Gara-Gara Foucault

Eike kira kekuasaan tidak serta merta hanya berurusan dengan negara sebagai institusi koersif yang selama ini sering dianggap sebagai satu-satunya sumber. Atau bahkan kekuasaan adalah legitimasi yang dimiliki negara secara “ekslusif” untuk menundukkan warganya kepada suatu kepatuhan tertentu. Kekuasaan, seperti yang dikatakan Michel Foucault –seorang sosiolog cum filsuf pasca strukturalis– hanya dapat diandaikan dalam hubungan relasional. Artinya, setiap ada relasi, maka di situ ada kekuasaan.

Eike mengganggap ini perlu diangkat (kembali) ke permukaan untuk memahami bahwa selain melalui negara, kekuasaan itu tersebar di mana-mana.

Jadi tidak seperti dalam pengertian klasik, kekuasaan di mata Foucault lebih bersifat menyebar dari pada fenomena tunggal seperti yang diyakini selama ini.

Implikasi dari cara memahami kekuasaan seperti ini, maka dalam konteks sehari-hari, kekuasaan sangatlah mungkin diidentifikasi secara konkrit (dan kompleks) di dalam setiap hubungan yang je alami.

Je mungkin saja adalah seorang mahasiswa yang setiap hari berurusan dengan dosen, begitu juga sebaliknya, yang sehari-hari berada dalam jaringan hubungan kompleks civitas akademika. Atau seorang bawahan yang bekerja di perusahaan tertentu, atau mungkin juga sebaliknya, juga berada dalam jaringan sistem struktur korporasi. Atau mungkin saja je adalah suami dari istri je, juga mungkin sebaliknya, dan juga terlibat dalam relasi sosial yang jauh lebih besar di masyarakat. Kata Foucault, di setiap relasi itu, di situlah kekuasaan dapat eksis.

Tapi, pertanyaannya adalah, siapa yang menentukan siapa lebih berkuasa dari siapa? Kondisi apa yang memungkinkan siapa lebih berkuasa dari siapa? Elemen apa saja yang mendukung terjadinya kekuasaan? Prasyarat-prasyarat apa sajakah yang menjadi mungkin untuk seseorang berkuasa? Dan seperti bagaimana proses kekuasaan itu bekerja dan dengan cara apa kekuasaan itu terjadi dalam relasi yang serba kompleks?

Je bisa saja menjawabnya melalui cara yang je sukai. Bisa mengambil contoh dari diri je sendiri, misalnya. Atau dalam kasus-kasus sehari-hari, hubungan seorang murid dan gurunya, mungkin. Dari mana je tahu seorang murid patut patuh di bawah wewenang gurunya? Kalau je pengikut pemikiran Weber, misalnya, mungkin je akan menjawab karena kharisma gurunya. Tapi, je juga mesti menerima, dari kacamata Faucauldian itu akibat relasi pengetahuan.

Sebenarnya melalui ini eike bukan mau menyoal relasi pengetahuan dan kekuasaan atau sebaliknya, yang disebut Foucault saling mereproduksi. Atau membahas secara sambil lalu konsep kekuasaan yang dinyatakan Foucault melalui karya-karyanya. Melainkan eike ingin berbagi sedikit tentang satu konsep Foucault yang juga penting: objektifikasi subjek.

Eike mengira konsep ini masih terus terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dan sering menjadi cara kekuasaan (bukan saja negara melainkan juga kelompok, komunitas, grup, person tertentu) menstigmatisasi dan kemudian menyingkirkan siapa pun dalam kehidupan sosial yang dianggap bertentangan dengannya.

Pertama eike perlu menjelaskan tentang apa itu objektifikasi subjek, dan yang paling utama siapa itu sebenarnya subjek bagi Foucault.

Eike mulai dari siapa sebenarnya itu subjek. Subjek dinyatakan Foucault sebagai entitas yang dibentuk secara spesifik dan khas dalam sejarah. Pengandaian ini sekaligus merupakan penolakan unsur metafisik dan otonom dalam subjek seperti yang dikonsepsikan pemikir-pemikir sebelum dirinya. Dengan kata lain, subjek bagi Foucault bukan seperti yang dinyatakan Rene Descartes atau pun Immanuel Kant, misalnya, yang berarti entitas yang universal dan “transparan”.

