Fakhrizadeh, Sains, dan Terorisme


Pendek saja: Mohsen Fakhrizadeh. Catat nama ini. Dia barangkali satu dari sedikit nama ilmuwan dunia yang dikhawatirkan Barat, terutama Amerika dan Israel. Barangkali pula jarang seorang prajurit seperti Fakhrizadeh, yang sekaligus ilmuwan ahli nuklir. Di Indonesia, sulit menemukan seorang mantan tentara mengabdikan seragamnya di kancah sains, kecuali menderetkan namanya sebagai pemilik saham di perusahaan tambang berskala nasional. 

Socrates, Diogenes, dan Kegilaan

”Kegilaan”, saya kira adalah jalan alternatif, agar hidup lebih “berisi”, terutama ketika menghadapi keadaan yang dinormalisasi mirip sekarang; di aras politik, perbedaan prinsip demokrasi terancam berkembang ke arah totalitarianisme massa. Di saat bersamaan, demi stabilitas, kekuasaan negara kerap menempuh cara kekerasan menumpas kritisisme sekaligus mengampanyekan rezim autokrasi; di medan budaya, pasar—banyak orang menyebutnya kapitalisme—melalui budaya high consumption, menormalisasi masyarakat menjadi ”pelahap” simbol-simbol; di tataran global, tidak usah dikatakan, kebangkitan dua fundamentalisme kanan (pasar dan agama) jadi tren pemerintahan dunia.

Di aras dunia harian, gaya hidup mengatasnamakan ”kebersamaan”; cara berpikir, praktik kerja, gaya belajar; bahkan cara berseragam jadi fenomena lawas, tapi tidak pernah dilihat sebagai jalan lapang terciptanya masyarakat—meminjam istilah Herbert Marcuse—masyarakat satu dimensi.

Dalam kajian cultural studies, masyarakat satu dimensi adalah gejala kebudayaan yang membuat dunia harian terperangkap ke buih-buih permukaan simbolik, yang massal tapi juga mudah ”pecah”. Normalisasi dunia harian ini, kerap diandaikan oleh pengkritik kajian budaya sebagai budaya populer, suatu gaya hidup yang distandarnisasi melalui industri media hiburan.

Kegilaan, dianggap berbeda karena itu aib, persis seperti digambarkan Eka Kurniawan dalam cerpennya Tak Ada yang Gila di Kota Ini, mesti enyah dan dihilangkan demi menciptakan kehidupan normal sesuai tafsir banyak orang, yang malangnya itu tidak sepenuhnya mampu kita kendalikan.

Tafsir dalam cerpen Eka itu menjadi seporadis diartikan sepihak menempatkan kegilaan di posisi subordinat. Lebih dari pada itu, kegilaan di cerpen itu yang menjadi objek kekerasan, bukan saja secara seksual, melainkan juga  menjadi objek pameran tontonan kelas berduit. 

Itu artinya, kegilaan,yang dalam dunia harian kerap dientengkan, dalam Tak Ada yang Gila di Kota Ini, diangkat Eka untuk dipermasalahkan. Melalui tindakan tokoh-tokohnya kegilaan menjadi konsep yang digugat dan ditafsir ulang. Siapa yang gila sebenarnya, orang-orang yang mempertontonkan orang gila secara seksual, atau orang gila itu sendiri.

Kegilaan, di satu sisi, walaupun itu jadi tafsir otoritas medis, bagi orang-orang tertentu digambarkan menjadi jalan keluar dari pakem-pakem normal kehidupan. Kegilaan dalam arti ini adalah jenis kegilaan lain, yakni suatu kualifikasi berpikir dan bertindak di luar dari kebiasaan umum. Kita bisa menggantinya dengan istilah semisal ”kreatif”, ”inovatif”, ”out of the box”, ”produktif”, atau ”jenius”, yang semuanya mengesankan suatu polah di atas rata-rata.

Mungkin terkesan serampangan jika “kegilaan” diartikan sepadan dengan istilah di atas, tapi dunia menggambarkan, sejarah dunia justru bergerak maju dari kepala orang-orang penentang zaman. Orang-orang yang berani mengambil risiko berpikir dan bertindak berbeda, meski dikecam dunia.

Socrates, filsuf canon Yunani antik, dikatakan Alan Badiou, filsuf kontemporer Perancis, sebagai salah satu figur yang rela menanggung risiko dari gaya berfilsafatnya. Selain revolt (pemberontakan), logis (logika), dan universal (menyeluruh), risiko adalah ikhwal yang mesti ditanggung dari setiap modus pencarian kebenaran. Selama berfilsafat, yang memang sudah menjadi way of life nya, Socrates tidak sedikitpun gentar demi melahirkan ”suara” kebenaran, meski di akhir hidupnya ia dikalahkan melalui suara mayoritas.

Saat Socrates hidup, kegilaan menjadi idiom sepihak diartikan kekuasaan. Selain ”gila”, ia dituduh bid’ah dan sesat karena dianggap menyalahartikan tradisi. Ia di tempat-tempat umum, melakoni polah hidup khas yang kelak disebut ”metode bidan” mengajak publik rajin menggunakan akal sehatnya. Meskipun mengajak publik berpikir sehat dan logis, anehnya itu dianggap berbahaya oleh otoritas kekuasaan. Socrates dianggap meremehkan tradisi, dewa-dewa, dan demokrasi. Ia lalu disidang dan setelah itu dihukum mati.

Sudah terlalu sering kisah Socrates diketahui publik, meski di waktu bersamaan saking keseringan kisahnya tidak menarik lagi didengarkan. Begitu pula kisah-kisah serupa, karena diceritakan berulang-ulang membuat kisahnya menjadi kebiasaan, normal, dan garing. Seperti galibnya, apa yang sudah menjadi kenormalan apalagi pakem, tidak akan menerbitkan sebersit inspirasi dari sana.   

Tapi, kisah ”kegilaan” seperti risiko kematian Socrates, tidak pernah akan habis menyampaikan mata air pencerahan, terkhusus bagi orang-orang penyuka ”kisah kegilaan”. Hanya orang-orang gila menyukai cerita-cerita gila. Hanya laron yang menyukai cahaya lampion, meski rela sayap-sayapnya terbakar.  

Sufisme, dalam hal ini adalah tradisi yang menarik dielaborasi, karena mendudukkan ”kegilaan” sebagai salah satu konsep sentralnya. Kurang lebih seperti tradisi pencarian kebenaran filosofis, kegilaan dalam sufisme menjadi mode of being bagi pelakon tasawuf. Ia dipakai sebagai konsep kunci untuk memahami bagaimana sufisme memberlakukan pengetahuan tidak sekadar ”dibenakkan” tapi sekaligus ”dibatinkan”.

Bahlul bin Amr Ash Shairafi dan Nasruddin Khoja, misalnya, merupakan nama kesohor dunia sufisme, yang menjadi perspektif bahwa segala ikhwal mesti diangkat derajatnya dari wilayah konseptual menjadi tindakan aktual. Jadi bukan saja berpikir ”gila”, tidak sampai di situ, mereka sampai bertindak ”gila”.

”Di negeri cinta, akal digantung”, begitu frase puitik dari Jalaluddin Rumi, yang mengandaikan setiap upaya mencapai hakikat kebenaran, lebih dari sekadar simpulan berbagai silogisme, atau hasil dari argumen proposisi rasional, melainkan suatu pelampauan loncatan kerja akal menuju kesaksian jiwa. Kebenaran, itu artinya, berarti suatu kontinyuitas laku akal yang dipancari cahaya melalui kedalaman jiwa dalam perilaku harian.

Itulah jawabannya, mengapa tindakan-tindakan kebenaran kerap menuntut risiko di luar akal sehat. Cara pandangnya lahir dari permenungan mendalam yang menghujam dalam jiwa. Lahir dari keberanian untuk mendobrak ide, pemikiran, keputusan, dan kebiasaan yang telah menjadi pakem yang sulit diubah.

Syahdan, di masa lalu, hiduplah Diogenes, filsuf yang sehari-hari hidup di dalam gentong air sebagai rumahnya. Cara hidupnya yang dirancang sesederhana mungkin kerap membuatnya dituduh gila. Bukan cara hidupnya yang seperti gelandangan saja, yang membuatnya dituduh gila, tapi juga oleh cara berpikirnya yang melawan arus utama.

Sekali tempo di suatu pesta meriah, Diogenes datang dan mengencingi orang-orang kaya dan membuat mereka marah. ”Seharusnya kalian jangan memarahi saya yang gila ini, orang gila wajar saja kencing di mana saja, kan!” kata Diogenes, mengkritik balik.

Seandainya, Diogenes hidup di zaman ini, kira-kira siapa yang bakal ia kencingi?


Telah tayang di Belopainfo.id


Korona, Tubuh, dan Mutilasi

 

Tubuh era korona adalah korban ”mutilasi”. Setelah berharap agar lebih kebal virus, tubuh dipartisi dari dunia hariannya. Tubuh tidak bisa lagi meruang seperti biasanya. Daya geraknya dipisah-pisah, dibatasi, dan dibagi-bagi ke dalam dunia lebih sempit dan mini. Ia seketika menjadi organ terpotong-potong terpisah dari interaksi sosialnya.  

Singkat cerita, korona ini hari telah menunda, atau bahkan menghentikan kerja organ tubuh ke part-part sosial terbatas.  

Jauh sebelum korona, praktik mutilasi tubuh sudah lama dipraktikkan. Bukan saja dalam pengertian sosial, yakni dari satuan tubuh universal berupa; kelompok, keluarga, komunitas, atau bangsa, yang membuatnya menjadi unit parsial individu per individu, melainkan ke dalam mekanisme “kekerasan” yang dibenarkan melalui ideologi kebudayaan, nasionalisme, bahkan agama. 

Itu artinya, tubuh dalam budaya, atau nasionalisme, atau agama, tidak sekadar dipandang sebagai unit dan bagian dari struktur organistik, yang berfungsi sehari-hari melalui seni, perang, dan ritual agama, tetapi juga menjadi medan kontestasi pemaknaan atas nilai, ideologi, dan kebiasaan yang diadopsi di dalam tradisi masyarakat tertentu.  

Tubuh karena itu, meski kerap dipuja dan diagungkan di dalam narasi kebudayaan, juga bersaing jadi pihak pesakitan dari ideologi sepihak dan tak berimbang. 

Di Cina, atas nama kecantikan, perempuan dari masa lalu menjalankan praktik mutilasi pengecilan telapak kaki. Menggunakan kain panjang berlapis-lapis, anak-anak perempuan  golongan ningrat mesti menahan sakit hebat mengikuti tradisi ikat kaki. Proses itu memakan waktu bertahun-tahun agar membuat kaki menyerupai sekecil kaki kijang.

Hanzi, demikian nama tradisi itu, adalah simbol kelas sosial. Elite bangsawan perempuan Cina, selama berabad-abad menjalankan pratik ini juga untuk meneguhkan kekayaan dan hak elitenya. Kelak, jelang abad 20 praktik ini dilarang otoritas Cina karena tidak sesuai lagi dengan semangat zaman.  

Di negeri semacam Timur Tengah, memberlakukan praktik mutilasi atas dirongan imperatif ”syariat” Islam. Jika suatu waktu Anda berhaji, dan di pasar, terminal, atau juga di rumah-rumah ibadah, menemukan seseorang dengan tangan tinggal setengah, besar kemungkinan ia adalah “tersangka” mutilasi.

Mungkin karena telah mengambil seekor anak domba tanpa izin di perternakan lokal, atau sekantung kurma dari kebun-kebun tuan tanah, membuat si tersangka jadi pesakitan praktik potong tangan karena mencuri.  

Sampai hari ini praktik mutilasi potong tangan di sebagian negara Timur Tengah masih dijalankan—coba ingat, di konteks lain, kasus Jamal Khashoggi, reporter pendukung reformasi Arab Saudi, konon dibunuh di Konsulat Saudi di Turki dengan cara mutilasi—. Meski belakangan ini wacana hak asasi manusia kembali menguat di sana.  

Suatu kawasan di Afghanistan, perempuan-perempuannya mesti menjalankan tradisi turun-temurun berupa hukum kuno ”jilat besi panas” jika ingin mempertahankan harga dirinya.

Banyak kasus perselingkuhan, membuat istri-istri kena tuduh main serong—mesti tidak sepenuhnya benar—harus membuktikan kejujuran menjilat besi panas melalui praktik pembuktian dipimpin seorang syekh. Melalui praktik itu, lidah perempuan tidak melepuh setelah tiga kali menjilat bara besi—yang dilakukan di hadapan suaminya—dinyatakan lolos deteksi, dan telah berhasil mempertahankan harga dirinya di hadapan keluarga patihnya.  

Di suku-suku badui Mesir, praktik jilat besi atau sendok panas itu disebut bisha’h. Tidak saja perempuan, pria-pria yang juga menjadi tersangka tapi tanpa saksi, untuk membuktikan kebenaran ucapannya,  mau tidak mau melakukan praktik ini sebagai pembuktian terakhir. Meski mengandalkan kekuatan spiritual pemangku adat sebagai bukti hukum (evidence), nyatanya praktik ini sering gagal dan memakan korban.

Bukan saja lidah, di pedalaman Papua, suku Dani menjalankan tradisi iki palek demi menggambarkan kesedihan mendalam ketika ditinggal sanak keluarga. Istri-istri suku Dani, jika ditinggal mati mendiang suami, merelakan jari-jari mereka dipotong untuk menarasikan kedukaan mereka.

