Memugar Waktu; Tetiba Januari

Tulisan ini diniatkan sebagai penanda atas peralihan. Niat yang lain sebagai semacam menciptakan jembatan bagi dua tepi masa; jembatan selalu berarti menyambungkan, menghubungkan dua  bebukit yang dipisah jarak yang landai, di sini dan di sana; sekarang dan esok, membangun hubungan. Atau tulisan ini saya maksudkan semisal taut jangkar, yang ditambat di bawah lambung kapal agar kemudi tak guyah.

Di luar,  letus api berkembang …juga mendung.

Di jalanjalan raya gempita menyambut  tahun yang baru sudah mulai hiruk dan juga ribut. Tahun yang baru sudah siap disongsong, tetapi apa yang baru? Maka saya lebih suka menyebutnya peralihan, bukan baru. Sebab yang namanya baru berarti meninggalkan yang lama, juga tahun. Di luar keramaian jamak membunuh kesan yang dibangun berharihari yang lalu, berbulanbulan yang lalu hingga tahun yang sebentar lagi dikemas dalam kelampauan, dan pada akhirnya membunuhnya. Dan apa yang tersisa dari tahun yang kita namai baru.


Sebab itulah saya menyebutnya peralihan; seperti jembatan atau jangkar yang tak ingin guyah. Peralihan membutuhkan ketetapan, kesamaan dari keadaan yang sebenarnya sama. Di sinilah arti dari menyambungkan apa yang tak digapai dari daratan  di belakang. Ini persis kembara yang melihat waktu sebagai yang utuh, yang tak putus, di depan hanyalah daratan yang sama. Maka dari itulah kita membutuhkan jembatan untuk mengingat atau perlu jika sekalikali kita ingin kembali, maka itu dapat dimungkinkan. Melihat apa yang tertinggal dan tak sempat kita jadikan bekal.

Di gedunggedung yang ramai, berkumpul dalam waktu yang ditetak…

Sebagai penanda atau juga jembatan, tulisan ini saya artikan sebagai perayaan terhadap waktu senggang.  Ketika di luar, di keramaian, waktu senggang diartikan sebagai pemujaan terhadap yang banal, diekspresikan melalui tonton kapital yang berpindah tangan dengan seketika, saya lebih memilih menulis hal yang sahaja; membangun-sekali lagi jembatan. 

Tetiba hujan pecah, entah dengan ritme yang masih saja sama…yang ada bunyi yang titik

Merayakan yang baru sudah menjadi karakter. Untuk tahun yang baru, barangkali di sana ada yang harus ditebak dalam keburaman, sesuatu yang tak bisa begitu saja dikenali. Barangkali karena inilah yang baru, yang dengan sendirinya melahirkan sentimen yang mengharu biru. Banyak cara yang ditunjukkan untuk itu, dimulai dari doa dan perayaan. Dengan itu, yang baru, yang sebentar lagi menjadi harihari sebenarnya tidak berbeda disambut.

Tetapi tulisan saya bukan ingin menjadi tanda bagi yang baru. Justru ingin merujuk pada peristiwa yang dikandung mitos. Dalam mitos ada yang tak selamanya mampu diukur, tak mampu dijangkau pertimbangan rasional, tetapi “menerangkan”  bagi penganutnya. Waktu dalam mitos adalah ihwal yang bulat penuh, total dan menyeluruh, sehingga bukan garis linear yang menandakan adanya keterputusan. Di dalam mitos, waktu sesungguhnya bukanlah entitas yang dapat dipilah, yang dapat dipecahpecah, melainkan totalitas keseluruhan masa.

Lantas dari manakah yang baru itu datang? inilah soalnya, sebab waktu di jaman sekarang adalah masa yang ditekuk rasio. Yang di sana waktu akhirnya pecah dikepingkepangkan, menjadi bagianbagian dari rangkaian yang sesungguhnya satu. Dari sinilah waktu akhirnya dipandang sebagai garis yang putusputus; masa yang perlu kita bagi menjadi baru dan lama. Dan inilah arti modern; waktu harus dirayakan kepergiannya, sementara dalam kebaruan ada masa yang tak jelas seluruh.

Tidak seperti perayaan yang menandai pada tahun yang baru yang sesungguhnya adalah hari yang sebenarnya masih sulit ditekuk. Dalam mitos walaupun ditandai sebagai pengetahuan yang menyelisih dari rasio, saya lebih menyukainya karena terangnya adalah sesuatu yang bukan rasio, melainkan mental. Kehadiran waktu adalah entitas yang seluruh bukan garisgaris yang dipilah; disinilah waktu berarti penghayatan akan keseluruhan tentang masa dan seluruhnya.

Karena inilah kebaruan tak selamanya baik, sebab tak menyertakan mental daripada rasio. Dalam mitoslah saya membayangkan orangorang yang beralih dari peristiwa satu ke peristiwa yang lain dengan gelora yang bertarung pada nasib didaratan seberang, sebab sesungguhnya orangorang ini tahu tak ada perang yang kedua kalinya. Yang namanya perang hanya sekali, selamanya. Dalam waktu yang dihayati, yang baru dan lama sesungguhnya ilusif, menipu dan juga berbohong.

Maka dari itu, tulisan ini menjadi rangkai yang menjembatani sebuah sikap atas peristiwa yang tak banyak berubah. Hari esok yang juga masih saja sama, sebuah peralihan masa, tentang bukit seberang yang landai dari pijak sini.


Di sana, di pusatpusat keramaian talutalu kembang api menyulap mendung…
Letus hingga berjauhjauh, sungguh tak ada sauh yang jadi teduh
Tetiba ramai dalam gagap yang sepertinya tegap, walau jua kalap
Di luar yang jamak, jalanjalan yang padat jadi ruang yang pekat
Tetiba hujan ditingkap dalam kurung gemerlap yang angkuh, juga ringkih


Michel Foucault dan Kelahiran Klinik

Biografi dan Konteks Intelektual

Foucault lahir di Poitiers, Prancis pada 15 Oktober 1926. Ia berasal dari keluarga yang berlatar pendidikan medis, hingga bagi orang tuanya, Foucault diharapkan untuk memilih profesi yang sama. Tetapi studi filsafat, sejarah, dan psikologi menjadi pilihan utamanya, walaupun kelak pemikiran-pemikirannya banyak berkaitan dengan bidang medis, khususnya psikopatologi.

Dalam mendalami Studi filsafat dan psikologi di Ecole Normale Superiure, ia bertemu dengan Louis Althusser yang sekaligus memperkenalkannya kepada pemikiran marxisme strukturalis; kemudian mendalami filsafat Hegel di bawah bimbingan Jean Hyppolite; dari Georges Canguilhem tentang sejarah ide; dan Georges Dumezil membuat Foucault tertarik dengan sejarah mitos-mitos, seni dan agama. Pada 1946 ia menyelesaikan pendidikannya dan menerima lisensi filsafat pada 1948 dari Sorbone dan dua tahun kemudian memperoleh lisensi dalam bidang psikologi. Ia juga mendapat diploma dalam psikopatologi.

Karir akademisnya diawali dengan menjadi staf pengajar di Universitas Uppsala, Swedia untuk bidang sastra dan kebudayaan Prancis (1955-1958), juga menjadi dosen di berbagai universitas di Prancis. Sempat juga terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Parai Komunis Prancis hingga 1951. Selama periode ini, Ia kemudian menerbitkan karya monumentalnya “Historie de la Folie al’age Classique” yang lebih dikenal dengan “Madness and Civilization” (Peradaban dan Kegilaan).

Melalui konteks karyanya kelak, alam pemikiran Foucault menunjukkan bermacam-macam minat pengetahuan yang menjadikan dirinya sebagai salah satu pemikir yang provokativ dan sulit dipahami (Ritzer, 2008). Tetapi selain dari Ide-ide Marxian melalui alur pemikirannya, ia banyak bersentuhan dengan teori rasionalisasi Weber yang ia sebutkan hanya ditemukan pada “tempat-tempat kunci (key sites); pendekatan hermeneutika dalam melihat fenomena sosial yang menurutnya problematis; pengaruh fenomenologi dengan cara penolakannya terhadap ide-ide otonomi subjek; dan yang paling penting adalah pemikirannya yang kuat terhadap beberapa minat Nietzsche terhadap kekuasaan dan pengetahuan. Input teoritis yang beragam ini akhirnya menempatkan ia sebagai seorang poststrukturalis (Ritzer, 2008).

