Dengarlah Nyanyiaan Angin dan Akar-Akar Modernisme di Dalamnya


Identitas Buku:
Judul: Dengarlah Nyanyian Angin
Penulis: Haruki Murakami
Tebal Buku: IV + 119 halaman
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan: Keempat, Oktober 2018
ISBN: 978-602-424-407-1

DENGARLAH Nyanyian Angin ditulis Murakami dengan pembukaan yang jitu. Dimulai dengan pernyataan yang singkat tapi sekaligus menggoda: “Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.”

Bagi saya, kalimat ini pertaruhan Murakami dengan para pembacanya. Ibarat sedang berjudi, ia menaruh taruhan tinggi sejak di kalimat pertamanya. Jika ia kalah, si pembaca akan berhenti dan memikirkan hal lain tinimbang melanjutkan membacanya.

Namun jika menang –dan ini terjadi di setiap karangan-karangannya yang lain— ia layak menguasai benak pembacanya dengan dunia yang dikarangnya.

Kemenangan Murakami melalui kalimat pembukanya ibarat lubang hitam. Ia menarik dan sekaligus menyedot. Membawa arus perhatian pembaca masuk jauh lebih dalam kepada kalimat-kalimat apa yang bakal membawa pembaca merasakan dunia yang dibentangkan si pengarang. Dan seperti karangannya yang lain, dunia Murakami adalah dunia yang tidak biasa, dunia yang diliputi pernak-pernik emosi, kemuraman, gairah, kegelisahan, dan sekaligus ketidakpastian.

Dunia Dengarlah Nyanyian Angin berpusat kepada sosok Aku. Figur sentral tanpa nama namun menjadi pusat yang menggiring pembaca kepada kehidupannya yang khas anak muda: foya-foya, alkoholic, dan hidup dengan segala cara boleh.

Sang Aku adalah mahasiswa perguruan tinggi di Tokyo. Ia mengambil biologi sebagai disiplin ilmunya dan menyukai binatang. Memiliki hubungan cinta dan benci kepada dunia tulis menulis.
Suatu ketika si Aku berlibur di kota tempat tinggalnya di sebuah kota pelabuhan. Liburannya dimulai pada tanggal 8 Agustus 1970 dan berakhir pada 26 Agustus 1970. Di masa inilah batang tubuh kisah Dengarlah Nyanyian Angin bertopang.

Sadar tidak sadar disepanjang novel ini pembaca hanya diombang-ambingkanke dalam 18 hari sang aku ketika menghabiskan waktu liburnya dengan tipikal kehidupan anak muda yang sarat idealisme kebebasan.

Nezumi adalah figur kedua dalam kisah ini. Seorang pemuda kaya raya yang dikenal sang Aku di musim semi ketika di tahun pertama memasuki perguruan tinggi. Nezumi mengaku tak suka membaca buku, namun bercita-cita ingin menulis novel tanpa adegan seks dan kematian. Ketika sedang duduk di café ia lebih suka memesan panekuk dengan coca cola sebagai kuahnya. Mereka berkenalan dengan cara khas anak-anak muda pemuja kebebasan: mabuk-mabukkan.

Tanpa sengaja setelah menghabiskan berbotol-botol bir mereka sudah berada di dalam mobil Fiat hitam 600 milik Nezumi dengan kecepatan tinggi. Dalam keadaan mabuk mereka kecelakaan setelah memporak-porandakan pagar tanaman, halaman penuh bunga-bunga azalea, dan ringsek menabrak pilar bangunan.

Mereka berdua selamat. Sambil duduk di atas kap mobil sesaat setelah tubuh mereka hampir dilumat kematian, tanpa merasa ada yang perlu dikhawatirkan, mereka melanjutkan perkenalan itu dengan kembali menenggak bir di bibir pantai yang tak jauh dari lokasi kecelakaan.  Setelah peristiwa ini mereka semakin akrab.

Seperti kisah ditulis Murakami lainnya, semisal Norgewian Wood atau Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya, seringkali memiliki sosok perempuan yang dekat dengan tokoh utamanya. Di novel ini figur itu hanya ditulis sebagai seorang perempuan, tanpa nama dan usianya dibiarkan mengambang. Dengan kata lain sosok perempuan ini dikemukakan hanya sebagai seorang perempuan dengan karakter uniknya sebagai identitasnya.

Perempuan ini hanya memiliki sembilan jari setelah di masa kecil jari kelingkingnya putus dibabat mesin pemotong rumput. Dia bekerja di toko musik yang menjual piringan hitam. Dia tanpa segan mengaborsi janinnya setelah bercumbu dengan seorang lelaki yang tak dikenalnya.

Pertemuan sang Aku dan si perempuan juga terbilang unik. Mereka bertemu dalam suasana yang hampir sama seperti pertemuan sang Aku dengan Nezumi. Hanya saja si perempuan ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri setelah mabuk berat di lantai kamar toilet.

Kesamaanpertemuan antara si Aku dan Si perempuan dengan si Aku dengan Nezumi adalah mereka bertemu di café Jay’s Bar, tempat mereka bertiga sering menghabiskan waktunya.

Setelah mencari alamat si perempuan melalui tas yang dibawanya, si Aku membawa sang perempuan pulang. Esoknya gadis ini marah menemukan dirinya dan si Aku telanjang di atas tempat tidur. Dia mengira mereka sudah saling bercinta. Tapi setelahnya, hubungan mereka membaik setelah gadis ini menelepon sang Aku dan mulai mengajaknya makan dan jalan-jalan. Seperti Nezumi, sang Aku juga kian dekat dengan si gadis dari waktu ke waktu.

Suatu ketika gadis ini memberitahukan kepada Aku kalau dia akan berpergian. Lama kemudian gadis ini mengakui bahwa dia sebenarnya tak berpergian tetapi menjalani aborsi sehingga dia membutuhkan beberapa waktu untuk berpisah dengan Aku.

Kisah ini diakhiri dengan sang Aku yang melanjutkan hidupnya dengan menikahi seorang perempuan dan hidup langgeng di Tokyo. Berkat perubahan polah membaca, Nezumi menjadi penulis novel, Jay’s Bar menjadi jauh lebih luas dari tahun-tahun sebelumnya dan si Gadis berjari empat tak tahu kemana rimbanya.

Terakhir si Aku kemudian pergi ke Amerika untuk mengunjungi makam penulis yang dikaguminya: Derek Heartfield. Penulis ini mati bunuh diri dengan menerjunkan dirinya dari balkon gedung Empire State Building, New York.

Sang Aku sosok kebebasan tipikal modernisme


Figur sang Aku adalah sosok yang hidup di era 70-an. Di masa ini paham modernisme sedang jaya-jayanya di seantero dunia. Jepang di masa itu mengalami tarik ulur antara nilai-nilai tradisionalisme dan semangat modernisme. Singkatnya Jepang sedang mengalami transformasi besar-besaran dari kehidupan berbasis tradisionalisme dengan keinginan untuk maju dari ide-ide progresif modernisme.

Dalam konteks ini figur sang Aku yang menjadi sosok sentral menjadi suara Murakami untuk menunjukkan risiko kebaruan yang ditawarkan paham modernisme.

Sang Aku sebagai tokoh dinarasikan sama dengan semangat ke-aku-an modernisme yang otonom, bebas, dan merdeka. Ia menunjukkan simbol pembebasan dari belenggu tradisi, norma-norma, dan pandangan hidup masa lalu yang banyak membatasi ruang gerak masyarakat.
  
Kehidupan sang Aku jelas memperlihatkan semangat pemberontakan terhadap itu semua, dan persis seperti inilah risikonya. Sang Aku menjadi manusia merdeka namun sekaligus juga kehilangan pegangan.

Itulah sebabnya, kehidupan sang Aku ditunjukkan dengan semangat kebebasan yang meluap-luap tapi tanpa jaminan masa depan. Toh jika ada masa depan maka itu diwujudkan dengan cara menjalani hidup saat ini dengan segenap kebebasannya tanpa ada kekuatan lain yang mengikat.

Nezumi juga tipikal lain dari semangat modernisme, terutama sikap anti kemapanannya. Ini ditunjukkannya dengan pendiriannya yang sangat membenci orang kaya walaupun ia sendiri adalah anak orang kaya. Semangat Nezumi adalah semangat generasi pasca baby boomers yang menginginkan keterputusan kebiasaan, tradisi, dan pandangan dunia dari generasi di atasnya.

Dengan kata lain seperti juga sosok sang Aku, Nezumi adalah wujud kebebasan modernisme terutama dari kaum mudanya yang hidup dengan cara berbeda dari generasi tua yang lebih patuh dan kaku terhadap aturan moralitas entah agama maupun tradisi.