Menurut anggota suku Dani, menangis saja tidak cukup demi melambangkan kesetiaan dan kesedihan yang dirasakan. Rasa sakit dari memutilasi jari dianggap mewakili hati dan jiwa yang tercabik-cabik karena kehilangan.

Jari adalah simbol persatuan, kekuatan, kerja sama, dan harmoni, begitu filosofi jari suku Dani. Kehilangan satu atau lebih jari, berarti tanda ada kebersamaan yang hilang, guyah, dan sakit.

Di kancah kehidupan modern, mutilasi lumrah jadi praktik ”permak” tubuh. Tidak sedikit perempuan memutilasi bibir, payudara, pipi, dan hidung demi pencitraan dan gengsi. Belakangan, praktis medis ini juga dilakukan para lelaki dengan alasan menempuh gaya hidup ideal.

Kancah kekuasaan juga tidak kalah bersaing. Entah itu atas nama bangsa, ideologi, atau agama, mutilasi adalah pendekatan ”hukum” untuk menciptakan kengerian dan jera masyarakat. Caranya macam-macam; tubuh korban di potong-potong, ditusuk, dipenggal, ada juga bahkan tubuh korban ditarik berlawanan oleh dua kereta kuda sampai putus.

Sir William Wallace, misalnya, pahlawan Skotlandia melawan Raja Edward, dan dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Inggris.

Saat eksekusi, ia ditelanjangi, diseret menggunakan kuda ke pasar-pasar, digantung hingga semaput, dikebiri, lalu dipenggal dan dipotong jadi empat bagian. Kepalanya ditancapkan di atas tombak dan dipajang di jembatan London, sedangkan anggota tubuh lainnya disebar ke empat penjuru seantero Inggris.

Sejarah Islam juga mencatat, berkat pemikiran-pemikiran kontroversialnya, Mansur Al-Hallaj ulama sekaligus sufi, jadi korban mutilasi otoritas keulamaan abad 9. Sebelum kepalanya, tubuhnya dipotong-potong jadi beberapa bagian sebelum tubuhnya dilempari batu.

Ada pula Maitsam At-Tamar, sahabat Imam Ali, yang digantung di pohon kurma oleh rezim Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan. Setelah dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziad, lidahnya tidak berhenti melantunkan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib. Karena tidak berhenti, lidahnya dipotong—sesuai ramalan Imam Ali—baru Maitsam benar-benar wafat.

Syahdan, mutilasi juga ditemukan dalam peristiwa pembantaian keluarga nabi di gurun pasir Karbala. Tidak jauh berbeda dari hoby kekuasaan autokrasi, mutilasi kepala cucunda Rasulullah, Husain bin Ali jadi puncak kekejaman Rezim Yazid saat itu. Seperti juga Wallace, kepala Imam Husain diarak dan dipamerkan di tempat-tempat umum untuk jadi alat mengincar ketakutan masyarakat Islam.

Begitu.

 

 

Bung dan Bing, Book Challenge, Bukan Sekadar Mengunggah Sampul Buku!

 ”Pada saat inilah dia sepenuhnya menyerah membaca. Sampul buku tampak seperti peti mati baginya, entah lusuh atau hiasan, dan apa yang ada di dalamnya mungkin juga debu.”

—Alice Munro

Don’t judge the book by its cover. Ini kiasan yang saya rasa tepat untuk melihat kebiasaan sebagaian netizen di linimasa Fb, yang belakangan melakukan aksi bergantian mengunggah buku bacaan meski hanya menampilkan sampulnya saja. Sekadar gaming memang—dan mungkin hanya gimmick, dan ini sah-sah saja dilakukan dengan alasan sebagai cara memeriahkan kecenderungan suka membaca buku yang kian kemari dirasa menjadi satu gaya hidup tersendiri.

Sampul buku bukan segalanya, dan itu tidak berarti ia dapat mewakili kecenderungan positif mengenai suatu komunitas pembaca buku. Dari sampul buku, saya kira, masih sangat jauh dengan isi bukunya, yang membutuhkan kerja jaringan syaraf otak mencernanya, lewat aktivitas membaca, mencatat, dan menganalisis.

Sampul buku hanya halaman depan yang mengandalkan kecanggihan visual berupa teknik grafis dan permainan warna-warni, yang kadang hanya memanjakan mata dan bukan pikiran.

Ia hanya penampakan teknis bersifat sementara, yang memanfaatkan daya visual sebagai liang hasratnya. Itu artinya, cover buku bukan suatu kawah candradimuka yang membuat orang seketika menjadi sakti dengan memiliki pemikiran yang jelimet dan mendalam.

Malangnya, saya tidak yakin, kegiatan saling undang di Fb ini memang mewakili suatu kaum yang betul-betul mencerna isi bukunya. Ya, apa boleh dikata, Fb—dan medsos semacamnya hanyalah medium pencitraan, yang bisa saja mereduksi kenyataan sebenarnya.

Ada suatu masa, bagi seseorang, dengan perasaan mantap, tapi tidak betul-betul serius membeli buku cuma karena desain bungkus depannya yang ciamik. Saya sering mengalami itu dan mengingat pengalaman kali pertama saya saat membeli buku tentang Antonio Gramsci, berkat bujuk rayu penampakan penutup depannya yang mengundang selera.

Cover itu begitu menggoda mata menampakkan gambar karikatural muka Antonio Gramsci, dengan latar belakang kuning—warna utama yang sangat jarang dipakai desainer cover buku sampai saat ini karena terkesan norak.

Gambar itu sudah pasti demikian mencolok di antara deretan buku-buku bertema wawasan sosial saat itu, yang hanya nampak biasa saja dibandingkan latar warna kuningnya yang menyala dari jauh.

Kulit depan buku itu selain gambarnya yang dibuat secara karikatural, juga menampakkan pendekatan lukisan grafiti ala cultural pop, dengan penempatan nama Antonio Gramsci sebagai palang judul. Di atas nama sohor itu, tertera nama penulis bukunya. Kecil saja, tapi  pas ditempatkan begitu. Klop sudah saat itu sebagai buku yang sedap dipandang mata, ketimbang mewakili isinya yang lebih banyak berbicara filsafat politik dan kekuasaan.

Saya ingin katakan di sini, sampul depan hanya bagian pertama dari tempo-tempo penting seseorang kali pertama membeli buku. Itu bagian dari tahap-tahap panjang setelah ia mengetahui nama penulis, membaca sinopsis, daftar isi, kata pengantar, atau memilih sejumlah halaman random, dan kemudian berakhir dalam suasana membaca yang intens yang akhirnya harus ia tuntaskan melalui transaksi jual beli.

Saat itu saya belum lama meninggalkan musim ospek sebagai mahasiswa baru, gagap melihat suasana kota, dan tidak mengalami tahap-tahap semacam itu.

Tanpa semua kegiatan riset kecil itu, yang kerap dilakukan seorang pembeli buku, membuat saya terpancing membeli buku itu semata-mata karena cover yang enak dipandang mata.

Itu artinya, dalam peristiwa itu, saya bukan pembeli dengan sikap dan embel-embel intelektual tertentu atau semacamnya, yang membuatnya berbeda dengan konsumen lain (dapatkah Anda membayangkan ini, bahwa seorang pembeli buku secara tidak langsung memiliki semacam keangkuhan untuk menunjukkan dirinya merupakan bagian dari suatu komunitas elite yang bertugas menjaga peradaban agar tidak rontok).

Itu artinya juga, saya belum mampu mengubah tindakan transaksi jual beli itu menjadi dan masuk ke dalam suatu sikap lanjutan yang jauh lebih dibutuhkan bagi seorang pembaca buku: mendalami dunia teks.

Tepat di titik itulah, jika itu tidak terjadi, maka Anda hanya memperlakukan buku seperti benda-benda etalase toko lainnya. Ia tidak lebih cuma sebagai komoditas pasar yang tidak menghasilkan ekses kebudayaan terutama di bidang literasi.

Di saat itu, penampakan sebuah buku lebih dekat dengan gejolak hasrat yang dibuai persis pengaruh iklan daripada mengartikannya sebagai benda bergagasan yang menantang secara pemikiran.

Meski buku adalah benda intelektual, ia lebih istimewa daripada hanya melihatnya sebagai benda pajangan, yang  mentok pada pandangan mata belaka (visual)—jembatan pertama godaan setan mekanisme pasar—ia justru sebenarnya merupakan benda yang menjadi bahan baku bagi terciptanya pandangan dunia seseorang (konseptual).

Membaca buku dan mengunggahnya di media sosial, alih-alih dapat disebut sebagai kegiatan sinonim dan berkelanjutan. Membaca buku merupakan bagian integral dari proyek pendalaman suatu wacana. Ia kerap dibarengi dengan aktivitas mencatat istilah atau kalimat penting, memberikan tanda halaman, membuka kamus, bahkan sampai mencoret di bagian-bagian yang dirasa penting dengan menulis catatan di marjinnya. Tidak jarang kegiatan ini lebih daripada sekadar membaca diakibatkan membutuhkan banyak waktu untuk melunasi suatu tuntutan dari hasrat ingin tahu seseorang.

Membaca akhirnya merupakan kegiatan yang intens dan radikal. Ia mungkin mirip dilakukan tokoh Carlos Brauer, si penggila buku dalam Rumah Kertas karangan Carlos Maria Dominguez, yang setiap membaca membutuhkan kurang lebih dua puluh buku karena dihubungkan oleh satu istilah di antara buku-buku terkait. Kita seolah-olah sedang membaca kamus, yang setiap arti katanya membawa kita kepada satu rujukan kata baru yang mesti digali kembali, dan begitu seterusnya.

Sementara kegiatan mengunggah buku, Anda tahu sendirilah apa sebenarnya motif para netizen, yang tidak semua melakukan kegiatan di atas. Mungkin sebagiannya seperti laku  bibliofil dalam Rumah Kertas: ”Orang-orang ini (bibliofil) ada dua golongan….pertama, kolektor, yang bertekad mengumpulkan edisi-edisi langka…..edisi pertama buku-buku Borges sekaligus artikel-artikel di majalah-majalah; buku-buku yang dicetak oleh Colombo, disunting oleh Bonet, sekalipun mereka tak pernah membuka-bukanya selain untuk melihat-lihat halamannya, seperti orang-orang mengagumi sebuah objek indah.”

Kategori ini, yang disebut hanya mengagumi buku sebagai objek indah, besar kemungkinan  akan berakhir memperlakukan buku seperti peti mati: di dalamnya ada objek tidak berdaging dan hanya tersisa debu-debu. 

Tapi, tidak semuanya demikian, sebagiannya mungkin digerakkan oleh motif luhur untuk mempengaruhi netizen agar lebih giat membaca buku, atau mendorong suatu komunitas agar lebih getol bersuara atas nasib bangsa yang kian tersedot di dalam budaya politik praktis. Alih-alih ini akan menjadi kegiatan book shaming, alangkah baiknya jika dua alasan itulah yang patut kita sangkakan kepada orang-orang ini.

Toh, kegiatan yang disebut book challenge ini, jika betul-betul ingin disebut demikian—agar terhindar dari snobisme, akan jauh lebih menantang jika gagah-gagahan unggah-unggahan massal itu berakhir mantap di atas secarik kertas. Mau apalagi, kalau sudah selesai membacanya ya, dipungkasi dengan meresensinya to!?

Esai Seri Kritik Pendidikan (5): Dari Scola ke Keluarga: Siasat Bertahan Era Korona

 (Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan empat tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Materna, Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka, Esai Seri Kritik Pendidikan (3): Nasib Kelas 4.0 dan Esai Seri Kritik Pendidikan (4): Sekolah Lewat Radio. Tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)


KEHIDUPAN pasca modern adalah zaman simulakrum, begitu pendakuan Jean Baudrillard, sosiolog abad kini. Analisis Baudrillard ini ditandai oleh dua alasan. Pertama, di masa akan datang—yang artinya saat ini—kehidupan masyarakat akan banyak dimediasi perangkat berteknologi canggih, di mana salah satunya adalah alat komunikasi. Kedua, peralihan dari kehidupan modern ke pascamodern, akan berdampak kepada cara orang berkomunikasi melalui simbol, tanda, bahasa, dan kode yang mereduksi makna komunikasi itu sendiri.

Saat ini, Covid-19 belum mampu dienyahkan, dan membuat banyak perubahan—atau memperdalam cara masyarakat melihat diri dan masyarakatnya. Tidak cukup pergantian kalender, Covid-19 mengubah persepsi tubuh manusia menjadi lebih kritis. Tubuh kali ini tidak lagi dibiarkan bergerak bebas. Sekarang ia mesti disiplin dan tunduk pada protokol kesehatan. Salah sedikit, suatu komunitas masyarakat bakal terancam.

Di bidang ekonomi, kebutuhan rumah tangga dan industri sedang ditinjau ulang. Covid-19 bagai invisible hand ala Adam Smith, yang mengatur atau mereset kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder, dan tersier yang selama ini salah diartikan saat kehidupan normal. Kelangkaan dan distribusi barang, yang semula dihitung berdasarkan tingkat konsumsi suatu kawasan, kini mesti mempertimbangkan unsur ketahanan pangan yang bakal mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.

Masyarakat benar-benar mesti mempertimbangkan matang-matang menyangkut kebutuhan karsanya, mengingat meski di keadaan kenormalan baru, tren penderita Covid-19 makin naik. Kegiatan-kegiatan semisal menonton film, kopi darat, membaca buku, berdiskusi, ngopi di café-café, dan berbelanja di pusat perbelanjaan harus diperhitungkan baik-baik. Jika kebutuhan ini masih bisa dialihkan kepada kegiatan-kegiatan berskala rumah tangga, maka kegiatan macam di atas lebih baik ditunda dulu.