Melalui Madness and Civilization, Foucault persis seperti menara yang menjulang akibat ketenaran dari tulisannya. Sejak penerbitan buku itu, perhatian terhadap gejala penyimpangan, yang juga sejarah psikiatri, ilmu kedokteran, psikopatologi, kriminologi dan seksualitas telah menjadi kajian yang kompleks saat diperhadapkan kepada tahap masyarakat dan tahap pemikiran. Begitu juga sebagaimana deskripsinya tentang perilaku aneh dengan kaitannya terhadap siksaan sadis melalui cara-cara yang ekstrem, dimulailah sebuah tahap ilmiah yang menghubungkan gejala inhumanitas dan humanitas sebagai bagian dari pengamatan sosial (Kurzweil, 2010)

Cara Kerja Foucault

Tindak baca Foucault atas sejarah peradaban barat terutama pada tema-tema perilaku menyimpang dan sejarah klinik, dilakukan berdasarkan metodelogi genealogidan arkheologi pengetahuan yang terungkap melalui kategori yang ia cetuskan. Dalam Madness and Civilization, Foucault mengujicobakan pendekatannya melalui pembacaan kondisi sejarah yang memungkinkan terjadinya kelompok-kelompok masyarakat terpusat melalui kategori kekuasaan selama masa abad pertengahan hingga pencerahan.

Dari tindak pembacaannya, Ia menemukan bagaimana kekuasaan menormalisasi kelompok marginal; orang berpenyakit lepra, orang gila, kaum miskin dan pengangguran melalui modus yang memperantai bagaimana cara kerja kekuasaan diberlakukan dalam skema pengetahuan dan kedokteran melalui diskursus.

Unit analisis diskursif sekitar kekuasaan dan pegetahuan dinyatakannya melalui bentuk-bentuk pengetahuan yang menyertakan kualitas moral dari kekuasaan itu sendiri. Melalui cara ini, kekuasaan mengkondisikan fungsi otoritasnya dalam mengatur praktik-praktik, aturan-aturan, pernyataan-pernyataan yang berhak beroperasi di dalam lingkungan dominasi kekuasaan.  Dari tema ini diskursus dapat diartikan sebagai “kelompok pernyataan yang memililiki sistem formasi tunggal” (Ritzer, 2008).

Diskursus dalam beberapa pengertiannya dipadankan dengan arti ideology. Penggunaan ini seperti ungkapan Eagleton adalah usaha Foucault untuk menghindari pemakanaan ideologi yang bias dari sebelumnya. Tetapi dari yang diberikan Eagleton, diskursus yang diperantai antara relasi kekuasaan sebenarnya selalu dimediasi melalui bahasa dan dibentuk oleh bahasa. Sehingga penggunaan diskursus lebih tepat digunakan dalam menjelaskan relasi struktural bahasa dalam mediasi kekuasaan (Bagus Takwin, 1999)

Ada empat artikulasi Foucault yang prinsipal dari arkeologi pengetahuan dengan membedakannya dengan sejarah ide untuk memahami diskursus;

Pertama. Arkeologi tidak mengupas “pemikiran, representasi, pencitraan yang terimplisit dalam diskursus, melainkan melihat kembali diskursus dibentuk dari kekuasaan yang menyertainya. Dengan kata lain arkeologi pengetahuan membantu kita untuk melihat diskursus itu sendiri.

Kedua. Dari dimungkinkannya diskursus yang disertai dari kekuasaan maka ia dilihat sebagai perkembangan yang memiliki kekhasannya sendiri. Ini sejalan dengan maksud Foucault untuk memahmi diskursus secara tidak langsung akan memposisikan kebenaran bukan hal yang prinsipal, melainkan adanya kecenderungan berbeda dari the other.

Di Akhir Desember

Bagaimana kita harus memahami perbedaan? Utamanya jika diperhadapkan dengan akhir Desember. Seperti biasa, menjelang 25 Desember, hanya soal ucapan bisa mengundang perdebatan soal iman. Dengan itu kita perlu kembali mengartikan apa maksud kehidupan beragama. Dan ini tak begitu mudah, sebab agama bagi kita, bagi sebagian orang, adalah urusan yang menyertakan “prasangka”

Prasangka dalam praktik bermasyarakat akhirakhir ini memang tumbuh subur. Persis jamur yang tumbuh di musim penghujan; bermekaran, menelusup masuk tanpa tedeng alingaling. Malangnya, prasangka dengan artinya kecurigaan justru akrab dalam kehidupan kita. Kecurigaan, juga dalam sak wasangka adalah kerukunan yang tanpa moral.

Jauh di ibu kota, Jakarta, sebagai contoh, agama menjadi komoditi pengangkut prasangka. Politik direduksi sampai hanya bermakna “suka tidak suka” dan ini artinya kemunduran; kita kehilangan tatanan yang generatif mengikat atas dasar “pengetahuan normatif” Politik dengan maksud demikian menjadi medan pertautan selera. Ini persis bagaimana konsumen diasosiasikan dengan iklan dari komoditi tertentu. Politik selera, dengan caranya yang memobilisasi, memiliki iklannya yang paling jitu; agama.

Tepat dengan cara demikianlah agama bisa menyulut sekam. Tak bisa dibayangkan, di saat tatanan demokrasi dirajut di sanasini, tepat di pusat demokrasi sana, agama justru murka dengan prasangka yang dikembangbiakkan. Sehingga idaman masyarakat terbuka yang mengedepankan semangat toleran, pikiran terbuka, masyarakat dialogis dan juga modern justru hanya wacana pinggiran.

Yang menjadi paradoks dari keadaan semua itu adalah “kecuriagaan” yang hidup persis di tengahtengah masyarakat informasi yang berbasiskan kemajuan informasi dan teknologi. Di saat gerak peradaban hendak mendaku cara berpikir terbuka, justru agama nampaknya sebaliknya mempertahankan “wawasan padang pasir” yang berbasis kesukuan. Dengan cara demikianlah agama dengan sisi sentimentalismenya menjadi komoditi yang kental dengan kedok fetisisme.

Dan “wawasan padang pasir” juga yang kerap tibatiba menilap toleransi kita. Akhir desember barangkali adalah situasi bagaimana agama kehilangan semangat kasihnya. Saya tidak mengerti jika “ucapan” yang sebenarnya adalah bahasa sosiologis selalu disandingkan persis seperti bahasa teologis. Bukan saja melalui “ucapan” kita menakar bagaimana toleransi diantara kita, justru barangkali agama kita, apa yang kita anut malah masih menyisakan jawaban yang belum tuntas kita pertanyakan.

Saya juga tidak mengerti, hanya karena bertoleransi, iman kita dipersangkakan. Dari agama, pengetahauan kita dibentuk hingga menjadi wawasan tentang ruang sosial dan segalanya. Dari cara ini, pengetahuan kita bersumber dari apa yang kita anut, apa yang kita yakini. Juga mereka, dengan pengetahuan yang berbeda, berasal dari keyakinan yang dianut. Maka wajarlah jika apa yang memotivasi kita dan seperti apa tindakan kita itu bisa berbeda, justru karena sumber kita yang berbeda. Lantas atas dasar apa keyakinan kita dianggap benar, dan selain dari kita dianggap menyelisih?

Maka ini sebenarnya perkara moral, bukan sesiapa benar sesiapa salah. Malah lebih berarti kenapa kita enggan salah. Atau lebih tepatnya kenapa kita tidak ingin menerima perbedaan? Janganjangan, apa yang selama ini dianggap benar adalah keyakinan yang tak kita gugat sebelumnya? Atau barangkali kita adalah orangorang yang kehilangan pegangan, tepat setelah kita mengatakan mereka salah?

Bagaimana kita harus memahami perbedaan, jika kosakata dalam praktik bermasyarakat selalu ditafsirkan melalui monolog agama? Sesungguhnya dalam yang semacam itu adalah pertunjukan yang sunyi tepuk tangan. Kenyataan masyarakat justru membutuhkan banyak riuh, gegap warna yang persis sebuah sirkus; keceriaan. Bukan sejenis aksi teatrikal yang minim suara. Minim dialog.

Justru saya ingin merasakan akhir Desember, persis saat saya tumbuh di tengah keanekaragaman keceriaan. Saat 15 tahun lampau ketika saya memahami ada tuhan yang lain. Ada pemeluk keyakinan yang lain, tetanggatetangga saya, sahabat dan temanteman saya juga orangorang kebanyakan. Saat demikianlah saya bisa memahami betapa di akhir Desember bukan tanpa dialog, justru pasca sebuah ucapan selamat, kita menjadi beriman.[]

Gong Mea

Abad 21 adalah masa yang tak pernah terbayang sebelumnya. Penanda khas dari zaman ini adalah hilangnya batas-batas kultural antar bangsa dalam dimensi budaya, ekonomi maupun politik. Globalisasi adalah peristiwa mutakhir di mana tak ada lagi bangsa yang otonom dari keberadaan bangsa lain. Sudah merupakan “kewajiban” antara bangsa untuk melakukan kesalingterhubungan demi membangun keberlangsungan kehidupan bernegara yang layak.

Tahun 2015 nanti, gaung globalisasi tidak sekedar wacana dari negeri seberang.  Melalui masyarakat ekonomi Asean (AFTA), kita dituntut untuk mengadaptasikan seluruh kemampuan sumber daya potensial untuk menghadapi era keterbukaan pasar global. Ini berarti secara ekonomi, kita harus mampu bersaing dengan pasar dari “negeri seberang” dengan memproduksi dan memanfaatkan "kelebihan” yang kita miliki. Pertanyaannya yakni, seberapa mampukah daya saing sumber daya yang kita miliki untuk “bertarung” di dalam era keterbukaan AFTA?