Bagaimana dengan si gadis yang menjadi teman sang Aku? Ia, terutama saat dikisahkan mengaborsi janinnya, adalah risiko kebebasan yang lain. Jika tindakan ini dilakukan di luar dari konteks penceritaan barangkali akan berdampak lain.

Si gadis, yang tidak sama sekali menunjukkan guncangan moral pasca mengaborsi, menandai tindakannya itu hanyalah peristiwa biasa saja. Tidak ada implikasi moralitas yang mesti dipikirkan di situ. Artinya aborsi atau jenis tindakan semacamnya sangat biasa dilakukan oleh wanita yang hidup dengan semangat yang sama di masa itu.

Jari kelingking yang hilang dari tubuh si Gadis menunjukkan secara tersirat eksistensi perempuan seperti pendakuan scholar psikoanalisis dan filsuf Yunani purba Sigmund Freud dan Aristoteles, misalnya.

Kedua pemikir ini berpandangan perempuan merupakan makhluk tak lengkap atau seperdua manusia.

Berdasarkan asal usulnya, sebagai eksistensi, perempuan tidak diciptakan dalam bentuk yang final dan lengkap. Perempuan tidak sesempurna laki-laki dengan tubuh dan akal yang pasti, fix dan sehat. Jari tangan yang cacat dari si Gadis adalah penanda metaforik yang mencerminkan itu semua.

Pencarian Identitas

Hampir semua tokoh karangan Murakami adalah anak muda. Dalam Dengarlah Nyanyaian Angin tokoh-tokohnya adalah pemuda-pemuda dalam masa transisi menuju dunia dewasa.

Mereka adalah orang-orang di dunia antara, yakni di sisi lain ada dunia generasi tua dengan sistem kehidupan yang mengusung tradisionalisme sebagai dasar moralitasnya, dan di sisi seberang ada dunia baru yang menjanjikan perubahan seperti yang ditawarkan ide-ide modernisme.

Tokoh-tokoh dalam Dengarlah Nyanyian Angin disimbolkan sebagai masa transformatif yang sedang dialami masyarakat Jepang. Anak-anak muda dengan kata lain adalah representasi keinginan untuk maju dan berubah namun sekaligus gamang untuk kembali kepada pangkuan ajaran generasi tua yang dianggap kolot dan anti perubahan.

Kegamangan ini menunjukkan sifat khas yang ditimbulkan paham modernisme yang memiliki implikasi terhadap identitas kebudayaan Jepang.

Baik sang Aku maupun Nezumi merupakan perlambangan dari dialektika ini. Keduanya adalah sosok simbolik cermin masyarakat Jepang yang dilanda kegamangan atas pencarian identitas di antara dua sumber paradigma yang saling beradu di lapangan kebudayaan Jepang.

Walaupun demikian, pencarian identitas ini bukan berarti tidak membawa konsekuensi apa-apa, melainkan suatu tanggungan yang mendatangkan benturan antara nilai lama dan paham baru. Efeknya jelas kelihatan ketika kebebasan yang diadopsi tokoh si Aku dan Nezumi merupakan jenis “kebebasan dari” dan belum menyentuh sama sekali tahap yang disebut “kebebasan untuk”.

“Kebebasan dari” adalah semangat yang bertolak dari tatanan sistem yang mengikat dan imperatif. Kehidupan si Aku, dengan gaya hidup a la anak muda yang memuja kebebasan, tanpa aturan, dan tanpa tujuan menjadi suatu model pemberontakan yang dikatakan tanggung.

Tiadanya cita-cita, tujuan, atau harapan menandai alam kebebasan si Aku masih diliputi ruang yang masih samar-samar. Tidak ada tanggungan moral, risiko perjuangan, maupun pengorbanan atas idealitas masa depan menjadikan pemberontakan si Aku hanya bermain-main tanpa pernah bertanya “kebebasan untuk” apa yang sedang diperjuangkan?

Syahdan, seperti di awal tulisan ini, Murakami telah memenangkan perjudiannya. Buktinya, nyaris tanpa disadari buku ini mengusung ujung cerita yang hampir tanpa klimaks. Ia mengalir begitu saja dan tiba-tiba pembaca sudah berada di halaman terakhir, persis suara angin yang mengalun ringan tanpa pernah dipertanyakan. Mengalir dan mengalir.

---

Telah terbit di Kalaliterasi,com

Vendredi si Teledor dan Revolusi di Pulau Harapan


Judul : Kehidupan Liar
Penulis: Michel Tournier
Penerjemah: Ida Sundari Husen
Penerbit: Gramedia Pustaka
Edisi: Pertama,  November 2016
Tebal: VII+ 135 halaman
ISBN: 978-602-424-142-1

REVOLUSI di sini hanya berarti kiasan. Yang terjadi sebenarnya adalah rontoknya bertahun-tahun kehidupan yang telah dibangun Robinson Crusoe di pulau tempatnya terdampar. Dinding gua-gua, kebun-kebun, peternakan, sejumlah alat rumah tangga dan harta karun yang disimpannya di dalam ceruk-ceruk gua luluh lantak akibat ledakan dahsyat.

Ledakan itu berawal dari simpanan mesiu yang disembunyikan Robinson di bawah dinding gua. Tanpa sengaja Vendredi si Indian, pembantu Robinson yang diselamatkannya dari upaya ritual pembunuhan, melempar pipa rokok secara asal-asalan.

Tanpa mereka duga, pipa itu malah jatuh di atas gentong-gentong bubuk mesiu. Dan seperti sudah diceritakan di atas, kejadian sepele itu menimbulkan ledakan maha dahsyat memakan hampir seperdua pulau itu. Apa boleh buat ternyata peristiwa itu akan berdampak serius bagi keberlanjutan kehidupan mereka di pulau asing yang tidak tercetak peta itu.

Awal mula cerita

Kisah Robinson Crusoe yang dikarang Michel Tournier, dibuka dari karamnya kapal La Virginie di sekitar perairan Chili, Amerika Selatan. Saat itu abad 18, masa ketika kapal-kapal dari benua Eropa mulai menarik jangkar dan berlayar menuju negeri-negeri jauh di sebelah Selatan dan Timur Eropa. La Virginie –kapal yang ditumpangi Robinson Cruose—diceritakan akan menuju Chili dalam rangka perdagangan.

Tapi apa daya, di tengah lautan badai menyergap. Kapal LaVirginie karam setelah menghantam gugusan batu karang. Dari kejadian itu hanya Robinson Crusoe yang selamat. Ia kemudian terdampar di suatu pulau tak berpenghuni yang tak diketahui siapa pun.

Seketika siuman dan berbulan-bulan membuat perahu penyelamatan dan kemudian gagal, Robinson menyadari bakal hidup lama dan jauh dari kehidupannya semula. Dengan kata lain, ia satu-satunya manusia di pulau itu, dan tak ada satupun alat yang mampu menghubungkannya dengan dunia luar. Seolah-olah yang namanya kehidupan harus dimulai lagi dari titik nol. Dan satu-satunya manusia yang diberikan tugas untuk memulainya adalah Robinson sendiri.

Dengan bekal apa adanya setelah lolos dari depresi dan halusinasi Robinson mulai  terbuka dengan kehidupan pulau itu. Pertama-tama ia membangun tempat tinggal di dalam gua, membangun benteng pertahanan, menetapkan sumber-sumber makanan, beternak, bercocok tanam, dan membuat peraturan-peraturan dan mengangkat dirinya sebagai gubernur di pulau itu dan berbagai hewan liar dan tumbuhan sebagai penduduknya.

Setelah merasa mantap Robinson kemudian  menamai pulau itu Speranza yang berarti harapan.

Vendredi si teledor pencetus revolusi

Vendredi mulanya datang tanpa sengaja bersama sekelompok suku Indian yang dipimpin seorang dukun. Mereka singgah di pulau tempat Robinson tinggal untuk melakasanakan ritual penebusan. Tanpa diduga, setelah  melalukan jampi-jampi, sang dukun menunjuk Vendredi sebagai tersangka baru dan juga harus segera dibunuh ke dalam api unggun. Dengan kaget Vendredi tidak terima dan berusaha kabur ke dalam hutan pulau. Di dalam hutan, tanpa sepengatuan mereka peristiwa itu diintip Robinson di balik semak-semak.

Dengan sekali tembakan Robinson menyelamatkan Vendredi dari kejaran orang Indian di belakangnya. Sontak melihat ada yang mati karena letusan tembakan membuat orang Indian tersisa  kabur meninggalkan pulau. Vendredi selamat dan berhutang budi kepada Robinson.

Peristiwa itu membuat keduanya seperti menemukan oase di padang pasir. Robinson setelah bertahun-tahun hidup sendiri akhirnya menemukan seseorang yang bisa diajaknya berbicara. Bagi Vendredi, Robinson adalah juru selamat yang menyelamatkan nyawanya dan oleh karena itu ia rela dipertuan Robinson.

