Gerakan sosial dalam arti
defenitifnya selalu ditandai dengan tindakan kolektif yang bersifat spontan dan
massif. Pengertian ini juga mengacu pada tindakan masyarakat yang mengarah pada
tujuan bersama sejauh ikatan-ikatan yang bersifat semi organisasional
terbangun. Beberapa pengertian yang diberikan ahli sosial misalnya, melihat
gerakan sosial merupakan bagian integral dalam masyarakat yang berfungsi sebagai
kekuatan pendorong perubahan. Dengan kata lain, gerakan sosial yang merupakan
kesatuan integral dalam tatanan masyarakat, memposisikan dirinya sebagai
kekuatan yang memiliki fungsi penyeimbang bahkan sebagai bentuk pembaharuan
tatanan itu sendiri.
Pengertian lebih jauh
diberikan Blummer, misalnya, yang melihat signifikansi gerakan sosial dalam
pengaruhnya terhadap penciptaan nilai-nilai baru yang menggantikan
anutan-anutan lama di masyarakat. Hal ini menjadi salah satu indikator untuk
mengukur capaian-capaian gerakan sosial sebagai kekuatan perubah yang merembesi
sistem nilai dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya, perubahan cara
mengidentifikasi masyarakat Amerika dalam kaitannya dengan perjuangan Apertheid
kulit hitam yang lambat laun akhirnya berubah pasca munculnya gerakan sosial
yang dimotori Malcolm X. Dalam kasus ini kita bisa menyaksikan dampak
perubahan sosial yang ditimbulkan gerakan civil society sebagai
variabel yang juga menentukan perubahan dalam sistem nilai masyarakat Amerika.
Penciptaan nilai baru yang dimaksudkan Neil Smelser yakni sebagai upaya
penataan ulang nilai-nilai lama yang dianut sebagai alasan bertindak. Dalam
kehidupan masyarakat, nilai-nilai kolektif, semisal keadilan, pengetahuan,
kebaikan, kasih sayang, demokrasi dsb, secara prinsipal menjadi sandaran
epistemologis dalam bersikap. Pada kasus Apertheid, gerakan yang di motori
Malcolm X tidak saja mengubah secara sosiologis posisi masyarakat kulit hitam,
melainkan secara paradigmatik memberikan nilai baru secara kultural terhadap
keberadaan kulit hitam di tengah-tengah masyarakat kulit putih Amerika.
Gerakan sosial sebagai
tindakan kolektif juga dapat kita temukan misalnya tahun 1999 di Seatle Amerika
Serikat. Kala itu hampir 40.000 masyarakat pekerja, aktivis NGO,
kaum anarkhi, aktivis lingkungan hidup, serta pembela hak-hak asasi manusia tumpah ruah di
jalan-jalan menentang pertemuan tingkat dunia yang diselenggarakan WTO. Dalam
konteks peristiwa, gerakan sosial yang menolak isu neoliberalisme kala itu juga
memperlihatkan bentuk spontanitas sebagai salah satu indikator gerakan
sosial yang bisa menjadi titik permulaan dari kegiatan kolektif.
Sebagai kekuatan penggerak
masyarakat, gerakan sosial adalah sarana alternatif yang menjadi pendorong
perubahan ketika dimensi struktural kemasyarakatan tak menghasilkan pemenuhan
hak-hak dasar kemasyarakatan. Kecenderungan ini termuat dalam pembacaan yang
bersifat marxian ketika melihat ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh
struktur kelas masyarakat atas dasar dominasi kapital oleh kelas masyarakat
tertentu. Model gerakan sosial marxian banyak kita temukan pada negara-negara
belahan dunia ke tiga yang rentan akibat disparitas ekonomi sebagai penyebab
ketidakpuasan masyarakat.
Gerakan sosial yang
ditemukan di belahan dunia ketiga memiliki ciri ikatan yang bersifat normatif.