Modal Kebudayaan

Keresahan yang paling mengkhawatirkan di era pasar bebas adalah hilangnya penanda kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat kita. Keresahan ini sudah diwanti-wanti oleh Ritzer, seorang ahli sosiologi dengan istilah yang ia sebut McDonaldisasi kebudayaan. Keresahan Ritzer merujuk pada fenomena kebudayaan yang secara homogen dikooptasi oleh “rejim kebudayaan pasar”. Miskinnya pemaknaan masyarakat terhadap kearifan lokal adalah salah satu contoh dari kooptasi rejim kebudayaan yang mengartikan nilai kehidupan berdasarkan nilai-nilai asing.

Lantas apa kaitannya dengan AFTA? Pasar bebas sebagai medan pertemuan produk-produk diperjualbelikan, merupakan garda paling depan dalam “mempromosikan” selera bahkan nilai kebudayaan “negeri seberang”.  Produk adalah “duta” paling efisien untuk “mengakali” apa yang mejadi kebutuhan masyarakat kita. Bila hal ini terjadi, tidak tertutup kemungkinan akan berdampak secara kultural yang mengubah selera, praktik dan cara hidup berkebudayaan masyarakat Indonesia.

Bagi Makassar sebagai gerbang  timur perekonomian, mau tidak mau harus mempersiapkan strategi kebudayaan yang memungkinkan terjadinya penguatan nilai-nilai lokal saat menghadapi era pasar bebas. Hal ini dapat dilakukan melalui jalur edukasi yang kembali mengingatkan masyarakat untuk terus menghidupkan kehidupan berbasiskan kebudayaan. Menyangkut ini apa yang sempat diprakarsai oleh pemerintah kota Makassar melalui film Bombe’ adalah salah satu contoh seperti apa kebudayaan lokal diterjemahkan dalam kemodernan masa kini. Bila hal demikian tidak diantisipasi, maka budaya lokal yang kita miliki akan tersapu bersih oleh bentuk-bentuk kebudayaan baru seiring banyaknya produk luar negeri yang masuk.


Sentimentalisme Filsafat; Prasangka dan Anti Sains

Louis Althuser, filsuf marxis Prancis, punya buku; Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Saya membayangkan -dari judulnya- bagaimana filsafat, ilmu yang abstrak dan spekulatif itu memiliki keterpautan terhadap revolusi, situasi puncak gerakan sosial yang radikal dan total. Dan sulit dibayangkan, dalam arti apa filsafat harus kita terima sebagai senjata. Barangkali di sinilah tipikal pemikiran yang berhaluan marxis; filsafat bukan ilmu yang sekadar menafsir dunia, justru masuk dan mengubahnya.

Titik tolak dari buku yang ditulis Althuser itu bisa kita terima dalam beberapa pengertian. Pertama, perselisihan filsafat materialisme historis Marx terhadap filsafat Hegel yang bersifat spekulatif. Dalam konteks ini, pemikiran Althuser sulit menyelisih dari pertentangan yang sudah dimulai Marx. 

Kedua, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, jawaban atas spekulasi-spekulasi filosofis di luar halaun pemikiran marxis yang dinilai tak memiliki sumbangan praktis terhadap kompleksitas dunia. Ketiga, filsafat materialisme dialektik historis, seperti pandangan-pandangan pemikir marxis, satu-satunya alternatif pemikiran yang masih membawa harapan terhadap tatanan totalitarian kapitalisme.

Namun biar bagaimanapun, filsafat itu sebagai indung ilmu pengetahuan adalah medan yang masih sangat sulit dikenali. Persitegangan antara filsafat materialisme dan idealisme adalah panorama yang khas dalam pemikiran filsafat. Pelecehan terhadap filsafat Hegelian oleh Marx dengan menyebut filsafatnya berjalan dengan kepala, adalah ekspresi ideologis betapa kentalnya sentimen-sentimen antara filsuf di abad 19.

Jauh sebelumnya, sentimen yang lebih antagonistik ditunjukkan saat Eropa masih dikuasai eksternalitas gereja. Melalui kuasa hegemonik dan totaliter, hampir semua dimensi kultural dan keagamaan dipenuhi nuansa dogmatis doktrin-doktrin padri agama. Dari situasi demikian, tradisi kitab suci merupakan satu-satunya ilmu pengetahuan yang diakui melalui studi-studi kitab di dalam gereja. Pengetahuan dalam arti kritis yang bertumpu melalui telaah argumentatif rasional dan penyelidikan empiris, wacana pinggiran yang dibid’ahkan.

Tetapi Alison Brown, misalnya, dalam Sejarah Renaisans Eropa, menggambarkan bagaimana mesin cetak menjadi penanda kebaruan perkembangan Eropa. Keberadaan mesin cetak juga digambarkan Francis Bacon sebagai tiga penemuan yang mengubah wajah dunia. Pusat-pusat percetakan di Paris, Basel, Roma dan Antwerb dengan cepat menjadi pusat-pusat baru ilmu pengetahuan menggantikan dominasi gereja. Dengan bergesernya pusat ilmu, bersamaan dengan liberalisasi ilmu mesin cetak, akhirnya Eropa mulai memasuki era pencerahan.

Eropa yang tercerahkan adalah Eropa yang mulai meninggalkan anggapan-anggapan teologis. Eksternalitas gereja menjadi residu yang harus disapu bersih. Peristiwa demikian juga membersihkan presuposisi terhadap ilmu pengetahuan yang dianggap bid’ah dan menyesatkan. Dengan demikian ilmu yang awalnya dianggap menyimpang menjadi penanda otoritas manusia atas penguasaan hidupnya.

Zaman Keemasan: Bangkitnya Ilmu Pengetahuan

Abad pencerahan menjadi keadaan yang memungkinkan berkembangnya ilmu pengetahuan. Penemuan-penemuan metodelogi keilmuan, sampai perselisihan filosofis adalah ilustrasi epistemologi dari berkembangnya ilmu pengetahuan renaisans. Melalui Sejarah Filsafat Barat misalnya, Betrand Russell menuliskan serbuan sains pertama kali datang saat publikasi teori Copernican tahun 1543, kemudian diperkuat dan dikembangkan oleh Kepler dan Galileo pada dua abad selanjutnya.

Pudarnya kekuasaan iman gereja ditandai lahirnya semangat humanisme. Kharisma gereja akhirnya berganti pesona kekuatan primordial manusia sebagai mahluk otonom. Otonomi manusia berarti manusia sebagai subjek yang berpengetahuan tidak lagi menyandarkan kekuasaannya terhadap institusi gereja. Di zaman keemasan ini, manusia dilahirkan menjadi mahluk paripurna meninggalkan kesan purba abad kegelapan.

Kesan manusia sebagai pusat ilmu mencapai puncaknya dalam pembatinan Rene Descartes; cogito ergo sum. Mahluk purba dalam pembatinan Descartes menjadi subjek yang lahir dari peristiwa otonomisasi semangat pencerahan. Cogito ergo sum adalah tiang pancang kekuatan rasio atas keberadaan manusia. Rasio Descartes merupakan pemurnian kekuatan primordial manusia yang sudah tercemari praanggapan common sense. Rasio dalam pengertian cartesian adalah rasio yang menolak eksternalitas sebagai dasar pijak kebenaran.

Zaman keemasan juga digambarkan Kant sebagai era yang sama sekali berbeda dari abad pertengahan. Abad pencerahan disebutnya sebagai keadaan kemandirian berpikir. Di suatu waktu ia menulis:

Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri, tanpa bantuan dari orang lain. Ketidakdewasaan yang dibuat sendiri ini tidak terjadi karena kurangnya pemahaman, melainkan karena tidak adanya keberanian, yakni ketidakberanian untuk menggunakan pemahaman tanpa arahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri! Itulah semboyan Pencerahan.

Era pencerahan juga memberikan kesan yang kuat terhadap individuasi manusia. “Beranilah untuk menggunakan pemahamanmu sendiri!” merupakan keinginan kuat dari manusia otonom. Dalam hal ini Kant, juga seperti Descartes, memiliki iman yang sama terhadap manusia merdeka. Dalam hal ini kolektivitas yang menjadi dasar common sense diradikalkan atas rasio yang independen. Dalam situasi demikianlah manusia yang independen atas rasio menjadi pusat alam semesta.

Gerakan Sosial: Revolusi Payung Hongkong

Gerakan sosial dalam arti defenitifnya selalu ditandai dengan tindakan kolektif yang bersifat spontan dan massif. Pengertian ini juga mengacu pada tindakan masyarakat yang mengarah pada tujuan bersama sejauh ikatan-ikatan yang bersifat semi organisasional terbangun. Beberapa pengertian yang diberikan ahli sosial misalnya, melihat gerakan sosial merupakan bagian integral dalam masyarakat yang berfungsi sebagai kekuatan pendorong perubahan. Dengan kata lain, gerakan sosial yang merupakan kesatuan integral dalam tatanan masyarakat, memposisikan dirinya sebagai kekuatan yang memiliki fungsi penyeimbang bahkan sebagai bentuk pembaharuan tatanan itu sendiri.

