Puasa dan Simulakra

Ramadhan telah memasuki hari kedelapan dan hendak memasuki hari kesembilan. Sudah menjadi tradisi di dalam masyarakat kita jika tiba pada bulan ilahi banyak terjadi perubahan yang serba cepat. Bukan saja masyarakat, komponen-komponen media pun berlomba-lomba menyuguhkan menu ramadhan untuk mencari berkah bulan yang dijanjikan pahala berlipat. Dari acara berita hingga sinetron, banyak yang berlomba-lomba menarik minat penonton untuk menaikkan reting siarannya. Iklan-iklan yang sebelumnya tak memiliki kaitannya dengan bulan ramadhan justru berbalik seratus delapan puluh derajat. Para tokoh-tokoh iklan nampak berbusana muslim, wanitanya indah dengan kerudung warna-warninya, sedang prianya tampan terlihat dengan baju koko plus dengan kopiahnya. Stasiun televisi berlari secepat mungkin mempertontonkan kealiman acara-acaranya, menggelar tabligh akbar sampai memperlihatkan orang-orang yang berurai air mata dengan pesan-pesan ustad dadakan. Singkat cerita bila kita menonton tayangan-tayangan yang disuguhkan selama bulan ramadhan, maka kita pun serempak menjadi penonton yang soleha. 

Apa yang terjadi selama bulan ramadhan adalah fenomena unik yang patut kita apresiasi. Minimal selama bulan ini kita menuntun diri untuk memacu jiwa agar menjadi insan yang bertakwa. Namun kiranya perlu digaris bawahi bahwa fenomena yang kita saksikan dalam sebulan didalam media-media adalah fenomena yang berwajah ganda. Disatu sisi ia menyuguhkan religiuitas namun disisi lain ada permainan simbol yang memberikan pemaknaan kedua. Pemaknaan kedua inilah yang kita hendak kaji. Oleh Baudrillard, pemaknaan kedua ini disebut dengan simulakra.

Simulakra dicetuskan pertama kali oleh Jean Baudrillard, salah seorang filosof Perancis yang terkenal. Simulacra dapat diartikan sebagai tanda/simbol yang dibuat di media atau budaya untuk mempersepsikan realitas. Menurut Baudrillard, pada masyarakat modern, kenyataan telah digantikan oleh simulasi kenyataan, yang hanya diwakili oleh simbol dan tanda. Sadar atau tidak, bulan ramadhan telah dipersepsikan melalui media dengan permainan tanda dan simbol yang menjauhkan kita dari realitas yang sebenarnya. Penyuguhan media-media telah mengganti persepsi manusia dengan persepsi yang mereka hadirkan. Ramadhan yang seharusnya dilewatkan dengan pemenuhan ibadah bagi kita akhirnya tergantikan oleh kepentingan yang dihadirkan oleh simulakra itu sendiri.

Puasa, Perlawanan dan Pembebasan

"Wahai orang-orang yang beriman! Kamu diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan ke atas orang-orang yang dahulu daripada kamu, supaya kamu bertakwa" (al-Baqarah, 2:183). 

Puasa adalah ibadah yang menjadi perintah Allah bagi umatnya. Ibadah ini menempati posisi penting di antara seluruh ajaran agama Islam. Namun, sejarah puasa bukanlah ibadah yang sepenuhnya terdapat dalam Islam saja. Dituliskan pada ayat di atas tersirat kabar bahwa puasa sudah dijalani oleh umat-umat terdahulu sebelum Rasul hadir. 


Nabi Musa pernah mendapatkan wahyu agar dirinya berpuasa selama empat puluh hari sebelum diturunkan kitab Taurat untuknya. Puasa yang dijalani Musa pada saat itu adalah puasa khusus yang diperuntukkan untuknya sebagai persiapan ruhani sebelum menerima wahyu dari Tuhan. Puasa di sini dimaknai sebagai ibadah yang berdimensi individu.

Kaum Nasrani juga menjalankan ibadah puasa. Dalam mazhab ortodoks misalnya, puasa besar dianggap sebagai puasa yang paling penting. Masanya selama 50 hari dan berakhir pada kebiasaannya pada hari raya kiamat. Mereka juga berpuasa selama 40 hari yang dinamakan puasa kelahiran, bermula dari 25 November hingga 6 Januari, yaitu sebelum berlangsung hari raya kelahiran. Keyakinan ini dapat dirujuk dari kisah nabi Yunus yang berpuasa selama tiga hari dalam seminggu. Puasa ini dinamakan oleh mereka, puasa paramount.