Ikatan ini merupakan gagasan bersama sebagai bentuk kepahaman yang bersifat
kolektif. Ikatan normatif ini memiliki arti ideologis untuk mempersatukan visi
dan misi sebagai tujuan gerakan bersama. Contoh kasus misalnya, gerakan petani
karet di Brazil yang dipelopori Chiko Mendes pada tahun 1987, dipersatukan oleh
keyakinan umum yang melatarbelakangi munculnya penentangan terhadap pembabatan
hutan oleh korporasi saat itu. Keyakinan mereka terhadap pemanfaatan hutan
secara ekologis menjadi pemahaman dasar sehingga sampai saat ini Brazil
memiliki 48 lokasi seluas 12 juta hektar di hutan Amazon yang berstatus kawasan
suaka ektraktif.
Dari beberapa kasus di
atas, cara-cara yang ditempuh dari gerakan sosial merupakan sikap kolektif yang
berada di luar mekanisme sistem institusi yang ada. Dalam hal ini apabila
institusi kemasyarakatan tidak memberikan dampak sosial yang diharapkan, maka
kolektifitas dari gerakan sosial adalah mekanisme yang ditempuh untuk menjadi
alternatif dari institusi yang ada. Merujuk hal ini, juga diungkapkan Antony
Giddens dan Calhoun yang menyebutkan bahwa gerakan sosial sering kali memiliki
ciri-ciri dari penggunaan cara-cara di luar sistem yang dianut. Tindakan aksi
massal masyarakat sipil, pemberontakan kaum tani, dan kelompok-kelompok
minoritas yang memperjuangkan hak-hak sipilnya, memang selalu menggunakan
cara-cara yang tak lazim dianut dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Apabila dilihat dari
tatanan struktural masyarakat, gerakan sosial juga dapat diidentifikasi sebagai
respon dari kalangan elit yang berada pada puncak hirarki kelas masayarakat.
Pengertian ini mengacu pada aktivitas elit masyarakat sebagai agen gerakan sosial
yang memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat dominan untuk mengarahkan
perubahan yang dikehendaki. Dalam ketatanegaraan kita, kasus RUU Pilkada
barangkali bisa menjadi ilustrasi berkenaan dengan maksud pengertian ini.
Perlawanan dari gerakan
yang diprakarsai elit adalah gerakan dari bawah yang bersumber dari masyarakat
luas sebagai bentuk kebersamaan. Gerakan yang berasal dari bawah ini adalah
gerakan yang mengikutkan kolektivitas masyarakat sebagai eksponen gerakannya.
Gerakan
Revolusi Payung Hongkong
Revolusi
Payung merujuk
pada gerakan kaum muda pro demokrasi di Hongkong yang muncul pada 23 september
2014 lalu. Gerakan yang dipelopori oleh kalangan pelajar ini merupakan respon
terhadap kebijakan RRC atas mekanisme pemilu Hongkong 2017 nanti. Selain dari
itu, gerakan ini dimotivasi atas dasar kekhawatiran masyarakat Hongkong,
terutama kaum terpelajar atas kebebasan yang kian merosot oleh kawasan bekas
koloni Inggris ini.
Perlu juga diketahui,
Hongkong merupakan bagian pemerintahan Cina yang diserahkan Inggris pada 1997
lalu. Semenjak penyerahan ini, Cina menerapkan kebijakan satu negara dua sistem
demi keberlangsungan otonomi Hongkong. Namun semenjak perpindahan tangan
ini, Hongkong, terutama kalangan eksekutifnya lebih pro terhadap pemerintahan
Cina dibandingkan dengan warga Hongkong sendiri.
Kebebasan yang kian
terbatasi sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang telah lama
tertimbun. Revolusi Payung tidak saja mempersoalkan mekanisme pemilihan
pimpinan eksekutif yang selama ini dipilih langsung oleh dewan partai komunis
Tiongkok, melainkan adanya migrasi penduduk daratan yang masuk ke Hongkong
dengan mengambil lahan pekerjaan penduduk lokal. Kaum muda juga tidak puas
dengan keadaan ekonomi yang dikuasai Taipan kaya di wilayah itu.