Pengertian lebih jauh diberikan Blummer, misalnya, yang melihat signifikansi gerakan sosial dalam pengaruhnya terhadap penciptaan nilai-nilai baru yang menggantikan anutan-anutan lama di masyarakat. Hal ini menjadi salah satu indikator untuk mengukur capaian-capaian gerakan sosial sebagai kekuatan perubah yang merembesi sistem nilai dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya, perubahan cara mengidentifikasi masyarakat Amerika dalam kaitannya dengan perjuangan Apertheid kulit hitam yang lambat laun akhirnya berubah pasca munculnya gerakan sosial yang dimotori Malcolm X. Dalam kasus ini kita bisa menyaksikan dampak perubahan sosial yang ditimbulkan gerakan civil society sebagai variabel yang juga menentukan perubahan dalam sistem nilai masyarakat Amerika.

Penciptaan nilai baru yang dimaksudkan Neil Smelser yakni sebagai upaya penataan ulang nilai-nilai lama yang dianut sebagai alasan bertindak. Dalam kehidupan masyarakat, nilai-nilai kolektif, semisal keadilan, pengetahuan, kebaikan, kasih sayang, demokrasi dsb, secara prinsipal menjadi sandaran epistemologis dalam bersikap. Pada kasus Apertheid, gerakan yang di motori Malcolm X tidak saja mengubah secara sosiologis posisi masyarakat kulit hitam, melainkan secara paradigmatik memberikan nilai baru secara kultural terhadap keberadaan kulit hitam di tengah-tengah masyarakat kulit putih Amerika.

Gerakan sosial sebagai tindakan kolektif juga dapat kita temukan misalnya tahun 1999 di Seatle Amerika Serikat. Kala itu hampir 40.000 masyarakat pekerja, aktivis NGO, kaum anarkhi, aktivis lingkungan hidup, serta pembela hak-hak asasi manusia tumpah ruah di jalan-jalan menentang pertemuan tingkat dunia yang diselenggarakan WTO. Dalam konteks peristiwa, gerakan sosial yang menolak isu neoliberalisme kala itu juga memperlihatkan  bentuk spontanitas sebagai salah satu indikator gerakan sosial yang bisa menjadi titik permulaan dari kegiatan kolektif.

Sebagai kekuatan penggerak masyarakat, gerakan sosial adalah sarana alternatif yang menjadi pendorong perubahan ketika dimensi struktural kemasyarakatan tak menghasilkan pemenuhan hak-hak dasar kemasyarakatan. Kecenderungan ini termuat dalam pembacaan yang bersifat marxian ketika melihat ketimpangan ekonomi yang dihasilkan oleh struktur kelas masyarakat atas dasar dominasi kapital oleh kelas masyarakat tertentu. Model gerakan sosial marxian banyak kita temukan pada negara-negara belahan dunia ke tiga yang rentan akibat disparitas ekonomi sebagai penyebab ketidakpuasan masyarakat.

Gerakan sosial yang ditemukan di belahan dunia ketiga memiliki ciri ikatan yang bersifat normatif. Ikatan ini merupakan gagasan bersama sebagai bentuk kepahaman yang bersifat kolektif. Ikatan normatif ini memiliki arti ideologis untuk mempersatukan visi dan misi sebagai tujuan gerakan bersama. Contoh kasus misalnya, gerakan petani karet di Brazil yang dipelopori Chiko Mendes pada tahun 1987, dipersatukan oleh keyakinan umum yang melatarbelakangi munculnya penentangan terhadap pembabatan hutan oleh korporasi saat itu. Keyakinan mereka terhadap pemanfaatan hutan secara ekologis menjadi pemahaman dasar sehingga sampai saat ini Brazil memiliki 48 lokasi seluas 12 juta hektar di hutan Amazon yang berstatus kawasan suaka ektraktif.

Dari beberapa kasus di atas, cara-cara yang ditempuh dari gerakan sosial merupakan sikap kolektif yang berada di luar mekanisme sistem institusi yang ada. Dalam hal ini apabila institusi kemasyarakatan tidak memberikan dampak sosial yang diharapkan, maka kolektifitas dari gerakan sosial adalah mekanisme yang ditempuh untuk menjadi alternatif dari institusi yang ada. Merujuk hal ini, juga diungkapkan Antony Giddens dan Calhoun yang menyebutkan bahwa gerakan sosial sering kali memiliki ciri-ciri dari penggunaan cara-cara di luar sistem yang dianut. Tindakan aksi massal masyarakat sipil, pemberontakan kaum tani, dan kelompok-kelompok minoritas yang memperjuangkan hak-hak sipilnya, memang selalu menggunakan cara-cara yang tak lazim dianut dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

Apabila dilihat dari tatanan struktural masyarakat, gerakan sosial juga dapat diidentifikasi sebagai respon dari kalangan elit yang berada pada puncak hirarki kelas masayarakat. Pengertian ini mengacu pada aktivitas elit masyarakat sebagai agen gerakan sosial yang memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat dominan untuk mengarahkan perubahan yang dikehendaki. Dalam ketatanegaraan kita, kasus RUU Pilkada barangkali bisa menjadi ilustrasi berkenaan dengan maksud pengertian ini.

Perlawanan dari gerakan yang diprakarsai elit adalah gerakan dari bawah yang bersumber dari masyarakat luas sebagai bentuk kebersamaan. Gerakan yang berasal dari bawah ini adalah gerakan yang mengikutkan kolektivitas masyarakat sebagai eksponen gerakannya.

Gerakan Revolusi Payung Hongkong

Revolusi Payung merujuk pada gerakan kaum muda pro demokrasi di Hongkong yang muncul pada 23 september 2014 lalu. Gerakan yang dipelopori oleh kalangan pelajar ini merupakan respon terhadap kebijakan RRC atas mekanisme pemilu Hongkong 2017 nanti. Selain dari itu, gerakan ini dimotivasi atas dasar kekhawatiran masyarakat Hongkong, terutama kaum terpelajar atas kebebasan yang kian merosot oleh kawasan bekas koloni Inggris ini.

Perlu juga diketahui, Hongkong merupakan bagian pemerintahan Cina yang diserahkan Inggris pada 1997 lalu. Semenjak penyerahan ini, Cina menerapkan kebijakan satu negara dua sistem demi keberlangsungan otonomi Hongkong.  Namun semenjak perpindahan tangan ini, Hongkong, terutama kalangan eksekutifnya lebih pro terhadap pemerintahan Cina dibandingkan dengan warga Hongkong sendiri.

Kebebasan yang kian terbatasi sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang telah lama tertimbun. Revolusi Payung tidak saja mempersoalkan mekanisme pemilihan pimpinan eksekutif yang selama ini dipilih langsung oleh dewan partai komunis Tiongkok, melainkan adanya migrasi penduduk daratan yang masuk ke Hongkong dengan mengambil lahan pekerjaan penduduk lokal. Kaum muda juga tidak puas dengan keadaan ekonomi yang dikuasai Taipan kaya di wilayah itu.

Gerakan sosial Hongkong ini telah berlangsung dua bulan lamanya semenjak September 2014. Dampak dari gerakan ini juga memberikan pengaruh politis terhadap keberlangsungan pemerintahan dewan partai Tiongkok di Hongkong. Oleh sebab, tuntutan yang menjadi perhatian utama dari gerakan payung ini adalah perubahan sistem politik yang tidak memberikan kebebasan memilih bagi warga Hongkong.


Apabila dilihat dari tipe gerakan yang terjadi, gerakan yang dipelopori oleh Joshua Wong bersama ratusan pelajar belumlah sampai pada jenis gerakan yang bersifat menyeluruh dalam hal perombakan seluruh sistem kehidupan. Tetapi hal ini dimungkinkan apabila dalam prosesnya mengalami perluasan isu yang berdampak kepada seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Pada tingkatan ini, gerakan yang bersifat revolusioner menjadi tindak lanjut dari proses perubahan yang ditimbulkan gerakan sosial sebelumnya.

Gerakan payung Hongkong juga dapat diamati sebagai tindakan kolektif yang berorientasikan perubahan struktur politik. Melalui pendudukan basis-basis wilayah tempat perputaran ekonomi, gerakan ini dapat diterjemahkan sebagai bentuk sikap-sikap yang keluar dari sikap-sikap intitusi politik. Hampir ribuan kaum terpelajar turun ke jalan untuk memberikan sikapnya terhadap sistem politik yang dianggap tidak merepresentasikan semangat demokrasi. Gerakan pendudukan yang terkenal dalam revolusi payung adalah gerakan ocuppy love and peace yang terinspirasi dari gerakan Wall Street di Amerika tahun 1999.

Dari sisi yang lain, revolusi payung adalah ungkapan ketidak puasan kaum terpelajar dari sistem politik yang diterapkan di Hongkong. Sebagai perbandingan, apa yang pernah terjadi di Indonesia semasa orba yang memunculkan gerakan reformasi juga dilator belakangi oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pemerintahan yang dipimpin Soeharto. Dalam dua kasus ini, seperti yang dimaksudkan oleh Zald dan Berger tentang ketidakpuasan berupa keluhan yang menjadi pendorong dari lahirnya perubahan sosial.

