Tahun 1984, suatu tempat di
Jerman Timur.
Rumah Dreyman disusupi.
Hampir setiap sudut rumahnya penuh kabelkabel tersembunyi di balik dinding. Di
vas bunga, di balik pintu, terminal listrik, belakang lemari, di bawah tempat tidur,
bahkan di dalam kamar mandi. Praktis setiap sudut jadi suatu proyek
pengintaian. Ruang tempat tinggal Dreyman jadi pusat perhatian negara. Di bawah
pengintaian, Dreyman jadi manusia yang transparan. Gerak geriknya jadi bahan
amatan dari objek kekuasaan. Tapi ia tak tahu.
Sementara di suatu sudut
rumah, di mana kabelkabel itu berpusat, empat sampai lima monitor tak pernah
padam. Alat rekam suara juga tak berhenti menangkap setiap bunyi. Dan seseorang
dengan taat mengawasi gerakgerik Dreyman dari ruang kotak itu. Mencatat setiap
detil yang mencurigakan. Memasukkannya dalam laporanlaporan setiap hal yang
dialami Dreyman. Pria yang taat itu akhirnya mulai mempelajari Dreyman dengan
membangun jadwal aktivitasnya. Dengan telaten, setiap gerak, juga setiap bunyi.
Dosa Dreyman hanya satu, ia
terlahir sebagai seorang penulis.
Di negerinya Jerman Timur,
yang berhaluan komunisme, setiap huruf harus mengikuti intruksi negara. Negara
tempat Dreyman tinggal punya kebijakan, bahwa setiap proyek pencerahan harus memuati
maksud seperti yang dikehendaki negara. Seluruh proses pembudayaan mesti
selaras dengan semangat revolusi komunisme. Ini berarti, setiap tulisan yang
lahir dari lidah setiap penulis, harus berbicara tentang hal ihwal revolusi;
semangat kaum proletar, pandangan realism, kemajuan partai, pabrikpabrik yang
dinasionalisasikan, dan tentu komunisme sebagai pandangan
universal.
Sebelumnya diintai, ia
adalah seorang sastrawan dan penulis naskah teater yang tak begitu dicurigai
negara. Pentas teater yang sering kali ditulisnya tak mengandung unsurunsur
seni borjuis yang dibenci negara. Bahkan ia di mata petinggipetinggi partai
adalah salah satu seniman yang menjadi garda depan untuk mendorong kebudayaan
negara jadi lebih maju. Sebab itulah ia dipandang sebagai salah satu seniman
yang diberikan kebebasan untuk berkarya sesuai dengan pandanganpandangan
komunisme.
Tapi semenjak kedatangan Gerd Wiesler, agen matamata Jerman Timur, di suatu
pertunjukannya, semuanya berubah. Dari atas balkon pertunjukan, Gerd
Wiesler mengamati dengan teliti Dreyman di tempatnya ia menyaksikan teater yang
merupakan hasil garapan tulisannya. Dari pengamatan Wiesler di atas balkon,
Dreyman disimpulkan sebagai orang yang tak sepenuhnya bersih. Dari gerak
tubuh, mimik wajah, bahkan setiap detil yang dimiliki Dreyman yang di
amati Wiesler, kesimpulannya adalah Dreyman adalah orang yang mesti dicurigai sebagai
tersangka yang berbahaya. Dia bukan seniman yang lurus, melainkan ada sesuatu
yang selama ini disembunyikan.
Tapi
Wiesler perlu bukti yang menguatkan kecurigaannya. Biar bagaimanapun kecurigaan
tak bisa dijadikan modal untuk menuntut orang tanpa datadata yang jelas dan
akurat. Sebab itulah Dreyman disadap. Rumahnya dijebol dan diselipkan alatalat
yang merekam semua tindakannya. Di bawah pengawasan Wiesler, mulailah ia
dicurigai sebagai musuh negara.
