "berair" dan "terluka" demi sesuatu yang dicintainya. Kadang, karena peduli, nyaris di titik ini "akal sehat" menjadi tidak bekerja demi kebaikan sesuatu yang dia cintai.

Akibatnya, dia menjadi seorang yang rela mengambil peran sehubungan dengan sesuatu yang dicintainya. Dia menjadi sadar hak dan kewajiban dirinya. Kepeduliannya pada akhirnya membuatnya bertanggung jawab.

Di saat yang bersamaan, di balik hak dan kewajibannya, dia sekaligus merealisasi hak dan kewajiban pribadi yang dicintainya pula. Cara ini adalah upayanya mendudukkan kehormatan "sang kekasih" ke tempat yang layak. Sang kekasih dengan kata lain adalah pihak yang dia junjung sekaligus ia hormati sekaligus.

Ilmu pengetahuan adalah gejala terakhir dari cinta. Artinya cinta mustahil menempatkan seseorang di dalam kolong kegelapan. Cinta sudah dengan sendirinya mencerahkan. Melalui ilmu pengetahuan, atau sebaliknya, cinta menjadikan seseorang mengalami pembalikan sepenuhnya. Jiwanya dipenuhi kesadaran berbasis ilmu pengetahuan. Cintanya bersifat membebaskan.

Dari semua itu, cinta pada akhirnya akan melahirkan dua anak kandung: truth (kebenaran) dan fidelity (kesetiaan).

Tapi, kebenaran seperti yang menjadi sisi kanan sampannya adalah risiko. Dan sisi sampan kirinya adalah risiko yang lain...

Artinya, siapa pun yang mencintai bakal menuai risikonya. Siapa pun yang mencintai akan dituntut kesetiaannya.

Lalu, bagaimanakah cinta yang ternyata senantiasa membawa suffering (penderitaan)?

Dalam sejarah, orang-orang besar yang memanggul cinta memang berkembaran dengan penderitaan. Itulah risikonya yang lain. Bahkan, sebenarnya itulah jalannya.

Cinta seperti yang dinyatakan sebelumnya, membawa empat gejala. Apakah itu arti lain dari perkataan Jalaluddin Rumi, "di dalam negeri cinta, akal digantung?"

Apakah itu tiada lain seperti perkataan banyak orang cinta berarti "perasaan" di mana akal dimatikan? Ataukah justru sebaliknya dengan arti ini: akal ibarat matahari yang "tergantung" dan mesti diletakkan diketinggian, dia sulit disaksikan langsung, tapi cahayanya justru mencerahkan.

Cinta memang tidak buta.

Lima Prinsip

Lima Prinsip. Setidaknya menurut eike ada lima prinsip pokok yang mesti dijadikan ukuran untuk mendudukkan agama sebagai agama. Lima prinsip ini juga pertama-tama merupakan suatu cara yang bagi eike dapat dijadikan jalan keluar untuk memahami ide-ide substantif dari agama yang belakangan ini banyak termodifikasi melalui kosakata-kosakata kepentingan primordial dan sektarian. Kedua, walaupun bersifat sederhana, lima prinsip yang eike susun ini, terutama dalam Islam, adalah suatu kerangka epistemologis untuk menjawab fenomena faktual masyarakat kiwari yang terjebak ke dalam cara pandang agama secara esensialis.

Lima prinsip itu yang pertama adalah: prinsip logos.

Prinsip logos adalah azas pertama yang bermaksud untuk mendudukkan statment-statment agama di atas aturan bahasa yang rasional. Artinya, setiap bahasa agama ketika diucapkan ke dalam konsep-konsep pikiran mesti mencerminkan kemasuk-akal-an. Artinya pertanggungjawaban epistemologis dari proposisi-proposisi agama jika dikembalikan kepada prinsip kebenaran maka ia tidak melanggar dan mengingkari kebenaran dari dirinya sendiri. Dengan kata lain, di dalam statmentnya itu sendiri tidak mengandung kesalahan berpikir.