Hal yang senada juga menjadi indikator yang dibilangkan Eyerman dan Jamison berkenaan dengan nuansa emotif yang menjadi bagian dari gerakan sosial. Kaitannya terhadap nuansa emotif bahwa gerakan sosial menampakkan ciri-ciri tindakan kolektif yang mengungkapkan perasaan tak puas di depan umum. Hal ini dilakukan  untuk mengubah basis sosial dan politik yang dirasakan tak memuaskan. Pada kasus gerakan pendudukan kaum pelajar Hongkong adalah contoh kongkrit bagaimana ketidakpuasaan yang dimaksud dikolektifkan menjadi tindakan bersama dihadapan umum saat menduduki pusat-pusat strategis kota Hongkong.

Pendudukan yang berlangsung selama dua bulan ini, setidaknya menarik minat media-media internasional dalam hal keikutsertaan kaum pelajar sebagai penggerak utama revolusi payung. Di satu sisi keikutsertaan kaum pelajar ini akhirnya mendorong elemen masyarakat lain agar turut mengambil peran dalam perubahan yang mereka inginkan. Dalam studinya Ign Mahendra mengungkapkan bahwa gerakan yang dipelopori kaum terdidik dapat menjadi bagian dari gerakan sosial ataupun malah secara kualitatif akan berubah menjadi gerakan politik.

Dalam studinya pula Mahendra menjelaskan bahwa kaum terpelajar sebagai agen perubah menjadi kelas masyarakat yang dapat menyerap sentimen-sentimen politik dibandingkan golongan masyarakat yang lain. Hal ini didorong karena kaum terpelajar sangat sensitif terhadap perubahan yang berlangsung di tengah proses dinamika masyarakat. Dengan begitu, kalangan terdidik malah menjadi barometer yang merefleksikan animi yang beregerak dalam masyarakat.

Revolusi Payung Hongkong mengingatkan kita kepada gerakan reformasi yang sedikit banyaknya diprakarsai oleh kalangan terdidik untuk mengarahkan perubahan pasca Orde Baru. Gerakan reformasi dalam tinjauan gerakan sosial mengacu pada tema marxian yang mengelolah isu-isu ekonomi sebagai sebab musabab kemandekan sosial dan disparitas masyarakat. Namun yang terjadi pada masa gerakan mei 98, justru mampu membawa yang semula berawal dari analisis ekonomi akibat krisis ekonomi menjadi analisis politik yang berujung pada penjatuhan rejim Orde Baru.

Dalam pendekatan tertentu, gerakan sosial semacam gerakan revolusi payung beserta gerakan sosial di abad kontemporer, dari analisis yang diberikan Tourine dikategorikan menjadi model gerakan sosial baru. Gerakan sosial baru sangat berbeda dengan gerakan sosial lama yang memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan ini juga dibedakan berdasarkan perkembangan modernitas terutama kapitalisme di masa kapitalisme awal dan kapitalisme lanjutan.

Tourine memberikan beberapa variabel yang menjadi perhatian dalam menganalis perbedaan antara gerakan sosial baru dan gerakan sosial lama diantaranya yakni status keanggotaan yang ketat pada gerakan sosial lama dibandingkan gerakan sosial baru yang cenderung fleksibel. Hal ini disebabkan oleh karena sifat organisasi yang cenderung tertutup pada tipe gerakan lama dibandingkan dengan gerakan sosial baru. Akibat dari jenis organisasional yang demikian maka akan cenderung lebih luas ikatan antara organisasi lainnya bagi gerakan sosial baru dibandingkan gerakan sosial lama. Hal yang paling mencolok diantaranya adalah fokus isu yang lebih beragam dianut gerakan sosial baru daripada gerakan sosial lama. Dalam hal ini yang dapat kita golongkan gerakan sosial baru adalah gerakan ekologi, feminisme maupun gerakan perdamaian.

Berdasarkan tinjauan yang diberikan Tourine, revolusi payung yang lebih fleksibel dalam keikutsertaan yang tidak bersandar pada satu elemen kelas masyarakat, dapat masuk dalam model gerakan sosial baru. Sementara revolusi payung juga tidak memiliki karakter antagonistik kelas sehingga lebih terbuka baik dari model organisasinya maupun anggota yang terlibat di dalamnya. Juga berdasarkan pengertian Kriesi, gerakan revolusi payung tiongkok lebih memusatkan persoalan pada masalah kultural seperti kebebasan berpendapat dan politik dibandingkan is ekonomis sebagaimana isu-isu yang diusung gerakan sosial lama.

Revolusi Payung yang identik dengan payung oleh peserta demonstrasi, selain sebagai gerakan sosial, dalam kaitannya dengan perubahan sosial menghendaki tujuan yang diinginkan berupa perubahan mekansisme pemilihan yang lebih demokratis bila dibandingkan dengan konsep pemilihan tak langsung. Walaupun akan berpengaruh terhadap iklim politis dan ekonomi, setidaknya revolusi payung hingga kini masih menjadi bagian dari suara mayoritas masyarakat Hongkong untuk mendapatkan otonominya dari pemerintahan RRC. Walaupun demikian, revolusi payung Hongkong juga pada akhirnya akan menjadi gerakan yang berproses mengikuti hukum perubahan sosial yang membutuhkan gerakan sosial berikutnya.

---

Daftar bacaan
  1. Sosiologi Perubahan Sosial. Piotr Sztompka.2008
  2. Lubang Hitam Kebudayaan. Hikmat Budiman.2006
  3. Bergerak Bersama Rakyat. Suharsih dan Ign Mahendra.2007
  4. http://www.republika.co.id/berita/koran/teraju/14/10/07/nd2h0a19-revolusi-payung, diakses pada Senin 10 November 2014
  5. http://properti.kompas.com/index.php/read/2014/10/16/133159221/Minggu.Ketiga.Demonstrasi.Penjualan.Rumah.di.Hong.Kong.Jeblok. diakses pada Senin 10 November 2014.

Hari Pahlawan dan Perjuangan Era Global

Hari ini Senin yang heroik. 10 November punya makna yang historis; hari pahlawan. Bagi bangsa kita, hari pahlawan adalah momentum sejarah yang menyulut semangat patriotisme. Momentum yang asal usulnya dapat dirujuk pada peristiwa tegaknya kedaulatan bangsa di hadapan bangsa penjajah.

Kala itu, Hotel Yamato, dalam memori kolektif kita, merupakan penanda historis sebagai pusat ingatan 10 November. Sejarah bangsa kita mengungkapkan, pertempuran yang ditaksir tiga hari oleh pihak sekutu akhirnya harus lancung sampai berbulan-bulan. 

Dan peristiwa yang fenomenal itu; disobeknya bendera Belanda di atas Hotel Yamato, adalah sikap ekspresif  patriotisme bangsa Indonesia untuk menegakkan kedaulatan pasca proklamasi kemerdekaan.

Perang 10 November di Surabaya, yang melibatkan masyarakat sipil, kaum muda dan kyai saat itu, merupakan perang pertama atas nama bangsa yang merdeka. Semangat patriotisme saat itu merupakan penentu yang monumental bagi bangsa yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. 

Meletusnya perang 10 November juga menjadi pemantik nasional untuk menggerakkan perjuangan seantero negeri dalam mempertahankan kedaulatan yang masih tebilang muda. Tak bisa kita bayangkan betapa heroiknya para pejuang kala itu untuk menahan agresi sekutu, semangat pantang mundur mempertahankan ibu pertiwi.

Pahlawan Sosiologis Masa Kini

Pahlawan dalam rujukan historisnya merupakan persona yang tumbuh bersama eskalasi terbentuknya bangsa Indonesia. Situasi ini merupakan proses sosial kultural dalam konteks perjuangan sekaligus menetapkan peran secara diametrial terhadap peran  bangsa lain. Artinya pahlawan adalah produk perjuangan yang memiliki tugas mempertahankan ibu pertiwi terhadap pendudukan dan penjajahan bangsa asing. Dengan demikian yang dimaksud pahlawan adalah orang-orang yang memiliki kesadaran perjuangan untuk mempertahankan diri pertiwi atas dasar hak kemerdekaan.

Tetapi menjadi dilematis jika konteks perjuangan tak dialami oleh generasi bangsa masa kini. Generasi kita seperti kehilangan konteks perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sejarah penjajahan antar bangsa-bangsa tak memiliki titik akhir, di mana model penjajahan masa kini hanyalah mode konfigurasi yang kerap berubah. Ini berarti hingga masa kini, detik ini, dalam konteks bangsa kita, penjajahan masih tetap berlangsung dengan model yang sungguh berbeda dari sejarah masa lalu. 

Ini juga berarti pahlawan bukan saja produk sejarah perjuangan masa lalu, melainkan produk sosiologis masa kini, sejauh itu memiliki peran mempertahankan kedaulatan kemerdekaan dan memajukan bangsa dan ibu pertiwi.