Praktis kegiatan berbudaya seperti di atas, kini kembali ke makna asalnya ”bercocok tanam mengolah tanah”. Cultura yang menjadi asal kata culture, saat ini dipelipirkan di sebidang tanah di taman atau kebun belakang rumah. Kegiatan bercocok tanam, entah itu berkebun atau merawat tanaman hias, jadi gaya hidup baru menggantikan kegiatan pelesiran di atas.

Selain bidang-bidang kehidupan di atas banyak berubah, pandemi saat ini mendorong timbulnya kebiasaan baru di bidang pendidikan dan pemerintahan, yang mesti lebih akrab dengan teknologi komunikasi informasi. Saat ini muncul kesadaran baru benda-benda teknologi gadget dan smartphone, dapat juga dimanfaatkan lebih maksimal ke dalam dunia pendidikan dan pemerintahan.

Perubahan semua gejala di atas, mempertajam kesadaran masyarakat agar lebih intens menggunakan screen gawai sebagai wakil kenyataan. Interaksi berskala besar yang membutuhkan banyak waktu dan tempat, kini lebih mudah dimediasi layar smartphone, meski di saat bersamaan ada reduksi kenyataan yang terjadi.

Seperti misal, dalam proses belajar mengajar belakangan ini, yang menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar yang diperantai gawai canggih, setidaknya memerlukan dua persyaratan teknis bagi orangtua murid, yakni kecakapan menggunakan smartphone, dan kecakapan dalam mengajari anak sesuai instruksi guru. Yang pertama, tidak sedikit orangtua murid yang masih gaptek memanfaatkan beragam aplikasi belajar mengajar yang sarat isian dan pilihan menu yang tidak friendly dari segi interfacenya. Toh, jika masalah ini dapat teratasi, banyak pula orangtua murid yang mengaku butuh adapatasi untuk lancar menggunakan aplikasi belajar berbasis internet ini.

Masalah kedua adalah kecakapan orangtua murid yang minim atau tidak ada sama sekali dari segi pengalaman mendidik anak akibat ketergantungan mutlak kepada institusi sekolah. Di lini masa media sosial, banyak keluhan orangtua berupa kemarahan, kekecewaan, dan bahkan sampai ke tingkat stress sekaligus depresi, akibat ripuh menghadapi anak di rumah. Keluhan para orangtua ini cukup beralasan dikarenakan perubahan mendadak dari pola asuh selama ini dititikberatkan kepada pihak sekolah, kini mesti dibebankan kepada orangtua di rumah.

Masalah dihadapi orangtua ini, selain karena dalam hal pengasuhan anak sangat bergantung kepada institusi sekolah, mengalami bias saat mendefenisikan sekolah dan pendidikan. Sekolah dan pendidikan bukan hal identik meski saling beririsan. Bagi orangtua, hanya sekolah satu-satunya lembaga yang mampu memberikan pengasuhan dan pengajaran bagi anak-anak mereka. Terdidik tidak terdidiknya anak mereka, sekolah-lah satu-satunya indikator mutlaknya.

Padahal dalam sejarahnya, malah sebaliknya terjadi. Sekolah awalnya muncul dari pola pengasuhan keluarga yang memanfaatkan waktu luang demi mengembangkan pemahaman dan wawasan. Kegiatan memanfaatkan waktu luang demi ilmu ini oleh orang Yunani sebut sebagai skhole, scola, scolae, atau schola, yakni dengan cara mendatangi orang pandai yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan hidup mereka.  Dari sinilah kebiasaan itu dilakukan juga kepada anak-anak, agar kelak mampu mengganti sang ayah atau ibu dengan cara menyerahkannya pada seorang cendekia agar dilatih, bermain, dan belajar sesuatu dari apa yang mereka anggap penting.

Maka sejak saat itu telah beralih sebagian fungsi pengasuhan berbasis ibu dan keluarga (scola matterna), yang merupakan lembaga pertama dan tertua sosialisasi nilai-nilai, menjadi pola pengasuhan anak di waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu (scola in loco parentis). Kelak institusi atau lembaga pengganti keluarga ini, karena berfungsi sama seperti pola pengasuhan ibu,  akan dinyatakan sebagai alma matter  (ibu yang memberikan ilmu).

Ulasan singkat ini menegaskan sekolah sebenarnya berakar dari pola pengasuhan berbasis keluarga, atau perpanjangan tangan ayah dan ibu untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai apa saja berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidupnya. Itu artinya, selama keluarga pati masih bisa melakukan fungsi-fungsi pengasuhan, mendidik, dan bermain, dan semua itu dilakukan di saat waktu luang secara bebas dan kreatif, maka itulah sekolah sebenarnya.

Pandemi korona meski banyak mendatangkan kerugian, di satu sisi mengembalikan kegiatan-kegiatan ”kepublikan” menjadi kegiatan berbasis ”rumah tangga” yang memang dalam sejarahnya memerlukan ”keluarga” sebagai fondasi utamanya. Bukan saja sekolah (scola), tengoklah pengertian awal dari ekonomi (oikonomikos) yang berarti tata kelola kebutuhan rumah-tangga yang bergantung pada pengelolahan ladang, dan juga kegiatan budaya (cultura) seperti sudah disinggung sebelumnya.

Dari awal, Jean Baudrilard pernah merumuskan gejala-gejala masyarakat pascamodern ke dalam situasi simulakrum yang mengandalkan simbol, tanda, bahasa, dan kode sebagai pengganti kenyataan, di era pandemi ini, selain mengalami situasi itu, masyarakat kembali ke era ketika keluarga menjadi fondasi dari segalanya.

Dengan kata lain, kegiatan ekonomi, berbudaya, dan berpendidikan di era sekarang ini sangat bergantung kepada ketahanan keluarga sebagai modal sosial paling tua dan kuat ketika menghadapi cobaan dan ancaman.

Sebelumnya, keluarga sangat bergantung pada tatanana yang lebih besar dari dirinya berupa komunitas,  masyarakat, atau negara, agar ia bisa eksis dan bertahan. Sekarang, karena korona semua berbalik. Struktur tatanan semacam negara-bangsa sekalipun sangat bergantung kepada rumah tangga agar dapat selamat dari krisis multidimensi seperti waktu kini. 


Tayang pertama kali di Belopainfo.id


Esai Seri Kritik Pendidikan (4): Sekolah Lewat Radio

 

(Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan tiga tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Materna, Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka, dan Esai Seri Kritik Pendidikan (3): Nasib Kelas 4.0 . Tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)

 


BEBERAPA waktu lalu beberapa postingan di efbi mengkepcur sebuah tampilan layar tivi. Isinya adalah tangkapan siaran berita dari stasiun Tivi Wan, yang bagi saya bagus dijadikan solusi bagi proses belajar mengajar anak-anak didik di masa kini: seorang perempuan—mungkin guru—terlihat sedang menyiar—atau tepatnya sedang mengajar. Ya, tampilan layar itu saya duga kuat sedang melaporkan seorang guru yang sedang mengajar memanfaatkan frekuensi radio.

Kenapa itu tidak dipikirkan sebelumnya, pikir saya. Saya beranjak dan menyampaikan apa yang saya lihat itu kepada Lola. “Nih ada solusi keren”, kata saya sambil mengutarakan apa yang saya lihat. “Iya, bagus tapi ini tidak ramah dengan gaya belajar selain gaya belajar auditori,” kata Lola beberapa saat setelah ia mencerna info dari saya. “Iya juga sih, tapi tetap saja ini satu hal yang patut dicoba. Tidak perlu kuota dan tidak susah karena bahkan hape ‘kullu-kullu’ punya menu radio fm. Ini lebih mudah dan praktis.”

Sejak kemarin setiap pagi saya lebih suka menyetel radio. Mendengarkan lagu-lagu dari salah satu stasiun radio lokal. Tiba-tiba saya ingat kembali hal di atas. Mengapa itu tidak dicoba didorong sebagai salah satu alternatif belajar. Mengapa itu tidak disambut bahkan oleh pemerintah, yang akan lebih kuat jika itu bisa dijadikan solusi dikarenakan ditunjang dengan aturan.

Ya, mungkin itu solusi yang agak berlebihan dan sulit diaplikasikan karena jam, mata pelajaran, dan angkatan kelas yang tidak seragam masing-masing sekolah.

Tapi membayangkan di jam-jam tertentu ada program “sekolah” atau “kelas” yang mengudara dari ratusan atau ribuan pemancar radio, yang membuat jutaan anak-anak mendengarkan pelajarannya dari seorang guru yang berlagak mirip penyiar, kan keren?

Itu satu solusi yang bukan tidak mungkin bisa dilakukan. Dibanding jika semuanya mesti melalui gadget yang harganya mahal, dan tidak semua memilikinya. Sampai-sampai terjadi kasus seorang ayah yang ditangkap mencuri handphone demi pembelajaran daring anaknya. Duh!


Esai Seri Kritik Pendidikan (3): Nasib Kelas 4.0

(Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan dua tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Materna, Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka, dan tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)

 

UNESCO menyebut angka 1.725 miliar pelajar di dunia “menganggur” karena terdampak korona. Sekolah ditutup. Ini sebabnya.

Itu artinya, saat ini banyak orangtua yang beralih fungsi menjadi guru—disamping mengurusi hal-hal domestik rumah tangga.

Itu juga artinya, masalah dunia pendidikan jadi makin kompleks. Satu masalah baru, karena menggunakan alternatif kelas daring, muncul masalah di daerah-daerah. Karena akses internet tidak merata banyak anak-anak sulit belajar. Toh jika akses mencukupi, itu bisa ditemui di bubungan atap, di atas gunung, atau naik di pohon-pohon tinggi.

Tapi, bagaimana jika handphone saja tidak ada? Masalahnya makin runyam lagi.  

Masalah ini beririsan pula dengan problem klasik: masalah ekonomi. Kuota! Ya, ini sekarang masalahnya lagi. Berjam-jam duduk di depan layar tidak sedikit membutuhkan pengeluaran untuk membeli kuota. Provider senang, masyarakat malang!

Bagaimana dengan negara? Kemendikbud jadi sorotan. “Bagi-bagi duit” pangkal soalnya. Dua ormas besar keagamaan dan pendidikan menarik diri dari penyelenggaraan program POP. Proses penentuan ormas yang berhak mendapatkan bantuan tidak transparan. Masa perusahaan rokok ikut masuk mendapatkan bantuan dana yang —menurut istilah Kemendikbud—  selevel “kelas gajah”. Apa hubungan perusahaan rokok dengan pendidikan—selain makin banyak pelajar suka merokok di balik tembok sekolah!

Kemarin, dapat info salah satu kampus negeri di Makassar mulai semester baru tidak lagi menggunakan tenaga dosen LB. Anggaran tidak cukup. Kampus memperkecil “lingkaran” ikat pinggangnya. Terjadi perampingan anggaran.

Salah satu kawan bercerita—yang sehari-hari mengajar di kampus swasta yang tidak begitu terkenal di Makassar—gajinya selama mengajar saat korona juga belum dibayarkan. Ia sadar diri, itu terjadi mungkin karena ia belum sepenuhnya menyelesaikan kelas yang diampunya. Ia katakan di tengah jalan kelasnya berhenti karena kesulitan menutupi ongkos kelas daring. Sekarang ia sedang menyiapkan kelasnya yang sempat tertunda. Biar bagaimana pun kelas yang diampunya mesti diselesaikan seluruhnya, meski mahasiswanya mengeluh soal ini itu.

Kemarin juga, seorang dosen gaek mengeluh. Belajar daring tidak menjamin mahasiswa betul-betul ikut “kelas”. Ia katakan mahasiswa sekarang makin cerdik. Absen setelah itu pergi dengan meninggalkan kesan seolah-olah sedang mempelajari materi yang diberikan—yang susah payah dibuat dosen tua akibat gaptek teknologi.

Saat menulis ini, saya kembali mengambil buku tentang homeschooling, berusaha memikirkan bagaimana jika gagasan seperti ini direfleksikan ulang di keadaan kini. WHO—lembaga yang bikin ketar ketir—sudah menyatakan ke publik: korona akan berlangsung puluhan tahun!


Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka


(Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan dua tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Matterna, dan  tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)

 

BELUM lama ini, saya baru saja menonton Luce (2019), film drama yang lumayan membingungkan dikarenakan menyisipkan banyak tanda tanya di hampir setiap adegannya. Mimik muka, intonasi suara, gerak tubuh, dan tentu juga dialognya, adalah hal-hal detil yang mesti diperhatikan lebih seksama untuk  memahami jalan cerita film besutan Julius Onah ini.

Luce dari sudut tertentu adalah film tentang pendidikan—atau berlatar kehidupan sekolah yang menyorot kehidupan siswa siswi di sekolah tingkat atas: kegiatan belajar, konflik, ambisi siswa, solidaritas kelompok, persahabatan, kehidupan asmara, dan relasi murid-guru.

Luce bercerita tentang anak cerdas kulit hitam di sekolah menengah atas, yang dikhawatirkan akan berbuat ”sesuatu” pasca Harriet Wilson (Octavia Spencer), seorang guru sejarah dunia, menugaskan murid-muridnya menulis esai tentang tokoh sejarah.

Luce Edgar (Kelvin Harrison Jr.)—seorang siswa cerdas dan bintang sekolah—menulis esai tentang Frantz Fanon, filsuf sekaligus tokoh revolusioner Pan-Afrika, yang mengangkat gagasannya terutama ide-ide pemberontakan Fanon mengenai kekerasan yang dinyatakan dapat menjadi pengendali dalam tatanan dunia.