Prinsip logos jika direalisasikan akan mengandaikan tiga hal. Pertama adalah keterbukaan, yakni suatu kualifikasi yang menerima masukan dari mana pun untuk memperkaya dirinya. Dengan kata lain, pengandaian ini menghendaki penerimaan terhadap segala informasi baru selama saling menguatkan masing-masing pendiriannya.

Keterbukaan karenanya adalah modal pertama dari prinsip logos untuk menempatkan kebenaran misalnya, dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.

Pengandaian yang kedua adalah dialogis. Syarat ini adalah konsekuensi dari keterbukaan sebagai cara untuk melakukan tukar tambah pengetahuan. Dialogis merupakan prasyarat kedua agar kebenaran dapat berfungsi secara komunikatif. Dengan kata lain tidak ada pernyataan-pernyataan kebenaran yang tidak dapat dikomunikasikan. Itu artinya, dialog adalah kemampuan dari logos untuk mempercakapkan dirinya dengan cara-cara terbuka sebagai bagian dari demonstrasi kebenarannya. Tentu prinsip ini mesti dilakukan di tengah-tengah kepelbagaian yang mengitarinya.

Pengandaian logos yang ketiga adalah emansipatoris. Kualifikasi ini adalah kaki-kaki prinsip logos untuk mau mengemansipasi pihak lain di luar dirinya. Artinya bahwa kemampuan emansipasi adalah kata lain dari suatu upaya untuk memberdayakan pihak lain dengan cara terbuka dan dialogis sebagai hal penting yang saling terkait.

Terbuka, dialogis dan emansipatoris dengan begitu adalah tiga prasyarat dari rasional tidaknya suatu pengetahuan agama.

Prinsip yang kedua adalah prinsip kemanusiaan. Dalam Islam, prinsip ini kerap disepadankan dengan kosa kata "al ukhuwah al insaniyah" (persaudaraan antarmanusia). Pokok ini mengartikan setiap umat manusia dipersatukan di dalam satu ikatan yang bersifat universal. Ikatan ini adalah jenis ikatan yang melampaui kedekatan suku, agama, budaya, atau bahkan pertalian sedarah.

Persaudaraan antarmanusia juga merupakan pertalian yang menghubungkan sekaligus meminimalisir perbedaan-perbedaan yang bersifat permukaan ke dalam suatu pemahaman tentang kemanusiaan sejati.

Dengan kata lain, prinsip kemanusiaan adalah azas yang melampaui dan sekaligus mesti diletakkan di atas konsep-konsep universal semisal konsep kebangsaan dan kesukuan yang sering kali memicu sobeknya apa yang disebut "tissue social."

Dalam Islam, banyak ditemukan ayat-ayat yang menggunakan kalimat seruan "wahai manusia" dan bukan lainnya. Dari ungkapan ini Islam sesungguhnya sangat menghargai manusia sebagai ciptaan Allah paling paripurna. Itulah sebabnya ungkapan ini bukan sekadar ungkapan retoris yang tanpa bermaksud apa-apa, melainkan suatu model komunikasi Ilahi yang berarti bahwa Islam senantiasa menempatkan seluruh nilainya agar selaras dengan nilai dasar kemanusiaan.

Prinsip yang ketiga adalah penghargaan terhadap ajaran agama lain. Prinsip eike kira adalah prinsip yang menjadi kebutuhan mendesak bagi masyarakat hari ini mengingat semakin defisitnya konsep keberagamaan yang melandasi interaksi masyarakat Indonesia. Belakangan, bagi kelompok-kelompok agama tertentu, akibat tidak hadirnya penghargaan sesama pemeluk agama lain banyak mengakibatkan retaknya kohesi sosial masyarakat.

Berbicara dari segi kedudukannya, tiadanya prinsip ini seringkali menjadi dasar mengapa agama-agama lain di luar dari keimanannya dilihat sebagai agama yang tidak layak disejajarkan dengan agamanya sendiri. Hal ini berdampak serius dengan ditandai berupa menguatnya kecurigaan antar sesama pemeluk keyakinan berbeda. Bukan saja itu, lenyapnya prinsip ini membuat konsep-konsep kebenaran dalam agama menjadi gagasan-gagasan yang bernilai sempit dan sulit didialogkan.