Pahlawan Di Era Global

Masa sekarang adalah era global vilage yang berarti batas-batas tentang identitas kultural antar bangsa menjadi kabur. Dalam kajian sosiologis, betapa mirisnya proses globalisasi berbarengan dengan produk westernisasi yang mengubah visi kebangsaan kita. Pembaratan dalam segala aspek kehidupan berbangsa menjadi salah satu medan perjuangan yang harus kita masuki untuk mempertahankan ke-Indonesia-an kita. 

Dalam konteks inilah pahlawan sebagai produk sosiologis masa kini mengambil peran strategis untuk menerjemahkan perjuangan di tengah deru globalisasi. Apalagi tahun 2015 nanti kita dipertegas untuk masuk pada jaringan global AFTA.

Pada konteks demikian, kesadaran sejarah harus senantiasa dihidupkan di ruang kultural kita. Pahlawan bukan terma sejarah dalam museum ingatan kolektif, melainkan kata kerja yang memiliki makna perjuangan untuk mempertahankan dan memajukan bangsa kita. 

Artinya secara defenitif perlu kita akui, pahlawan dalam era global berarti orang-orang yang memiliki kualitas produktif dalam memajukan bangsa ini tanpa kehilangan akar historisnya.

10 November yang lampau dan 10 November masa kini adalah dua jaman yang berbeda. Masa kini, terutama era modern seperti sekarang, sangat dibutuhkan peran-peran heroik berdasarkan kewajiban kita sebagai warga negara. Peran heroik tidak selamanya berawal dari otoritas dan power yang besar, melainkan oleh sesiapa saja yang mengintegrasikan perannya di dalam proses kemajuan bangsa. Dalam hal ini pahlawan tidak tumbuh dari pusat-pusat pusaran elit tetapi juga bisa hadir di pinggiran kehidupan masyarakat.

Lantas seperti apakah kualitas produktif yang dapat mempertahankan dan memajukan bangsa kita? Jika anda seorang pelajar, politikus, pengambil kebijakan, guru, mahasiswa, pegawai negeri sipil, tukang becak, dosen, nelayan, ekonom, pedagang kaki lima,  ataukah seluruh peran profesi atau peran sosial yang tumbuh di tengah masyarakat, selama anda bekerja berdasarkan kesadaran atas peran kemasyarakatan dan kewajiban konstitusional, maka dari sanalah hilir sungai produktivitas mengalir.

Syahdan, saya teringat keyakinan-keyakinan mitologi yang senantiasa terpusat pada sosok besar nan agung sebagai juru selamat. Cerita-cerita babad yang memuat harapan besar orang banyak terhadap satu person yang dianggap mampu mengangkat penderitaan. Pada orang-orang semacamnyalah predikat pahlawan disematkan. 

Namun, marilah kita merujuk peristiwa sejarah bangsa kita, terutama 10 november, dari ingatan kolektif itu kita dapat belajar bahwa sekali lagi pahlawan tidak bermula dari pusat-pusat elit, melainkan rakyat jelata yang punya peran besar terhadap tanah pertiwi yang dibelanya. Bagaimanakah anda? 

*Terbit di kolom opini Harian Fajar, 10 November 2014


Gayatri dan Sumpah Pemuda

Gayatri, putri Ambon penguasa 14 bahasa itu harus meregang nyawa. Oleh keluarganya dikatakan karena pendarahan otak. Ia sontak menjadi sorotan setelah kematiannya beberapa waktu yang lalu. Gayatri yang sudah mendapatkan 80 penghargaan itu memang putri bangsa yang cerdas. Sehingga kehilangannya menjadi duka dalam bagi bangsa. Salah satu sebabnya jarang kita temukan pemudi seperti gadis 17 tahun ini. Menguasai banyak bahasa dengan cara yang otodidak. Juga yang membuat kita takjub adalah Gayatri tidak lahir dari keluarga kaya yang mampu menyekolahkan anak dengan dukungan kelas privat bahasa, melainkan ia tumbuh jauh di Ambon bersama keluarga sederhananya.

Begitulah kiranya Gayatri, putri bangsa yang menjadi duta ASEAN. Pemudi yang dinobatkan sebagai  The Young Hero oleh acara Kick Andy. Dara yang juga kerap berbicara di forum internasional ini sering kali mengingatkan dunia betapa pentingnya permasalahan anak untuk menjadi perhatian setiap pemerintahan. 

Kehadiran Gayatri seperti menyuarakan pesan bahwa peran perempuan di dunia global memiliki peran yang sama dengan kaum pria. Ia juga menjadi inspirasi bagi kaum muda untuk tetap berprestasi mengharumkan nama bangsa. Gayatri berani mengambil sikap, diusianya yang masih muda memilih bakti untuk tanah airnya.

Suara Pemuda Pemudi

Keberanian seorang Gayatri adalah ciri kaum muda. Indonesia mencatat keberanian pemuda pemudi pernah gaung 28 oktober silam. Melalui keberanian kaum muda, sumpah untuk bangsa yang satu, bahasa yang satu dan tanah negeri yang satu akhirnya menjadi peristiwa yang menyejarah. Sumpah pemuda akhirnya menjadi kristalisasi semangat untuk mendirikan sebuah negeri yang merdeka.

Dari sumpah pemuda kita bisa belajar bagaimana suara pemuda pemudi menjadi tanda kebaruan. Pada konteks sumpah pemuda lahir, kongres pemuda yang melibatkan pemuda pemudi daerah menghendaki lahirnya negeri baru tanpa penjajahan dan pembodohan. Dengan sumpah pemuda visi kedaerahan ditranformasi menjadi visi kenegaraan, juga dengan sumpah pemuda kesadaran terhadap makna tanah air akhirnya dipersatukan menjadi indonesia.

Sumpah pemuda seperti yang dibahasakan Bung Hatta adalah letusan sejarah. Letusan dalam konteks lahirnya sumpah pemuda adalah metafora untuk menggambarkan betapa kuatnya keinginan persatuan terhadap berdirinya negeri baru. Indonesia saat itu barangkali seperti apa yang dibilangkan Benedict Anderson sebagai imagined communities . Yakni negeri yang dipersatukan oleh identitas yang identik, cita rasa dan juga cita-cita yang sama. Di negeri yang terbayang saat itu adalah bangsa yang hidup makmurnya ditentukan oleh hasil jerih payah kaum sendiri. Nasib yang dikayuh sendiri, kesejahteraan yang bukan keringat orang lain. Singkatnya negeri tanpa penjajahan.

Mencari Kembali Indonesia

Indonesia, negeri yang terbayang dan Indonesia sekarang adalah dua negeri yang berbeda. Negeri yang terbayang adalah negeri yang dahulu dicita-citakan melalui penanda historis melalui sumpah pemuda, proklamasi, kesaktian pancasila dll. Melalui proses panjang itu, indonesia sebagai bangsa mengalami pemapatan identitas untuk tampil sebagai bangsa yang merdeka. Dari peristiwa-peristiwa sejarah itu, Indonesai tumbuh dan berkembang menempa dirinya terus menerus.

Sumpah pemuda adalah dokumen sejarah yang seharusnya bekerja dalam imajinitas bangsa indonesia. Bukan sebagai artefak sejarah yang hanya ditinggalkan dalam museum ingatan masyarakat. Sebagai dokumenlah sumpah pemuda menjadi teks yang terbuka untuk dimaknai berdasarkan konteks yang dihadapi sekarang. Apalagi di era kemajuan informasi dan teknologi seperti sekarang, batas-batas kultural, penanda identitas manusia indonesia mengalami pergesekan dari dampak globalisasi yang sulit dibendung.

Maka dari itulah, sumpah pemuda menjadi penting. Dari kronologisnya, sumpah pemuda ditujukan untuk keluar dari semangat kedaerahan di tengah-tengah penjajahan saat itu. Sementara dari subtansinya, sumpah pemuda dimaksudkan untuk membentuk dan membatasi identitas kebangsaan secara kultural dan politik dari bangsa lain. Ini dilakukan sebagai negeri  yang ingin merdeka dari penindasan bangsa lain. Sehingga sumpah pemuda adalah ikatan kolektif yang dirajut menjadi tanda kebangsaan.

Kita berhutang budi kepada orang-orang semacam Sugondo  Djojopoespito, Muh. Yamin, Sunario Sastrowardoyo, Amir Syarifuddin, Wr. Supratman dan lainnya yang berani mencetuskan semangat persatuan kebangsaan dari lidah lokal menjadi lidah nasional. Merekalah pemuda-pemuda yang memiliki visi kebangsaan untuk merumuskan nasionalisme. Ditangan merekalah indonesia menjadi kosakata yang bermakna nasional.

Indonesia di jaman sekarang adalah bangsa yang hidup berdampingan dengan bangsa lain. Ini berarti, Indonesia adalah negeri yang mau tak mau harus mampu berdialog dengan bangsa lain. Dalam konteks global, sumpah pemuda adalah personal identity tanpa harus kehilangan jati diri kebangsaan di antara lintas kultural bangsa-bangsa lain. Sumpah pemuda adalah teks dialog yang memungkinkan kita, bangsa Indonesia tidak kehilangan bentuk lisan untuk berdialog diantara lisan asing. Syahdan, selamat hari sumpah pemuda.