Akhirnya
tiap detik dari Dreyman adalah jadi bahan amatan negara. Setiap yang
dilakukannya jadi catatan terperinci Wiesler berdasarkan waktu dan tempat di
mana itu terjadi. Wiesler harus bisa mengajukan bukti kepada petinggi partai
bahwa Dreyman sebenarnya adalah seniman yang diamdiam mengkritisi komunisme.
Tapi Wiesler butuh waktu untuk suatu bukti yang gamblang.
Sampai di
sini saya tak tahu apakah di negeri ini ada orang yang mengalami hal yang sama
seperti Georg Dreyman. Seorang penulis naskah yang dimatamatai negara oleh
sebab dicurigai memiliki maksud tersembunyi yang tak sesuai dengan paham
negara.
Di film itu
ada dua hal yang akhirnya menjadi genting; kebebasan berekspresi dan kontrol
negara. Dua hal ini yang menjadi sisi antagonis di film drama Jerman itu.
Kebebasan berekspresi yang menjadi pilihan Dreyman dan kontrol negara yang
merupakan bagian dari kekuasaan yang terlampau besar. Dua hal ini, dalam
konteks negara dan kebebasan berekspresi menjadi dua anasir yang seringkali
berhadaphadapan. Tapi jika dilema dapat kita temukan di film itu, barangkali
adalah Wiesler itu sendiri, seorang yang telaten mematamatai Dreyman.
Wiesler,
di kehidupan seharihari seperti yang kita alami, tak jauh berbeda dengan
pekerja pemerintah yang memiliki pengabdian total terhadap negaranya. Taat dan
setia menjalankan tugas. Di Film itu, Wiesler ditokohkan sebagai agen matamata
yang berdedikasi tinggi dan idealis menjalankan tugasnya. Orangnya tepat waktu
dan jernih mengamati halhal detail. Dan selama mematamatai Dreyman sang penulis
drama, ia juga menulis laporan pengamatannya tanpa unsurunsur dramatik.
Ia
mengamati, mendengar setiap bunyi. Menulis setiap dialog.
Tapi
Wiesler juga manusia, punya rasa punya asih. Selama pengamatannya, justru ia
tersentuh dengan peristiwa yang dialami Dreyman. Akhirnya batinnya jebol,
apalagi semenjak ia membaca buku kepunyaan Dreyman yang dicurinya tanpa
sepengetahuan. Ia ingin tahu lewat buku, bagaimana karakter asli Dreyman. Tapi
apa daya, melalui buku yang ia baca, ia paham siapa sesungguhnya orang yang
dimatamatainya. Kekuatan sebuah buku memang bisa mengubah seluruh pandangan
seseorang, begitu juga Weisler terhadap Dreyman. Syahdan, Weisler mulai
melindungi Dreyman dari atasannya. Ia menulis laporan palsu tentang aktivitas
pengarang itu. Begitu seterusnya.
Das Leben
der Anderen barangkali film yang ingin menyitir sejarah Jerman dengan
menggunakan cara yang bisa dibilang melankolik; drama. Tapi itu sepertinya
pembacaan yang terlalu jauh, sebab tak ada kesan dalam film itu yang
mengarahkan kepada pengertian yang mengungkapungkap sejarah. Sebab pula di film
itu tak menyebut cerita yang pasti dengan alur yang semacam itu. Toh jika ingin
disebut demikian, film itu hanya bicara plot orangorang yang hidup di situasi
yang cekam dan kontrol negara yang terlampau totaliter.
Dan
Dreyman merasakan, juga barangkali orangorang yang terbiasa hidup dengan
kemerdekaan berpikir dan berpendapat, bahwa biar bagaimanapun, kontrol negara
tak bisa merebut hal yang paling intim dari mahluk bernama manusia; kebebasan
berperasaan. Di film itu, kebebasan adalah suara bungkam yang justru jadi
senjata manusia. Di film itu Dreyman tahu untuk apa ia menulis.