Puasa pun memiliki peran dan tujuannya masing-masing. Pada kasus nabi Musa misalnya, puasa adalah ritual individu dan memiliki peran sebagai penyucian ruhani. Ajaran Nasrani berpuasa dengan niat mengikuti tradisi para nabi-nabi mereka. Begitu pula Maria ibunda dari Isa Al Masih, berpuasa bicara sebagai sanksi sosial bagi masyarakat pada saat itu dikarenakan ia dituduh tidak-tidak dengan sebab kelahiran Isa Al Masih yang lahir tanpa keberadaan bapak.

Bukan saja pada agama-agama terdahulu, pada peradaban besar yang ada di dunia semisal Mesir kuno, Yunani Greek, bangsa Romawi dan Cina kuno. Puasa di kalangan orang-orang Mesir purba dilakukan sebagai memberi khidmat kepada rumah ibadat dan protokolnya. Seseorang pembantu rumah ibadat sebelum memulai khidmatnya dikehendaki berpuasa selama 2 hari tanpa memakan apa-apa makanan kecuali air saja. Kadang-kadang puasa itu berlanjutan sehingga 42 hari. Begitu pula di Cina, semenjak Budha menjadi ajaran resmi negara, maka puasa menjadi ritual yang dijalankan dibawah komando maharaja Fu Ti (58 - 71M).

Jadi jelaslah bahwa puasa bukanlah ibadah yang diperuntukkan semata untuk Islam melainkan jauh hari sebelum kedatangan Islam, puasa telah menjadi amalan bagi individu maupun masyarakat luas. Oleh Islam-lah Puasa menjadi ibadah yang bukan saja berdimensi individu melainkan sekaligus ibadah sosial.

Puasa sebagai Pesan Perjuangan Kaum Tertindas

Pada saat Rasul membawa agama yang diturunkan untuk umatnya, puasa mengambil peran penting terhadap perubahan sosial yang terjadi pada masanya. Puasa bukan saja ibadah yang memiliki relasi "ke atas", tetapi tersirat di dalamnya adalah relasi terhadap kondisi sosial yang terjadi. Puasa jenis ini banyak dilakukan Nabi sebagai ajaran yang egaliter, dimaksudkan untuk tidak makan selama berhari-hari untuk memposisikan diri senasib sepenanggungan dengan kaum-kaum tertindas. Puasa jenis ini adalah ibadah pilihan sebagai makna perlawanan terhadap sistem yang menjerat sehingga banyak yang tak dapat hidup sejahtera. 

Bukan saja Nabi, Menantu sekaligus murid sejatinya, Imam Ali Bin Abi Thalib pernah berbuka puasa hanya dengan air putih saja dikarenakan selama tiga hari berturut-turut, puasa yang diperintahkan Nabi untuk Imam Ali demi kesembuhan kedua anaknya diberikan kepada kaum papa dan orang tua yang datang untuk mencari makan pada saat Ia hendak berbuka. Diberikanlah bekal buka puasa pada saat itu demi yang membutuhkannya. Pada kisah ini puasa pun bisa dijadikan sebagai media Ibadah demi kesembuhan. Bukan saja niat puasa yang merupakan "pilihan" sebagai bentuk perlawanan bahkan berbuka pun adalah "pilihan" untuk berbagi dan melawan.

Selain diwajibkan selama bulan ramadhan, puasa juga bermakan bagi kita untuk memilih sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi sosial dan pemerintahan yang serakah seperti sekarang ini. Apalagi kondisi sekarang adalah kondisi yang semua dibungkus lewat permainan libido. Lihatlah iklan, produk dan media semuanya berjalan lewat nalar nafsu keserakahan, menciptakan masyrakat yang serakah pula nan konsumentalis. Puasa adalah pesan keagamaan untuk melawan keotoriteran dan kapitalistiknya zaman. Betapa luar biasanya apa yang dibawa oleh Rasul kita.Telah kita ketahui puasa adalah ibadah yang waji bai kaum muslim, tapi bagi penulis sunnah puasa adalah keniscayaan bagi orang-orang yang hendak melawan keserakahan kelompok, sistem, dan penguasa. Puasa adalah pembebasan ruhaniah sekaligus pembebasan kolektif sosiologis masyarakat. Pelepasan diri terhadap pembelengguan ego yang menjerat kemerdekaan. Puasa sebagai pilihan adalah jenis puasa bagi orang-orang yang merdeka. Puasanya para pembebas, sebagaimana Rasul yang berpuasa sebagai bentuk jihad untuk melakukan gerak perlawanan kepada penguasa khurais yang despotik dan kapitalistik.