Maka untuk pertama kalinya pulau itu diisi dua sosok manusia. Sebagai gubernur pulau Speranza, Robinson banyak mengajari tata krama dan aturan main selama hidup di pulau kepada Vendredi. Memberinya tugas memerah susu kambing, bercocok tanam hingga membuka ladang baru dan memetik buah-buahan. Selama hidup di pulau tak sedikit pun Vendredi menunjukkan gelagat perlawanan. Ia patuh dan taat kepada Robinson. Bahkan hanya untuk menunjukkan sikap orisinilnya sebagai suku Indian pun tidak.
Sampai akhirnya terjadi peristiwa  yang sudah diceritakan di awal. Suatu ledakan mengubah segalanya. Mirip-mirip ledakan revolusi, ledakan di pulau Speranza  membalikkan keadaan 180 derajat dan mengaturnya kembali.

Tidak ada lagi hunian yang pernah didirikan Robinson, peternakan dan ladang-ladang hangus terbakar. Kambing-kambing lepas menjadi liar kembali. Dan gua-gua tempat penyimpanan harta benda yang disembunyikan Robinson raib ditelan reruntuhan dinding gua. Singkatnya, semuanya  di pulau itu dimulai dari nol kembali.

Perubahan drastis ini juga berdampak dari bebasnya Vendredi terhadap tuntutan-tuntutan yang semula dibebankan kepadanya. Ia tidak lagi bekerja rutin seperti biasanya lantaran tidak ada lagi yang patut dikerjakan.


Robinson juga sudah legowo menerima keadaan yang baru ini. Dan Vendredi untuk pertama kalinya bebas melakukan apa saja sesuai keinginannya.
Ledakan itu dengan kata lain telah membebaskan Vendredi dari aturan main yang dibuat Robinson.  Tidak ada lagi siapa tuan siapa hamba. Tidak ada lagi Robinson yang superior menentukan gerak gerik Vendredi. Begitu pula Vendredi bukan lagi objek tindakan yang inferior.  Berkat ledakan itu Vendredi dan Robinson mengawali suatu hubungan yang cenderung aneh untuk ukuran saat itu: mereka setara secara kemanusiaan.

Dialog peradaban

Hidup bebas yang diterima Vendredi membuat Robinson banyak belajar dari dirinya. Jika sebelum ledakan Vendredi cenderung pasif menerima belajar apa saja dari Robinson, kali ini malah Robinson-lah yang banyak belajar dari Vendredi.

Seolah olah dalam interaksi Robinson dan Vendredi sama-sama mewaliki dua pengalaman kebudayaan yang saling belajar satu sama lain. Semula Venderi diajarkan bahasa inggris agar bisa berkomunikasi dengan Robinson. Dia diajarkan cara memerah susu, bercocok tanam, dan lain sebagainya agar dapat hidup harmonis di dalam pulau. Tapi itu saja tak cukup, di luar pemahaman Robinson, Vendredi malah memiliki segudang pengalaman yang bersumber dari pengalaman kolektifnya selama hidup sebagai seorang Indian.

Misalkan saja, Vedredi mengajarkan pengetahuan kuliner kepada Robinson, sesuatu yang tidak ia temukan dalam hidup orang-orang Eropa. Bagaimana membuat burung bakar tanpa repot-repot mencabuti bulunya dengan membakarnya setelah digulung menggunakan lumpur basah. Bagaimana memanfaatkan getah tanaman manis untuk membuat gula cair dan karamel. Bagaimana membuat makanan kaya rasa dengan mencampur buah-buahan yang berlainan rasa…

Robinson juga ditunjukkan cara membuat panah unik dari batang pohon yang menjadi mainan bagi Vendredi. Cara membuat busurnya, dengan apa ekornya dibuat, dan menggunakan bahan apa untuk membuat mata anak panah agar memiliki laju yang baik ketika di udara…

Di lain waktu dengan memanfaatkan tulang-tulang kambing, Vendredi berhasil membuat takjub Robinson ketika menciptakan alat musik menyerupai harpa. Dan yang tak kalah uniknya berkat kulit kambing yang dikeringkan, Vendredi membuat layang-layang yang dapat diterbangkan untuk memancing ikan.

Semua hal itu adalah hal-hal baru yang dilihat Robinson. Selama ini melalui peradaban Eropa-nya ia mengira telah menjadi satu-satunya wakil kebudayaan. Tidak diduga, di luar dari jangkauan pengetahuan Eropanya, masih banyak jenis pengetahuan yang berasal dari kebudayaan-kebudayaan yang beraneka ragam.

Kritik modernisme

Setelah lebih 30 tahun—Robinsont tidak mengetahui hal ini karena tidak ada kalender dan alat hitung waktu semacamnya—untuk pertama kalinya sebuah kapal singgah di pulau Speranza. Peristiwa langka itu juga menunjukkan untuk pertama kalinya Robinson melakukan kontak dengan orang-orang luar.

Pertemuan itu serasa ganjil dan aneh di mata Robinson. Setelah hidup bertahun-tahun oleh alam liar, hati Robinson sangat peka terhadap perilaku yang tidak menunjukkan rasa hormat dan  sopan santun. Hal ini dirasakannya dari sifat awak kapal yang semaunya mengobrak-abrik isi pulau karena dianggap masih liar; mengambil air semena-mena, memotong pohon tanpa sikap hormat, dan menyembelih kambing tanpa rasa kasihan.

Semua itu membuat Robinson merasa sanksi terhadap peradaban yang melahirkan orang-orang semacam itu. Dalam hatinya ia mempertanyakan kehidupan macam apa yang telah membuat orang-orang menjadi beringas dan tak bersopan santun.  Ia lebih baik hidup di alam liar dan jauh dari peradaban jika itu satu-satunya model kehidupan yang lebih manusiawi.

Itulah sebabnya,  di akhir cerita Robinson memilih untuk tinggal di Speranza selama-lamanya. Peradaban di luar sudah tidak cocok dengan jiwanya. Ia lebih merasa manusiawi hidup di alam liar dari pada harus dituntut ini-itu oleh perabadan yang ia nilai penuh keangkuhan.

Bagaimana dengan Vendredi? Setelah tercengang oleh arsitektur kapal yang baru pertama kali dilihatnya, ia melarikan diri di malam hari dan ikut berlayar bersama kapal di pagi hari yang masih kental. Ia kali kedua berbuat teledor. Itu artinya Vendredi akan ikut bergabung ke dalam kehidupan peradaban yang makin saklek, imperatif, dan tidak manusiawi. Setidaknya dari mata seorang Robinson.

Agama dan Toleransi

TOLERANSI. Waktu masih domisilika di Kupang, NTT, sebelum meletuski kerusuhan 98 dan kasus Tim-Tim, yang namanya perbedaan atas keyakinan belum menjadi masalah kayak begini. Tetangga-tetanggaku tidak pernah pusing kalo di lingkungan mereka hidup keluarga-keluarga muslim.

Bahkan, yang namanya urusan ibadah setiap tetangga bebas melakukan tanpa ada beban moral merasa tertekan dan was-was. Kami, yang hari itu memang minoritas muslim, begitu juga. Tidak ada itu dibilang ada unsur masyarakat yang kajili-kajili menegur kalo mereka merasa terganggu. Semua baik-baikji.

Waktuka SD ketua kelasku muslim. Dan perempuanki juga --yang mungkin hari ini sulitmi didapat karena biar masalah agama dibawa-bawa juga sampai di lingkungan sekolah. Uniknya di kelasku mayoritas murid-murid Kristen. Ibu wali kelasku juga Kristen. Kepala sekolah juga Kristen, dan memang rata-rata guru-guruku mayoritas Kristen. Tapi biar mamo Kristen, mereka semua baik-baik. Tidak pernahji bawa-bawa agama ketika mengajar. Cara memperlakukan murid juga begitu.

Yang unik kalo pelajaran agama, digabungki kelasku menjadi satu kelas dari kelas A dan kelas B. Jadi ceritanya murid-murid muslim digabung menjadi satu, dan yang Kristen digabungki juga. Karena bersampinganji kelaska saat itu, biasaka sayup-sayup dengarki pelajaran agama Kristen di kelas sebelah. Sementara di kelasku nama Muhammad sering disebut-sebut, oleh ibu Bene --wali kelasku yang merangkap guru agama Kristen--sering kudengar nama Yesus disebut-sebut. Yang beginian biasaji bagi kami. Tidak ada yang mesti ditanggapi bagaimana. Alhamdulillah tidak tonja pindah agama.

Pernah tong dulu kakakku, Ima, seringka na ejek-ejek sama teman perempuanku. Jadi dulu ada temanku namanya Elizabeth, dia hitam, rambutnya sering diikat pake gelang tangan, dan ditaumi kalo masih SD, masih belumpi ada cantik-cantikna. Intinya ini Elizabeth lucu-lucuki mukanya --untuk tidak mengatakan jelek--lebih seperti kalo muka mengantuk diliat.

