Sang Aku dalam Cermin

Cermin adalah benda ajaib. Bagi manusia, cermin bertugas membantu keterbatasan penglihatan. Melalui cermin seorang model dapat melihat pantulan rias parasnya. Cantik, tampan, ataukah jelek, cermin banyak membantu memberikan penilaian utuh. Di jalan raya, bagi pengendara, cermin menjadi perlengkapan penting kendaraan. Bayangkan jika kendaraan tak memiliki cermin, si pengendara pasti sulit berkendara. Jika sudah begitu, polisi punya alasan tepat menjerat pengendara: ditilang.

Di kehidupan sehari-hari, kita sangat tergantung kepada cermin. Keberadaan cermin sunguh penting untuk menjaga penampilan. Bisa dibilang, di saat memulai beraktivitas, cermin menjadi perangkat pertama yang digunakan untuk melihat tampilan luar kita. Itulah sebabnya, ketika memulai hari, di setiap kamar tidur disediakan cermin untuk kita gunakan. Maka dari itu cermin juga menentukan rasa percaya diri untuk memulai beraktivitas.

Sebenarnya yang membuat cermin dibutuhkan adalah sifatnya yang dapat menangkap objek di depannya. Sifat inilah yang membuat cermin menjadi ajaib. Ia bisa merefleksikan objekobjek sesuai yang dipantulkannya. Ia bisa meniru persis objek yang di hadapannya. Juga, ia “jujur” dalam memantulkan gambaran yang ditangkapnya. 

Bagi orangorang yang berhamba kepada mode, cermin adalah barang wajib untuk dimiliki. Dan kalau perlu bisa dibawa ke manamana. Bagi perempuan era sekarang, sebagaimana bendabenda kosmetik lainnya, cermin adalah benda yang paling dibutuhkan. Dengan cermin, paras yang sering menjadi “arena mode” dapat dipoles kembali apabila ada “kejelekkan” yang melekat. Tapi tidak saja perempuan, zaman sekarang banyak juga pria yang berkelakuan seperti perempuan; pesolek.

Tapi ada cermin yang bisa mengubah citra objek menjadi berbeda dari objek aslinya. Cermin seperti ini punya kemampuan untuk memperbesar atau memperkecil objekobjek di hadapannya. Kita mengenal cermin seperti ini dengan sebutan cermin cembung dan cermin cekung. Dua cermin ini sangat jarang digunakan, sebab tak “jujur” dalam menangkap objekobjek yang di dicitrakannya. Cermin semacam ini biasanya hanya ditemukan pada arena bermain yang di gunakan untuk ajang hiburan semata.

***

Cermin yang menipu atau cermin yang tak jujur merefleksikan objeknya dalam ilmu psikolog imutakhir digunakan psikolanalis Prancis Jascues Lacan untuk mempercakapkan “aku” yang salah dalam mengenal dirinya. Menurut Lacan, dalam teori subjeknya, manusia sedari awal adalah mahluk yang tak pernah mengenal siapa “aku” yang sebenarnya. Peristiwa ini, dinyatakannya dimulai di saat pertama kali manusia mengenal dirinya melalui fase cermin. Di fase ini, usaha manusia untuk mengenal dirinya melalui pencitraan cermin, sebenarnya adalah pantulan yang sesunguhnya salah. Jadi dari yang dipercakapkannya, jika manusia ingin mengenal siapa “aku” sebenarnya, sebaliknya yang dikenalnya adalah “aku” yang lain.

Secara metafora, Lacan menggunakan cermin sebagai perangkat argumentasi bahwa manusia adalah mahluk yang tak pernah mengenal siapa “aku” yang sebenarnya. Dari perjalanan panjang peradaban, sang “aku” yang dipertukartangkapkan untuk saling mengidentifikasi satu sama lain, mengacu dari teori cermin Lacan adalah diri yang ilutif. Dalam bertukar sapa, usaha manusia membangun relasi diatas identitas “aku” bisa jadi adalah usaha yang tak bermakna. Sebab ketika kita saling mengenal satu sama lain, sesungguhnya adalah identitas yang sudah ilutif dari awal.

Lalu di manakah “aku” yang sebenarnya? Itulah sebabnya barangkali manusia senang bercermin untuk mencari “aku” yang hilang. “Aku” yang hilang adalah dua tubuh yang semula tiada; tubuh psike dan tubuh socius. Tapi malangnya, tubuh psike seringkali dilupakan untuk ditemukan. Justru tubuh sociuslah yang kerap kali dicari melalui cermin. Tubuh sociuslah yang menjadi perhatian utama. Dengan cermin di sekeliling kita, tubuh socius selalu dipertahankan dengan menjaga intensitas untuk menghadap ke dalam cermin. Seringkali kita menghadap cermin, maka sebanyak itulah tubuh socius diteguhkan.

Dan memang cermin adalah benda yang ajaib. Di dalamnya “aku” tubuh socius ditemukan untuk menunjang kepercayaan diri. Dengan cermin tubuh socius disusun, dimulai dari paras, organ badan hingga ujung kaki untuk dimaksimalkan seideal mungkin. Dari cerminlah tubuh socius ditemukenali. Dari cerminlah tubuh socius direfleksikan.

Akhirakhir ini kecenderungan bercermin sudah jadi rutin. Bercermin bukan lagi kegiatan di awal waktu melalui ruang privat yang intim di kamar tidur, melainkan hampir tiap waktu di medan publik. Bisa benar bisa salah, bercermin bisa menjadi indikasi hilangnya “sang aku” dari sekalian kita. Atau bisa saja bercermin adalah usaha untuk mengkonversi kekurangan “sang aku” dari diri yang memang tak lengkap, sebab di dalam cerminlah sang pesolek menemukan semacam “keyakinan” yang menenangkan.

Syahdan, Sapardi Djoko Damono punya puisi tentang cermin, dia bilang begini: mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari dalam cermin// tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan terpecik ke mana-mana// dan cermin menangkapmu sia­sia.

Dimuat di Koran Tempo Makassar, Sabtu 5 September 2015