Tiba-tiba
saya ingin memelihara burung. Keinginan ini datang menghinggapi benak saya tanpa
melalui tanda-tanda. Tidak seperti seorang nabi ketika akan dipilih langsung
oleh Tuhan. Ibarat di suatu malam yang dijatuhi meteor, tanpa diketahui pembaca
berita cuaca di stasiun TV kesenangan Anda. Ide ini datang begitu saja. Tanpa
tedeng aling-aling.
Keinginan
ini barangkali suatu cara agar saya memiliki kebiasaan baru. Jadi semacam
reaksi alamiah dari kesibukan yang sudah tidak berfaedah. Ibarat seorang
mahasiswa yang sehari-hari dicekoki teori-teori perubahan sosial oleh dosen
yang anti perubahan, dan di suatu pertemuan yang ke 779, menyegel kelas dan
menyandera dosen di kamar mandi untuk turun ke jalan menganjurkan revolusi.
Namanya
reaki alamiah pasti sah-sah saja terjadi. Apalagi saya pikir setiap pagi saya
akan memiliki kebiasaan baru. Saat ketika pagi masih lenggang, saya sudah
berinteraksi dengan seekor burung yang melompat-lompat di atas bilah bambu
dalam sangkar. Memberinya makan, mengecek air minumnya. Sungguh manusiawi.
Dan,
yang paling mengasyikkan jika menjemurnya setelah dimandikan di bawah sinar
matahari sebelum cahayanya berubah panas. Melihat bulu-bulunya yang basah dan
pelan-pelan mengering adalah peristiwa yang tidak pernah ditemukan dalam
pelajaran ilmu-ilmu sosial di bangku perguruan tinggi. Itu adalah perubahan
dahsyat yang bisa saya saksikan sebelum anak-anak tetangga berangkat ke
sekolah.
Bagi
saya ini semacam jalan keluar dari dunia yang sudah sesak dengan tendensi
religiusitas garis keras atau keserakahan yang tampak nyata di dalam benak
saya. Merawat seekor burung, bukan saja pilihan yang paling mungkin di antara
beribu cara mengubah kenyataan di sekitar Anda. Membiarkannya hidup dan
berkicau adalah cara alam yang harus saya cari untuk membuat hari-hari nampak
seperti seharusnya.
Saya
membayangkan kicauan burung lebih afdol saya dengarkan daripada khotbah di atas
mimbar yang mengajak orang-orang menyimpan benci untuk saudara-saudaranya jika
berbeda pendapat. Suara kicauan burung mungkin saja lebih bermakna dan
mencerahkan tinimbang talkshow yang berbungkus agama di pagi hari. Itu semua
adalah peristiwa langka yang belakangan harus segera saya temukan.
Barangkali
keinginan ini adalah panggilan suara masa kecil yang setiap pagi mendengarkan
suara burung perkutut peliharan bapak. Semacam cara kesadaran saya yang ingin
mencari potongan memori agar tidak lupa kepada yang asal, sesuatu yang setiap
orang lupakan. Kicauan burung, mungkin saja hanya satu suara yang ingin
didengar jiwa saya di antara polusi suara yang sering kali lebih banyak tidak
berarti.
Ini
semacam suara batin yang dialami ketika bermimpi bagi orang-orang yang ingin
merobohkan gunung dengan bom ikan. Atau seruan mengikuti aksi berupa upacara
bendera ketika hari Sabtu. Memang ini seperti tanpa maksud yang jelas atau didorong
oleh penjelasan yang rasional. Tapi, ini
harus dilakukan, walaupun datang dari luar pemahaman yang logis.
Merawat
burung saya kira juga harus dilakukan setiap orang yang kehilangan kepercayaan
terhadap Tembok Cina. Ini perlu dilakukan karena merawat burung sama halnya
ketika Anda belajar tentang arti kesabaran. Tanpa kesabaran berlapis-lapis,
saya kira Tembok Cina tidak akan berdiri dalam satu dua tahun.
Sungguh
orang-orang yang mendirikannya membutuhkan kesabaran luar biasa ketika menyusun
batu dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga sepanjang yang Anda pernah saksikan.
Merawat burung seperti itu. Anda akan dilatih bersabar setiap pagi melakukan
hal yang tidak dilakukan saudara Anda.
Tentu
sebenarnya tanpa disiplin semua itu akan sia-sia. Pekerjaan ini akan membuat
Anda mengagumi apa yang selama ini hanya dimiliki militer satu-satunya.
Disiplin membuat Anda harus tunduk di dalam jadwal tertentu. Mental Anda akan
dibina oleh seekor burung kecil di setiap pagi. Kapan harus membersihkan kandangnya, mengisi
tempat makannya, memandikannya, dan pergi berkeliling di pasar burung mencari
seekor burung betina jika Anda ingin beternak burung.
Memang
itu akan membuat Anda memasuki suatu kebiasaan baru. Tapi yakin dan percaya, ini
jauh lebih baik dari memelihara
kedengkian dan pikiran sempit di dalam kepala Anda. Dengki dan pikiran sempit
akan membuat Anda berubah menjadi seseorang yang bertubuh kurus dan berwajah
masam. Lebih baik burung Anda yang tumbuh sehat dibanding diri Anda yang
menyimpan penyakit.
Boleh
dibilang merawat seekor burung berbeda dengan beternak ayam, misalnya. Orang beternak
tentu ingin mengambil keuntungan dari telur atau daging ayam bersangkutan. Jika
sudah memungkinkan, daging ayam dapat disantap di suatu hari lebaran tanpa ada
pelarangan penggunaan atribut baju koko yang diinspirasi dari negeri Cina itu.
Memelihara seekor burung sama berartinya dengan merawat kehidupan. Merawat burung bukan demi tujuan biologis seperti beternak ayam. Namun lebih utama dari itu, merawat kewarasan.
Memelihara seekor burung sama berartinya dengan merawat kehidupan. Merawat burung bukan demi tujuan biologis seperti beternak ayam. Namun lebih utama dari itu, merawat kewarasan.
Begitulah,
keyakinan ini merupakan cara yang baik dilakukan juga oleh orang-orang yang
memiliki sisi emosional yang kurang stabil. Memberikan harapan hidup bagi
mahluk sekecil burung di tiap pagi sebenarnya sama halnya dengan menghargai
sesuatu yang lain dari diri Anda. Itu berarti bukan diri Anda saja yang harus
dimuliakan.
Selain
keinginan memelihara seekor burung, saya juga ingin menggunduli kepala saya seperti
yang dimiliki biksu suci. Ini keinginan saya yang kedua setelah menyadari
memelihara burung di saat memiliki kepala botak merupakan jalan lain dari
pembebasan.
Tentu
pilihan ini tidak seberat bagaimana seorang sopir taksi memilih melaporkan
seonggok mayat yang ditemukan di pinggir jalan atau turut ikut berjihad di
negara yang memberlakukan singa seperti binatang peliharaan. Saya hanya tinggal
melakukan hal sederhana ketika pilihan menggunduli kepala sudah diputuskan:
pergi ke tukang cukur, dan beres. Simpel.
Akhirnya,
tentu semua itu merupakan pengalaman yang menyenangkan selain membuat orang-orang harus kembali mengyakini
burung Garuda adalah lambang negara ini, dan Pancasila adalah kesepakatan
ideologi yang tidak harus ditawar-tawar lagi.
Syahdan,
sungguh ini adalah jalan pembebasan ruhani yang paling sederhana, mendengar
kicauan burung di pagi hari dengan kepala plontos yang dihinggapi pikiran yang
sederhana: burung jenis apa yang akan saya pelihara?