Esai ditulis Luce itu membuat cemas Harriet, yang mengkhawatirkan gagasan pemberontakkan ala Fanon tengah bersemayam di benak Luce.

Bagi, Harriet, esai itu bukan sekadar tugas biasa, yang ditulis seorang bintang sekolah, melainkan suatu penanda bahwa suatu ide-ide radikal bakal mempengaruhi cara pandang orang seperti Luce.

Luce sebelum diadopsi pasangan suami istri Amy Edgar (Naomi Watts) dan Peter Edgar (Tim Roth)—yang merawatnya seperti anak sendiri dengan memberikan kehidupan dan pendidikan terbaik bagi Luce— adalah anak yang lahir dan tumbuh berkembang di Eritrea suatu tempat yang disebut sedang dilanda konflik dan perang berkepanjangan.

Kemiskinan dan kehidupan anak-anak liar adalah dua hal yang membentuk Luce sejak kecil: sulit diatur, denial, dan asosial. Dengan latar belakang demikian, Harriet berkeyakinan ”sesuatu” bakal terjadi dengan Luce, dan itu akan merusak masa depan Luce yang cemerlang. Ya, Luce diproyeksikan sebagai murid percontohan sekolah, ia bahkan menjadi murid favorit guru-gurunya, dan mendukungnya untuk belajar sampai ke tingkat lebih tinggi.

Kecurigaan, atau lebih tepatnya ketakutan Harriet semakin menjadi-jadi pasca ia menemukan kembang api ilegal berdaya ledak besar di loker Luce—ia mengambilnya tanpa sepengetahuan dengan cara menggeledah loker Luce, yang berarti melanggar privasi, sesuatu yang sangat dijunjung tinggi di negeri semacam Amerika Serikat.

Dari sini konflik bermula yang melibatkan kecurigaan, prasangka, dan emosi, antara Harriet dengan Luce, dan antara Luce dengan kedua orangtuanya—setelah Harriet memanggil Amy, ke sekolah, khusus menceritakan kecurigaan dan temuan kembang api Luce.

Konflik ini praktis menjalar kemana-mana, merongrong kepercayaan Amy dan Peter Edgar terhadap Luce, yang terkejut dengan sisi misterius Luce setelah kasus esai dan kembang apinya, dan kemudian membuat Luce terlempar ke titik asing dan ganjil di hadapan kedua orangtuanya.

Karena film ini berlatar kehidupan sekolah, terutama konflik antara guru dan murid (orangtua), maka refleksi-refleksi atas film ini—menurut saya—dapat dihubungkan dengan isu-isu pendidikan  terutama jika dilihat dari kacamata critical pedagogy (pendidikan kritis).

Harmoni dan perubahan

Term harmoni, untuk tulisan ini, lebih tepat diganti stabilitas, jika itu dipandang dari sudut pandang Harriet, guru yang mengkhawatirkan Luce bakal terpengaruh gagasan pemberontakan Frantz Fanon. Dalam hal ini, Harriet mendukung paradigma kehidupan yang lebih mementingkan stabilitas dari pada perubahan, meskipun itu belum tentu bakal mengancam tatanan yang sudah ada. 

Dari kacamata critical pedagogy, Harriet mewakili kemapanan sekolah, yang melihat Luce sebagai ancaman, terutama ketika Luce menulis esai dengan mengangkat tokoh sekaliber Frantz Fanon.

Itu artinya, kemerdekaan berpikir dan kebebasan mengutarakan gagasan, yang menjadi inti pendidikan liberal, yang dilakukan Luce, kontraproduktif dengan pandangan pendidikan sekolah yang mengutamakan stabilitas dan kemapanan.

Anda boleh menulis apa saja, tapi jangan menyasar hal ihwal yang bisa mengganggu kemapanan sekolah, begitu kira-kira aturan main tersembunyi dalam benak Harriot.

Perubahan (social change) bagi tatatanan yang mengandalkan keharmonisan, akan dianggap menganggu dan anomali. Dalam konteks pendidikan atau sekolah tempat Luce belajar, itu berarti gagasan Fanon yang ditulis Luce adalah hal berbahaya bagi tatanan. Sekolah dalam hal ini, dapat dikatakan institusi yang ikut mengekalkan status quo masyarakat. Ia menjadi lembaga, yang boleh jadi mewakili pandangan kelas tertentu, agar ide-ide perubahan tidak mengubah kepentingan yang sudah lebih awal disepakati.

Rasialisme

Penting untuk juga menyorot Luce dan Harriet, sebagai orang kulit hitam yang mewakili suatu kaum, dan kedua orangtua Luce yang berlatarbelakang kulit putih. Sepintas akan kelihatan bahwa film ini tidak ada masalah dengan rasialisme dengan mengangkat latar belakang keluarga Peter Edgar dan Amy Edgar yang mengadopsi Luce, seorang anak kulit hitam.

Dari segi ini, patut memerhatikan detil adegan atau cara pandang DeShaun (Brian Bradley) saat ia terlibat pertengkaran dengan Luce, mengenai di mana keberpihakan Luce apakah membela Deshaun— teman Luce yang dihukum karena kedapatan mengonsumsi ganja—yang notabene murid kulit hitam, atau mengedepankan prestasinya yang dipuja sekolah, yang dinilai representasi masyarakat kulit putih.

Meski adegan itu cukup sepintas dan seolah-olah hanya pertengkaran antara dua remaja anak SMA, refleksinya dapat ditarik dari pandangan pasca-kolonialisme. Luce bisa dikatakan mengalami dilema identitas antara latar belakangnya sebagai kulit hitam dengan kehidupan barunya yang lebih mewakili kebiasaan, cara berpikir dan merasa, melalui pengasuhan dan dididikan berdasarkan keluarganya yang berlatar masyarakat kulit putih.

Ini sama dengan apa yang dikatakan Fanon sendiri melalui bukunya: Black Skin, White Mask, tentang gejala alienasi akibat superioritas masyarakat kulit putih saat memandang rendah masyarakat kulit hitam yang mengakibatkan orang kulit hitam mesti melihat dirinya dari kacamata masyarakat kulit putih.

Kesalahan mengidentifikasikan diri ini, tidak saja berlaku pada kegiatan berdimensi politik, dan ekonomi, melainkan besar pengaruhnya pada dimensi kebudayaan, yang dalam konteks film ini dapat dikerucutkan pada aspek pengasuhan melalui keluarga dan pendidikan sekolah.

Luce adalah contoh—jika dapat mewakili bangsa-bangsa kolonial—mengenai bisa langgengnya suatu penjajahan disebabkan kekuasaan atas nama ras atau bangsa, dapat berlangsung dengan waktu yang lama dan tidak disadari melalui penciptaaan situasi ketergantungan (hegemoni) terhadap bangsa yang lebih superior melalui pendidikan dan kebudayaan.

Refleksi

Institusi pendidikan berupa sekolah atau perguruan tinggi, melalui critical pedagogy dilihat sebagai institusi yang berdiri dan beroperasi atas tuntutan imperatif ideologi dominan. Itu artinya intitusi pendidikan bukan lembaga yang kebal dari tarik ulur kekuasaan dalam dimensi politik dan ekonomi.  Ia, menurut analisis Bourdieu dan Foucault, senantiasa menjadi medium kepentingan elite tertentu dan kekuasaan untuk menciptakan situasi normal demi mendukung kepentingan bersangkutan.

Di tanah air, selain dari pada kemiripan di atas—kampus dan sekolah yang mewakili pandangan kekuasaan—juga menjadi lembaga yang mengalami liberalisasi dan swastanisasi, yang menyebabkan pengelolaan keduanya menjadi korporasi. Imbasnya, kegiatan pembelajaran, penyusunan kurikulum, penelitian, seminar, pengabdian masyarakat, kegiatan organisasi, dan pengambilan kebijakan, berubah orientasinya yang semula mengarah ke pengembangan peserta didik dan ilmu pengetahuan, menjadi sekadar pencarian profit material belaka.

Dalam suasana demikian, ketika pendidikan dikapitalisasi dan dipolitisasi, wacana atau gagasan yang bermuatan politis, atau berdimensi perubahan sosial, akan dideteksi sebagai ancaman bagi stabilitas institusi pendidikan. Di kampus, kontrol atas wacana, kegiatan organisasi, peredaran buku-buku kritis, dan seminar-seminar berorientasi perubahan akan dicap sebagai kegiatan ilegal. Dosen atau mahasiswa yang terlibat dengan kegiatan serupa akan diidentifikasi sebagai ancaman yang perlu dihambat karier dan studinya.

Di sekolah-sekolah, penggambarannya lebih mengerikan lagi. Murid-murid dilatih membaca dan menulis sesuai intruksi guru yang berposisi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Murid akan dianggap menyimpang jika menunjukkan gejala berlainan apabila ditemukan melakukan improvisasi atau pengembangan pendekatan dalam memecahkan suatu soal. Sistem dikte yang masih ditemukan di sekolah saat ini, merupakan metode kontrol pikiran agar murid dapat digolongkan ke dalam satuan-satuan yang seragam dan serupa.

Dari kacamata pasca-kolonial, sekolah sangat berpotensi melanggenggkan pandangan inferior sebagai bangsa terjajah. Sekolah atau perguruan tinggi, jika tidak segera mengembangkan sendiri pandangan filosofi dan pendekatan pembelajarannya, yang berangkat dari kesadaran mandirinya, akan selamanya menjadi alat tidak langsung dalam mentransmisikan pandangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mengkultuskan Barat sebagai kiblat kemajuan.

Sekolah-sekolah dengan posisi seperti itu akan terus melahirkan generasi berkepribadian kerdil dan terasing, dikarenakan diajarkan dan dididik dengan cara sesuai pandangan, perasaan, dan hasrat pihak penjajah. Dengan kata lain, merdeka belajar atau kampus merdeka, yang sering kita dengarkan sekarang hanyalah menjadi slogan politik semata apabila masalah mengenai ”kepribadian” sebagai bangsa  berdaulat belum dituntaskan dari awal.


Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Matterna


(SEKOLAH kali ini mesti dirumuskan ulang. Terutama strategi saat menghadapi korona. Jika korona tidak berakhir dalam waktu dekat ini, maka bisa saja sekolah akan tidak ada. Atau setidaknya pertemuan tatap muka, yang selama ini dilakukan bakal bergeser ke layar smartphone. Jika begini, masalah pendidikan akan makin banyak. Salah satunya adalah masalah kultural tentang interaksi siswa dengan teknologi canggih. Sebelum itu terjadi, di bawah ini adalah dua tulisan tentang pendidikan, yang ditulis di waktu berdekatan. Tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)
 

FONDASI pendidikan, kini, jadi makin runyam. Akibat korona berkepanjangan, sekolah nyaris rontok. Buku absen salah sedikit tutup buku. Guru dan siswa meripuh. Kepala sekolah sampai menteri, bekerja memburu waktu memikirkan rumus kebijakan yang tepat. Jika semua salah antisipasi, sekolah akan tinggal gedung kosong dan halaman upacara yang melompong.

Tapi, untung saja, sekolah hari ini tidak ingin kehilanga muka. Berkat teknologi informasi komunikasi, dan juga cara bersiasat dengan keadaan, kebijakan menteri Pendidikan dan Kebudayaan mendorong para guru mengajar online jarak jauh. Tidak sekadar mengajar seperti biasa, kegiatan ini  mesti dilambari cara mengajar kreatif dan inovatif dibandingkan keadaan sebelumnya—implikasi ”merdeka belajar”.

Omong-omong soal belajar online, sadar tidak sadar, para guru di era digital dikepit dua tuntutan sekaligus: kebijakan ”merdeka belajar”, dan sudah pasti, berhadapan dengan beragam jenis medium pembelajaran maya.

Mau tidak mau, saat semua serba digital, para guru mesti berjibaku ”melawan” beragam aplikasi belajar dengan misi sekolah virtual. Sebut saja beberapa aplikasi semisal, Rumah Belajar, Kelas Pintar, IndonesiaX, dan Ruang Guru, yang getol bersosialisasi melalui hampir di semua jaringan televisi, dengan keanggotaan tenaga didik yang difasilitasi peralatan canggih saat membuat video tutorial belajar.

Walaupun Kemendikbud sudah bekerja sama dengan aplikasi-aplikasi semacam itu, dengan maksud meringankan kerja sekolah dan guru, namun tetap saja, tugas-tugas guru tidak otomatis menjadi lebih mudah.

Di saat menjalankan tugasnya, para guru akan bersaing dengan ”guru-guru” digital yang lebih friendly dan praktis saat menjelaskan materi belajar. Secara teknis, dalam jangka waktu lama, persaingan ini akan mengubah posisi dan peran kultural guru sekolah. 

Lama kelamaan—yang makin dirasakan—guru-guru akan bernasib sama dengan profesi semisal tukang pos atau teller bank, yang hilang diganti oleh medium teknologi informasi canggih. Meski ini prediksi para ilmuwan sosial, tetap saja zaman kekinian menunjukkan tanda-tandanya. Dua di antaranya sudah disebutkan di atas: kemunculan aplikasi belajar, dan kecenderungan digitalisasi sekolah.

Itu satu soal, terutama yang dirasakan sekolah di kota-kota maju, yang notabene lebih memadai segi infrastruktur ketimbang sekolah-sekolah di pelosok. Jika guru-guru di kota sengit bersaing merebut posisi pedagogis dengan beragam aplikasi canggih tutorial belajar, di desa-desa atau pelosok, masalahnya lebih parah lagi.

