Perkubuan dan Perbukuan



Bung Hatta dan Bung Sjahrir
Saat berada di Pulau Banda Neira
di Belakang nampak badan pesawat Catalina milik Belanda



Buku
: Jeihan

bukuku
kubuku



1973    


KISAH Sukarno adalah kisah perkubuan buku. Kisah Mohammad Hatta adalah kisah perkubuan buku. Kisah Tan Malaka adalah kisah perkubuan buku. Kisah Sjahrir adalah kisah perkubuan buku. Semua founding fathers bangsa Indonesia, mulai dari Tirto Adhi Suerjo hingga H.O.S Cokroaminoto kisah perkubuan buku.

Buku adalah palang pertama dan kubu terakhir. Kisah Sukarno menyusun naskah Indonesia Menggugat adalah kisah keintiman buku, yang secara cemerlang ia susun dari bahan baku 66 nama tokoh yang tersebar di 33 judul buku.

Mulai dari Albarda sampai Engels, Herbert Spencer sampai Karl Kautsky, Sun Yan Set hingga Snouck Hurgonje. Mulai dari Bagawad Gita sampai Das Capital, Max Havelaar sampai The Outline of History,  dari Bintang Timoer sampai The Great Pacific War.

Kisah Mohammad Hatta meminang istrinya dengan buku Alam Pikiran Yunani karangannya sendiri, juga kisah perkubuan buku. Ia rela menerima tubuhnya dikerangkeng sekat tembok, sekaligus menolak pikirannya tunduk oleh sekotak sel penjara, hanya dengan buku.

Saat pulang dari pulau pengasingan Banda Neira, Hatta kelimpungan 16 peti bukunya tidak sanggup diangkut pesawat Catalina milik Dinas Militer Belanda. Buku adalah kunci kebebasaannya melayangkan sayap-sayap pikiran dan imajinasi ke dalam dunia tak terpemanai.

Tan Malaka apalagi. Jomlo revolusioner ini mesti rela berkali-kali gagal membina hubungan asmara karena aktivitas politiknya yang lebih intim dengan perbukuan.  Ia malah rela tidak makan asal bisa membeli buku.


Jalur gerilyanya dari Belanda, Manila, Shanghai, Xiamen, Singapura, dan tiba di Jakarta, tidak bisa dibilang hanya aktivitas kejar-kejaran dengan intel-intel penjajah. Itu juga merupakan rangkaian jaringan pengetahuan dari buku sebagai teman perjalanannya.

”Seumur hidupnya, Tan hanya punya satu stel pakaian, buku tulis, helm, dan topi. Yang lainnya tidak ada,” kata Harry Poeze, seperti dikutip dalam Kehidupan dan Kematian Tan Malakadari, Lokadata.id.

Buku Naar de Republiek Indonesia (1925) yang berisi pemikiran soal kemerdekaan Indonesia, adalah anak ideologisnya dari keintimannya berkubu buku.

Jangan lupakan Sutan Sjahrir. Sosok dari Tiga Serangkai di masa perjuangan, yang selama bersekolah di Mulo, Medan, sudah banyak menghabiskan buku-buku novel berbahasa Belanda.

Tidak kalah dari Sukarno dan Bung Hatta, si Bung Kecil ini juga pelahap buku. Semenjak bersekolah di Belanda ia kerap membuat seniornya kerepotan meminjam buku.

Kisah perkubuan Buku Sjahrir dicatat Rudolf  Mrazek dalam biografi Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia sebagai peminjam buku bebal yang tidak pernah ia kembalikan.  

”Saya masih terus disibukkan dengan nota-nota, surat-surat dari Perpustakaan Leiden yang meminta agar saya mengembalikan buku-buku itu, atau membayar dendanya,” ujar Joss Riekerk, senior Sjahrir selama di Belanda, kepada Mrazek dalam Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku, Historia.id.

Di masa pergolakan, kehidupan begawan bangsa membuat buku sebagai bahan baku perjuangan. Buku sebagai alat taktis merupakan demarkasi penentuan di kubu mana keberpihakan diletakkan. 

Sukarno menggugat persidangan Belanda melalui buku, seperti Hatta melawan kerangkeng tembok penjara dengan buku, juga sebagaimana Sjahrir membangkang lewat buku.

Buku di tangan mereka menjadi kubu pertahanan yang difungsikan untuk menyerang kolonialime, walaupun portofolio pendiri bangsa ini hasil rahim pendidikan tuan-tuan negeri asing.

Coba lihat, seperti  kubu yang berisi pasukan, alutista, dan logistik,  buku juga berisi pikiran, gagasan, dan sekaligus perasaan yang mencerminkan kekuatan pertahanan pemikirnya.

Itu sebab, buku bukan saja sebagai demarkasi politis yang memantik nasionalisme, buku juga memiliki daya perubahan sosial mengubah nilai-nilai kemanusiaan, bahkan dalam keadaan terjajah sekalipun.

Jadi jelas artinya. Buku tidak sekadar tanda nama yang menunjukkan jabatan, rekam jejak, dan profesi seseorang. Ia malah melebihi kualitas cover semacam itu, yang membuat orang lupa, buku juga berarti olahan gagasan untuk menyatakan sikap dan tanggung jawab perubahan.

”Senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, adalah buku,”  ungkap Mochtar Lubis.

Sekarang, semesta perbukuan marak dengan jaringan perkubuan. Masing-masing dengan ragam dan metodenya memiliki visi yang kurang lebih mirip satu sama lain: memukul mundur kepandiran.

Itu artinya, melawan kepandiran sama politisnya perkubuan buku founding fathers. Mereka tahu, aktivitas perjuangan mesti disigi buku-buku. Membangun suatu bangsa mesti digalakkan dari sikap elegan berpihak kepada gagasan dan pemikiran yang ditemukan dalam buku.

Bukuku kubuku, kata penyair Jeihan di atas. Perhatikan! Yang mana barak pertahanan, dan yang mana  alutistanya? 

=====

Telah tayang di DialektikaReview.Org