Jokowi dan Kepemimpinan Tanpa Tabu

Sampul Times, majalah yang terkenal di Amerika Serikat itu, pada terbitan tanggal 16 Oktober 2014. menyebut Jokowi sebagai “the new hope” Barangkali agak berlebihan ekpektasi yang dibangun Times dengan menyebut Jokowi sebagai harapan baru. Pasalnya, “The New Hope” harapan baru, mengandung standar ganda. Pertama, Jokowi di mata internasional harus membuktikan kapasitasnya dalam skema politik luar negeri yang cenderung menguntungkan pihak asing untuk menyeimbangkan kebijakan-kebijakan internasional dengan kepentingan kedaulatan dalam negeri. Kedua, harapan baru di maknai sebagai metafora bagi rakyat indonesia untuk keluar dari pemerintahan yang selama ini terlampau birokratis.

Saya membayangkan “the new hope” oleh majalah Times itu di saat Jokowi masih sebagai gubernur Jakarta saat acara puncak kirab budaya pagelaran agung keraton sedunia 2013 silam. Dengan pakaiannya yang persis seperti seorang pendekar dan diarak oleh banyak orang dengan menaiki kuda, merupakan metafora bagi situasi kepemimpinan pasca era SBY saat ini. Pendekar, dalam cerita manapun bukanlah pemimpin politik, namun kemunculannya sesungguhnya adalah keinginan mayoritas untuk keluar dari tirani orde. Keberadaannya merupakan serba antitesa dari model dan gaya kepemimpinan tirani. Jika kepemimpinan orde mengandung tatakrama, gerak yang kaku, bebal dan lamban, maka pendekar adalah personifikasi dari tatakreasi, gerak yang dinamis, cair dan cekatan. Dan mengapa kuda, bukan panggung singgasana yang dipikul budak, kuda pendekar adalah simbol kendaraan rakyat serba bisa. Kuda adalah penanda masyarakat bawah.

Merawat Komunitas

Hermann Borch  melalui A Study on Mass Hysteria-nya memberikan anasir model kepemimpinan politik dalam konteks kepemimpinan massa. Broch memaksudkan bahwa politik sebenarnya memiliki tugas misioner merawat komunitas. Dalam arti ini, merawat komunitas berarti perlibatan edukasi dan kontinyuitas visi dalam kepemimpinan jangka panjang berbasis massa. Dimaksudkan pula oleh Broch, tugas merawat komunitas merupakan kanalisasi untuk melawan penyimpangan-penyimpangan massa.

Kaitannya dengan kepemimpinan Jokowi selama ini adalah betapa besarnya arus grassroot yang ikut tersedot dalam arus kekuasaan politik Jokowi. Logika relawan selama ini adalah indikasi yang mesti diperhatikan bagaimana konteks merawat massa ini bekerja. Jarak makna antara massa dengan komunitas mesti diterjemahkan melalui model kepemimpinan yang fleksibel dan dinamis. Sebab massa bukanlah komunitas yang di dalammnya kepemimpinan politik bekerja.

Massa dalam pengertian sosiologis hanyalah crowd (gerombolan) yang tidak terikat oleh ikatan-ikatan yang berorientasi visi. Urgensi pembedahan ini yakni betapa seringnya hasrat politik massa dikonfigurasikan berdasarkan logika kekuasan politik tertentu. Politik dengannya hanyalah kumpulan crowd-crowd yang bergerak tanpa arah. Melalui proses inilah grassroot sewajarnya harus diberdayakan dalam konteks menjaga keberlangsungan komunitas.

Lantas seperti bagaimanakah keberlangsungan komunitas dapat berlangsung? Arnold Toynbee kiranya memiliki pandangan terkait seperti bagaimanakah kepemimpinan kreatif  berperan dalam merawat komunitas. Dalam siklus perubahan, kepemimpinan kreatif sangatlah menentukan respon situasi yang dihadapi. Maka dalam konteks inilah metafora kepemimpinan pendekar Jokowi diterjemahkan. Gaya cekatan, gesit dan fleksibel adalah simptom kepemimpinan kreatifitas yang dinantikan bagi komunitas besar Indonesia.

Jokowi dengan citra kerakyatan yang dibangunnya diharapkan menjadi penanda sosial maupun kepemimpinannya untuk mengatasi ekspektasi yang terlampau besar terhadap dirinya. Apalagi bersama dengan kabinetnya di dalam kepungan parlemen membutuhkan gaya kepemiminan tanpa tabu sebagaimana sikap seorang pendekar. Melalui gaya komunikasinya yang fleksibel, tidak banyak bicara, enteng dan merakyat merupakan tatanan semantik antikrama yang cenderung diatur rapi, kaku dan berat sehingga memudahkan membangun gaya kepemimpinan yang tanpa malu-malu.

Barangkali melalui konteks demikianlah “the new hope” oleh Times dapat kita maksudkan. Yakni dimulai dari lapisan sipil hingga menembus tatanan elit, Jokowi menjelma menjadi fajar baru bagi harapan berjuta hati Indonesia. Bukan dalam pengertian kepentingan dunia barat seperti yang barangkali diharapkan oleh negara asing. Justru bisa jadi Jokowi seperti lakon Arok dalam naskah Arok Dedes sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Di mana kemunculannya merupakan jawaban dari temaram nasib yang dialami. Fajar harapan yang dinanti-nanti.

Apalagi mengingat pidato Jokowi yang berkelekar untuk mengembalikan kejayaan maritim nusantara pada 20 oktober lalu. Yakni misi untuk membangun mental manusia maritim yang bevisi terbuka, kedepan, pekerja keras dan menyukai tantangan. Dengannya layar dibentang kemudian seperti Nietzche dalam puisinya; tak ada jalan kembali, sebab telah kita bakar labuhan dibelakang sana.

Pernah dimuat pada harian Fajar terbitan 23 Oktober 2014.


Agama Teologis Agama Sosiologis

Tulisan ini mengacu kepada pendekatan yang digunakan Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis, berkenaan dengan agama sebagai fakta sosial. Pengertian ini ingin mengutarakan agama, dalam penilaian tertentu, tidak memiliki perbedaan dengan nilai-nilai tertentuyang tumbuh di masyarakat. 

Ini berarti agama yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dapat disejajarkan sebagaimana aturan main yang menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam posisi yang demikian, dan dalam pengertian agama sebagai fakta sosial, memberikan indikasi bahwa agama juga bisa diverifikasi menjadi bahan amatan yang empiris.

Dalam konteks perubahan sosial, agama dalam pengertiannya yang sakral, harus rela berbaur dengan segala perubahan yang menjadi karakter dasar masyarakat. Ini berarti agama yang selama ini diyakini mengandung nilai teologis, mau tak mau di dalam pendekatan empiris, akhirnya  menjadi seperangkat keyakinan yang sosiologis. 

Melalui cara ini, agama menjadi kajian yang tidak terlepas dari unsur-unsur perubahan. Mengingat hal ini, persentuhan dengan alam sosiologis, agama dimungkinkan untuk mengalami perubahan.

Agama sebagai suatu sistem juga mencakup individu dan masyarakat, seperti yang ditampilkan dalam keyakinan terhadap paham, ritus, maupun upacara keagamaan atau kesatuan kolektif. Agama dan masyarakat dapat pula mengacu pada sistem simbol yang dimantapkan sebagai fungsi untuk mengatasi masyarakat. Dalam sejarah kebudayaan, agama acap kali digambarkan sebagai keyakinan lokal yang banyak berperan dalam mengintrodusir makna-makna maupun simbol sebagai way of life.

Sebagai acuan dasar dan juga sebagai pembanding, tulisan ini juga bertolak dari argumentasi filosofis yang melihat jika agama tak mengandung unsur perubahan, maka dalam realitasnya tidak mungkin bermunculan bentuk-bentuk keyakinan yang berbeda satu dengan lainnya. Mustahil agama dengan wajah yang monolit, melahirkan purnaragam rupa-rupa agama. 

Atau dengan bahasa lain, jika agama hanya ditafsirkan sebagai wajah yang tunggal, maka beragamnya kemungkinan “wajah-wajah” agama yang berbeda mustahil dapat terjadi.

Mengingat agama yang memiliki kemungkinan mengalami perubahan, maka kecenderungan tulisan ini, berusaha mengikuti kerangka pengertian yang dibilangkan Macionis berkenaan dengan perubahan sosial. Menurutnya perubahan sosial dapat mengacu pada transformasi di dalam organisasi masyarakat, dalam pola berpikir, dan dalam perilaku di waktu tertentu. Hal ini diperlukan agar menjadi dasar penilaian untuk melihat kecenderungan perubahan dalam agama dengan pembacaan sosiologis.

Agar lebih memudahkan penilaian dalam segi apa agama mengalami perubahan, maka secara operasional, agama dalam tulisan ini akan dipecah menjadi beberapa aspek untuk memudahkan pembacaan kita menyangkut perubahan yang dimaksudkan.