Sebagai bentuk perlawanan, puasa menjadikan dirinya sebagai peran sentral sebagai pemantik akan api perlawanan. Posisinya sebagai penjagaan mawas diri terhadap kesalahan diri. Sekolah untuk membentuk manusia-manusia merdeka dan sebagai pembatas antara orang-orang yang melawan dan pasrah. Ia menjadikan ritual sebagai ritual yang menembus citra kemapanan sosial masyarakat hedon dan liberal. Bukan saja sekedar menahan lapar dan haus melainkan membantah habis asumsi ego kekuasaan yang bercokol dalam setiap manusia. Menggerogti nafsu keserakahan umat manusia, ia adalah usaha kreatif manusia menuju pembebasan universal alam semesta. Menohok topeng kepalsuan diri dan merangsah gairah perlawanan.

Telah dijelaskan sebelumnya, puasa adalah keberlanjutan umat-umat terdahulu, maka puasa pula adalah romantisme sejarah akan kaum budak belian dan papa agar kita mencintai mereka. Bagian dari kolektivitas gerak yang tak pernah terputus dari zaman ke zaman membawa suratan kemerdekaan agar kita turut andil dari Ibadah perlawanan sejagad raya beserta waktunya menuju keabadian kemerdekaan yang terbebas dari keterpenjaraan tradisi, budaya, sosial, ekonomi serta dimensi kekuasaan. Zaman telah menjadi saksi bagi kita bahwa para nabi senantiasa menghidupkan puasa, maka kita pun harus melakukannya pula, puasa dari produk yang menjerat jiwa, iklan yang menghasut akal, pidato penguasa yang menipu rakyak serta zaman yang menidurkan warganya oleh kepasrahan yang nyata. Puasa adalah motor sekaligus katalisator, penggerak yang menggerakkan, zuhud yang mengkritik serta zikir yang membebaskan. Puasa adalah milik kaum mustada'afin, puasa adalah keberpihakan terhadap orang yang dicintai Rasul.[]

Rabbi

Terkisah: Seorang Rabbi selalu meninggalkan Sinagognya pada saat-saat tertentu dalam kebaktian penebebusan dosa. Dengan curiga sang murid mengikutinya diam-diam, "jangan-jangan sang Rabbi bertemu dengan Tuhan saat ia pergi" begitu dalam benak sang murid. Sang murid kaget ketika ia mendapati sang Rabbi berganti pakaiannya dengan pakaian petani kasar dan pergi kesebuah rumah cacat dan disana ia membersihkan rumah dan menyiapkan makanan untuk sang cacat. Ketika sang murid kembali, ia ditanya "Apa yang engkau dapatkan, apakah sang Guru naik ke Surga?", "Tidak, Bahkan Ia berada di tempat yang lebih tinggi", jawabnya..

Mahasiswa vs. MAhasiswa

Jean Paul Sartre si pesohor eksistensialis, pernah dipaksa turun dari podium saat ia menyampaikan orasi. Gelombang mahasiswa kesal dan marah.  Perancis saat itu sedang mengalami fase peralihan. Sekarang bukan lagi harus Sartre, kekesalan mahasiswa telah memuncak, Satre harus turun. 

Sekarang giliran mahasiswa harus bersuara lantang. Pada momen itu mahasiswa menunjukan kesan; sudah saatnya mereka yang berbicara. Tentu bukan lagi sebagai massa yang mengekor. Ikut dalam barisan aksi berarti harus maju ke depan massa.

Nun jauh di negeri seberang terlontar diktum pemimpin berkopiah: “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kupindahkan gunung Himalaya”. Keras gema itu membahana menjadi api penyulut semangat kaum muda Indonesia. Indonesia membutuhkan pemuda. Saat di mana Indonesia sedang berjuang keluar dari penjajahan imperialism belanda. Indonesia saat ini membutuhkan pemuda

Jauh hari sebelumnya sebuah ide meledak.  Pemuda berusia 20-an beserta teman-temannya merencanakan satu peristiwa penting. Peristiwa yang kelak  diukir pada buku-buku sejarah. Gerombolan ini merencanakan rencana yang sangat berani: menculik presiden RI beserta wakilnya. Sukarni nama pemuda itu. Dia dan gerombolannya berniat  memaksa Soekarno  menyatakan kemerdekaan Indonesia di hadapan warga dunia.