Jaringan tidak merata adalah masalah tersendiri di desa-desa. Belum lagi faktor ekonomi masyarakat desa tidak seperti keluarga masyarakat perkotaan. Anak-anak di desa masih berada dalam kondisi belum begitu intens terpapar gawai, yang berbeda dari anak-anak perkotaan bahkan tidak sedikit sudah memiliki smartphone sendiri. Dikarenakan ini, timbullah inisiatif sekolah mengirim guru-gurunya turba (turun ke bawah), datang berkunjung dari rumah ke rumah mengajar langsung mengatasi kelangkaan dan ketidaktahuan pemanfaatan smartphone.

Seperti juga institusi publik lainnya, mengatasi kerunyaman di atas, sembari meringankan beban  sekolah, kini mau tidak mau, sekolah terlihat mengandalkan satu-satunya lembaga sosialisasi tertua dan pertama untuk menjalankan fungsi pedagogisnya: keluarga.

Ya, ketika kini banyak lembaga-lembaga publik berhenti, atau membatasi aktivitasnya—termasuk sekolah—keluarga adalah satunya-satunya entitas terakhir yang diharapkan bisa menjalankan agenda-agenda publik selama ini. 

Sekolah, memang awalnya tumbuh bersama keluarga. Terutama dari kegiatan waktu luang keluarga. Dulu orang Yunani antik, di waktu luangnya, terbiasa berkunjung ke seorang cerdik pandai untuk berkonsultasi mengenai banyak hal. Tidak sekadar berkonsultasi, dari ”kongkow-kongkow”  itu mereka berdialog tentang segala ikhwal yang muncul dari pertanyaan-pertanyaan penting menyangkut eksistensi kehidupan mereka.

Kongkow-kongkow di waktu senggang itulah yang oleh orang Yunani sebut  sebagai scole atau scola (skolae: Latin, school: Inggris), yang arti harfiahnya memang ”waktu luang”.

Lambat laun, keluarga-keluarga pati ini menurunkan kebiasaan ber-scola kepada anak-anak agar dapat menggantikan posisi mereka jika sudah dewasa.

Kenyataannya, kegiatan ini makin sering dan menjadi kebiasaan umum, dan mengubah sebagian fungsi pengasuhan keluarga sebagai scola matterna (pengasuhan ibu) menjadi scola in loco parentis (pengasuhan di luar rumah yang memanfaatkan waktu senggang), yang dilakukan  di bawah bimbingan cerdik pandai selama waktu luang tersedia bagi anak-anak. 

Kelak, lembaga-lembaga yang meneruskan sebagian fungsi pengasuhan keluarga ini—sekolah atau perguruan tinggi—akan disebut alma matter (ibu asuh yang memberikan ilmu).

Sekarang, saat ruang kelas kosong, ketika ”waktu luang” melimpah, dan perhatian belajar anak tertuju di atas layar smatrphone, coba tengok di dalam rumah-rumah, apakah keluarga masa kini masih mempertahankan fungsi scole-nya atau tidak?

Ketika pandemi institusi sekolah masih terhambat di soal-soal teknis, apakah keluarga sudah memiliki ”agenda-agenda” tersendiri yang setara untuk mengganti model belajar di sekolah?

Apakah keluarga saat ini, karena perubahan situasi tiba-tiba, tidak memiliki sama sekali pedagogi alternatif yang bisa diterapkan dalam lingkup kehidupan keluarga? Apakah para orangtua bersukacita dapat lebih dekat dengan anak-anaknya untuk bermain dan belajar?

Dengan kata lain, apakah para orangtua, di saat ini, masih bisa mengubah keluarganya menjadi scola matterna

Jika tidak, apa sebenarnya yang terjadi, mengingat banyak keluhan—ada yang sampai depresi dan bunuh diri—orangtua murid akibat sekolah mesti ”dirumahkan”?

Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton


(1)

OTAK manusia, menurut ahli psikologi perkembangan, tidak sempurna kali pertama dilahirkan. Sebagai organ paling kompleks, otak manusia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyempurnakan pertumbuhan jaringan sel syarafnya.[1] Para ahli neurologi, karena itu menyebut otak manusia organ paling lemah dan prematur dibandingkan otak makhluk lainnya .

Berbeda dari binatang, manusia menciptakan kebudayaan demi menutupi lubang-lubang dalam kehidupannya. Melalui kebudayaan, dan dalam waktu yang sangat panjang, ia belajar menyempurnakan jaringan sel otaknya melalui revolusi kognitif. Di waktu-waktu itu juga, ia membangun rumah meninggalkan gua-gua demi berlindung dari alam rimba, menemukan sawah dan ladang-ladang, dan menciptakan revolusi agrikultur untuk bertahan hidup,[2] dan menciptakan pakaian agar berbeda dengan simpanse atau kera, kerabat dekatnya, yang masih berkeliaran bebas di hutan-hutan.

Manusia, karena itu, tampak menjadi makhluk yang paling maju dibanding hewan lainnya. Setelah ia menciptakan revolusi kognitif dan revolusi agrikultur, manusia banyak belajar dan mendidik dirinya. 

Tidak semua hal dapat dipelajari manusia, tapi melalui pendidikan, manusia menciptakan hal-hal semacam jalan raya, taman bermain, buku, perpustakaan, ruang belajar, dan sekolah, demi membuat perbedaan fundamental dengan para binatang. Semua hal-hal itu disosialisasikan bersama temuan-temuan baru selama berabad-abad, untuk memaksimalkan kerja jaringan syarafnya. Agar otak manusia mampu menjadi piranti yang membuatnya dapat menghadapi situasi yang serba berubah.

Sigmund Freud, psikoanalisis asal Swiss, mengandaikan manusia digerakkan bukan sepenunya oleh alam sadar seperti anggapan abad sebelumnya. Ibarat gunung es di atas permukaan lautan, puncak es yang tampak, hanyalah penampakan sebagian kecil dari badan gunung yang tersembunyi di dasar lautan.

Bagaikan puncak gunung es, kesadaran manusia tidak sepenuhnya tampak mandiri oleh karena ditopang kaki-kaki gunung yang tersembunyi jauh di bawah permukaan. Kaki-kaki gunung yang tersembunyi inilah alam bawah sadar manusia yang sebenarnya menopang alam sadar manusia.[3]

Di antara dua lapisan kesadaran ini, manusia mengerahkan seluruh energinya agar tidak selamanya hidup di dalam kubangan alam bawah sadar yang notabene memiliki gelagat negatif.[4] Dalam hal ini, manusia mendedikasikan kehidupannya bertahun-tahun ke dalam pendidikan untuk memperhalus perangainya, agar tidak berperilaku seperti hewan-hewan di alam rimba.

Tak bisa dimungkiri, di sisi jiwa terdalam manusia, ada sisi instingtif yang mampu menggerakkan manusia bertindak di luar batas-batas normal. Bahkan, sisi ini seringkali begitu kuat menarik alam sadar manusia jatuh ke alam bawah sadarnya yang sepenuhnya irasional, amoral, dan asosial. Meski demikian, di sinilah mengapa kehidupan masyarakat nampak percaya dan menyandarkan sepenuhnya kepada institusi sekolah agar berperan mengontrol dan mendidik sisi libidinal manusia.

Dalam kancah yang lebih luas, tatanan yang lebih mengedepankan unsur libidinal manusia akan menciptakan kondisi buruk berupa dehumanisasi dan alienasi. Kehilangan kontrol atas alam sadar akan menimbulkan kegilaan berupa kehilangan dimensi kemanusiaan yang menjadi ciri fundamental manusia.[5] Alienasi berupa keberjarakan manusia dari inti kemanusiaannya akan membuat dirinya mengalami kesalahan mengenal siapa dirinya.[6] Ia, dengan kata lain, akan mengalami krisis eksistensi berupa keterasingan akut.

Dunia memang sudah berubah dari beberapa abad sebelumnya. Meski demikian, revolusi kognitif, agrikultur, industri, dan belakangan revolusi teknologi informasi, tidak sepenuhnya mengubah kenyataan bahwa masih ada bangsa-bangsa terbelakang, kawasan-kawasan perang, dan negara-negara koloni yang belum sepenuhnya merdeka seratus persen.

Di sejumlah tempat demikian, banyak orang-orang hidup di bawah garis kemiskinan, terancam menerima risiko pembangunan berupa gizi buruk, putus sekolah, kehilangan tempat tinggal, putus kerja, pandemi, dan kematian.

Tidak juga bisa disanksikan, ketika kereta kuda telah berganti menjadi kereta supercepat, dan alat tukar sudah semakin canggih, temuan-temuan peradaban masih belum mampu mengubah cara berpikir sebagaian orang—jika bukan masyarakat—yang memercayai sebagian kawasan dunia telah menjadi tempat persembunyian alien saat datang menggunakan ufo, atau percaya dengan naif, bahwa dunia tidak sepenuhnya diciptakan menyerupai bola sepak.

Jika pendidikan seperti disebutkan oleh para ahli merupakan usaha sadar dan sistematis[7] untuk mengubah hal-hal di atas, maka perlu suatu pendekatan, jika bukan defenisi lain, untuk mengartikan pendidikan yang mengubah total seluruh dimensi diri manusia, dan bukan saja menyasar dimensi kognitif yang hanya sekian persen dari alam berpikirnya.

Dengan kata lain, pendidikan bukan saja bertanggug jawab kepada pengembangan dimensi kognitif dan afeksi manusia belaka, tapi juga mesti ikut bertanggung jawab kepada keseluruhan hidup manusia, kepada nasib dan kesejahteraannya.

Di Brazil, sosok seperti Paulo Friere, mengartikan lebih jauh apa arti pendidikan di masa kini. Menurutnya, pendidikan tidak sekadar transfer ilmu pengetahuan belaka, yang ia kritik sebagai pendidikan ala bank[8], melainkan mesti berfungsi sebagai alat pembebasan manusia dari proses dehumanisasi dan alienasi yang disebabkan sistem represif berupa negara atau sistem ekonomi politik seperti kapitalisme. Pendidikan mesti mengerahkan kemampuan peserta didik melewati tahap-tahap kesadaran—magis dan naif—mencapai kesadaran kritis.[9]

Kesadaran kritis adalah tahap kesadaran puncak setelah manusia mampu mengidentifikasi problemnya ke dalam konteks kehidupan sosial politik yang menjadi sebab mengapa ia menghadapi masalah demikian.

Kemiskinan, misalnya, konteks kehidupan yang menjadi titik tolak pendidikan ala Freire, akan berakhir sebagai kenyataan yang magis dan naif,  ketika hanya dilihat sebagai nasib masyarakat yang tidak terkait sama sekali dengan faktor-faktor sosial dan politik. Hanya kesadaran kritislah yang mampu mengemukakan faktor-faktor terkait, mengapa kemiskinan dapat terjadi. Dengan kata lain, kemiskinan dalam hal ini bukan takdir masyarakat yang sepenuhnya terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi pula dari unsur ekonomi, sosial, budaya, dan kekuasaan.

Paulo Freire, menyebut pendidikannya ini sebagai pendidikan kaum tertindas, dengan alasan dan titik tolak masih banyak orang miskin yang mengalami dehumanisasi oleh sistem represif berupa negara atau sistem ekonomi kapitalisme, serta dampak dari itu, terjadi pemiskinan besar-besaran yang membuat banyak orang hidup tanpa dipenuhi hak-hak dasarnya.[10]

Oleh sebab itu, tugas pendidikan bagi Freire adalah mengembalikan kemanusiaan yang hilang, baik dari penindasan dan masyarakat yang mengalami ketertindasan melalui suatu praksis pembebasan hadap masalah. [11] Dalam hal ini, praksis bagi Freire berarti dua unsur yang bekerja secara simultan berupa refleksi dan aksi, di mana refleksi mengandaikan proses transformasi kesadaran manusia atas keberadaaanya di dunia, dan aksi sebagai kemampuan mengubah keadaan dengan kapasitas kesadaran yang sudah sebelumnya dimiliki.[12]

Banyak kritikus pendidikan yang mendakukan bahwa dunia pendidikan adalah refleksi masyarakatnya.[13] Era sekarang, ketika kapitalisme mutakhir menjadi momok tak terhindarkan, pendidikan yang memiliki tujuan yang luhur itu pada akhirnya didudukkan berdasarkan skema masyarakat kapitalistik.