Nah, seringka biasa naganggu-ganggu kalo macewe-ceweka sama itu Elizbeth. Caranya mengejek napanggilka dengan nama Elizabeth dengan nada tertentu yang didayu-dayukan. Kalo begitumi, biasaka jengkel, dan anehnya kalo marahka bukan karena dia Kristen. Tapi hanya karena itu jelekki kulihat.

Di sini seandainya sensitifki karena agama, pasti dasar penolakanku --walaupun masih kecilka--sudah mengatasnamakan agama. Tapi, kenyataannya ndak begituji. Semata-mata memang tidak kusukaki.

Di Kupang tidak banyakji masjid. Tapi tidak bagus tong dibilang kalau jarang ditemukan. Yang sering banyak ditemukan di Kupang adalah Gereja. Kalo ke sekolahka dan memang dekat sekolahku ada gereja besar bercat putih. Bangunanya jammaki bilang, besar dan tinggi-tinggi. Kalo nontonki film-film bersetting abad 19, mirip-miripki bangunannya.

Waktu masih tinggal di sekitar jalan Lalamentik, Oebofu, setiap hari minggu ada tetanggaku yang adakan sekolah minggu. Di situ, di terasnya, selalu banyak kulihat anak-anak berkumpul kayak tong pengajian. Kegiatannya kalo tidak salahkan diisi dengan ceramah keagamaan. Kadang tong tentang kisah-kisah murid-muridnya Yesus.

Biasa tong kalo akhir pekan, tetangga-tetanggaku bersembahyang dengan menyanyi-nyanyi berisi puja pujian. Kalo dekat dari gereja, enak tong kudengar kalo suara puji-pujiannya dinyanyikan secara bersama-sama. Samar-samar ada yang bergerak dalam hatiku. Mungkin itumi dibilang iman. Tapi, bukanki iman yang adami labelnya. Ini imannya iman. Yang dimiliki tong semua agama. Kalo bulan Desember begini bulan paling bahagia. Waktunya libur sekolah. Banyak tommi film-film kartun bisa dinonton. Kalo di rumah datangmi itu teman-temannya mamakku bikin kue dan buras menyambut idul fitri --dulu ndak tau kenapa selalu berdekatan dengan hari Natal.

Kalo maumi masuk minggu-minggu akhir barusannya itu rumah-rumahnya tetanggaku banyak dipasangi lampu-lampu hiasan. Ada tong lengkap dengan pohon natal dan patung-patung Yesus. Karena maumi natal, banyak teman-temanku sibuk semuaki ke gereja.

Yang kusuka kalo natalmi waktunyami pergi siarah di tetangga-tetanggaku. Biasa penuh kantongku dengan kue. Kalo beruntung biasa banyak kubawa pulang coca cola, sprite, atau fanta. Semua senang semua bahagia sama-sama merayakan hari natal. Tidak ada yang saling mawas apalagi berprasangka buruk.

Di Kupang itu mayoritas Kristen Katolik. Ada tong tetanggaku Kristen Adven. Kalo yang ini berpantang tidak makan daging. Ada juga orang Hindu yang di depan rumahnya lengkap didirikan tiang-tiang tempatnya nasimpan benda-benda peribadatannya. Masih kuingat di depannyami rumahnya tetangga Hinduku seringka ambil lempar asam. Kalo hari raya Nyepi, tidak pernah keluar-keluar tetanggaku seharian. Tetanggaku yang Kristen juga supaham, tidak ada yang bikin aktivitas-aktivitas mencolok.

Di Kupang juga banyak anjing. Ada beberapa tetanggaku pelihara anjing. Kadang kalo sore-sore main bolaka, ada tommi anjing ikut-ikut berkeliaran kemana tuannya pergi. Jinakki anjingnya. Cuman biasa takutka dekat-dekat karena haram kena air liurnya. Walaupun begitu tidak pernahka risih kalo adaki itu tetanggaku datang dengan anjingnya.

Satu contoh toleransinya tetanggaku yang nonmuslim, kalo ada mau nakasihki makanan bukan makanan jadi, tapi makanan kemasan. Bahkan kalo nakasihki ayam, ayam hidup nakasihki karena nataumemammi beda carata potong ayam. Mereka paham kalo orang Islam mau makan ayam jika napotong pasti ada dibacai.

Satu hal yang tidak bisa kulupa. Ketika kerusuhan 98 dan merebak kasus Tim-Tim ke kota Kupang --tidak lama dari kasus Ambon-- saat banyak rumah-rumah orang Islam dirusak dan ada yang dibakar, tetangga-tetanggaku yang Kristen yang bersedia tampungka sekeluarga di rumahnya. Saat takut sekaliki tinggal di rumah karena jangan sampai ikut jadi korbanki juga. Makanya dengan ikutki di rumahnya tetanggaku mereka yang pasang badan kalo ada apa-apa.

Saat itu memang mencekam. Sering mati lampu. Kalau malam sering didengar tiang listrik dipukul-pukul. Banyak rumah jadi korban. Sekolah-sekolah diliburkan. Bahkan hampir satu kota Kupang mendadak sunyi dan tidak ada aktifitas. Tidak lama didengarmi banyak orang Islam dicari-cari.

Tapi itu hanya dipermukaan. Di lingkunganku yang belum termakan provokasi malah tetangga Kristenku yang bantuki. Mereka yang amankan kami-kami di rumah-rumahnya. Dengan begitu kami sekeluarga cukup merasa aman.

Banu di Antara Cerpen-Cerpen Eka Kurniawan


Judul : Corat-coret di Toilet
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka
Edisi: Pertama,  April 2014
Tebal: 130 halaman
ISBN: 978-602-03-0386-4

AGAK aneh merasakan sensasi membacakan cerpen kepada bayi yang belum genap empat bulan. Pengalaman ini saya alami langsung ketika sudah empat hari berturut-berturut membacakan Banu cerpen-cerpen karangan Eka Kurniawan.

Cerpen-cerpen itu saya comot bebas begitu saja dari rak buku. Kebetulan Corat-Coret di Toilet-lah yang pertama kali digapai tangan saya. Walaupun jauh di alam bawah sadar, nama Eka Kurniawan sudah menjadi canon sastra kiwari. Ini tidak lebih dari betapa –sadar tidak sadar- karangan Eka Kurniawan, terutama Cantik Itu Luka, sedikit banyak mengubah persepsi saya tentang –khususnya- moralitas manusia.

Seperti diketahui Cantik Itu Luka adalah karangan yang kompleks meriwayatkan sejarah Indonesia mulai masa penjajahan sampai rezim orde baru. Dengan menggunakan berbagai macam teknik canggih –menginovasikan teknik tutur lisan, peristiwa sejarah politik, cerita rakyat, realisme magis, dan permainan plot yang sulit diterka— karangan  ini menyuguhkan kisah generasi satu keluarga saat melalui berbagai peristiwa politik, masa kolonialisme yang panjang dan kemerdekaan dari negeri yang bernama Halimunda.

Uniknya, kisah ini bermula dan bertumpu dari sosok seorang perempuan dan diakhiri pula oleh nasib seorang perempuan. Melalui kisah dari perempuan, dan berakhir kepada perempuan itulah banyak tokoh-tokoh unik dan aneh yang berhasil mencerminkan betapa kebaikan dan keburukan bukanlah sesuatu yang ajeg apalagi dapat dikukuhkan fix oleh suatu rezim kekuasaan.

Bahkan, bercerita tentang suatu peristiwa sejarah, novel ini sangat berhasil menyusupkan sejenis premis ke dalam benak pembacanya bahwa kebenaran sejarah bukanlah ayat-ayat suci sebagaimana diciptakan Tuhan. Sejarah adalah rekam jejak kekecewaan dan harapan manusia, yang dengan kata lain, karena sifatnya yang demikian sangat wajar untuk dibicarakan dan digugat.

Itu artinya, sejarah adalah sejarah:  ia berasal dari bawah kaki dan dikerjakan tangan manusia, dan karena itu adalah sangat mungkin untuk diubah, dibangun, direncanakan dan diperjuangkan sama-sama.

Kembali ke soal anak saya, Banu. Barangkali memang bukan waktunya untuk Banu mendengarkan cerita-cerita yang sejak semula tidak pernah dibayangkan penulisnya diceritakan untuk seorang bayi. Untuk anak-anak saja tidak apalagi bagi seorang bayi.

Makanya hal ini membuat saya berspekulasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan. Apakah ada pengaruh signifikan bagi Banu ketika dibacakan cerpen-cerpen seperti karangan Eka –ini juga berlaku bagi karangan sastrawan  lain.  Jika ada, dalam bentuk apa pengaruh itu dapat dilihat? Bagaimana cara mengenalinya? Dan di saat kapan pengaruh itu dapat diidentifikasi?