Ini bukan cerita film holywood pada layar kaca Anda, melainkan fakta sejarah. Banyak kisah serupa  seperti di atas bisa kita temukan. Telisiklah sejarah perubahan dunia, maka banyak orang-orang muda yang tak puas dengan keadaan terjajah. Tak ingin dikibuli oleh rezim hipokrit atau dibodohi oleh sistem otoriter. Pada orang-orang muda ini ada keberanian serta mentalitas yang baja. Mereka adalah kalangan terdidik. Mereka adalah mahasiswa. 

Mahasiswa adalah kaum yang berkemampuan merespon situasi secara radikal . Membaca zaman dan kemudian mengubah takdir.  Di hadapan mereka ada situasi yang timpang. Ada sistem yang menjarah. Ada pemimpin yang tak adil. Di depan mata mereka ada masyarakat yang perlu disadarkan dari kejahiliaan, pembodohan oleh struktur yang tak berpendidikan. Jika semua itu terjadi mereka tak ingin diam, mereka selanjutnya bertindak.

Mahasiswa seperti ini hidup di dalam kampus; sebuah ruang sosial yang dimaknai sebagai sekolah. Tempat mengasah otak dan mempertajam kepekaan. Mereka akrab dengan gagasan besar. Intens membentuk komunitas belajar dan tentu berkutat dengan diskusi-diskusi kebangsaan.

Mereka dikenal dengan idealisme, semangat dan keberanian. Pada praktik hidupnya selalu didasari oleh perangkat nilai. Aktivitasnya yang mendorong masyarakat sebagai civil progress menjadi makanan sehari-hari. Di tengah-tengah masyarakat tugas mereka memberikan kesadaran politik, membangun perkampungan-perkampungan mandiri serta menanamkan akhlak terpuji sebagai panutan.

Mereka memiliki iman bahwa sejarah mesti dipelajari, masyarakat harus dibaca, teori harus diurai pada kenyataan yang dihadapi.  Dengan begitu mereka menggariskan satu benang merah agar sampai kepada zaman kelak, bahwa mahasiswa bukanlah ruang kosong oleh pemaknaan,  melainkan di dalamnya terkandung api pencerahan yang peka terhadap ummat.

Kita pada hakikatnya telah dibesarkan oleh sejarah perjuangan  pendahulu. Mahasiswa sebagai identitas telah kita terima sebagai baju keseharian kita. Namun malangnya baju itu  bagi kita tak laik lagi untuk dikenakan, karena bisa jadi lusuh dan warnanya yang tak lagi cemerlang.

Hedonism: Berhala Mahasiswa

Zaman sudah berbeda. Formasi sosial telah berubah. Sekarang bukan lagi bicara  tentang seberapa seringkah engkau dipanggil Puang, Andi, Karaeng serta sejenis embel-embel kelas ningrat. Malah sudah tergantikan seberapa panjangkah gelar akademik yang diterakan pada nama. Bukan lagi baju bodo, sirrina pacce melainkan bagaimana engkau tampil dengan barang-barang yang engkau miliki. Produk-produk telah menggantikan  pengetahuan sebagai esensi manusia. Maka zaman menjadi “pameran akbar” para penyembah barang.

Zaman dahulu,  manusia memiliki iman tentang keberadaan benda-benda. Mereka mempercayai suatu benda memiliki nilai keramat oleh sebab dihuni oleh   roh maupun spirit kudus.  Pemberlakuan terhadap benda-benda yang dihuni roh maupun spirit diperlakukan secara khusus. Bahkan ukuran keberadaan manusia disandarkan pada kepemilikan barang-barang yang dimaksud. Eksistensi manusia berharga apabila menturutkan benda-benda pusaka.  Kualitas keberanian, kejantanan serta kebesaran adalah kualitas kemanusiaan yang biasanya dihubungkan dengan keberadaan barang-barang pusaka. Herbert Marcuss menyebutnya fethisisme.

Pada alam modern keyakinan ini hadir dengan bentuk yang baru. Barang telah menjadi pujaan serta sembahan yang kita sakralkan dalam keseharian. Fetisisme produk yang menganggap bahwa barang-barang yang kita miliki memiliki unsur magis, roh dan pesona telah melahap habis nalar yang dimiliki. Melalui apakah unsur magis, roh dan pesona itu bekerja?  Demi sebuah life style, demi sebuah prestise dan harga diri, orang-orang ikhlas menghamburkan uangnya  hanya untuk dapat eksis dan dikenali orang-orang di sekitar. Aku bergaya maka aku ada.