Menurut pendakuan Jean Anyon, seorang sosiolog pendidikan marxis, relasi pengetahuan yang berlaku dalam institusi pendidikan, hanyalah kebutuhan-kebutuhan yang disesuaikan dengan sistem ekonomi pasar kapitalistik.[14]

Temuan ini ia dapatkan atas fenomena yang ia hadapi sejak 1970 mengenai lima sekolah dasar yang berlatar belakang ekonomi berbeda satu sama lain: dua sekolah kelas pekerja; satu sekolah kelas menengah; satu sekolah kelas profesional; dan satu sekolah elite eksekutif. Dari penelitiannya ini, Anyon menemukan adanya pendekatan pembelajaran berupa ilmu, prosedur, dan keahlian yang berbeda dari masing-masing sekolah, yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar tempat anak-anak didik nanti bekerja.[15]

Itulah mengapa sampai hari ini, terutama dalam institusi pendidikan tinggi, banyak sekat-sekat yang membagi secara kategoris satuan belajar dimulai dari cara masuk berdasarkan tingkat ekonominya. Kata Ivan Illich, proses pendidikan yang dikonfigurasikan atas sistem ekonomi, hanya menghasilkan out put yang tak bermutu.[16] Sekolah hanya mendorong kepada pengasingan siswa dari hidup. Sekolah hanya memaksa semua anak untuk memanjat tangga pendidikan yang tidak berujung dan tidak meningkatkan mutu, melainkan hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini. Pengajaran yang diwajibkan di sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar mandiri, pengetahuan dilakukan ibarat komoditi, dikemas-kemas dan dijajakan.[17]

Di saat itulah ilmu pengetahuan menjadi komoditi.[18] Seperti benda-benda yang terpampang dalam etalase pertokoan, kapitalisme membuat pendidikan kehilangan arah dan tujuan hakikinya untuk menciptakan peserta didik yang kritis terhadap dunia.[19]

Peradaban kiwari, jika dianalisis ke dalam pendekatan sosiologi pengetahuan, adalah stuktur kehidupan yang tidak lekang dari intervensi kekuasaan dan ideologi. Kedua hal ini, dalam kehidupan ril, bekerja sampai ke level pengetahuan dan perilaku dengan cara keterlibatan medium-medium sosialisasi seperti media massa, lembaga keluarga, lembaga hukum, dan sekolah.[20] 

Pengetahuan, dalam arti sebagai  cara pandang, kebiasaan, dan kecenderungan-kecenderungan dalam tingkah polah manusia, dengan kata lain tidak tercipta di dalam ruang hampa. Ia, betapa pun mulia tujuannya, mau tidak mau mengalami banyak bias yang dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi yang bergerak secara simultan dan timbal balik dalam membentuk masyarakat.

Setidaknya ada tiga pengaruh yang ditimbulkan kapitalisme terhadap pendidikan, sebagaimana yang diungkapkan Peter McLaren. Pertama, kapitalisme menciptakan sekolah-sekolah yang menerapkan praktek penyelenggaraan pendidikan yang lebih mendukung kontrol ekonomi oleh kelas elite. Kedua, hubungan kapitalisme dan ilmu pengetahuan telah mendorong terciptanya perkembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan mendapatkan profit material dibanding menciptakan kehidupan global yang lebih baik. Ketiga, perkawinan kapitalisme dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fondasi bagi ilmu pendidikan yang menekankan nilai-nilai korporasi dengan mengorbankan nilai keadilan sosial dan martabat manusia.[21]

 

 

(2)

ADA suatu istilah menggelitik yang diungkapkan Erich Fromm, scholar psikologi humanistik, dalam suatu artikelnya menyangkut pendidikan: Mendidik si Automaton.[22] Si Automaton merupakan penggambaran manusia yang menurut Fromm lahir dari kebebasan demokrasi, dengan hak untuk mengutarakan pendapat, tapi tidak bermakna sama sekali lantaran tidak mampu memiliki isi pikiran sendiri. Kebebasan, kata Fromm, tidak akan berarti sama sekali jika manusia masih berkubang di dalam kondisi kejiwaan tanpa subjektivitas, atau mampu menetapkan individualitasnya sendiri. Automaton, dengan kata lain, sesosok manusia yang ia sebut makhluk yang hidup terkucil, bergerak dan berpikir serupa mesin, serba otomatis.[23]

Dalam artikel itu, Fromm  mengkritisi kebudayaan yang mencetuskan model pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang kehilangan cetusan-cetusan jiwa, perasaan, pikiran, dan harapan, yang sengaja disuntikkan dari luar.[24] Fromm, menghendaki suatu model  pendidikan yang mampu melahirkan individu-individu dengan tindakan merdeka dan autentik, yang berakar dari individu yang bersangkutan.

Melalui kritiknya ini, Fromm sebenarnya sedang mengarahkan arah kritiknya kepada suatu tradisi pendidikan yang berlandaskan paradigma dengan asas-asas positivistik, yang menghasilkan keluaran pendidikan teknokratik. Pendidikan ala positivistik, atau berdasarkan rasionalitas teknokratis punya dua unsur utama: konformitas dan uniformitas.

Konformitas adalah suatu upaya yang mengarah kepada penciptaan peserta didik yang pasif terhadap kehidupan dan teks ilmu pengetahuan. Sikap ini, dalam konteks kehidupan ril,  dengan sendirinya akan menciptakan manusia yang kehilangan gairah dan kehendak mandiri di dalam menentukan jalan nasibnya sendiri, akibat menerima keadaan apa adanya dan tanpa reserve sama sekali.

Sementara uniformitas, menciptakan keadaan masyarakat terdidik yang berdimensi tunggal melalui kesamaan cara pandang, minat, skill, dan tujuan hidupnya. Uniformitas atau penyeragaman, pada kasus-kasus tertentu seperti di Indonesia, selain dari sisi penyelenggaraan dan kurikulum, nampak kepada penggunaan seragam sekolah sebagai busana wajib bagi kalangan terdidik.

Sekolah atau intitusi pendidikan seperti perguruan tinggi, sebagai lembaga pendidikan, selain berfungsi sebagai alat untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan rekayasa sosial, adalah juga wahana sosialisasi politik bagi generasi muda, termasuk di dalamnya proses seleksi, rekrutmen, dan induksi ke dalam budaya budaya politik yang sedang berlaku. [25]

Itulah sebabnya, seperti didakukan melalui perspektif mazhab pendidikan kritis, yakni pendidikan atau institusi sekolah tidaklah netral, independen, dan bebas kepentingan, tapi justru menjadi bagian dari institusi sosial yang syarat kepentingan kekuasaan, ideologi, dan pasar.

Dalam tradisi pemikiran sosiologi kritis atau posmodernis, Pierre Bourdieu dan Michele Foucault, adalah dua pemikir yang menelisik dan menemukan betapa kuatnya relasi kekuasaan terhadap ilmu pengetahuan atau institusi pendidikan. Pertautan keduanya, bisa saling mengandaikan dengan maksud sama-sama merepresentasikan kekuatan dominan yang menjadi ideologi kekuasaan saat itu.

Kritik Bourdieu terhadap pendidikan dilihatnya melalui analisis kekerasan simbolik yang inklud di dalam praktik-pratik penyelenggaraan pendidikan dalam sekolah-sekolah. Kekerasan simbolik menurut Bourdieu dapat dinyatakan sebagai pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dialami sebagai sesuatu yang sah.[26] Konsep yang menyerupai keadaan hegemoni menurut Antonio Gramsci ini, dapat berlangsung dalam waktu yang lama dan terjadi secara gradual, dikarenakan dilegitimasi melalui kekuasaan sehingga dianggap absah.

Kekerasan simbolik juga dapat terjadi melalui mekanisme pemaksaan tata cara, kebiasaan, tradisi, mekanisme, prosedur, atau apa yang diistilahkan Bourdieu sebagai habitus,[27] ke dalam kelas tertentu dengan cara halus dan tak disadari, sehingga kelompok yang bersangkutan menerima keadaan dengan cara apa adanya.[28]

Sama seperti penemuan  Jean Anyon, Bourdieu selama melakukan riset di bidang Pendidikan di Prancis, menemukan fenomena sekolah-sekolah yang menjalankan reproduksi sosial berdasarkan fungsi atau kebutuhan kelas elite. Di saat bersamaan, sekolah gagal melakukan mobilisasi kelas bawah untuk melakukan perbaikan atas kehidupannya yang serba  berkekurangan. Sekolah dalam keadaan ini, menurut Bourdieu adalah institusi yang mempertahankan status quo berdasarkan kepentingan kekuasaan kelas dominan. Bahkan, di keadaan yang spesifik, sekolah digunakan kelas dominan untuk mengukuhkan pandangan, cara berpikir, dan kebiasaannya, melalui kekerasan simbolik atas modal kultural[29] kelas bersangkutan.[30]

Sementara Michele Foucault, melihat kekuasaan atas pendidikan didasarkan kepada pemahaman bahwa kekuasaan tidak selamanya bersifat destruktif (menghancurkan), melainkan reproduktif dan kreatif (membentuk). Itu artinya bukan saja melalui pemaksaan, perintah, pelarangan, penekanan, penyaringan, dan dominasi, kekuasaan yang disebutnya tersebar dan divergen, bekerja pula dengan cara pengontrolan atas wacana dan ilmu pengetahuan.[31]

Atas dasar itu, pengetahuan atau wacana bukan ruang steril dari kepentingan. Menurut Foucault, wacana yang menjadi bagian dari kekuasaan, ikut pula mengatur bahasa dalam rangka menerangkan realitas. Bahasa, dalam hal ini bagian aktif dari kebudayaan yang ikut mengatur cara pandang, kebiasaan, dan aturan normatif dari komunitas tertentu. Perbedaan bahasa, dengan itu akan ikut menentukan perbedaan wacana dan pengetahuan, yang semuanya ditentukan dari kekuasaan itu sendiri.

Itu artinya, kekuasaanlah yang mengatur kebenaran dan wacana macam apa yang layak diketahui, aturan manakah yang mesti diindahkan, dan kenormalan manakah yang layak disebut betul-betul alamiah.  Dalam praktiknya, kekuasaan tidak bekerja atas tubuh, melainkan melalui tubuh, yang berarti tubuh bukan objek kekuasaan melainkan alat kekuasaan untuk melalukan mekanisme kontrol aktivitas dan praktik hidup sehari-hari.[32]

Kekuasaan negara dalam pendidikan, seperti dialami anak-anak Indonesia di sebagian usianya, muncul dalam bentuk-bentuk harfiah berupa indoktrinasi wacana sejarah resmi negara melalui pelajaran kewarganegaraan yang pernah diamalkan orde baru, penerapan kurikulum, sistem penilaian, dan manajemen sekolah. Di masa sebelumnya, di masa Orba, kehadiran sekolah-sekolah yang lahir atas dasar intruksi presiden (Inpres), bukan semata-mata untuk pemerataan pendidikan saja, melainkan sebagai mekanisme kontrol negara untuk menentukan wacana dan ilmu pengetahuan macam apa yang absah dipelajari masyarakat. [33]

Dalam konteks inilah, seperti yang ditulis Darmaningtyas, pendidikan nasional Tanah Air mengalami pergeseran orientasi akibat menguatnya kepentingan kekuasaan Orde baru, yang semula bertujuan untuk pencerdasan bangsa menjadi hanya sekadar instrumen politik jangka pendek. Melalui ini, perlu direfleksikan, apakah ada sebabnya secara internal sekolah-sekolah tidak mampu memenuhi kebutuhan dan tujuan pendidikan itu sendiri,[34] sehingga mendorong tumbuh suburnya lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mengambil alih tugas belajar sekolah.

Foucault mengatakan, di dalam zaman modern, sekolah juga menjadi intitusi yang menjalankan tugas pengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, bukan saja menjadi rezim pengetahuan yang mendikotomikan kategori kognitif menjadi jenius-idiot, cerdas-bodoh, rajin-malas, aktif-pasif, kedalam pengorganisasian tindakan peserta didik, sekolah dan juga perguruan tinggi melalukan pemisahan berupa subjek, penjurusan, dan mata pelajaran, sehingga berpengaruh terhadap masa depan peserta didik. [35]

Foucault juga mengatakan peralihan model pendidikan tradisional ke model pendidikan modern, ikut mengubah pola hukuman yang diterapkan di dalam intitusi pendidikan. Berbeda dari pola pendidikan tradisional yang menggunakan jenis hukuman fisik, dalam pola pendidikan modern, hukuman lebih diarahkan kepada mekanisme pendisiplinan, yang menjadi karakter masyarakat modern, yakni suatu proses pengubahan individu agar bertindak dan bersikap sesuai norma dan nilai masyarakat.

Dalam ranah pendidikan, menurut Foucault, pendisiplinan bekerja dalam tiga cara. Pertama, pengamatan. Metode ini diambil dari apa yang diistilahkan Foucault sebagai metode pengawasan panopticon, yakni apa yang diilustrasikan sebagai semacam menara pengawas dalam lingkungan penjara, yang memiliki kekuasaan mengawasi tanpa diketahui oleh orang yang sedang diawasi setiap saat. Inilah salah satu yang disebut hakikat kekuasaan itu sendiri, yakni terjadi secara diam-diam dan tersembunyi.

Seragam sekolah adalah salah satu cara penerapan pengawasan model panopticon, yang mengakibatkan murid sekolah mengalami situasi pengawasan secara langsung dan tanpa diketahui, karena dengan menggunaan seragam, tidak membuatnya dapat melakukan tindakan yang bebas. Saat bolos sekolah misalnya, seragamnya membuatnya otomatis menjadi terdakwa sehingga mudah dikenali dan dihukum.[36]

Di dalam situasi belajar, murid juga mengalami situasi pengawasan melalui sejumlah mekanisme pembelajaran yang dikontrol langsung oleh guru. Seperti kekuatan mata satu menara Sauron (Barad-dur)[37] dalam serial The Lord of The Ring, sang guru memiliki pengamatan dan kewenangan tanpa batas dalam menentukan kebebasan murid di dalam bersikap selama bersekolah. 

