BANYAK peristiwa tidak terduga bisa membuat orang mengalami epiphany dan membuatnya menjadi seorang sufi. Fariduddin Al Attar, penulis Musyawarah Burung-Burung, menjadi pesuluk lantaran disadarkan oleh perkataan seorang pembeli parfum yang awalnya ia acuhkan.
”Sedemikiankah keterikatan engkau
kepada dunia sehingga menafikan yang lainnya?” kata customer yang membutuhkan pelayanan Al Attar, yang
sebenarnya adalah seorang darwish. Saat itu Al Attar sedang sibuk sendiri di belakang.
Merasa tersinggung atas ucapan
customernya, Al Attar terpancing, ”lalu apa yang sudah kau lakukan?”
”Aku berkelana ke berbagai tempat,
dan berkhidmat di jalan Tuhan.”
”Lantas apa yang sudah kau peroleh
dari pekerjaan itu?”
”Aku bisa tahu kapan, dan bagaimana
nanti aku mati.”
Tidak lama setelah percakapan aneh
itu, ketika Al Attar telah selesai dengan pekerjaannya, ia menemukan sang
darwish tertidur, dan meninggal di depan toko Al Attar.
Kejadian ini seketika menghentak
kesadaran Al Attar. Pasca kejadian ini ia kemudian menjadi seorang sufi.
Kisah lain datang dari Ibrahim bin
Adham, sufi generasi awal dari Balkh. Ia awalnya seorang raja yang banting
setir menjadi sufi berkat seekor burung gagak.
Diceritakan dalam Kitab Al-Mawa’izh
Al-‘Usfuriyah oleh Syeikh Muhammad bin Abu Bakar Ushfury, pada saat Ibrahim bin
Adham beristirahat ketika berburu, seekor gagak mengambil makanannya dan
terbang menjauh. Merasa terganggu, Ibrahim bin Adham mengejarnya ke tengah
hutan.
Seketika ia terkejut. Ternyata sang
gagak mencuri rotinya demi memberi makan seorang tahanan yang terikat di
sebatang pohon pasca dirampok berhari-hari lamanya. Ibrahim tersentak. Seketika
itu ia pun menjadi sufi.
Masih karena burung. Di Sulawesi
Selatan, berkembang cerita di kalangan pattarekat, kisah pembantu pimpinan
tarekat yang tidak diduga terpilih menggantikan sang guru pasca meninggal.
Cerita punya cerita, pembantu ini,
yang sehari-hari hanya mengurus tetek bengek kebutuhan sang guru tarekat, mulai
dari dapur sampai kandang kuda, ”mengalahkan” murid-murid terdekat sang guru
yang ingin menggantikan mursyidnya.
Ia terpilih sesuai ramalan pemimpin
tarekat sebelum mangkat. Menurut cerita, sang guru sudah berpesan, barang siapa
kelak dihinggapi seekor burung saat jamuan doa di pundaknya setelah ia
meninggal, itulah penggantinya.
Pada jamuan doa yang dimaksud,
seluruh murid berkumpul berdoa sambil menunggu burung yang diceritakan. Lama
mereka menunggu, dan si burung tidak datang juga. Hingga tiba-tiba muncul si
pembantu dari belakang menjamu satu-satu murid gurunya. Tidak lama dari itu,
datanglah burung ”ramalan” terbang di atas berkeliling dan menghinggapi si
pembantu. Itulah tandanya. Ia lah
pengganti guru tarekat mereka.
Masih juga dengan burung. Kali ini
kisah fiksi. Bagi pembaca Eka Kurniawan pasti mengenal Ajo Kawir, sosok dalam
cerita Seperti Dendam Rindu Harus dibayar Tuntas. Ajo Kawir diceritakan mengalami impotensi
akibat peristiwa mencengangkan. Ia mengintip dua anggota polisi memerkosa
seorang perempuan gila, dan sejak itu kemaluannya mati rasa. Cerita punya
cerita, setelah berjuang mengembalikan kehidupan normal ”burungnya” dan
gagal, ia pun sadar jalan hidupnya mesti
ditempuh menjadi pelaku tasawuf.
Setelah ikhlas menerima tititnya
yang tak sudi ngaceng ia sadar, ini berarti ia telah berhasil menaklukkan
godaan hawa nafsunya setelah ”menjinakkan” ”burungnya” agar tidak bisa lagi
akan ”terbang” ke mana-mana.
Nah, dalam kisah ruhani semacam di
atas, burung menjadi perlambangan signifikan mengenai gelagat hawa nafsu yang
sulit diatur dan mesti dijinakkan. Sekarang, apakah anda punya burung?
Setelah membaca cerita singkat di
atas, bagi yang punya burung, kamu besar kemungkinan bakal bisa menempuh jalan
menjadi sufi. Minimal jika anda jomlo, contohilah jalan cerita Ajo Kawir itu.
Berdialog berhari-hari dengan ”burung”.