Hedonisme telah mengambil jatah tuhan dalam iman mahasiswa sekarang.  Ruang parade kehidupan  kampus yang menonjol dan telah menjadi simbol hidup para pemuja berhala produk. Keterlenaan dengan barang menjadikan mahasiswa tampil dengan isu sentral life style. Ukuran engkau ada adalah seberapa banyakkah baju yang engkau miliki, merek apakah barang dan dimana barang itu bisa di dapatkan.  Tema-tema besar menjadi  pembicaraan sampingan, yang ada adalah tema absurd lainnya.  Dan kini menjadi ayat-ayat yang sering dijadikan zikir pada kolektivitas religi yang dilakukan. Sebuah identitas baru telah hadir untuk menggusur keberadaan identitas mahasiswa sejati: mahasiswa bermental pasar.

Sementara pada poros lain, terdapat elemen berbeda yang senantiasa menanti datangnya perubahan.  Membangun kolektivitas massa  melalui pertemuan-pertemuan pengetahuan. Berdiri di tengah- tengah arus budaya hedonisme sembari memperteguh niat guna meretas sejarah yang lebih baik. Satu identitas dengan komitmen tinggi yang memegang teguh amanah sejarah para pendahulunya. 

Mereka inilah yang kerap kali diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk selalu eksis. Idiom perjuangan dan ideologisasi telah menjadi makanan keseharian mereka. Buku dan diskusi adalah tameng mereka. Dan idealisme adalah penuntun jalannya.

Syahdan,  kampus telah menjadi karnaval besar; ruang yang menghamparkan  pertarungan abadi antara dua identitas. Dua peran antagonism; antara hedonisme dan idealisme, antara produk dan pikiran. Sedang didalamnya kita berada.  Lantas dimanakah anda?[]

---

Tulisan tahun 2010

Ideologi dalam Perspektif

Pada tulisan kali ini penulis hendak memaparkan sejarah konsep ideology sebagai studi kritis bagi pembaca untuk melihat bahwa ideology merupakan salah satu tema yang menarik untuk di perbincangkan. Pertimbangan ini lahir dengan asumsi sekiranya dalam sebuah diskursus atau wacana pastinya tidak terlepas dari struktur ideology yang ada, hal inilah yang mendorong penulis tertarik untuk membahasnya.

Ideologi sebagai istilah, pertama kali muncul dipermukaan kancah khazanah pemikiran diperkenalkan oleh Antoine Destutt de Tracy pada abad ke 18, walaupun akar maknanya dapat di tarik jauh kebelakang pada Bacon, Machiavelli bahkan hingga Plato. Para pemikir sosial lebih melihat asal usul istilah dan kajian ideology bermula dari konsep idola bacon. Hanya saja de Tracy-lah yang berhasil menggagas ideology dengan cara yang sistematis dan tegas. De Tracy memberikan pengertian ideology sebagai pengkajian akan ide-ide atau ilmu pengetahuan akan ide. Dari pengertian ini de tracy memberikan garis tegas bahwa kajian menyangkut ideology terlepas dari prangsangka-prasangka, mitos dan takhayul. 

Dengan kata lain ideology adalah ladang pengkajian yang sifatnya netral dan dituntut untuk dipandang sebagai entitas yang objektif. Selanjutnya oleh de Tracy bahan kajian dalam pembahasan ideology adalah asal-usul ide, mengapa suatu ide muncul, bagaimana berkembangnya serta upaya apa yang dilakukan untuk menangkap ide-ide itu. Penjelasan seperti ini, oleh penulis masih mendekati pengkajian secara filosofis atau lebih tepatnya adalah epistemology, salah satu cabang dalam filsafat.

Pemikiran  de Tracy bila dilihat memiliki hilir pada salah satu tokoh filsuf pada abad pencerahan, John Locke. Pada pemikiran John Locke, menyatakan ide adalah hasil sensasi dari observasi yang dilakukan oleh manusia. Lebih jauh lagi locke mengungkapkan adanya jenis-jenis ide dan bagaimana terbentuknya dalam pemikiran manusia. Dari konsepsi inilah sehingga tracy mendapatkan pijakannya. Oleh tracy ideology harusnya mampu menandingi ketepatan sebagaimana ilmu alam, yang artinya ideology merupakan kajian keilmuan yang bersandar pada sensasi yang didasarkan pada observasi. Ia bahkan mengatakan ideology harus mampu menjadi piranti dalam dasar bagi pendidikan dan ketertiban moral. Olehnya itu, ideology pada pengertian ini memiliki pengertian yang positif.