Belum lagi jika pengaruh itu melibatkan unsur baik-buruk di dalamnya. Apakah membacakan cerpen itu baik bagi perkembangan pikiran Banu, kejiwaannya? Jika baik, seperti apa kebaikan itu dialami bagi Banu? Lantas kalau malah sebaliknya, sedemikian burukkah efek yang bakal ditimbulkan dari kebiasaan ini? Apakah buruk bagi Banu berarti akan berdampak fatal bagi perkembangan kejiwaannya?

Dari pertanyaan spekulatif itu membawa saya kepada satu keadaan. Saya sesungguhnya sedang terjebak dalam eksperimen sederhana. Dan kelinci percobaanya adalah Banu, anak saya sendiri –maafkan bapakmu ini, nak.

Mungkin saja telah banyak penelitian yang berhasil mengungkapkan dampak dari seperti yang saya lakukan. Bahkan, di negara-negara maju konon sejak awal anak-anak sudah diakrabkan dengan cerita maupun kisah berupa legenda, sejarah, fabel, biografi, cerita anak, teka-teki, folk klor, mitos, dan karangan sastrawan kanon agar ikut membentuk kepribadian sang anak.

Beberapa waktu lampau, ketika salah satu stasiun televisi menayangkan perlombaan dai cilik, saya tertegun melihat anak-anak kecil yang belum berusia di atas lima tahun sudah mampu menghapal sejumlah juz Al Quran. Ketika orang tuanya ditanya kenapa hal itu bisa terjadi, mereka menjawab ketika masih dalam kandungan setiap subuh sang anak sudah dibaca-dengarkan Al Quran.

Itulah mengapa ketika sang anak dituntun menghapal ayat-ayat suci Al Quran, dengan mudah kebiasaan yang sudah rutin dilakukan ketika janin masih seukuran buah belimbing, banyak membantu daya ingat anak-anak mereka. Dengan gampang, di acara itu si orang tua  tanpa banyak kesulitan menjelaskan bahwa sebenarnya ini hanya soal kebiasaan saja.

Saat mendengar penuturan itu Banu masih berbentuk janin berusia sekitar lima bulanan. Diusia seperti itu, Banu masih sebesar buah mangga. Segera hal yang sama juga ingin saya lakukan. Tapi sial, menyadari kebiasaan buruk mengenai tradisi membaca Al Quran, hal itu buru-buru layu sebelum berkembang. Praktis hanya berhenti menjadi niat belaka.

Lantaran memang Banu bukan disiapkan demi acara dai cilik, kebiasaan mendengarkan Al Quran saya serahkan diambil alih ibunya saja.

Dengan rasa bersalah bukan menjadi ayah yang demikian relijius, dan hanya mampu bermodalkan surah-surah pendek, kegiatan memperdengarkan Banu dengan hal-hal baik saya tukar dengan membacakannya cerpen-cerpen di saat ini.

Tapi sampai di sini hal-hal ganjil mulai bermunculan. Terutama ketika itu berhubungan dengan tema cerita pendek Eka. Cerpen pertama yang saya bacakan kepada Banu adalah Corat-Coret di Toilet: cerpen yang demikian mengasyikkan menceritakan nasib toilet yang menjadi panggung aspirasi. Alih-alih melihat toilet sebagai ruang marginal, cerpen ini  malah mengambil sisi lain dari dinding toilet.

Melalui toilet itu dengan dari mahasiswa yang beragam latar belakang pilihan politiknya –dari kiri, punk, mahasiswa hedonis, ayam kampus, sampai mahasiswa pro orba—membuat dinding toilet menjadi arena aspirasi, kritikan, kekecewaan, harapan, celetuk nyeleneh terhadap rezim orba saat itu yang dikenal otoriter dan kejam.

Ditulis menggunakan spidol, arang, bulpen, dan bahkan lipstik komentar-komentar yang menyerempet kekuasaan di dinding itu menyerupai wahana politik di gedung parlemen. Tanpa disadari, di ruang gelap toilet, demokrasi malah demikian tegak dan tanpa sensor.

Uniknya walaupun coretan di dinding toilet itu ditulis oleh orang-orang yang tidak saling ketemu dan tidak saling kenal, tetap saja mereka diikat dalam satu rangkaian wacana yang mengundang komentar satu sama lain demikian panjang memenuhi dinding toilet.

Jika melihat konteks gerakan reformasi 98, nampaknya kejadian berbalas komentar di toilet dalam cerpen ini seolah-olah menunjukkan bagaimana bekerjanya wacana penumbangan orba sebelum peristiwa 98 yang semula saling terserak, terpencar, dan hanya mengemuka di ruang-ruang sempit di luar jangkauan intel-intel orba, akhirnya berhasil menjadi kumpulan tekad dan gagasan yang searah dan padu yang berhasil menjatuhkan kekuasaan 3 dekade lamanya

Bagi siapa saja yang membaca cerpen ini pasti menangkap aroma politik dan subversif di dalamnya. Malah terasa kental dan demikian telanjang.

Itulah sebabnya, menyadari hal ini, yang ganjil tadi itu menyadarkan saya apakah faedahnya bagi Banu "mendengar" cerita yang lumayan tebal unsur politiknya. "Kesadaran" macam apa yang hinggap dalam "pemahamannya"? Mengingat ia belum mengerti apa-apa, semakin aneh melihat dampaknya ke depan kelak ketika ia dewasa dari endapan cerita politik yang pernah "didengarnya"

Saya tahu Banu belum mampu melakukan itu semua, tapi ini demikian menyenangkan bagi kami berdua.

Di sisi lain secara bersamaan, sebaliknya, cerpen yang saya bacakan ini ikut andil membentuk ulang pemahaman mengenai sisi-sisi yang belum saya temukan ketika pertama kali membacanya.

Berturut-turut secara acak saya membacakan juga Peter Pan, Dongeng Sebelum Bercinta, dan Rayuan Dusta untuk Marietje. Dari judulnya saja tiga cerpen ini sudah sangat tidak selaras diperdengarkan bagi anak-anak apalagi bayi.

Singkatnya, Peter Pan bercerita tentang seorang gadis  bernama Tuan Putri yang memiliki kekasih aktivis berhaluan kiri. Kekasihnya ini memiliki kebiasaan mencuri ribuan buku dari mana saja dan menyukai menyebarkan selebaran berbau provokatif. Ia juga seorang penyair yang sering mengkritik pemerintah melalui puisinya. Peter Pan demikian ia akhirnya diringkus dan hilang tanpa diketahui di mana ia berada. Sang Tuan Putri akhirnya hanya menikahi sang aktivis dengan diwakili puisi-puisinya.

Kisah Dongeng Sebelum Bercinta menyerupai kisah 1001 malam. Diceritakan Alamanda di tiap malam berhasil menunda percintaan dengan suaminya dengan cara mendongengkan Alice Adventures in Wonderland. Ia menikah setelah dijodohkan orang tuanya. Sebelum cerita berakhir mereka bersepakat tak akan memulai malam pertamanya. Akibat itu sang suami sering merasa dongkol dan mengalami mimpi basah lantaran tak mampu menahan hasrat bercintanya. Tanpa disadari sang suami, kelakuan Alamanda menunda percintaan melalui berdongeng adalah strategi mengulur waktu demi menyembunyikan satu fakta sederhana: Alamanda tidak lagi perawan setelah melalui malam-malam panas dengan mantannya.

Sementara Rayuan Dusta untuk Maritje merupakan cerita berseting awal abad 19 di tanah Hindia Belanda. Kala itu pendudukan bangsa Belanda di Hindia Belanda banyak diikuti pemuda-pemuda lajang sebagai pasukannya. Mereka rela berpergian jauh sampai ke tanah Nusantara bukan saja dimotivasi untuk perang, tapi juga sekadar mencari pekerjaan setelah tersiar kabar berlimpahnya hasil-hasil bumi di tanah jajahan.

Di dalam keadaan inilah tokoh Aku sebagai pasukan yang ingin hidup berpasangan di tanah jajahan terdorong mengajak kekasihnya untuk menyusulnya. Uniknya sang Aku tidak ingin mencari pasangan dari gadis pribumi yang dinilainya rendahan dan barbar. Sang Aku ingin mempertahankan kemurnian rasnya dengan cara memiliki pasangan yang juga berbangsa sama.

Akhirnya suatu waktu lewat surat rayuan datanglah kekasih sang Aku dari jauh dari tanah Belanda. Namun apa daya, seperti dijanjikan negeri yang kaya raya itu malah sedang berkecamuk perang. Bukan negeri tenang dengan kemakmuran tiada tara. Di balik itu, bukannya demi negaranya apalagi sang ratu Belanda, si aku berperang terlebih karena motif kekasihnya. Ia berperang demi perempuan.