Cara selanjutnya adalah normalisasi atau standardisasi. Dalam sekolah, normalisasi atau standardisasi adalah suatu bentuk kegiatan belajar mengajar yang mengelompokkan dan mengkategorisasi peserta didik atau satuan pendidikan ke dalam ukuran-ukuran atau standar tertentu. Munculnya ukuran kecerdasan, kesopanan, dan kepatuhan, yang membandingkan peserta didik satu sama lain menggunakan kriteria tertentu, adalah bias yang dihasilkan dari mekanisme ini. Selain akreditasi, yang merupakan wujud nyata bagaimana kekuasaan negara menstandardisasi pendidikan, setiap tahun, kenyataan yang paling terang atas ini adalah standar kelulusan yang dihasilkan dari ujian nasional.[38]

Yang ketiga adalah ujian. Ujian dalam sekolah-sekolah, meskipun bertujuan sebagai evaluasi atas capaian tugas pembelajaran, kenyataannya adalah cara kekuasaan menjalankan ganjaran dan hukuman atas dua mekanisme sebelumnya, yaitu pengawasan dan standardisasi. Jika ada peserta didik yang tidak mencapai targert mekanisme sebelumnya, maka ujian akan berfungsi bukan sekadar untuk mengevaluasi tingkat pemahaman, tapi juga mengintervensi dengan menerapkan ganjaran dan hukuman sampai ke level afeksi.[39]

Ekses negatif dari ujian adalah leluasanya kekuasaan atas nama ilmu pengetahuan, mengurutkan dengan cara sederhana peserta didik ke dalam satuan-satuan kompetensi secara bertingkat, yang semuanya akan berdampak kepada penggolongan kemampuan peserta didik.

 

(3)

JIKA dikatakan aib, pendidikan nasional saat ini ketika berani untuk dikatakan adalah suatu sistem yang mengkerdilkan hakikat manusia dan kehidupannya. Melalui anggaran yang tidak seberapa, institusi yang korup, guru-guru yang tidak inspiratif, kurikulum yang beku dan kaku, serta metode belajar tradisional, merupakan wajah kelam yang disembunyikan di bawah permadani berupa prestasi menteri pendidikan yang muda nan rupawan, guru pahlawan tanpa tanda jasa, perubahan kurikulum atas nama progresifitas, serta slogan canggih mengawang-awang merdeka belajar. Semua itu masalah hari ini yang mesti direfleksikan secara kritis terus menerus agar pendidikan tidak berkubang di dalam masalah-masalah yang sudah diuraikan di atas.

Alkisah, sebutlah seorang anak bernama Bintang, anak sulung dari empat bersaudara, hidup nyaman di dalam keluarga mapan di daerah yang jauh dari kota Makassar. Dari kecil Bintang dimanjakan dengan pola asuh ”asal boleh” tanpa reserve dari kedua orang tuanya. Ia sering dilenakan dengan mainan-mainan mahal, yang dibelikan langsung dari gaji bapaknya yang bekerja sebagai pejabat di daerahnya. Layang-layang, sawah, dan sungai adalah semesta asing sejak Bintang kecil. Tidak seperti teman-temannya, pandai memancing di sungai, bermain petak umpet di sela-sela pohon cokelat di kebun, atau bersenda gurau sambil mencari keong di sawah, Bintang  tumbuh menjadi anak periang dan miskin pergaulan. Ketika teman sebayanya sibuk mencari bambu untuk membuat layang-layang, atau membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk limau, Bintang tumbuh  di dalam rumah bersama saudara-saudara, terasing dari pergaulan di antara sepupu-sepupunya, banyak menghabiskan waktunya di depan televisi dan bermain game playstation.

Di sekolah, Bintang menjadi murid baik dengan seragam yang tak pernah kusut sedikitpun. Ia dianggap sebagai murid yang sopan karena tidak sekalipun pernah berbuat onar, pendiam, dan penurut.

Di kelas. Bintang akan bertemu satu dua guru yang inspiratif tapi miskin terobosan karena desakan RPP dan kurikulum yang kaku dan baku. Selebihnya, Bintang belajar tentang ilmu sejarah dari guru yang mengharuskannya menghapal tanggal-tanggal penting, peristiwa penting, dan nama-nama penting yang harus ia ingat sampai mati.  Ia belajar biologi dari gambar-gambar di buku panduan tanpa pernah diajak melihatnya di alam bebas, menghapal rumus-rumus matematika dan ilmu kimia tanpa diberitahukan apa kegunaan praktis jika itu dibawa ke kehidupan nyata.

Bintang kadang mesti menahan ngantuk jika jam-jam pelajaran memasuki waktu siang hari. Di saat itu, pelajaran ekonomi akan tampak membosankan sama halnya seperti mempelajari ilmu agama dari seorang guru yang lebih suka memberikannya hapalan surah-surah pendek, dan sejumlah pekerjaan rumah menyangkut isian daftar salat wajib yang mesti terisi penuh.

Dari itu semua, Bintang seolah-olah bersekolah, tapi lebih sering ia merasa sedang diburu oleh sesuatu tapi entah apa. Ia merasakan ada bagian dirinya yang dipenjara dan dituntut untuk diam daripada mengungkapkapnnya. Keresahan ini sekali dua kali ia rasakan, meskipun seiring waktu, itu bakal terhapus jika ia sibuk menghabiskan waktu bermain bersama teman-temannya.

Bintang tumbuh di dalam sekolah seperti anak seusianya, memilih teman perempuan atau yang lain, yang menurutnya lebih nyaman diajak ngobrol tentang anime Jepang, atau diajak bekerja sama dalam kegiatan belajar kelompok. Bersama teman terbatasnya, ia belajar menjadi murid seperti yang diharapkan gurunya. Rajin ke sekolah dan mengerjakan tugas sesuai intruksi yang tertera di buku cetaknya.

Jika ia pulang ke sekolah, pakaiannya ia gantungkan dan membiarkannya menumpuk bersama buku-buku pelajaran yang ditinggalkan begitu saja, di atas meja belajar yang jarang ia gunakan. Hari-hari demi hari ia lakukan hal yang sama, dengan seluruh kebutuhan yang ia bebankan kepada kedua orangtuanya. Bintang anak penurut yang tidak ada satu helai pun pakaian yang ia kenakan pernah ia cuci sendiri.

Sejak android menjadi mainan baru anak-anak masa kini, ia tidak pernah berpaling dari gawai canggihnya. Kebiasan mengoleksi gambar-gambar anime dan grup girlband K-Pop masih ia lakukan, di samping mengikuti serial komik online Korea. Kebiasaan itu memunculkan suatu pengetahuan baru baginya, terutama mengenai nama-nama artis dan frasa-frasa bahasa Korea yang ia hapal di luar kepala. Kemajuan ini ia rasakan dari waktu ke waktu, meski ia sadar sejak kecil tak pernah sekalipun tahu  dan mahir menggunakan bahasa ibunya dalam berkomunikasi sesama teman di daerahnya.

Setelah lulus dari SMA, yang saat masuk diupayakan orangtuanya dengan susah payah dikarenakan mesti ”membeli kursi” di sekolah yang tidak sepenuhnya sekolah favorit, kini membuatnya hidup jauh dari kedua orangtuanya di Makassar. Bintang saat ini telah menjadi seorang mahasiswa, dan tinggal sendiri di rumahnya yang jauh hari sudah dibelikan khusus untuk dirinya.

Tidak ada yang sepenuhnya berubah dari diri Bintang selain kelebihan uang jajan, dan sepeda motor yang dibelikan untuknya. Sehari-hari Bintang masih menyukai anime Jepang, dan menggandrungi game online, yang dimainkannya nyaris setiap waktu. Ia makan dengan mengandalkan uang jajan yang otomatis tidak pernah membuatnya mandiri menyiapkan makanannya sehari-hari. Jika ia makan, pandangannya tidak pernah lepas dari screen gawai menonton film selama berjam-jam.

Bintang menjalani kuliah hanya sekadar tuntutan sekolah sebagaimana kebiasaan anak-anak lain. Di kampus, ia masih melanjutkan kebiasaannya saat di SMA dulu, menjadi mahasiswa pendiam, penurut, dan mengerjakan tugas-tugas dengan cara meng-copy paste materi yang ia temukan di internet. Jika tiba waktu untuk mendiskusikannya, Bintang lebih mengandalkan kemampuan berbicara temannya daripada dirinya sendiri.

Pergaulan Bintang tidak begitu menarik diceritakan di karenakan ia begitu singkat menghabiskan waktunya di kampus. Setelah ia kuliah, yang berarti hanya mengisi absensi dan mencatat apa-apa yang dikatakan dosennya yang juga sama kurang bersemangatnya ketika mengajar, ia lekas pulang dan melanjutkan kesenangannya bermain game online sampai tengah malam.

Bintang adalah tipikal anak-anak yang terancam kehilangan kepekaan sosial, kemandirian bersikap, dan disorientasi hidup. Ia model anak-anak yang dididik di dalam pendekatan pendidikan yang sekadar menggugurkan tanggung jawab kurikulum, dan diasuh oleh kedua orangtua yang tidak tegas dan tidak berprinsip dalam mendidik. Di sepanjang usia sekolahnya, Bintang hanya menjadi objek atas pendidikan yang menjadi komoditas ekonomi dan politik.  Orientasi pendidikan yang melahirkan manusia yang mandiri, berwawasan, dan peka atas tanggung jawab hidupnya, hanyalah wacana asing yang tak pernah Bintang tahu dan dengarkan.

Praktis Bintang adalah si automaton yang diistilahkan Erich Fromm, pribadi mesin yang kehilangan individualitas atau subjektivitasnya sebagai manusia.  Manusia yang dimpor dari luar menyangkut perasaan, gagasan, cita-cita, dan harapan, yang tidak sama sekali ia sadari dan ketahui. Ia otomatis adalah pribadi yang selama bersekolah, dalam khazanah pendidikan kritis, mengalami dehumanisasi dan alienasi. Ia adalah anak didik yang terasing dan tercerabut dari keautentikan dirinya, yang terbenam dalam ilusi dan khayalan mengenai kebebasan.

Sebagai si automaton, masa depan kehidupan adalah suatu fenomena yang sudah ada begitu saja. Ia persis seperti yang dinyatakan Freire, yakni pribadi yang terjebak ke dalam pengetahuan yang dimistifikasi melalui nalar magis. Ia melihat satu fenemona dengan apa adanya tanpa mampu melihat relasi kuasa yang mempengaruhi eksistensinya. Ini menandai bahwa si automaton betul-betul laiknya mesin yang hidup secara otomatis tanpa mengalami pasang surut dialektis, yang timbul dari kemerdekaan dan kehendak bebasnya.

Si automaton, jika ditempatkan ke dalam suatu kedudukan dunia, ia menjadi pribadi yang terjebak ke dalam apa yang dinyatakan Ali Syariati, sosiolog Iran abad 20, sebagai empat penjara manusia[40], yang membuatnya menjadi makhluk pasif, irrelevan, dan tidak signifikan dalam sejarah kehidupannya. Empat penjara itu adalah:

Pertama, historisisme. Sebagai suatu istilah yang menggambarkan mazhab pemikiran dan penjara pertama manusia, historisme bertolak dari perspektif manusia sebagai produk sejarah. Dalam hal ini, sejarah menjadi kekuatan imperatif yang menentukan karakteristik, perkembangan, dan tujuan manusia. Manusia dengan kata lain, tidak dapat bergerak leluasa oleh sebab di dalam sejarah hubungan satu kejadian dengan kejadian sudah dideterminasi melalui sebab musabab yang statis dan tertutup.[41]

Kedua sosiologisme. Sosiologisme, dinyatakan Ali Syariati sebagi determinan kolektif masyarakat yangmenghilangkan aspirasi, kehendak bebas, dan identitas manusia tanpa menghargai hak-hak individualnya. Sama halnya di dalam historisisme, manusia yang terdesak ke dalam penjara sosiologisme, tidak dapat mengandaikan dirinya sejauh hanya disituasikan oleh kelompoknya, corak produksinya, tradisi, pertukaran ekonomi, hubungan antar kelas sebagai kekuatan aksiomatik yang dominan.

Kekuatan sosiologisme yang demikian kuat, akan menjatuhkan manusia ke dalam level hina dan tanpa cita-cita untuk menentukan takdirnya sendiri, setelah lama ia terkurung pembatasan-pembatasan sosial dan tradisinya. [42]

Ketiga biologisme. Biologisme, atau pandangan alam naturalistik, merupakan cara pandang yang menyatakan manusia hanya sekadar makhluk fisik belaka. Struktur fisiologis manusia yang demikian, adalah hasil dari kerja alam yang berlangsung cukup lama sebagaimana manusia menjadi pula bagian dari alam itu sendiri yang sedang berevolusi. Perspektif naturalistik melihat alam berserta hukum-hukumnya bekerja secara otomatis dan menghilangkan unsur kreatifitas yang dimiliki manusia.[43]

Sekalipun naturalisme mengandaikan manusia terbebas dari determinisme metafisikal yang mengatur kehidupannya, tetap saja biologisme menempatkan manusia di dalam suatu posisi yang tidak jauh berbeda sebagai makhluk fisiologis dan biologis ke dalam determinisme alamiah. Itu artinya, meskipun manusia adalah makhluk dengan pencapaian-pencapaian luar biasa, tidak seperti dari  wujud selain dirinya, ia masih mengalami keterikatan dan keterlibatan yang mekanik dan materialistik di dalam hukum-hukum alam.

Penjara yang keempat adalah egoisme atau psikologisme, yakni penjara yang dikatakan Ali Syariati penjara yang paling buruk dari tiga jenis penjara sebelumnya. Ia menyebutnya sebagai the dark recesses of his lower self.  Suatu kekuatan yang menawan manusia sampai ke tingkat paling rendah: lumpur yang busuk. [44]

Jika tiga jenis penjara bekerja secara determinis, mekanistik, dan materialistik menciptakan situasi batas di luar dari diri manusia, egoisme justru bekerja sebaliknya dengan cara menawan manusia dari dan di dalam dirinya sendiri.