Kosakata agama mayoritas-agama minoritas, akhir-akhir ini menjadi bahasa publik yang sepertinya berdiri di atas kekosongan prinsip penghargaan terhadap pemeluk agama lain. Ruang publik masyarakat akibatnya mau tidak mau terseret kepada logika pemahaman agama yang menegasikan pihak lain dengan cara mengasingkan pemeluk agama berbeda ke ruang jauh keterasingan. Bahkan bukan saja pengasingan, seringkali tindakan ini berujung kepada perilaku diskriminatif dan mengancam.

Pentingnya prinsip ini sebenarnya bukan saja karena kebutuhan mendesak masyarakat sekarang, melainkan memang dari segi kenyataannya, bangsa ini sejatinya ditopang dari kepelbagaian perbedaan yang sebenarnya adalah rahmat bagi negeri ini. Secara kebudayaan misalnya, negeri Indonesia sejatinya adalah negeri yang lahir dari ibu kandung multikulturalisme. Kenyataan ini sulit dibantah dan oleh sebab itu cara merespon fenomena ini yang menjadi kekayaan yang berlimpah tiada lain dengan mengafirmasi prinsip penghargaan sesama pemeluk agama berbeda.

Cinta dan spiritualitas adalah prinsip keempat yang eike rasa adalah salah satu solusi untuk membenahi kehidupan umat beragama bangsa Indonesia. Cinta dapat menjadi medium yang menghadirkan rasa kasih sayang terhadap sesama di antara jaringan interaksi masyarakat. Tanpa cinta, interaksi masyarakat besar kemungkinannya akan terjebak kepada perasaan sentimentil yang memicu kebencian. Sementara spiritualitas adalah kualitas ruh agama yang mesti selalu hadir bukan saja di dalam praktik-praktik peribadatan syariat, tapi juga di dalam setiah hubungan kemanusiaan kita. Arti penting cinta dan spiritualitas, dengan kata lain merupakan esensi agama yang mesti dihidupkan lebih jauh agar tidak sekadar menjadi doktrin beribadah semata melainkan juga mengcover seluruh praktik kehidupan masyarakat.

Terakhir prinsip yang kelima adalah mencintai al Qur'an. Prinsip ini dapat diterangkan bahwasannya al Quran mesti menjadi pustaka utama bagi setiap kebutuhan manusia. Mencintai al Quran dalam arti ini bukan seolah-olah mendudukkan teks-teksnya menjadi kata-kata benda, melainkan dia mesti menjadi teks-teks aktif yang membunyikan dan menerangi setiap pencapaian pengetahuan manusia. Al Quran dari sisi ini, berarti adalah kitab yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan dan inovasi-inovasi yang ditemukan di zaman ini sehingga benarlah seperti yang diartikan selama ini bahwa al Quran senantiasa selaras dengan perkembangan umat manusia dari masa ke masa.

Prinsip ini juga dapat diartikan sebagai peneguhan kepada figur Rasulullah sebagai manusia yang paling paripurna. Secara epistemologi, wahyu al Quran merupakan pencapaian ilmu pengetahuan Rasulullah yang bersumber langsung dari sumber ilmu pengetahuan itu sendiri yakni Allah semata-mata. Dengan kata lain, secara pemaknaan diri Rasulullah adalah sosok nyata dari hakikat al Quran yang dibuktikan dari ucapan istrinya bahwa akhlak Rasulullah adalah al Quran itu sendiri. Prinsip mencintai al Quran dengan begitu sama artinya dengan mencintai Rasulullah sebagai sosok khusus yang menjadi medium dan pembawa wahyu ilahi.

Di dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, prinsip mencintai al Quran setidak-tidaknya bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam di tengah-tengah gempuran nilai-nilai nonilahiat yang mengkerdilkan nilai kemanusiaan.