Ideologi yang berstreotip negativ pertama kali digunakan oleh Napoleon yang kecewa terhadap teman-temannya yang tak sepakat dengan sikapnya yang cenderung diktator dalam menerapkan keputusan-keputusan di saat menjadi penguasa Prancis. Pada saat itu, Napoleon memberikan identitas kepada kawan-kawannya itu sebagai kaum “ideologues” yakni kaum yang cenderung ideal dan tidak realistis. Pada pengertian ini kaum ideologues dicirikan sebagai orang-orang yang menempatkan tujuan-tujuan ideal tanpa melihat kondisi materil suatu masyarakat.

Karl Marx : Ideologi sebagai Kesadaran palsu
Asumsi di atas perlu disimak dari konsepsi Hegel menyangkut ide sebagai gerak ruh absolut yang selalu menyempurna, dan kesempurnaan ruh yang absolut termanifestasi pada Negara. Bagi Hegel Negara adalah kesempurnaan ruh yang mengejewantah untuk mengatur masyarakat yang berada di bawahnya. Hegel pun menjelaskan karena Negara adalah manifestasi ruh maka masyarakat harus tunduk dan serta merta harus mengikuti jalannya sebuah Negara. Asumsi ini berdiri pada pilar pijakan bahwa rasio manusia bukanlah sebagaimana yang dikatakan oleh Immanuel Kant, bahwa rasio manusia mampu menjadi kritis jika terjadi upaya refleksi dari upaya rasio itu sendiri, melainkan rasio itu bisa menjadi kritis jika mendapatkan tantangan dari kondisi yang ada di luar dirinya. 

Di satu sisi oleh Hegel, rasio menurut Kant bersifat transcendental yakni sesuatu yang mutlak dan tak tergoyahkan yang menempatkan rasio terlepas dari kenyataan. Pendapat inilah yang bagi pembacaan Hegel keliru dikarenakan kesempurnaan rasio ditentukan sejauh mana rasio itu mendapat tantangan di luar dirinya dan dari pertentangan inilah rasio merangkak naik menuju kesempurnaannya. Proses dimana rasio mendapat ujian dari tantangan yang ada inilah yang bagi filsuf jerman ini disebut dengan dialektika.

Jadi bagi Hegel Negara adalah  hasil dari proses dialektika pikiran yang menyempurna dan sempurna. Karena kenyataan sejati bersumber dari pikiran, dan Negara adalah hasil dari ide yang sempurna dari pikiran maka yang sempurna dalam pikiran sempurna pula pada kehidupan ini.

Konsepsi diataslah yang menjadi kritikan marx terhadap pemikiran Hegel. Bagi Karl Marx apa yang dikatakan Hegel adalah sesuatu yang sangat tidak realistis. Kondisi social politik yang berjalan pada saat itu menjadi titik pijakan Marx dalam membangun teorinya. Dikarenakan kondisi Negara yang pada saat hidupnya, terlampau jauh dari apa yang pernah di gagas oleh pendahulunya, mulailah Marx menganalisis kondisi yang terjadi pada zamannya. Marx mulai melihat relasi yang terjadi pada masyarakat pada saat dimana kondisi social dan budaya telah bergeser pada zaman feodalisme menuju masyarakat industry. Pada masa transisi inilah Marx, menggerakkan penanya untuk menjadikan teorinya sebagai salah satu pisau analasis masyarakat.

Sementara, kondisi masyarakat pada saat itu bagi marx terbagi oleh kehadiran mesin-mesin produksi yang menghadirkan kesenjangan terhadap masyarakat. Lebih jauh marx menjelaskan bahwa kondisi social masyarakat dibentuk oleh sejauh mana mesin produksi ini dapat dipergunakan oleh pemiliknya. Artinya bagi ia hubungan masyarakat ditentukan oleh relasi mereka terhadap mesin-mesin produksi yang dimaksud. Marx pun menilai mesin produksi yang dikuasai malah menjadikan penindasan terhadap masyarakat yang berada dibawah komando pemilik mesin produksi. Marx menamakan orang-orang yang menguasai alat-alat produksi dengan sebutan “borgues” dan mereka yang dipekerjakan oleh pemilik alat-alat produksi disebut dengan “proletart”.