Ketiga cerita belakangan memiliki suara  yang hampir mirip, sama-sama menyuarakan betapa runyamnya yang namanya kebebasan. Kebebasan betapa pun ia adalah hak dasar dan inheren dalam setiap jiwa manusia. Kebebasan akan mudah hilang jika tidak memiliki keberanian menjaganya.

Itulah sebabnya, kebebasan yang direnggut dari tangan sendiri dan tanpa perlawanan disebut sebagai penindasan. Di masing-masing cerita di atas premis ini ditunjukkan secara tersembunyi, tapi justru malah mudah merasakannya karena pengalaman serupa adalah pengalaman yang dialami bangsa sendiri.

Dengan isu berat itu, saya hanya membacakannya tanpa henti tanpa menunggu Banu memintanya. Apalagi mengintrupsinya untuk berhenti. Dengan kata lain, aktivitas ini sedikit banyak bukan berarti demi Banu semata, namun juga kenikmatan bagi saya ketika menyarikannya untuk diri pribadi.

Sering saya mengatakan setiap laki-laki itu memiliki dua perempuan yang dibenci dan disukainya sekaligus. Perempuan pertama adalah perempuan ideal di setiap benak laki-laki. Perempuan ini sering banyak mengisi imajinasi laki-laki untuk melihat perempuan kedua, yakni perempuan kongkrit yang ada di hadapan si laki-laki. 

Jika perempuan kekasih si laki-laki yang ada di hadapannya itu jelek maka ia membencinya melalui kaca mata perempuan ideal dalam benaknya. Sebaliknya jika rupawan, maka ia sesungguhnya sedang mencintai dua perempuan sekakigus.

Sebagaimana perempuan, di mata seorang laki-laki, terutama ketika telah menjadi seorang ayah, ia sesungguhnya sedang berhadapan dengan dua anak sekaligus. Anak pertama adalah anak biologis yang dilahirkannya melalui rahim perempuan istrinya, dan yang kedua adalah sang anak dalam rahim benak sang bapak. Anak dalam benak sang bapak setiap kali adalah idealisasi dari semangat, harapan, nilai, gagasan, dan cita-cita yang berkaitan dengan masa depan sang anak. Walaupun demikian, kadang, anak yang kedua, tidak pernah akan lahir dan mati begitu saja seiring berkembangnya sang anak biologis lantaran dibiarkan begitu saja.

Tapi ada juga ketika sang anak dalam benak dilahirkan, dirawat dan dibesarkan melalui tubuh anak biologis. Di saat ini, dengan kata lain, sang anak biologis dilihat dari anak dalam benak sang ayah. Dengan kata lain lagi,  si anak biologis tumbuh berkembang dibesarkan dalam terang semangat, cita-cita dan harapan sang anak ideal, anak dalam benak sang ayah.

Syahdan, seperti anak-anak lainnya, Banu adalah suatu proses panjang menyangkut dialog, tarik ulur, negoisasi, tawar-menawar, dan bahkan kompromi antara saya (tentu juga ibunya) dan dirinya sendiri dalam hal perkembangan dirinya. Proses ini akan banyak melibatkan energi dan pemahaman, dan seiring waktu akan tiba saatnya semua itu menunjukkan hasil. Suatu perjudian besar memang. 

Robinson Crusoe dan Kehidupan Liar di Pulau Harapan


Judul : Kehidupan Liar
Penulis: Michel Tournier
Penerjemah: Ida Sundari Husen
Penerbit: Gramedia Pustaka
Edisi: Pertama,  November 2016
Tebal: VII+ 135 halaman
ISBN: 978-602-424-142-1

KEHIDUPAN LIAR. Semalam, dengan terengah-engah, saya baru saja menyelesaikan novel klasik karangan Michael Tournier: Kehidupan Liar. Pasca itu saya berusaha menuliskan apa saja yang bisa saya ungkap dari novel yang mengasyikkan ini. Walaupun begitu, tulisan yang saya bikin belum rampung juga. Karena diserang kantuk, draf yang baru dua halaman itu saya simpan belaka untuk nanti dilanjutkan kembali.

Kehidupan Liar becerita tentang Robinson Crusoe, seorang pria yang terdampar di pulau tak berpenghuni akibat kapal yang ditumpanginya karam dihantam gugusan batu karang di sekitar perairan Chili.

Selama tiga puluh tahun --sesuatu yang tidak diketahuinya-- ia bersama Vendredi, pria keturunan suku Indian yang diselamatkan Robinson dari upacara pengorbanan kematian, menjalani cara hidup yang demikian asing dari peradaban manusia ---saat itu abad 18.

Robinson awal mula menghadapi banyak masalah di hari-hari pertama di pulau itu. Hal paling pertama dipikirkannya adalah bagaimana cara meninggalkan pulau yang tak dikenalinya itu.

Setelah gagal menurunkan perahu di perairan yang dibuatnya (ia membuatnya jauh dari bibir pantai --sesuatu yang tidak pernah dilakukan pelaut mana pun), ia mengalami depresi berat lantaran berpikir akan terkurung sendirian tanpa bekal apa-apa dalam waktu yang lama.

Di titik ini Tournier dengan piawainya menggambarkan keadaan jiwa Robinson yang kalah dengan nasibnya itu (bayangkan jika Anda adalah Robinson terjebak dan mengetahui tidak akan mampu keluar lagi dari pulau asing itu).

Pertama-tama Robinson cukup yakin dengan keputusannya dapat membuatnya keluar dari pulau itu dengan membuat perahu. Berhari-hari dengan keyakinan yang sama, dengan peralatan sederhana, ia menghabiskan seluruh energi dan upayanya agar perahu itu dapat rampung.

Namun, setelah perahu itu jadi, betapa kagetnya ia ketika menyadari perahu yang dibuatnya dibikin jauh dari bibir pantai (ini semua karena Robinson mengikuti kisah Nabi Nuh yang ia baca di dalam injil yang ditemukannya di dalam bangkai kapal La Virginie kapal yang ditumpanginya sebelumnya --Nabi Nuh tidak perlu membawa perahunya sampai ke pantai. Cukup ia menunggu banjir bandang seperti dijanjikan Tuhan kepadanya).

Dengan mengandalkan sisa-sisa semangat yang masih ada, Robinson mengganjal kayu gelondongan di bawah perut perahu dan berusaha mendorongnya sampai ke pinggir pantai. Walaupun begitu apa daya, perahu yang beratnya 500 kg itu tidak bergeser sama sekali.

Tak habis akal Robinson membuat parit dari bibir pantai hingga ke lokasi perahu itu berada. Ia menggali dan menggali. Setelah mengkalkulasi lamanya waktu untuk pekerjaan itu, ia akan menghabiskan waktu puluhan tahun hanya untuk sebuah parit. Suatu pekerjaan yang sia-sia belaka.

Setelah semua usaha itu hancur total Robinson diserang keputusasaan. Robinson yang semula bersemangat pada akhirnya mengalami gangguan jiwa --gangguan jiwa dalam arti kehilangan pegangan, kekecewaan yang sangat sehingga menerima hidup dengan apa adanya tanpa ada usaha sedikit pun untuk memperjuangkannya (mati enggan hidup pun segan).

Sampai akhirnya di suatu waktu setelah lama bermalas-malasan berendam di dalam kubangan lumpur seperti babi-babi yang dilihatnya dan terserang halusinasi, Robinson mengalami kesadaran baru: ia enggan mati di pulau itu, tapi tidak mungkin juga dapat pergi dari pulau itu. Dengan kata lain ia mesti bekerja, bangkit dan menentukan nasibnya sendiri.

Perkembangan jiwa yang merekah ibarat kuncup bunga di pagi hari membuat Robinson berusaha berdamai dengan pulau itu. Kehidupan liar nan asing yang awalnya ingin ditinggalkannya ia terima apa adanya. Seolah-olah ia diciptakan untuk pulau ini dan Robinson-lah yang diamanahkan untuk merawatnya.

Maka mulai lah Robinson membangun benteng pertahanan, menetapkan lokasi-lokasi sumber makanan, bercocok tanam dan beternak kambing-kambing hutan yang banyak ditemukan di pulau itu.

Dengan cara itu semua Robinson mengangkat dirinya sebagai gubernur pulau itu dan menjadikan setiap tumbuhan adalah penduduknya yang setiap hari diajaknya berbicara. Ia kemudian menetapkan aturan semacam undang-undang bagi seluruh pulau itu. Dan, membuat seragam khusus gubernur untuk dikenakan saat ia berkeliling mengecek pulau itu.

Dengan aktivitasnya itu pulau itu ia beri nama Speranza, yang berarti harapan.

Lumayan lama Robinson hidup seorang diri di Pulau Speranza. Sampai ketika ia menyelamatkan Vendredi, pria suku Indian yang kabur dari upaya upacara pengorbanan.