Syahdan, lima prinsip ini menurut eike bisa menjadi indikasi untuk meraba-raba sejauh apa agama itu sendiri, terutama Islam telah berperan selama ini dengan mengedepan inti ajarannya. Walaupun demikian, lima prinsip ini bukanlah indikator satu-satunya di dalam melihat Islam sebagai nilai universal. Seperti yang eike bilang semenjak awal, lima prinsip ini hanyalah ukuran sederhana yang eike susun sendiri untuk menakar, katakanlah Islam substantif yang berbeda dari Islam aksidental, satu paras Islam yang belakangan menggenapi cara masyarakat Indonesia beragama.


Melihat dari Jauh



Aristoteles, Murid Platon
dikenal dengan konsep Hylemorpisnya



Melihat dari Jauh. Mungkin, cikal bakal intelektualisme adalah pengasingan.

Di masa-masa Platon hidup, intelektualisme dinyatakan dengan cara mendirikan komunitas-komunitas belajar yang jauh dari pemukiman kota Athena. Sang filsuf, dinarasikan dalam sejarah, sering kali pergi mengasingkan diri dengan mengumpulkan murid-muridnya di suatu tempat agar menemukan suasana belajar yang bebas dan steril dari segala kepentingan. Toh jika ada kepentingan, Platon mungkin bilang, yang ada hanyalah demi kepentingan ilmu pengetahuan.

Di tempat itu, yang sering disebut academia, Platon mendudukkan murid-muridnya sebagai teman dialog. Melalui percakapan melingkar, Platon dan murid-muridnya menjadikan cara itu untuk mendiskusikan segala ihwal. Suatu cara berdialog yang disinyalir pernah dipraktekkan Socrates dengan nama "metode bidan".

Barangkali, pengasingan Platon adalah suatu strategi belajar untuk mengafirmasi gagasannya tentang suatu dunia yang ia sebut sebagai dunia idea. Dunia idea, bagi Platon adalah dunia sebelum jasad yang tanpa cela dan tanpa cacat. Kata Platon, dunia idea adalah dunia tempat jiwa bersemayam dan bebas bergerak dengan ide-ide universal.

Barangkali dengan arti itu pula perlu ada ruang ideal yang mencerminkan dunia tanpa gangguan sebagai tempat mengasah pikiran. Suatu dunia seperti yang mampu mewakili dunia idea: tempat yang lowong, tanpa beban dan bebas memungkinkan pikiran bergerak dialektis tanpa dikerdilkan kepentingan sesaat.

Singkatnya, pengasingan dengan begitu adalah suatu mekanisme sosial yang mengambil jarak dari beban pikiran sehari-hari yang tidak substansial.

Suatu cara membebaskan jiwa agar dapat berkembang dengan sehat.

Orang-orang Yunani menyebut ini sebagai katarsis.

Kelak Aristoteles murid Platon, akan meneruskan model ini dan akan menjadi batu pertama bagi berdirinya institusi-institusi belajar modern semisal perguruan tinggi.

***

Orang-orang kota, di tiap akhir pekan seringkali pergi jauh dari mukimnya untuk menikmati waktu lowong. Pantai atau daerah pegunungan seringkali menjadi pilihan utama dari aktifitas semacam ini. Di tempat-tempat itu mereka mengasingkan diri sejenak dari rutinitas harian. Mencari energi baru dan inspirasi. Menyegarkan kembali pikiran selama dijejali tanggung jawab pekerjaan.

Orang-orang menyebut ini sebagai rekreasi. Cara mengasingkan diri yang menyenangkan.

Sementara masyarakat terdidik terutama mahasiswa sampai sekarang masih menerapkan "pengasingan Platon" sebagai bagian dari rutinitas intelektualismenya.

Di tiap akhir pekan, tempat-tempat yang jauh dari pemukiman kota dipilih sebagai lokasi kegiatan-kegiatan pelatihan. Di tempat-tempat itulah suasana belajar yang jauh lebih bebas mereka temukan. Tempat yang jauh berbeda dari kampus yang kerap masih berlaku hirarki tuan-hamba.