Tapi, jika kamu tidak ingin menjadi
Ajo Kawir, saat dikepung corona laknatullah seperti ini, adalah keadaan yang
paling pas menjadi seorang sufi. Berikut empat tangganya.
#1. Berkhalwat selama masa physical
distancing
Satu ciri kaum sufi adalah
”keterputusannya” dari urusan duniawi. Istilahnya, ia mati sebelum mati.
Seperti terpisahnya jasad dari tubuh, para sufi menjalani kehidupan dengan
sikap wara’, yakni, ya itu tadi, memutus seluruh godaan hawa nafsunya dari
seluruh hal yang bisa mengalihkan perhatiannya hanya kepada Tuhan semata.
Nah, sekarang peluang kamu bisa
mengamalkan satu kebiasan sufi di atas. Kamu bisa berkhalwat selama masa
phsysical distancing. Mumpung kamu tidak bisa kemana-mana, jadikanlah rumahmu
sebagai semacam gua hira. Talak tigalah seluruh urusan-urusan di luar rumahmu.
Ingat jalan menuju sikap wara’ itu pertama adalah belajar berkhalwat. Jadi,
selama ”mengurung” diri di rumah,
lakukanlah hal ke dua di bawah ini.
#2. Bersiap-siap puasa selama darurat
sipil
Untuk membuat amalan wara’ kamu jadi
lebih mantap, berpuasalah. Seluruh praktik spiritualitas tasawuf di dunia, baik
yang ekstrem kanan maupun ekstrem kiri (emangnya ideologi apa!), tidak pernah
menanggalkan puasa sebagai latihan spiritualnya.
Nah, untuk hal ini negara sedang
memberikanmu peluang melalui rencana pembatasan sosial berskala luas, dan
darurat sipil yang diumumkan Jokowi 31 Maret lalu.
Ini artinya, negara diam-diam
sedang mendidik warganya untuk menjadi sufi, loh! Coba bayangkan jika semua
warga berpuasa selama masa darurat sipil? Kan, negara tidak butuh banyak ongkos
menyiapkan santunan sembako bagi golongan missqueen kayak kamu itu.
#3. Perbanyak ibadah, tidak terkecuali
berdoa
Banyak riwayat jika Rasulullah
sudah mengambil start berpuasa 2 bulan sebelum masuk bulan Ramadan (kalau mau
tahu dalilnya, tanya ke ustaz-ustaz yutub aja, yah).
Nah, langkah kedua di atas
sebenarnya merupakan persiapan sebelum masuk bulan Ramadan nanti. Mumpung
sekarang bulan Sya’ban, selain mulai berpuasa, perbanyaklah ibadah, tak
terkecuali berdoa, akhi (ukhti juga, nanti bias jender lagi)!
Kamu yang selama ini kerap
melalaikan salat, segeralah perbaiki salatmu sebelum kamu disalati hanya karena
corona. Kamu yang malas berdoa, mulailah perbanyak doa, minimal jika itu hanya
sebatas mengirimkan surah Al Fatiha bagi siapa saja yang sedang berjuang
melawan corona.
#4. Belajarlah dari Pemerintah
Selama masa pagebluk corona, pihak
yang paling diharapkan bertindak cepat adalah Pemerintah. Walaupun saat dunia
sedang bersiap-siap mengantisipasi virus ini
agar tidak melintasi perbatasan negaranya, di negeri sendiri masih adem
ayem. Seolah-olah virus ini akan menguap dengan sendirinya ketika ingin
menyebrang ke negeri gemah ripah loh jinawi ini. Walaupun akhirnya sudah
terlambat, tetap saja pemerintah masih hitung-hitungan mengambil tindakan
pencegahan.
Sekarang ada istilah PSBB atau
pembatasan sosial besar-besaran yang terlambat dilakukan. Begitu juga program
ikutannya berupa penerapan darurat sipil seolah-olah setiap di atas jengkal
tanah kita sedang terjadi aksi separatis. Ingat di Indonesia, masa darurat
sipil hanya pernah dilakukan di Aceh dan Papua saat disinyalir negara menjadi
kawasan gerakan separatis. Jadi, bayangkan jika keadaan sekarang ibarat sedang
menghadapi gerakan separatis, bukannya pendekatan medis yang bakal diutamakan,
tapi militer, bung!
Nah, lambannya cara negara
menangani pandemi ini, dan belakangan ada gercep dari anggota dewan ingin
mengesahkan RUU kontroversial, ditambah isu pembebasan Papua koruptor, kita
rakyat kecil bisa apa. Satu-satunya cara hanya bisa mengelus dada dan belajar
ikhlas dan bersabar. Nah, ini jalan keempat ketika para sufi menapakai jalan
spiritualitas. Ikhlas dan sabar sudah. Titik.
Nah, itu 4 jalan spiritualitas di
tengah pandemi corona. Selamat berjuang.
====
Telang dimuat di Kalaliterasi.com
====
Telang dimuat di Kalaliterasi.com