Pertama, aspek ideologis. Berdasarkan apek ini, dalam setiap agama ataupun keberagamaan, agama manapun memiliki seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan premis eksistensial terhadap kebermaknaan hidup. Biasanya dalam pengertian ini, mengandung asumsi-asumsi teologis yang disakralkan dan tak dapat diganggu gugat. 

Kedua adalah aspek ritual, di mana pada level ini aspek ideologis dilaksanakan. Pengamalan dari kepercayaan ideologis disebut ibadah. 

Ketiga,  aspek ekperiensial, yang dimaksudkan bahwa agama juga memiliki keterlibatan emosional dan sentimental di dalam pengamalan ritual atau ibadah keagamaan. Sebagai bahan perbandingan dalam aspek ini, termuati pengertian yang diberikan William James menyangkut perjumpaan dengan tuhan.

Keempat berupa aspek intelektual yang menjadi semacam rasional eksplanation. Berkenaan dengan apek ini, setiap agama harus memiliki sistem penjelas untuk menerangkan dirinya agar dapat diterima secara logis dan metodelogik. Tanpa ini agama hanya menjadi sekumpulan dogma tanpa kejelasan sedikitpun.


The Violences of Everyday Life

Sejarah dunia, bila meminjam analisis Marxian adalah persitegangan tiada henti. Dunia adalah medan pertarungan dari kepentingan atas dasar kekuasaan. Melalui mekanisme yang antagonistik, dunia banyak disuguhi hororisme, ketakutan, penghancuran, perang, perbudakan, genosida, serta penghisapan. 

Awal sejarah, tindak penghancuran seperti juga diakui dalam kitab suci, sejatinya sudah dimulai oleh nenek moyang manusia beberapa milenium sebelumnya. Melalui kisah Qabil dan Habil, agama hendak mengingatkan sebenarnya kekerasan dan penghancuran merupakan tindak manusia yang inheren dan paling purba dalam diri manusia. Dalam abad modern, ingatan umat manusia tertuju pada pembersihan ras oleh Nazi atas dasar pemurnian etnis, perang yang dialami rakyat Bosnia, pendudukan etnis Yahudi di tanah Palestina serta menguatnya tindakan terorisme internasional akhir-akhir ini.

Nampaknya tatanan dunia belakangan ini tengah diuji. Aksi-aksi kekerasan yang kerap menelan korban banyak, mau tak mau menyimpan duka mendalam bagi korban pasca peristiwa. Baik global maupun nasional, kekerasan sudah menjadi peristiwa integral dalam kehidupan manusia. Betapa mudahnya dunia menyuguhkan aksi-aksi brutal yang begitu transparan ditengah-tengah kita, seakan kekerasan adalah hukum natural yang sedang memperbaiki dirinya. Ataukah boleh jadi, kekerasan sebenarnya adalah hasil kreasi manusia yang mengambil peran untuk meneguhkan eksitensi kekuasaannya. Ini berarti kekerasan-entah peperangan, pembunuhan, kemiskinan struktural sampai manipulasi tindakan-adalah sistem yang tidak lahir dengan alamiah dengan mengacu pada bentuk-bentuk yang terpola berdasarkan tingkatan dan kedalamannya.

Menanggapi itu, dalam ulasan ini kami berusaha untuk menyoroti beberapa kasus-kasus semisal kekerasan yang terintitusionalkan melalui kepentingan politikal dan ekonomikal terhadap pengidap hemofilia dan AIDS di kawasan Amerika Utara, dampak lokal dari kepenguasaan totaliter pemerintahan Mao Zhe Dong terhadap masyarakat Cina, kekerasan struktural pada tatanan kelas menengah masyarakat Amerika dan apropriasi kekerasan kultural dalam image media. Melalui pembacaan demikian, sekiranya akan memberikan gambaran terang melalui taxonomi kekerasan yang inheren dalam wajah sehari-hari. Dengan cara demikian, setidaknya dampak kekerasan yang muncul dari beragam bentuk, dengan implikatif mampu dilihat seberapa jauh dan besar kekerasan terbentuk pada tatanan individual maupun kolektif di dalam tubuh masyarakat.

Sejauh ini, sebagai kerangka pengertian, studi kami menyangkut kekerasan tidak keluar dari pemahaman yang melibatkan bentuk-bentuk hubungan antara negara dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ini berarti dari kasus-kasus yang kami eksplore, masih dalam rangka mengikuti kerangka pengertian yang dimaksud. Namun bukan berarti melalui kasus-kasus yang ada, secara monolog hanya memberikan pengertian yang seragam, tetapi juga turut mengembangkan pengertian yang lebih purnaragam.

Kasus pertama. Varietas Borjuis. Kekerasan struktural dalam kelas menengah masyarakat Amerika Utara. Jane Huffberg seorang perempuan pekerja dari Amerika Utara yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan bedah anatomi masyarakat Amerika Utara, keadaan sosial ekonomi lebih banyak mengalami keadaan alienatif dari sistem ekonomi kapitalisme. Masyarakat yang tumbuh dari mekanisme ekonomi yang kapitalistik turut mengkofigurasi kelompok masyarakat berdasarkan kepemilikan ekonomi. Dengan konteks yang demikian akses-akses terhadap hak-hak publik hanya dapat dimanfaatkan oleh golongan masyarakat atas. Sementara minimnya akses yang dimiliki oleh kalangan marginal, justru menciptakan golongan yang berkubang pada kemiskinan yang akut.

Berdasarkan pendekatan teologi pembebasan, kekerasan sehari-sehari dalam tingkatan tertentu justru analog dan inklud dalam tatanan sosial masyarakat. Gambaran demikian diwakili dalam kasus Jane yang mengalami tekanan psikis dan fisik dari keluarganya yang hidup di dalam mata rantai kemiskinan. Dampak yang dialami Jane sebenarnya adalah konstruksi realitas sosial yang timpang dari struktur kemasyarakatan kapitalistik. Dari pengamatan yang diamati, tatanan yang timpang demikian mengharuskan Jane mengalami pengalaman waktu yang berlipat. Ia harus bekerja siang dan malam untuk mencari nafkah, terutama menutupi kekuarangan dalam keluarganya.  Dalam pengakuannya ia bertindak juga seperti bapak; “saya seperti kuda” katanya.

“I don’t show my anger. I let people get angry at me. But really, you know, I think I’m angry all the time. I’m angry at life, I think. Really, I’m. it gets to you. It’s too much, really-life is!”

Dari analisis semantik terhadap pernyataan Jane, dapat disimpulkan bahwa betapa besar tekanan psikis akibat tatanan sosial yang timpang. Secara sosiomatic, besarnya eksternalitas yang mendistorsi pemanfaatan waktu yang dialami, mengakibatkan rusaknya tatanan mental dari keadaan psikodinamik secara kesuluruhan tatanan. Dari kasus Jane Huffberg, dan juga masyarakat kelas menengah yang hidup dalam kemiskinan, hipotesa yang bisa kita berikan adalah kemiskinan dan kekerasan adalah dua mata rantai yang mengikut dan kerap menjadi symptom sosial dalam tatanan sistem yang kapitalistik.

Kasus kedua. Kekerasan dalam gambar. Bentuk kedua dari kekerasan dalam kehidupan sehari-sehari adalah kekerasan dalam gambar. Kasus ini berangkat dari publikasi Joan Kleinman yang mengeksplor gambar-gambar kekerasan dalam surat kabar yang apropriatif mempengaruhi mental order dan sosiokultural sebagai salah satu causal dalam mencipta bentuk kekerasan- moral, keindahan dan sikap. 

Kasus yang ada mengambil sampel dari koran New York Times bertanggal 18 Juli 1995. Dalam edaran bertanggal 18 juli itu, terpampang gambar yang mengandung isu global pembersihan etnis masyarakat Yahudi yang diwakili dari icon tentara, perang sipil masyarakat Bosnia; seorang perempuan separuh baya dengan anak muda yang tertangkap kamera saat masa perang berlangsung.dan seruan International Rescue Committee (IRC) yang sedang menggalang permohonan dana.

Apa yang tertangkap dari kamera jurnalis NYT, mengandung isu yang problematis. Dengan jeli gambar yang ada sebenarnya adalah suara yang bungkam oleh kekuasaan yang melampaui wewenang sehari-hari. Pada kasus perang Bosnia, di sana merupakan impac dari konstalasi politik merebut kawasan jajahan. Betapa besar pengaruh traumatik dari konflik yang berkepanjangan. Dari ilustrasi gambar yang ada, kekerasan akibat konflik berkepanjangan juga dapat ditangkap sebagai kekerasan sistematis untuk mengontrol keberlangsungan hidup suatu kawasan.

Sementara dalam icon tentara Nazi, konteks penangkapan kita tidak akan jauh dari peristiwa holocaust yang dialami masyarakat Yahudi. Dari keterangan gambar yang diterangkan pada gambar tentara Nazi, mendeskripsikan perhatian kita menyangkut peristiwa pembersihan etnis yang pernah terjadi di awal abad dua puluh.