Di Makassar, tidak jauh dari pusat kota, umumnya ada dua tempat sering digunakan masyarakat terdidik untuk menciptakan "pengasingan Platon". Pertama adalah situs peninggalan Benteng Somba Opu yang berisikan replika rumah-rumah adat dari pelbagai kabupaten di Sulawesi Selatan. Yang kedua, agak jauh dari pusat kota yakni di sekitar pesisir pantai yang menghadap selat Makassar: Tanjung Bayang. Dua tempat ini selain Malino, cukup mewakili karakter suasana yang cenderung bebas dan tanpa tekanan, dua prasyarat agar pikiran bekerja maksimal.

Di dua tempat inilah, dua pengasingan sekaligus dilakukan. Jika pengasingan sepadan dengan penjarakan, maka pengasingan yang pertama adalah metodelogi belajar yang mirip dan yang pernah diupayakan Platon dan murid-muridnya. Yakni, metode menempa pikiran dengan cara mencari tempat-tempat jauh dari kesibukan masyarakat urban yang mampu mensterilkan akal sehat.

Pengasingan yang kedua dapat dipahami melalui konsepsi "abstraksi" Aristoteles. Metode abstraksi dari filsafat Aristoteles adalah kualitas pikiran manusia yang mampu menarik kesamaan-kesamaan dari perbedaan objek dengan mengambil ide-idenya sebagai konsep universalnya. Kemampuan ini sering dilakukan manusia dengan cara mengeneralkan sesuatu dari perbedaan yang dimiliki objek-objek tertentu.

Ibarat satuan pasir, pikiran mampu menyaring pasir perbedaan demi menemukan pasir halus yang jauh lebih mewakili harapan sang manusia. Atau, seperti metode penyulingan ketika ingin menemukan zat cair yang jauh lebih jernih.

Dua pengasingan ini, sadar tidak sadar adalah proses penyubliman pikiran yang sampai sekarang menjadi cara paling ampuh untuk menjaga pikiran dapat terus sehat.

Melalui dua mekanisme ini, bukan saja masyarakat terdidik, melainkan kelompok masyarakat lainnya, menemukan waktu dan ruang yang lebih memadai untuk melihat dan menilai dari sudut tertentu tentang apa yang sudah ada selama ini. Bahkan, di sisi tertentu mempertanyakan kembali apa-apa manfaat dari sesuatu terhadap keberlangsungan diri selama ini.

Dengan proses inilah refleksi dimungkinkan.

Syahdan, walaupun demikian di satu sisi "pengasingan Platon" sering kali diejek sebagai model belajar yang mengedepankan kontemplasi dari pada aksi. Kontemplasi bahkan dinilai sebagai bentuk eskapisme terselubung. Cara orang-orang lari dari kenyataan dengan memasuki dunia "khayalan".

Akibatnya konon katanya, dunia tidak akan berubah hanya dengan cara berkontemplasi. Kontemplasi ditengarai menjadi sebab mengapa banyak orang memilih hidup menjauh dari kehidupan ril itu sendiri. Bahkan kontemplasi membuat siapa pun yang melakukannya menjadi pasif. Tidak punya greget dan semangat dalam hidup.

Itulah sebabnya, kata aksi bagi sebagian mahasiswa masih lebih mulia daripada terma kontemplasi. Kata aksi lebih mewakili jiwa muda mahasiswa, tinimbang kontemplasi yang dianggap lebih mewakili semangat kaum tua.

Kontradiktif. Menurut eike gambar iklan dari film Silariang ini nampak ganjil. Secara semiotik gambar yang diwakili dua tokoh film ini tidak mewakili keadaan sosio-psikis yang sering dialami orang-orang yang melakukan silariang. Bagaimana mungkin dua tokoh ini masih bisa tersenyum berlari ketika mengalami peristiwa yang dinilai terlarang. Sulit membayangkan dua sosok pemuda-pemudi masih senyam senyum ketika silariang.

Silariang, kita tahu adalah tindakan terlarang dalam tradisi Bugis-Makassar. Silariang bukan mekanisme sosial dari tradisi nenek moyang yang dianjurkan untuk memediasi dua sejoli yang sedang jatuh cinta dan akan melabuhkan perasaannya ke dalam perkawinan. Tidak ada pemuda pemudi silariang yang bergembira melakukannya. Lalu apa pesan moril dari gambar yang kontradiktif ini?