Saat itu Vendredi datang bersama beberapa anggota sukunya beserta seorang dukun. Pulau itu ternyata disinggahi untuk melakukan ritual pembunuhan bagi tersangka yang dianggap sebagai sumber masalah di sukunya. Dipimpin oleh dukun Vendredi ditunjuk tiba-tiba sebagai salah satu tersangka yang baru diketahui setelah sang dukun membaca mantra. Mengetahui hal itu Vendredi berusaha kabur masuk di hutan.

Ternyata kejadian itu diintai Robinson di balik semak-semak. Ia bersembunyi agar mereka tak tahu bahwa pulau yang mereka singgahi ditinggali Robinson. Tak dinyana Vendredi berlari menuju tempat Robinson bersembunyi. Agar tidak sampai ketahuan Robinson menembak dua Indian yang mengejar Vendredi. Vendredi selamat, dan orang Indian yang tersisa memilih kabur lantaran takut.

Sejak itu karena hutang budi --ini benar-benar berhutang karena "budi" kemanusiaan-- Robinson yang telah menyelamatkan nyawanya membuat Vendredi menjadi pembantu Robinson di pulau itu.

Yang menarik bagi saya adalah --selain karakter Vendredi yang menonjol-- semenjak Vendredi diajarkan bahasa Inggris oleh Robinson untuk berkomunikasi, banyak terjadi perubahan bukan saja di dalam diri Vendredi, tapi juga Robinson sendiri.
Cukup unik melihat tarik-menarik antara Robinson dan Vendredi ketika ditinjau dari kebudayaan. Awalnya Vendredi diajarkan banyak hal mengenai aturan hidup yang dibuat Robinson selama tinggal di Speranza. Vendredi menjadi pribadi penurut lantaran nyawanya pernah diselamatkan Robinson.

Sehari-hari Vendredi berkomunikasi dengan bahasa tuannya, yakni Robinson itu sendiri. Bekerja atas inisiatif Robinson. Dan diupah Robinson dengan emas-emas yang sebelumnya berhasil diselamatkan Robinson dari La Virginie. Singkatnya apa pun yang dilakukan Vendredi tidak otentik menunjukkan kemauannya sendiri. Semuanya atas perintah Robinson.

Dengan kata lain, di pulau itu seperti apa pun terasingnya mereka berdua dari peradaban di luarnya, tetap saja ada hubungan kuasa di antaranya. Dalam hal ini Robinson dengan sisa-sisa kebudayaan kulit putihnya, yang menentukan cara hidup Vendredi, dengan Vendredi itu sendiri sebagai bagian dari penduduk kulit berwarna.

Yang tak jauh kala menarik adalah pembalikan relasi di antara keduanya. Momen ini ditandai saat Vendredi tanpa sengaja meluluhlantakkan pulau Speranza berkat pipa rokok yang menyulut nyala mesiu hingga meledak. Ledakan itu menghancurkan seluruh kehidupan yang sudah dibangun Robinson. Seluruhnya rata dengan tanah, termasuk harta simpanan yang Robinson simpan di ceruk gua-gua.

Peristiwa itu ibarat revolusi sosial --saya beranggapan ini sisipan Tournier tentang konsep revolusi yang memformat ulang seluruh sendi-sendi kehidupan-- yang memperbaharui hubungan Robinson dan Vendredi termasuk konsekuensi-konsekuensinya dari itu semua.

Semenjak itu keadaan berubah total. Tidak ada lagi siapa tuan siap pelayan. Ledakan itu merelatifkan dominasi Robinson sehingga hubungannya terhadap Vendredi jauh lebih setara. Ledakan itu juga mengubah cara mereka berdua mengelola pulau itu. Tidak ada lagi pekerjaan-pekerjaan yang perlu dikerjakan Vendredi karena disuruh Robinson.

Dengan kata lain, keadaan pasca ledakan itu membuat keduanya hidup bebas menentukan apa pun yang mereka sukai.

Vendredi, setelah ledakan menjadi orang bebas. Bahkan dalam keadaan itu identitas kesukuannya banyak memberikan pemahaman baru kepada Robinson. Dalam keadaan ini justru sebaliknya, banyak hal-hal baru diajarkan Vendredi kepada Robinson dari pengalaman hidupnya selama menjadi bagian dari suku Indian.

Misalkan saja, Vendredi mengajarkan pengetahuan kuliner kepada Robinson, sesuatu yang tidak ia temukan dalam hidup orang-orang Eropa. Bagaimana membuat burung bakar tanpa repot-repot mencabuti bulunya dengan membakarnya setelah digulung menggunakan lumpur basah. Bagaimana memanfaatkan getah tanaman manis untuk membuat gula cair dan karamel. Bagaimana membuat makanan kaya rasa dengan mencampur buah-buahan yang berlainan rasa...

Robinson juga ditunjukkan cara membuat panah unik dari batang pohon yang menjadi mainan bagi Vendredi. Cara membuat busurnya, dengan apa ekornya dibuat, dan menggunakan bahan apa untuk membuat mata anak panah agar memiliki laju yang baik ketika di udara...

Di lain waktu dengan memanfaatkan tulang-tulang kambing, Vendredi berhasil membuat takjub Robinson ketika menciptakan alat musik menyerupai harpa. Dan yang tak kalah uniknya berkat kulit kambing yang dikeringkan, Vendredi membuat layang-layang yang dapat diterbangkan untuk memancing ikan.

Singkatnya, Vendredi yang hidup bebas banyak memberikan pengaruh balikan kepada Robinson. Awalnya, Vendredi banyak melakukan hal-hal tetek bengek dari kacamata Robinson, seorang Eropa kulit putih. Namun setelah sederajat, Vendredi-lah yang banyak memberikan hal-hal baru kepada Robinson.

Di titik itu, seolah-olah Tournier sedang mengemukakan suatu keadaan sejati manusia ketika sama-sama menjunjung kesetaraan. Sama-sama hidup bebas tanpa kekangan yang memberikan peluang satu sama lain dapat belajar dan bertukar pemahaman demi mengangakat kehidupan masing-masing.

Tournier dengan kata lain, menurut saya sedang berbicara tentang dialog kebudayaan. Sesuatu yang harus banyak dilakukan di kiwari ini.

Sesungguhnya Kehidupan Liar adalah versi lain dari karangan yang pernah ditulis Daniel Defoe dengan tokoh yang sama (kisah Robinson Crusoe juga pernah diangkat menjadi film). Hanya saja versi Tournier tidak seperti karangan Defoe yang menitikberatkan kisahnya kepada penemuan-penemuan unik Robinson Crusoe selama hidup terasing di dalam pulau.

Melalui sosok Vendredi, Tournier mengambil sisi kejiwaan Robinson selama menghadapi kehidupan asing yang terputus dari dunia luar. Tournier juga menonjolkan sosok Vendredi sendiri sebagai tokoh yang demikian menonjol berkat pengetahuan-pengetahuan yang tidak pernah diketahui Robinson.

Kehidupan Liar versi Tournier juga memiliki ending berbeda dari kisah yang sama. Dikisahkan Robinson bukannya malah memilih keluar meninggalkan Speranza setelah tanpa sengaja sebuah kapal Inggris singgah di pulau itu ---setelah tiga puluh tahun.

Setelah untuk pertama kalinya berinteraksi dengan orang-orang yang diwakili awak-awak kapal yang berperingai buruk selama singgah di Speranza, Robinson meyakini peradaban masyarakatnya bukanlah tipe kehidupan yang diidealkannya. Ia lebih memilih hidup dengan jiwa yang bebas di pulau itu.

Bagaimana dengan Vendredi? Vendredi berkebalikan dengan Robinson. Ia memilih ikut pulang ke dalam kapal meninggalkan Robinson dengan cara melarikan diri di malam hari ketika Robinson sedang tertidur pulas.

Imajinasi dan Nasionalisme


Benedict Anderson. Indonesianis. 
Penulis buku Di Bawah Tiga Bendera

IMAJINASI. "Tetapi dalam kenyataan, semua komunitas, asalkan lebih besar dari dusun-dusun primordial di mana para anggotanya bisa saling bertatap muka langsung setiap hari (bahkan mungkin komunitas semacam ini pun), adalah komunitas terbayang."

Petikan di atas adalah ungkapan Benedict Anderson, Indonesianis terkemuka ketika memperkenalkan konsep imagined communities. Konsep ini begitu fundamental menerangkan masih rentannya konsep nasionalisme sebagai gagasan kebangsaan yang lahir bukan sebagai komunitas politik belaka.

Imagined communities sering kali disalahartikan karena betapa barunya gagasan ini ketika pertama kali diungkapkan Benedict Anderson.

Hal ini dinyatakan dalam kata pengantar melalui buku yang sama yang ditulis Daniel Dhakidae bahwa nasionalisme sebagai gagasan kebangsaan walaupun sifatnya yang masih baru ---muncul di abad 19--- juga karena dipahami sebagai konsep yang sudah ajeg dan fix dari awalnya.