Dari pembacaan diataslah marx menilai Negara adalah bentukan kelas borjuis untuk menguasai alat-alat produksi demi kejayaan mereka. Dengan apa kaum borjuis menjadikan kelas pekerja atau masyarakat untuk ikut serta mendukung peranan kaum borjuis?, Marx mengatakan kesadaran palsulah yang diciptakan Negara untuk melanggengkan penindasan yang terjadi. Kesadaran palsu inilah yang oleh Marx disebut dengan ideology.
Pada pemikiran Marx ideology adalah konsepsi palsu yang diciptakan negara untuk memberikan “pandangan semu” menyangkut dunia bagi masyarakat dalam system masyarakat industry. Jadi pada konten pemikiran Marx Negara adalah alat yang dikuasai oleh kaum borjuis untuk menjalankan kepentingan pasarnya lewat jalur eksploitasi tenaga kerja dan system produksi melalui aturan main yang diatur oleh negara.

Ideology: Kesadaran (palsu) Revolusioner
Berbeda dengan Marx yang mengutuk ideology, justru oleh hampir sebagian besar pengikutnya menjadikan ajaran-ajarannya sebagai ideologi. Namun disini perlu kita lihat, mengapa oleh  Marx ideology dinilai sebagai kesadaran palsu  sedangkan bagi pengikutnya malah menjadikan pemikirannya sebagai ideology?

Hal ini dapat dijelaskan oleh penulis perancis bahwa ideology bagaikan kata magis yang menarik pengorbanan bagi kaum muda terutama dalam mengatasi kehidupan. Penjelasan ini  juga dapat kita simak dalam pemikiran Bacon tentang konsep “idola”. Konsep ini menjelaskan dalam watak manusia selalu melakukan penyandaran atas dirinya terhadap sesuatu yang dinilanya sebagai patron imajiner untuk dijadikan sebagai pantan dan percontohan bagi segenap perilaku dan erbuatan yang dilakukan. Artimya dalam konsep idola Bacon, ada relasi antara subjek(Manusia) dan objek(ideology) untuk menyerap dan menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam ideology yang dipahami bagi diri, dan biasanya dalam relasinya terjadi proses objektivikasi dan pengorbanan.

Penjelasan lain tentang ideology dikemukakan pula oleh pemikir Marxisme strukturalis, Louis Althusser. Baginya dengan mengikuti pemikiran Marx tanpa harus menjadi Marxis ortodoks mengungkapkan bahwa ideology pada pembentukannya sebenarnya sudah tertanam jauh dalam diri manusia semenjak ia lahir. Berbeda dengan Marx bahwa negaralah yang menciptakan ideology, oleh Althusser, keluarga dan masyarakatlah yang pertama kali menanamkan kesadaran palsu bagi manusia. Pendapat ini didasarkan kepada pemikiran Althusser bahwa kesadaran manusia dibentuk oleh struktur yang melingkupinya. 

Sebelumnya, struktur dalam kajian strukturalisme  adalah relasi-relasi yang saling berkaitan dan berhuhubungan sampai membentuk seperangkat system jejaring yang memiliki maknadan termanifestasi terhadap apapun. Sederhananya, kaum strukturalisme mengatakan bahwa mulai dari bahasa sampai budaya bahkan agama pada dasarnya terdiri dari struktur dan senantiasa membentuk kesadaran manusia. Dalam buku Tentang Ideology, disitu Althuser mengatakan masyarakat lewat srruktur keluarga, sudah memberikan kerangka-kerangka yang membatasi ruang pandang individu mengenali dunia. Baginya dunia individu semenjak semula sudah tebingkai struktur yang sudah tertanam daam dirinya. Tumbuhlah ia, menjadi manusia yang digerakkan struktur. Tak menyadari dan semakin menjauhlah ia dari dirinya.