Secara sosiologis, tradisi dinyatakan sebagai kategori sosial yang imperatif, yang memaksa. Tapi, dikatakan ahli ilmu masyarakat, saking imperarifnya, masyarakat mau tidak mau mesti mentaatinya agar terjadi keselarasan dalam praktik hidup bermasyarakat. Dalam kehidupan modern seperti sekarang banyak tradisi yang mengalami tegangan dengan semangat kebebasan manusia. Di satu sisi manusia disebut mahluk bebas, tapi di sisi lain ada tradisi yang ibarat penjara membatasi gerak gerik sang manusia. Silariang, eike kira adalah film yang juga mengangkat kisah semacam itu. Antara kebebasan menentukan pilihan pribadi atau "terpaksa" mengikuti kebiasaan tradisi.

Tapi, melihat kembali gambar iklan film ini, nampaknya dua sejoli ini seolah-olah tidak memberi kesan yang normal di hadapan tradisi masyarakatnya. Buktinya, lihat saja gambar iklannya. Dua sejoli yang tidak getar getir ketika melawan adat istiadatnya.

Ditinjau dari sudut penyiaran, fenomena iklan ini kontradiktif dengan pesan yang ingin disampaikannya. Secara semiotik penandaan senyuman dari dua tokoh ini tidak sama sekali terkait dengan makna budaya dari kata silariang itu sendiri.

Tapi, tentu tulisan ini akan jauh berbeda artinya jika melihat secara keseluruhan isi filmnya. Eike yakin dua tokoh ini tidak sedang ketawa ketiwi ketika sedang silariang.

Menjinakkan Harimau Kata-Kata

Mulutmu adalah harimaumu. Ungkapan ini jelas maknanya: mulut bisa melukai dengan kata-kata kasar. Atau sebaliknya, mulut bisa berbalik membuat si pengucap mendapatkan “terkaman” orang lain.

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi hari ini sudah “menyulap” harimau tidak saja menjadi metafora bagi mulut, tangan, bagian tubuh yang lain juga bisa menjadi “cakar” bagi orang lain.  Zaman ketika mulut lebih banyak dialihfungsikan kepada sentuhan tangan di layar gadget, membuat daya jangkau “harimau” kata-kata jauh lebih luas dari masa sebelumnya.

Era informasi seperti sekarang memang zaman penuh “harimau-harimau” yang leluasa meloncati batas-batas kultural, keyakinan, dan kebiasaan masyarakat. Melalui layar sentuh, siapa saja bisa melepaskan “harimau-nya” sesuai dengan keinginan dan harapan si pemilik. Entah ingin membuat takut orang-orang, atau –seperti dialami dari fenomena hoax—membuat luka sayatan yang membelah dan menyakiti perasaan orang-orang.

Kata-kata memang licin karena itu sulit untuk dikendalikan. Seperti harimau, dia mesti “dijinakkan” sebelum “dipentaskan” ke hadapan khalayak. Ibarat sang pawang harimau, sang pengucap mesti “melatih” terlebih dahulu kata-katanya agar tidak membahayakan dirinya dan orang lain. Bahkan demi kebaikan bersama, harimau kata-kata mesti terlebih dahulu “dikandangkan.”

Ada peribahasa dari sahabat, sepupu, menantu, sekaligus pengikut setia Rasulullah, Ali bin Abi Thalib: lidah orang berakal berada di belakang hatinya, dan hati orang bodoh berada di belakang lidahnya. Kalimat ini begitu cerkas mensituasikan bagaimana sebaiknya kata-kata mesti didudukkan tanpa memperkeruh dan menyinggung batin dan pikiran lawan bicara.

Di situ orang-orang dianjurkan agar berhati-hati mengucapkankan kata-kata dengan menempatkan “lidahnya” di belakang “hatinya.” Kata-kata yang mesti diucapkan, dengan kata lain adalah kata-kata yang sudah sebelumnya dipertimbangkan matang-matang melalui perantaraan “hati.”