(Oh iya, jika je belum paham dengan pemakain istilah subjek, maka ganti dan identikkan saja dia sebagai manusia)

Subjek bagi Foucault karena entitas yang berada dalam sejarah, dan terbentuk di dalamnya, maka subjek dipandang Foucault mengalami konstitusi (ditentukan) melalui sejarah yang melingkupinya.  Di titik inilah pemahaman mengenai objektifikasi subjek menjadi terang.

Sementara objektifikasi subjek, secara sederhana dapat diterangkan sebagai proses ketika subjek ditundukkan menjadi objek atas kekuasaan atau wewenang tertentu. Implikasinya, objektifikasi subjek menghilangkan “ciri-ciri” dan “sifat-sifat” tertentu yang dimiliki secara esensil ataupun epistemologis dari subjek. Secara moral dan politik, objektifikasi subjek mengakibatkan dihilangkannya kebebasan dan ruang esksistensi bagi subjek.

Nah, bagaimanakah objektifikasi subjek itu berlangsung? Menurut Foucault, ada tiga modus yang mendasari subjek mengalami objektifikasi.

Objektifikasi subjek dapat dipahami, pertama, dari apa yang dinyatakan Foucault sendiri sebagai  “praktik pembelahan”. Praktik ini merujuk kepada suatu kondisi ketika subjek dijadikan objek melalui aktivitas pemilahan  dari dalam dirinya dan dari yang lainnya. Praktik ini melalui proses tertentu mengkategorisasi manusia dengan cara pelabelan dan stigmatisasi untuk menyingkirkannya dari kehidupan bersama. Foucault merujuk fakta historis ini seperti yang pernah di alami Eropa di abad 19 dengan memisahkan masyarakat tidak normal (pengidap lepra, kaum miskin, orang gila) dari masyarakat yang dinyatakan sehat dengan prosedur yang dimiliki dalam dunia medis.

Di bangsa sendiri “praktik pembelahan”, walaupun tidak sepadan, pernah dialami di masa orde baru ketika seluruh masyarakat yang berbau komunis disingkirkan dan distigmatisasi sebagai “yang lain” dan mesti dilenyapkan dari bumi Indonesia.

(Contoh yang lain dapat je sertakan di sini mengenai fenomena keagamaan yang seringkali menstigmatisasi dan melabeli golongan atau aliran keagamaan minoritas yang dianggap menyimpang dari keyakinan agama umumnya)

Kedua, manusia dibelah dan dijadikan objek melalui prosedur klasifikasi ilmiah. Praktik pembelahan ini dinyatakan Foucault terjadi dengan cara samar akibat melibatkan pengetahuan sebagai salah satu elemen yang menundukkan manusia melalui bahasa.

Kalau tidak salah tafsir, eike mengajukan kasus belakangan ini yang berkaitan dengan kebangkitan PKI sebagai contoh bahwa terjadi proses pembelahan subjek melalui ilmu pengetahuan yang berlawanan antara versi satu dengan versi lainnya. Bahkan, selama ini di bawah tirani pengetahuan tertentu, masyarakat Indonesia dibuat terbelah atas setuju tidak setujunya versi yang diajukan negara. Konsekuensinya jelas, bagi yang tidak sependapat dengan versi negara maka dengan sendirinya akan disingkirkan dan dilabeli sebagai antek-antek komunis.

Kasus yang lain juga dapat je dalami melalui aktivitas masyarakat yang selama ini sering kali berdebat kusir di linimasa medsos untuk saling merebut klaim kebenaran (dalam wilayah agama) dengan cara membangun pencapan negatif terhadap lawan debatnya melalui rezim diskursif yang dibangunnya.

Atas dasar rezim wacana, pengklasifikasian ilmiah tidak didasarkan kepada kekuasaan yang bersifat hierarkis atau siapa yang powerfull dan siapa yang powerless, melainkan secara inheren dikandung di dalam wacana itu sendiri yang secara khas sudah mapan dan dianggap sebagai satu-satunya tilikan pengetahuan.

