Pengetahuan Abnormal a la Jurgen Habermas


Jurgen Habermas
filsuf dan sosiolog Jerman.
Ia adalah generasi kedua dari Mazhab Frankfurt.
 Jurgen Habermas adalah penerus Teori Kritis oleh para pendahulunya:
Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse


Jurgen Habermas membedakan dua jenis pemahaman, yakni pemahaman yang normal dan pemahaman abnormal.  Pemahaman yang normal menurut Habermas adalah jenis pengetahuan saling mengerti antara dua orang yang berkomunikasi. Kesalingpengertian ini bisa dimungkinkan lantaran berasal dari titik berangkat yang sama berupa bahasa yang sama-sama saling dipahami sebagai medium komunikasinya.

Contoh misalnya, dua warga Indonesia yang setiap hari berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Dua warga ini tidak bakal menemukan kesulitan saat  menyatakan pikirannya  dan menangkap maksud percakapan lantaran sama-sama mengerti  setiap arti dari bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.

Bagi Habermas, dua warga Indonesia ini kecil kemungkinan terjerumus ke dalam kesalahpahaman. Hal ini akibat sejauh dua warga ini “sadar” dan “memahami” sendiri “bahasa” yang dia utarakan, maka “kesalahpahaman” akan terhidarkan. (Habermas juga mengingatkan dalam kasus dua orang yang saling memahami dengan perantara dua bahasa yang berbeda bukan merupakan soal akibat pengertian yang ada dapat diartikan melalui penerjamahan.)

Masalah akan muncul jika ada jenis pemahaman yang berangkat dari bahasa dan tindakan yang tidak diketahui penutur itu sendiri. Dalam hal ini pengguna bahasa (penafsir) akan menghadapi kebuntuan akibat tidak mengenali sendiri bahasa dan tindakan yang digunakannya.

Berdasarkan penelusuran Habermas, ada kondisi-kondisi tertentu manusia yang mengalami pengetahuan yang abnormal. Pertama adalah kasus psikopatologis, atau gangguan kejiwaan. Seperti umumnya orang mengalami gangguan jiwa, sang penutur adalah orang yang tidak mengerti dan memahami bahasa dan tindakan yang ditunjukkannya. Akibat terjadi gangguan di dalam kesadarannya, proses saling memahami dengan sendirinya menjadi tidak mungkin.

Dalam skala yang lebih luas  jauh lebih rumit karena ditemukan di dalam kondisi ketika bukan lagi individu, melainkan kelompok yang kehilangan kesadaran. Hal ini dijelaskan Habermas terkait pemahaman masyarakat yang salah kaprah akibat indoktrinasi. Dalam kasus ini, pemahaman akan mengalami gangguan akibat sang penutur  dan lawan bicara tidak menyadari efek indoktrinasi yang terjadi dalam proses komunikasi.

Yang lebih kompleks dikatakan Habermas walaupun sang penutur dan penafsir sama-sama mengetahui bahasa dan tindakannya, namun mereka tidak menyadari adanya gangguan bersifat internal yang terjadi di dalam kesadaran mereka. Melalui ungkapan lain, ini seperti efek dari kesadaran palsu yang dikemukakan Marx, bahwa orang yang mengalaminya kehilangan kontak dari kenyataan yang sebenarnya akibat proses indoktrinasi.

Bila argumentasi di atas ditelusuri dalam kehidupan sehari-hari, betapa banyaknya peluang jaringan kekuasaan mengintrodusir jenis pengetahuan yang berpotensi menjadi pengetahuan abnormal.

Ambil kasus di negara sendiri berkaitan dengan peristiwa 30 September. Walaupun kedengarannya klasik, contoh ini paling baik menjelaskan bagaimana kekuasaan memutus hubungan pemahaman masyarakat tentang sejarah ril yang terjadi dengan pengetahuan yang sesuai format kekuasaan. Dengan kata lain, pengetahuan yang diciptakan kekuasaan melalui indoktrinasi menjauhkan masyarakat dari sumber-sumber pengetahuan yang lebih terpercaya berkaitan dengan peristiwa 30 September.

Dalam perspektif cultural studies, iklan yang beroperasi melalui bahasa dan simbol merupakan contoh yang juga dapat diajukan di sini. Melalui elemen bahasa dan simbol, hampir semua iklan membentuk cakrawala pemahaman yang tidak sesuai kenyataan. Analisis Jeang Baudrillard tentang simuklarum adalah model penjelasan yang dapat menerangkan betapa iklan dapat juga membentuk pemahaman abnormal sebagaimana pendakuan Habermas.

Kata “santri” dan “ulama” dalam konstelasi pilpres belakangan ini yang menguat dan menyedot perhatian publik merupakan kasus lain dan unik lantaran sifat dan prosesnya dapat dikembalikan kepada analisis Habermas di atas.

Kata “santri” dan “ulama” dalam ruang kebudayaan masyarakat merupakan terma kultural yang mengakar kuat dan dalam sebagai kata yang secara semantik berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Namun, dalam kontestasi politik tanah air, belakangan dua kata ini menjadi lebih politis dan justru menciptakan pemahaman baru yang bermakna lain dari makna asalnya.

Perubahan dari makna asal menjadi makna yang diprakarsai jaringan kepentingan politik pada akhirnya menjadi pemahaman yang ditangkap masyarakat. Masalah semakin menjadi runyam karena pemahaman yang sudah terlanjur terbentuk di sosialisasikan berulang-ulang melalui jaringan media sosial secara massif.

Akhirnya pemahaman masyarakat di seputar makna “santri” dan “ulama” menjadi terdistorsi atau bahkan berlainan dari maknanya yang sebenarnya akibat terjadi pemutusan secara semantik melalui perulangan makna baru yang diciptakan melalui perangkat media sosial.

Diputusnya pemahaman masyarakat dari pengetahuan asli menjadi pengetahuan abnormal diistilahkan Habermas sebagai “komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.”

Frase “secara sistematis” di sini merujuk pada pengertian ketika terjadinya isolasi informasi sang pelaku dari akal sehatnya, sehingga pengetahuan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akal sehat itu sendiri. 

Dalam kasus-kasus di atas, terutama dalam kasus kelompok yang terindoktrinasi terjadi bukan tanpa permasalahan setelahnya, melainkan akan berdampak sampai kepada ranah sosial yang lebih luas, semisal terhapusnya ingatan masyarakat kepada sejarah asli negaranya.