Lebih jauh lagi dalam pengkajiannya, Althusser adalah tergolong orang yang mempelopori kajian ideology mikro, ideology yang masuk sampai pada tindakan terkecil manusia, mulai dari pembicaraan yang sederhana sampai yang njelimet, dari sepak bola sampai bola dunia, dari pakaian sampai politik. Sederhananya apa yang kita bicarkan dan lakukan tak terlepas dari kungkungan ideology. Berbeda dengan Marx yang mengatakan ideology adalah kesadarn palsu, Althusser Mengatakan ideology adalah sesuatu yang “given”, terberi dan tak disadari oleh manusia sudah tertanam jauh dalam kehidupannya. Ideology adalah produk sejarah yang  menjelma secara alamiah. Semenjak lahir hingga liang lahat manusia diatur sedemikian rupa lewat mekanisme yang tak mampu disadarinya sehingga bagai kepercayaan yang irasional dan tak memiliki landasan. Inilah penegasan ideology oleh orang yang pada akhir hidupnya konon mengalami kegilaan.

Telah banyak pemikir yang mengulas sejauh kemampuannya mengkaji ideology dari sudut pandang masing-masing. De Tracy mengatakan ideology adalah  ilmu  tentang kumpulan ide, gagasan yang harus mampu dibuktikan dalam alam kenyataan dan mampu membawa manusia pada jalur moralitas, Napoleon mengatakan ideology adalah milik kaum idealis yang cenderung tak realistis, sedang Marx ideology adalah kesadaran palsu yang diciptkan Negara bagi kepentingannya, lain hal Althusser, ideology adalah kepercayaan yang secara alamiah bentukan struktur yang tanpa disadari masuk dalam diri manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa pengertian diatas secara tersirat memberikan adjektif negative(kecuali de Tracy) terhadap ideology. Lalu kenapa banyak orang yang rela  mati demi ideologinya, mengorbankan hidup tanpa memikirkan pribadinya. Setidaknya oleh Ali Syariati dalam buku Ideologi kaum intelektual, memberikan makna “emosional” terhadap ideology. Artinya bahwa ideology sudah membawa peran untuk menarik minat berbagai manusia untuk berkorban. Ali Syariati mengyakini bahwa ideology identik dengan kaum intelektual, baginya kaum intelektual seharusnya memiliki ide yang gamblang tentang ideologi untuk merumuskan jalan hidup.

Ali Syariati membedakan ilmu dan ideologi dan tidak seperti de Tracy yang pengertian ideologinya masih bersifat netral dikarenakan  ideology adalah sekumpulan ilmu yang seharusnya netral. Lain  hal dengan itu, ideology dalam pemahaman Ali syariati seharusnya tak netral, ia harus berpihak, dan jikaditanya berpihak kemana maka akan dijawab berpihak kepada Kaum tertindas. Mengapa demikian? Ali Syariati menjelaskan berdasarkan kajian kesejarahan menyangkut para Nabi yang diutus oleh Tuhan bukan sekedar membawa wahyu yang mengajarkan manusia zikir dan doa belaka, melainkan membawa pesan pembebasan akan umat yang tertindas. Menurutnya, apa yang dibawa oleh Nabi-nabi samawi adalah ideology pembebasan, ideology yang dibawa Musa untuk membebaskan kaum bani israil dari kezaliman Firaun, Isa yang dengan kasih sayangnya membelah keotoritarian penguasa Romawi dan Nabi Muhammad dengan gagasan egalitarianism dan penghulu kaum tertindas. Baginya ideology adalah pembebasan akan kaum tertindas.

Menurut Ali Syariati, ideology adalah seperangkat sistem keyakinan yang ditaati dan dimiliki oleh segenap kelompok, ras, bangsa, atupun kelas sosial  untuk dijadikan sebagai azas berperilaku yang sebagaimana seharusnya. Lebih jauh lagi Ia mengatakan ideology merupakan panggilan jiwa bagi kaum-kaum mustada’afin, dimana didalamnya memiliki kesetiaan (committed). Ulasnya, bagi seorang ideolog, ideologinya merupakan suatu keharusan, dimulai dengan sikap dan pandangan kritis untuk mendobrak status quo kaum mapan dari aspek poitik, ekonomi, kebudayaan, dan moralitas.

Terlepas dari apakah ideology memiliki peran dan makna negative ataupun terma yang memiliki daya magis, dalam kondisi seperti sekarang ini diperlukan seperangkat sistematisasi gagasan-gagasan yang mampu memeberikan visi dan pandangan dunia tertentu untuk merubah tatanan system yang terbangun dari azas penindasan dan keserekahan. Tengoklah disekitaran kita, sebagaimana yang dikatakan oleh Althusser, kita seakan-akan tak sadar dari kenyamanan dan keamanan yang dirasakan bahwa jauh dari penginderaan kita bermain kepentingan ideologis tertentu lewat struktur yang secara halus menindas kita.[]