Dengan cara demikian, wacana disebutkan Foucault adalah cara kekuasaan beroperasi tidak dengan cara menekan, koersif, intimidatif dan menindas, melainkan secara halus dan sulit terprediksi karena selain tidak nampak, juga tidak disadari memengaruhi dan mengendalikan sampai ke tingkat praktis seseorang (dapatkah je memikirkan mengapa ada seseorang melakukan misalnya, bom bunuh diri dengan cara suka rela, kalau bukan melalui rezim pengetahuan tertentu memengaruhi pikirannya sampai memungkinkannya bertindak demikian?).

(Atau coba pikirkan ulang tentang kebijakan “dua anak cukup” di masa orde baru, yang sebenarnya ditujukan kepada upaya kekuasaan untuk mengontrol populasi masyarakat dengan cara membangun wacana melalui pengetahuan yang sering dipropagandakan melalui institusi kesehatan. Program “dua anak cukup” adalah cara pemerintah menguasai tubuh masyarakatnya melalui pendisiplinan tertentu)

(Sekarang, coba je pikirkan juga melalui diskursus apakah suatu wacana membangun pembedaan antara yang benar dan yang salah, yang layak dan yang tak layak, yang harus dan yang tak harus? Otoritas pengetahuan apa yang menentukan semua itu?)

Yang ketiga adalah pembalikan dari modus-modus sebelumnya. Ini disebut Foucault sebagai “subjektifikasi”. Subjektifikasi adalah cara seseorang mengubah atau mengembalikan dirinya menjadi subjek setelah sekian lama mengalami objektifikasi. Proses ini hanya dimungkinkan jika si subjek mengalami pelampauan atas dirinya melalui keinsafannya sendiri. Dengan kata lain, si subjek berani menampilkan dimensi aktif dari dalam dirinya. Menurut Foucault proses subjektifikasi dapat dilihat secara genealogis dalam sejarah modernitas ketika manusia tampil dan berhasil keluar dari kekuatan eksternalitas budaya dan gereja yang selama berabad-abad mengalienasikan dirinya.

Subjektifikasi juga dapat dipahami dalam dua pengertian. Pertama ketika subjek menemukan otonomi kesadarannya dalam menentukan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukannya secara bebas.  Atas otonomi ini, subjek keluar dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Kedua, subjektifikasi berarti “kembalinya” secara tersirat “ke-aku-an” subjek melalui relasi yang saling terhubung yang memberikannya “keterhubungan kebermaknaan” di dalamnya. Dengan kata lain, “ke-aku-an” subjek bukanlah ditemukan dengan sendirinya dari dalam dirinya, melainkan dari keterhubungan relasi dengan “yang lain” di luar dirinya.

Eike kembali kepada peristiwa belakangan yang marak dibicarakan, mengenai pemutaran kembali film G30S/PKI yang kemudian dimunculkan pula film tandingan besutan Joshua Oppenheimer. Dari kemunculan dua film ini, terbuka kemungkinan terjadinya subjektifikasi melalui relasi pemaknaan yang menyandingkan dua pemahaman besar yang dikandung dari kedua film. Dengan kata lain, akan terbuka kemungkinan baru melihat dengan cara lain dalam memahami sejarah G30S/PKI bagi generasi sekarang.

Walaupun begitu, subjektifikasi dari contoh di atas tidak akan terjadi dalam konteks waktu yang singkat. Hal ini akibat subjektifikasi bukanlah pendasaran semata-mata terhadap subjek itu sendiri secara substansial, melainkan merupakan rangkaian proses terus-menerus di antara relasi struktur kompleks ideologi, politik, budaya, ekonomi, dan juga agama.

Itu berarti, untuk menjadi manusia yang sebenarnya di negeri ini adalah proses yang masih sangat panjang.