Ali Syariati mengungkapkan, egoisme, walaupun dikatakan penjara paling buruk, kebangkitan manusia dari jenis penjara ini adalah suatu model perjuangan yang paling menantang dan terjal. Pengandaian tiga penjara sebelumnya, dikatakan Ali Syariati  dapat serta merta dikendalikan, dilihat, diraba, dan ditentukan karakteristiknya karena sifatnya berada secara eksternal di luar diri manusia, suatu hal yang cenderung mudah dan dapat teratasi melalui capaian ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebaliknya, egoisme, bukanlah tipe penjara yang mudah dan gampang diatur dikarenakan ia sulit diketahui, sulit diraba dan tidak bisa dikarakteristikkan ke dalam kategori-kategori kepastian. Ego, meskipun sangat dekat dengan diri manusia, justru adalah tipe penjara yang paling signifikan menentukan kejatuhan manusia ke dalam situasi batas yang teramat pedih dan dalam.

Atas keempat situasi batas ini, si automaton sering diilustrasikan sebagai katak yang hidup di dalam tempurung; realitas kehidupannya tidak lebih dari batok kelapa yang tidak seberapa luas dibandingkan  kehidupan di luarnya. Dalam situasi ini, si katak mengalami ilusi dan fantasi seolah-olah telah hidup bebas walaupun sebenarnya ia hanya hidup di dalam kegelapan tempurung kelapa yang menghalangi penglihatannya ke luar.

Bintang si Automaton, boleh saja pernah berseragam bersekolah, tapi ia tidak pernah tahu untuk apa ia melakukan itu. Boleh saja ia telah menghabiskan banyak waktunya duduk diam di depan papan tulis, dan mendengarkan kata-kata gurunya lamat-lamat, yang sama sekali tidak akan ia petik hikmahya dengan cara akan segera ia lupakan. Bintang si Automaton, di separuh umurnya mengorbankan dirinya untuk bersekolah, tapi tidak sama sekali terdidik. Ia betul-betul masih di masa kegelapan, di dalam kesadaran temaram tempurung kelapa.

Praktis, bagi si automaton, masa pendidikannya hanyalah jadi pion sejarah yang diombang ambingkan kebijakan tak berdasar. Karena seperti mesin, jaringan syarafnya tidak berkembang maksimal dan mengalami kelumpuhan total. Ia kelak akan menjadi pribadi kalah dan tanggung, yang tidak memiliki wawasan keilmuan, wawasan sejarah, kemerdekaan indvidu, dan etos perjuangan dalam menegakkan suatu cita-cita.

Dengan kata lain, Bintang si automaton adalah aib, tapi bukan bagi siapa-siapa. Ia aib bagi diri dan masa depannya sendiri.


---

DAFTAR RUJUKAN

Berk, Laura E. Development Through The Lifespan Edisi Kelima. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Darmaningtyas. Sekolah yang Memiskinkan. Malang: Intrans Publishing, 2015.

Fakih, Mansour, et.al. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakara: Read Book, 2001.

Freire, Paulo, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservativ, Liberal, Anarkis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2018.

Fox, Dennis dan Isaac Prilleeltensky (editor), Psikologi Kritis, Metaanalisis Psikologi Modern. Jakarta: Teraju Mizan.

Harari, Yoval Noah. Sapiens, Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraaan Kepunahannya. Jakarta: Alvabet, 2017.

Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Jenkins, Richad. Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013.

Nuryanto, M. Agus, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book, 2001.

O'Neill, William F. Ideologi-ideologi Pendidikan . Pustaka Pelajar, 2011.

Santoso, Listiyono, dkk, Epistemologi Kiri, Yogyakarta: Ar Ruzz, 2007.

Smith, A William A. Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Storr, Antony. Freud: Peletak Dasar Psikoanalisis (Seri Empu Dunia). Jakarta: Grafiti, 1991.

Syariati, Ali. Tugas Cendikiwan Muslim. Jakarta: Srigunting, 2001.

Topatimasang, Roem. Sekolah itu Candu. Yogyakarta: Insist Press, 2010.

UU Sisdiknas Pasal 1 ayat 1

 

INTERNET

Amsal, Bahrul. Eksistensialisme Ali Syariati: Tafsir Kebebasan Manusia di Era Kenormalan Baru. http://kalaliterasi.com/2020/07/06/eksistensialisme-ali-syariati-tafsir-kebebasan-manusia-di-era-kenormalan-baru/

Kamahi, Umar. Teori Kekuasaan Michel Foucault:Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Jurnal Al-Khitabah, Vol. III, No. 1, Juni 2017 : 117 – 133 (http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Khitabah/article/viewFile/2926/2802)

Martono, Nanang. Dominasi Kekuasaan dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang pendidikan, (Jurnal Interaksi, vol. 8 (1) p 28-39,  , 2014), hal. 4 (https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan)

Septiadi, Anggar. Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme (2012):   https://indoprogress.com/2012/11/review-anggar-septiadi/

Siregar, Mangihut. Teori ”Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultural vol. 1 No.2 : 79-82 (2016) (http://media.neliti.com/media/publications/223848-teori-gado-gado-pierre-felix-bourdieu.pdf)

 

 



[1] Laura E. Berk, Development Through The Lifespan Edisi Kelima (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 156

[2] Yoval Noah Harari, Sapiens, Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu Hingga Perkiraaan Kepunahannya (Jakarta: Alvabet, 2017), hal. 91.

[3] Sigmund Freud membagi struktur jiwa manusia menjadi tiga lapisan: Id, ego, dan super ego. Id adalah lapisan terdalam yang bergerak atas prinsip kesenangan, tanpa aturan, dan sulit dikendalikan. Ego adalah unsur yang sudah mengalami moderasi atas tekanan id dengan kenyataan yang berisi aturan dan nilai-nilai. Super ego adalah tatanan yang menjadi nilai-nilai ideal yang dicerminkan ke dalam aturan bersama berupa norma, hukum, dan pranata ideal lainnya. Lihat Antony Storr, Freud: Peletak Dasar Psikoanalisis (Seri Empu Dunia), (Jakarta: Grafiti, 1991), hal. 70

[4] ibid

[5] Lihat pengertian gangguan kejiwaan dalam tinjaun mazhab Frankurt yang menerapkan gejala psikopatologis berupa histeria, halusinasi, fobia, neurosis ke alam kehidupan sosial masyarakat yang menunjukkan represi dan penipuan atas ideologi oleh kekuasaan negara. Lihat F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 58

[6] Tod Sloan, Teori-teori Kepribadian: Ideologi dan Yang Melampauinya dalam Dennis Fox dan Isaac Prilleeltensky, Psikologi Kritis, Metaanalisis Psikologi Modern, (Jakarta: Teraju Mizan), hal. 112

[7] UU Sisdiknas Pasal 1 ayat 1 menyebutkan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

[8] Pendidikan ala bank adalah metode belajar yang melihat peserta didik seperti bejana kosong. Seperti bank, peserta didik diposisikan benda mati dan diisi investasi (pengetahuan) sekehendak sang guru (investor).

[9] Mansour Fakih, et.al. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis (Yogyakara: Read Book, 2001), hlm. 23-24

[10] William A. Smith, Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 2

[11] Listiyono Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2007), hal.135

[12] Ibid. hal. 135

[13] Dalam buku Mazhab Pendidikan Kritis, pendidikan atau institusi sekolah tidaklah netral, independen, dan bebas kepentingan, tapi justru menjadi bagian dari institusi sosial yang syarat kepentingan kekuasaan, ideologi, dan pasar. Lihat Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hal. 2

[14] Anggar Septiadi, Pendidikan dan Kebutuhan Kapitalisme (2012):   https://indoprogress.com/2012/11/review-anggar-septiadi/

[15] Ibid

[16] Mengenai output pendidikan atau sekolah, penulis ingat dengan kedudukan sekolah yang diuraikan Adam Smith, pencetus ekonomi liberal, dalam The Wealth of Nations, yang memandang sekolah mesti berposisi sebagai skrup-skrup industri, yang berarti, tujuan utama sekolah tiada lain untuk menyediakan tenaga kerja profesional bagi keberlangsungan ekonomi industri (pasar)

[17] Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservativ, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 517

[18] M. Agus Nuryanto, Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hal. 57

[19] Tujuan pendidikan dalam arti seluas-luasnya dapat diuraikan ke dalam taksonomi pendidikan Bloom, yaitu menyasar tiga ranah kemampuan manusia/peserta didik. Pertama adalah ranah kognitif peserta didik, yang dijabarkan menjadi keterampilan berpikir, kemandirian berpikir, dan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan dimensi intelek peserta didik. Kedua yakni ranah afeksi, yang meliputi perilaku-perilaku emosi dan perasaannya berupa minat, kecenderungan, dan sikapnya sebagai manusia. Ketiga yaitu ranah psikomotorik yang menekankan kecapakan atau keahlian khusus semisal kemampuan bermusik, melukis, menulis, mengoperasikan alat-alat teknologi. Ki Hajar Dewantoro memiliki ungkapan berbeda dengan maksud yang sama: membentuk cipta, karya, dan rasa manusia.

[20] Baca Ideologi-ideologi Pendidikan tulisan William F. O'Neill yang diterbitkan Pustaka Pelajar, 2011.

[21] Ibid, hal. 57

[22] Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan, Fundamentalis, Konservativ, Liberal, Anarkis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 343

[23] Ibid, hal. 344

[24] Inilah dampak yang dihasilkan dari pola pendidikan gaya bank yang menghasilkan budaya bisu. Menurut Freire, ada 10 model pendidikan ala bank: 1) Guru mengajar, siswa diajar. 2) Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu segalanya. 3) Guru berpikir, siswa dipikirkan. 4) Guru bicara, siswa mendengarkan. 5) Guru mengatur, siswa diatur. 6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti. 7) Guru bertindak, siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan guru. 8) Guru memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan diri. 9) Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan siswa-siswa. 10) Guru adalah subjek proses belajar, siswa adalah objeknya. Lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3ES, 2018), hal. 54

[25] Roem Topatimasang, Sekolah itu Candu, (Yogyakarta: Insist Press, 2010), hal. 36

[26] Richad Jenkins, Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013) hal. 157

[27] Habitus dalam bahasa latin mengacu kepada kondisi, penampakan, atau situasi yang tipikal, khusunya pada tubuh. Bourdieu mengartikannya sebagai suatu sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Habitus adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan. Lihat Teori ”Gado-gado” Pierre-Felix Bourdieu yang ditulis Mangihut Siregar di Jurnal Studi Kultural vol. 1 No.2 : 79-82 (2016) (http://media.neliti.com/media/publications/223848-teori-gado-gado-pierre-felix-bourdieu.pdf)

[28] Nanang Martono, Dominasi Kekuasaan dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang pendidikan, (Jurnal Interaksi, vol. 8 (1) p 28-39,  , 2014), hal. 4 (https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan)

[29] Modal kultural (ilmu dan pengetahuan) adalah satu dari empat modal yang menurut Bourdieu sangat penting dimiliki oleh seseorang. Tiga di antaranya adalah modal ekonomi (dapat dikonversi langsung ke bentuk uang dan hak milik secara institusional), modal sosial (koneksi dan obligasi sosial serta dapat dikonversi ke dalam modal ekonomi dan status kebangsawanan), dan modal simbolik (modal—dalam bentuk apapun—selama direpresentasi secara simbolik).

[30] Ibid

[31] Umar Kamahi, Teori Kekuasaan Michel Foucault:Tantangan Bagi Sosiologi Politik, Jurnal Al-Khitabah, Vol. III, No. 1, Juni 2017 : 117 – 133 (http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/Al-Khitabah/article/viewFile/2926/2802)

[32] opcit

[33] Sejak dekade 1970-an, Orde baru melalukan pembangunan gedung-gedung sekolah berskala nasional melalui surat bernomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD, yang berhasil mendirikan gedung SD sebanyak 150.595 unit dalam kurun waktu 25 tahun. Lihat Darmaningtyas, Sekolah yang Memiskinkan (Malang: Intrans Publishing, 2015), hal. 7-11

[34] Salah satu uraian menarik dan reflektif mengenai kedudukan sekolah dapat Anda temukan dalam buku Sekolah itu Candu yang ditulis Roem Topatimasang terbitan Insist Press (2007, 2009, 2010) dan sebelumnya oleh Pustaka Pelajar (1998).

[35] Nanang Martono, Dominasi Kekuasaan dalam Pendidikan: Tesis Bourdieu dan Foucault tentang pendidikan, (Jurnal Interaksi, vol. 8 (1) p 28-39, 2014), hal. 8 (https://www.researchgate.net/publication/325119775_DOMINASI_KEKUASAAN_DALAM_PENDIDIKAN_Tesis_Bourdieu_dan_Foucault_tentang_Pendidikan)

[36] ibid

[37] Menara tinggi yang di puncaknya menyala api milik Sauron berbentuk mata yang terletak di gunung tertinggi Mordor. Suatu kawasan dalam legendarium di film fiksi The Lord of The Ring.

[38] opcit

[39] opcit

[40] Lihat Ali Syariati, Tugas Cendikiwan Muslim, (Jakarta: Srigunting, 2001), hal.49 

[41] Bahrul Amsal, Eksistensialisme Ali Syariati: Tafsir Kebebasan Manusia di Era Kenormalan Baru (http://kalaliterasi.com/2020/07/06/eksistensialisme-ali-syariati-tafsir-kebebasan-manusia-di-era-kenormalan-baru/)

[42] Ibid

[43] opcit

[44] opcit


(Disampaikan dalam diskusi terbatas yang diadakan LDSI Al Muntazhar 26 Juli 2020)