Salah satu alasannya yakni nasionalisme sebagai paham kebangsaan sudah dari awal dimengerti dengan "N" besar yang menutup ruang diskursif untuk dipersoalkan.

Nasionalisme ketika dipahami dengan cara itu dinyatakan Anderson hanya akan didudukkan ibarat "impian" yang kebal terhadap perubahan dan kritik. Bukannya dengan cara itu, Anderson malah memberikan perspektif baru bahwa sebenarnya nasionalisme adalah "bangunan" gagasan yang menimbulkan "bayang-bayang" yang segera menerbitkan aksi.

Dengan kata lain, nasionalisme tidaklah merupakan gagasan yang sudah sempurna sehingga tidak perlu lagi dijangkau pemikiran anggota-anggotanya. Melainkan gagasan berupa nasionalisme dengan "n" kecil yang berarti betapa pun ia masih baru, tapi sebenarnya di situlah ia mesti didudukkan sebagai gagasan yang mudah kendor atau sebaliknya ketat.

Dalam arti inilah, nasionalisme sebenarnya adalah proyek bersama sejauh bagi orang-orang masih mau hidup dengan mempertahankan dan memperjuangkannya terus-menerus.

"Maka dengan gaya pikir antropologis, saya usulkan defenisi berikut ini tentang bangsa atau nasion: ia adalah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.

Di sini "terbayang" adalah kata kunci yang menerangkan betapa sebenarnya bangsa pada awalnya dimulai dan timbul dari aktifitas yang mendahului praktik-praktik interaksi sesama anak bangsa.

Kata Anderson, "terbayang" karena secara geografis tidak ada hubungan material-sosiologis apa pun yang mempertemukan kelompok-kelompok yang saling berjauhan bahkan tidak saling bertatap muka dan mendengarkan.

Lalu dari mana datangnya ikatan imajiner yang timbul di antara orang-orang yang tidak saling bertatap muka? Kata Anderson, itu lahir dari bayangan kebersamaan di tiap-tiap benak setiap orang yang menjadi bagian dari bangsa yang dimaksud.

Tidak ada bangsa yang universal. Sebagai realitas politik atau komunitas politik, ia sangatlah terbatas. Betapa pun ketika setiap anggotanya berjuta hingga bermiliar-miliar, tetap saja konsep kebangsaan itu sendiri mengandung keterbatasan di dalamnya.


Seperti yang dijelaskan Anderson, tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Walaupun jumlahnya kian besar atau sebaliknya, tetap saja memiliki garis batas yang disebut Anderson meski sifatnya elastis.

Dalam pengertian dua yang terakhir ini, maka dapat dipahami bahwa kebangsaan dapat saja kian berubah seiring lemah-kuatnya "bayangan" untuk mau hidup bersama. Dia dapat meluas atau menyempit secara jumlah dari anggota-anggotanya atau pun secara letak geografis yang ditentukan oleh rasa kedaulatan yang lahir dari keinginan untuk membebaskan diri dari tekanan jajahan.

Berdaulat dalam pengertian ini dinyatakan Anderson lahir dari suatu proses pencerahan yang panjang ketika masyarakat berkeinginan membebaskan dirinya dari belenggu yang mengikatnya. Anderson menyebutnya ketika suatu revolusi memporak-porandakan keabsahan hirarki kekuasaan yang berasal dari Tuhan sekalipun.

Melalui proses ini kedaulatan hanya berarti ketika masing-masing klaim kekuasaan menyadari dirinya memiliki keterbatasan secara pengklaiman ontologisnya. Sederhananya, setiap kekuasaan sadar diri bahwa berkat pencerahan, semakin terbuka kemungkinan bagi setiap individu menyadari kedaulatannya masing-masing.

•••

Bagaimana jadinya jika manusia tidak mempunyai kemampuan imajinatif? Apa yang akan terjadi kelak jika manusia tidak mampu berimajinasi tentang dirinya dan kehidupannya? Lalu apa pula jika kebudayaan manusia tidak meninggikan imajinasi sebagai alas pijak sejarahnya? Lantas apakah imajinasi masih relevan didudukkan di dalam peradaban yang serba teknis sekarang ini?

Imajinasi menurut KBBI disebut sebagai daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar (lukisan, karangan, dsb) kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Dalam arti yang lain KBBI juga menyebut imajinasi sebagai khayalan.

Terlepas dari benar salahnya, imajinasi berkedudukan penting dalam kebudayaan manusia. Bahkan, imajinasi adalah sumber pengetahuan bagi kebudayaan manusia untuk menguji kemungkinan-kemungkinan, peluang-peluang, kesempatan, dan kemampuan ketika merumuskan kehidupannya di samping mengelola sumber daya yang dimilikinya.

Dalam tradisi kesusastraan, imajinasi menjadi daya dorong bagi sastrawan untuk menimbulkan suatu pengertian baru mengenai dunia.

Melalui imajinasi, dunia faktual dibongkar dan dirumuskan ulang di luar dari ukuran-ukurannya yang sudah ada. Dengan begitu lahirlah dunia baru yang lebih segar dan fresh yang mampu menghasilkan suatu pengertian dan pengalaman baru yang tak biasa.

Berkat imajinasi dunia akhirnya jauh lebih terbuka untuk dimaknai ulang.

Novel Eka Kurniawan misalnya, melalui rumusan "bagaimana jika" berhasil menciptakan suatu cerita imajinatif yang lahir dari sejarah Indonesia dalam Cantik Itu Luka.

Novel ini tidak saja terletak pada alur dan penokohannya yang kuat, namun mampu mengaduk sejarah faktual ke tingkat imajinatif untuk menghasilkan suatu dunia yang sama sekali baru. Dari itu lahirlah suatu tempat yang bernama Halimunda lengkap dengan sejarahnya, kebudayaannha, dan kehidupan orang-orangnya.

Dalam konteks puisi, imajinasi membantu penyair dapat merumuskan suatu bentuk bahasa baru. Lantas dengan bahasa itu sang penyair berpeluang menampilkan susunan kalimat yang tidak ditemukan di dalam kaidah kalimat sehari-hari.

Bahkan bukan saja bahasa, sang penyair dengan kemampuan imajinatif yang matang dapat menciptakan bunyi-bunyian baru yang bernilai estetis dan puitik dalam rangka menyusun syair-syairnya.

Dalam khazanah sains, adalah C. Wrigh Mills seorang sosiolog Amerika yang menggunakan imajinasi dalam disiplin ilmu sosiologi yang disebutnya imajinasi sosiologis.

Imajinasi sosiologis menurut Mills adalah suatu pendekatan atau perspektif yang melibatkan unsur-unsur biografis dan sejarah dalam melihat hubungan-hubungan yang terjadi dalam suatu komunitas. Pendekatan ini bertujuan untuk melihat sejauh apa isu-isu yang bersifat personal dan publik saling memengaruhi di antara keduanya.

Singkatnya imajinasi sosiologis tidak saja berusaha membaca gejala-gejala besar di tingkat institusi dan sistem, tapi juga sampai ke level individu dengan membaca gejala-gejala psikologis dan melihatnya dalam konteks perubahan sejarah dari waku ke waktu.

Dengan kata lain, imajinasi sosiologis dapat digunakan bagi seseorang untuk mengembangkan pemahamannya secara dinamis yang bertolak dari subjek dirinya sendiri dengan memanfaatkan perubahan-perubahan besar secara historik demi memahami dirinya dan komunitasnya.

Berdasarkan uraian sederhana ini, nampaknya imajinasi tidak dapat dinilai sepele. Ia ---yag sering dituduh khalayan dan tidak faktual--- mampu mengarahkan benak masyarakat untuk membayangkan hal-hal yang semula dianggap tidak biasa. Kalau bukan lantaran imajinasi, lalu apa yang menjadi pemantik awal bagi kebudayaan ketika menyusun kisah, legenda, dan mitos yang terjadi hanya di dalam dunia imajinatif.

Bahkan melalui itu semua, ilmu pengetahuan mendapatkan dorongannya. Tanpa imajinasi dan kemampuan imajinatif, mana mungkin akan mampu memberikan dasar pemaknaan bagi manusia untuk merawat jiwanya.

Belakangan, di tingkatan publik nyaris percakapan yang datang silih berganti didasarkan kepada jenis logika biner. Jika bukan A pasti B, atau kalau bukan B sudah tentu A. Pola pikir seperti ini banyak ditemukan ketika kita berbicara tentang agama, budaya, politik, dan yang paling genit penentuan capras-capres.

Justifikasi dan prasangka karena hanya mengenal cara berpikir biner pada akhirnya kehilangan kemampuan berpikir kreatifnya. Kehilangan kemampuan imajinatifnya.