Gerakan sosial Hongkong ini
telah berlangsung dua bulan lamanya semenjak September 2014. Dampak dari
gerakan ini juga memberikan pengaruh politis terhadap keberlangsungan
pemerintahan dewan partai Tiongkok di Hongkong. Oleh sebab, tuntutan yang menjadi
perhatian utama dari gerakan payung ini adalah
perubahan sistem politik yang tidak memberikan kebebasan memilih bagi warga
Hongkong.
Apabila dilihat dari tipe
gerakan yang terjadi, gerakan yang dipelopori oleh Joshua Wong bersama ratusan
pelajar belumlah sampai pada jenis gerakan yang bersifat menyeluruh dalam hal
perombakan seluruh sistem kehidupan. Tetapi hal ini dimungkinkan apabila dalam
prosesnya mengalami perluasan isu yang berdampak kepada seluruh dimensi
kehidupan masyarakat. Pada tingkatan ini, gerakan yang bersifat revolusioner
menjadi tindak lanjut dari proses perubahan yang ditimbulkan gerakan sosial
sebelumnya.
Gerakan payung Hongkong
juga dapat diamati sebagai tindakan kolektif yang berorientasikan perubahan
struktur politik. Melalui pendudukan basis-basis wilayah tempat perputaran
ekonomi, gerakan ini dapat diterjemahkan sebagai bentuk sikap-sikap yang keluar
dari sikap-sikap intitusi politik. Hampir ribuan kaum terpelajar turun ke jalan
untuk memberikan sikapnya terhadap sistem politik yang dianggap tidak
merepresentasikan semangat demokrasi. Gerakan pendudukan yang terkenal dalam
revolusi payung adalah gerakan ocuppy love and peace yang terinspirasi dari
gerakan Wall Street di Amerika tahun 1999.
Dari sisi yang lain,
revolusi payung adalah ungkapan ketidak puasan kaum terpelajar dari sistem
politik yang diterapkan di Hongkong. Sebagai perbandingan, apa yang pernah
terjadi di Indonesia semasa orba yang memunculkan gerakan reformasi juga
dilator belakangi oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pemerintahan
yang dipimpin Soeharto. Dalam dua kasus ini, seperti yang dimaksudkan oleh Zald
dan Berger tentang ketidakpuasan berupa keluhan yang menjadi pendorong dari
lahirnya perubahan sosial.
Hal yang senada juga
menjadi indikator yang dibilangkan Eyerman dan Jamison berkenaan dengan nuansa
emotif yang menjadi bagian dari gerakan sosial. Kaitannya terhadap nuansa
emotif bahwa gerakan sosial menampakkan ciri-ciri tindakan kolektif yang
mengungkapkan perasaan tak puas di depan umum. Hal ini dilakukan untuk
mengubah basis sosial dan politik yang dirasakan tak memuaskan. Pada kasus
gerakan pendudukan kaum pelajar Hongkong adalah contoh kongkrit bagaimana
ketidakpuasaan yang dimaksud dikolektifkan menjadi tindakan bersama dihadapan umum
saat menduduki pusat-pusat strategis kota Hongkong.
Pendudukan yang berlangsung
selama dua bulan ini, setidaknya menarik minat media-media internasional dalam
hal keikutsertaan kaum pelajar sebagai penggerak utama revolusi payung. Di satu
sisi keikutsertaan kaum pelajar ini akhirnya mendorong elemen masyarakat lain
agar turut mengambil peran dalam perubahan yang mereka inginkan. Dalam studinya
Ign Mahendra mengungkapkan bahwa gerakan yang dipelopori kaum terdidik dapat
menjadi bagian dari gerakan sosial ataupun malah secara kualitatif akan berubah
menjadi gerakan politik.
Dalam studinya pula
Mahendra menjelaskan bahwa kaum terpelajar sebagai agen perubah menjadi kelas
masyarakat yang dapat menyerap sentimen-sentimen politik dibandingkan golongan
masyarakat yang lain. Hal ini didorong karena kaum terpelajar sangat sensitif
terhadap perubahan yang berlangsung di tengah proses dinamika masyarakat.
Dengan begitu, kalangan terdidik malah menjadi barometer yang merefleksikan
animi yang beregerak dalam masyarakat.