Di situ kedudukan “hati” jauh lebih utama di saat berkata-kata demi menjaga perasaan orang lain.

Di era “perang” kata-kata seperti sekarang, “lidah harimau” mesti dijinakkan terlebih dahulu. “Hati” sebagai metafora perasaan, kelembutan, dan ketenangan, adalah “kunci” dari bagaimana orang-orang mengontrol “harimau” kata-katanya.

Dalam khazanah tasawuf, “hati” tidak saja didudukkan sebagai organ biologis semata. Dari sisi epistemologi, “hati” adalah sumber pencerahan. “Hati” bahkan didudukkan menjadi fakultas penting sebagai sumber dan alat pengetahuan. Bagi seorang sufi-pesuluk, “hati” adalah sumber ilmu dan kearifan paling paripurna dibandingkan sumber-sumber pengetahuan lainnya.

Di titik ini, “lidah” yang diletakkan di belakang “hati”, dengan kata lain adalah suatu cara untuk mengatakan tanpa pertimbangan ilmu, kata-kata yang diucapkan hanyalah bunyi-bunyian tanpa makna. Kata-kata tanpa penyelidikan ilmu lebih banyak mudharatnya daripada faedahnya.  

Itulah sebabnya, jika “lidah” lebih didahulukan selama berkata-kata tanpa mengikutkan “hati”, seperti pendakuan Ali bin Abi Thalib: itulah orang-orang yang bodoh. Itulah harimaunya.

Yang menarik jika ditelisik, “mulutmu harimaumu” juga bisa jadi adalah ungkapan yang secara simbolik mau menerangkan sisi instingtif-naluriah yang dimiliki manusia. Sisi binatang dari diri manusia. Para ahli ilmu-ilmu jiwa menyepadankan sisi animalitas yang dipunyai manusia ini dengan istilah id.

Sigmund Freud, psikoanalisis yang mempopulerkan id melalui trikotomi id, ego, dan super ego-nya menyatakan, di balik kesadaran manusia yang mencerminkan sisi normatifitas nilai-nilai, menyembunyikan sisi chaotic-libidinal yang sulit dibendung dan dikendalikan. Id dalam hal ini adalah dasar libidinal yang sulit terpuaskan dan bahkan tidak akan pernah terpuaskan. Akibatnya, demi memenuhi hasrat bawaannya, id yang berwatak chaotik sering kali menyilang dan menyeroboti normatifitas yang dikendalikan unsur ethic manusia.

Dengan kata lain, sisi ethic yang kehilangan kendali atas sisi chaotic, mengakibatkan leluasanya sisi animalitas manusia menyimpang dari sisi manusiawinya. Di saat itulah melalui peran tutur lisan (atau tulisan), kata-kata justru berubah menjadi medium hasrat yang menerabas tatanan keharmonisan. Mulutmu akhirnya menjadi harimaumu.

Implikasi secara sosial dan kultural, kata-kata yang berhasrat dengan demikian mampu mengancam integritas yang sudah ada di dalam komunitas masyarakat. Bukannya menjadi medium pemersatu, justru kata-kata yang tidak “jinak” menjadi pemicu lahirnya perpecahan.

Syahdan, masyarakat hari ini dipenuhi anomalitas atau penyimpangan yang ditandai dari berubahnya keadaan ethic manusia menjadi situasi chaotik. Di medan bahasa, banyak sekali kata-kata beterbaran yang belum sempat dijinakkan. Kebudayaan akhirnya menjadi kawasan yang mirip hutan rimba; tanpa kendali dan karut marut. Bahkan tidak sedikit liarnya kata-kata, memakan banyak korban akibat dominannya sisi animalitas manusia.

Maka jangan heran, belakangan ini jika kita menengok di sekitar kita akan banyak kita temukan orang-orang yang memelihara harimau sebagai sarana wicaranya. Tak jarang bahkan tutur katanya lebih tajam dari sebilah pisau.

Nampaknya memang betul, sekarang banyak orang-orang menempatkan “hatinya” di belakang “lidahnya”.  

--

Terbit sebelumnya di Locita.co