Revolusi Payung Hongkong
mengingatkan kita kepada gerakan reformasi yang sedikit banyaknya diprakarsai
oleh kalangan terdidik untuk mengarahkan perubahan pasca Orde Baru. Gerakan
reformasi dalam tinjauan gerakan sosial mengacu pada tema marxian yang
mengelolah isu-isu ekonomi sebagai sebab musabab kemandekan sosial dan
disparitas masyarakat. Namun yang terjadi pada masa gerakan mei 98, justru
mampu membawa yang semula berawal dari analisis ekonomi akibat krisis ekonomi
menjadi analisis politik yang berujung pada penjatuhan rejim Orde Baru.
Dalam pendekatan tertentu,
gerakan sosial semacam gerakan revolusi payung beserta gerakan sosial di abad
kontemporer, dari analisis yang diberikan Tourine dikategorikan menjadi model
gerakan sosial baru. Gerakan sosial baru sangat berbeda dengan gerakan sosial
lama yang memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan ini juga dibedakan berdasarkan
perkembangan modernitas terutama kapitalisme di masa kapitalisme awal dan
kapitalisme lanjutan.
Tourine memberikan beberapa
variabel yang menjadi perhatian dalam menganalis perbedaan antara gerakan
sosial baru dan gerakan sosial lama diantaranya yakni status keanggotaan yang
ketat pada gerakan sosial lama dibandingkan gerakan sosial baru yang cenderung
fleksibel. Hal ini disebabkan oleh karena sifat organisasi yang cenderung
tertutup pada tipe gerakan lama dibandingkan dengan gerakan sosial baru. Akibat
dari jenis organisasional yang demikian maka akan cenderung lebih luas ikatan
antara organisasi lainnya bagi gerakan sosial baru dibandingkan gerakan sosial
lama. Hal yang paling mencolok diantaranya adalah fokus isu yang lebih beragam
dianut gerakan sosial baru daripada gerakan sosial lama. Dalam hal ini yang
dapat kita golongkan gerakan sosial baru adalah gerakan ekologi, feminisme
maupun gerakan perdamaian.
Berdasarkan tinjauan yang
diberikan Tourine, revolusi payung yang lebih fleksibel dalam keikutsertaan
yang tidak bersandar pada satu elemen kelas masyarakat, dapat masuk dalam model
gerakan sosial baru. Sementara revolusi payung juga tidak memiliki karakter
antagonistik kelas sehingga lebih terbuka baik dari model organisasinya maupun
anggota yang terlibat di dalamnya. Juga berdasarkan pengertian Kriesi, gerakan
revolusi payung tiongkok lebih memusatkan persoalan pada masalah kultural
seperti kebebasan berpendapat dan politik dibandingkan is ekonomis sebagaimana
isu-isu yang diusung gerakan sosial lama.
Revolusi Payung yang
identik dengan payung oleh peserta demonstrasi, selain sebagai gerakan sosial,
dalam kaitannya dengan perubahan sosial menghendaki tujuan yang diinginkan
berupa perubahan mekansisme pemilihan yang lebih demokratis bila dibandingkan
dengan konsep pemilihan tak langsung. Walaupun akan berpengaruh terhadap iklim
politis dan ekonomi, setidaknya revolusi payung hingga kini masih menjadi
bagian dari suara mayoritas masyarakat Hongkong untuk mendapatkan otonominya
dari pemerintahan RRC. Walaupun demikian, revolusi payung Hongkong juga pada
akhirnya akan menjadi gerakan yang berproses mengikuti hukum perubahan sosial
yang membutuhkan gerakan sosial berikutnya.
---
Daftar bacaan
- Sosiologi Perubahan Sosial.
Piotr Sztompka.2008
- Lubang Hitam Kebudayaan.
Hikmat Budiman.2006
- Bergerak Bersama Rakyat.
Suharsih dan Ign Mahendra.2007
- http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/10/07/nd2h0a19-revolusi-payung, diakses pada Senin 10
November 2014
- http://properti.kompas.com/index.php/read/2014/10/16/133159221/Minggu.Ketiga.Demonstrasi.Penjualan.Rumah.di.Hong.Kong.Jeblok. diakses pada Senin 10
November 2014.