---

Terbit sebelumnya di Kalaliterasi.com
Sosiologi Setelah September

Sosiologi awalnya adalah disiplin ilmu yang lahir secara spesifik dari tatanan masyarakat Eropa abad pencerahan. Itulah sebabnya pendasaran teori-teori besarnya selalu mengacu kepada tipe yang khas masyarakat abad pencerahan. Bisa dikatakan sosiologi memang anak kandung abad pencerahan. Dia lahir dari syarat-syarat material yang ada dalam pergolakan masyarakat Eropa. Karena itu pula hampir semua dalil-dalil kemasyarakatan yang dikandung di dalamnya berwajah Eropasentris. Walaupun begitu, ada satu kesamaan dari teoritisasi dalil-dalil kemasyarakatan dalam disiplin ilmu sosiologi melalui tokoh-tokoh awalnya: wataknya yang mengafirmasi perubahan. Watak ilmu sosiologi yang khas ini mau tidak mau adalah dampak dari semangat zaman yang menjadi ciri utama pada saat itu. Tapi, sampai kurun waktu tertentu, sosiologi menjadi ilmu yang "dinormalisasi" ketika dia berpindah dari Eropa sebagai tanah kelahirannya ke Amerika Serikat yang nanti akan memunculkan satu tokoh sentral yang menjadi acuan hampir semua sosiolog awal di tanah air. Belakangan nanti, sosiologi juga masuk di Indonesia dengan paras yang sudah ter-amerikanisasi seiring keluarnya Amerika Serikat sebagai kekuatan adi kuasa pasca Perang Dingin melawan Uni Soviet. Nah, implikasinya terhadap perubahan sosial di Indonesia, dengan wajah sosiologi yang sudah ter-amerikanisasi, membuat sosiologi selama ini menjadi ilmu yang ikut melegitimasi keadaan status quo di negeri ini sampai sekarang. Makanya eike berkeyakinan, perubahan sosial yang cenderung lambat di Indonesia, salah satunya akibat masih berkiblatnya sosiolog-sosiolog hari ini kepada teori-teori sosial yang lahir dari Amerika Serikat. Padahal dalam sosiologi awal, ada salah satu tokoh yang cukup familiar di mata sebagian intelektual yang bisa menyumbangkan alternatif pemikiran untuk merangsang terciptanya perubahan di negeri ini. Bahkan, sekarang hampir semua ilmu sosial dapat berkembang pesat karena pendasarannya sedikit banyak diambil dan terinspirasi dari pemikiran tokoh yang satu ini. Tapi, sayang tokoh ini sudah lebih dulu diidentikkan dengan hantu yang belakangan kembali dibangkitkan. Coba kalau tokoh ini dilihat dari dimensi keilmuannya, tinimbang sebagai sosok "angker" di belakang partai -yang-ah-je-tahu-sendiri-maksud-eike!

Sang Manusia dan Dua Paras Jiwa

LITERASI sufisme menarasikan kesadaran manusia ibarat puncak gunung es menjulang di atas permukaan laut. Yang tampak di permukaan hanyalah keping kesadaran yang menyimpan parasnya di bawah dasar lautan.

Paras tersembunyi di bawah permukaan laut itu, dalam literasi sufisme disebut sebagai jiwa.

Jiwa, secara ontologis dinyatakan sebagai pangkal kaki yang menggerakkan paras kesadaran di permukaan. Itulah sebabnya, banyak pendakuan sufisme menaruh kedudukan fundamental terhadap jiwa. Ketika jiwa itu baik, baik pula paras kesadaran di permukaan. Jika jiwa itu buruk, buruk pula penampakkannya.

Literasi Quranik, mengamsalkan jiwa sebagai wadah mangkuk terbalik. Di dalamnya, terpancar misykat. Misykat, wadah “yang Ilahiat” memancarkan asmanya. Pancaran asmanya disebut  al Qur'an merentang di sepanjang arah ke timur maupun ke barat. Barang siapa mengotori misykatnya, pancaran “yang Ilahiat” bakal putus dan terdistorsi. Sebaliknya, barang siapa menjaga  kebersihan misykatnya, ibarat bening kaca, benderang pula  “yang Ilahiat” memancar ke permukaan.

Paras kesadaran dengan begitu dalam dalil-dalil sufisme bergantung dari situasi kejiwaan. Jiwa-lah induk kesadaran. Tiada kesadaran yang baik tanpa keberadaan jiwa yang baik.

Rumusan serupa dapat ditemui pula dari pemikiran seorang pencetus psikoanalisis, Sigmund Freud. Semenjak membantah dalil-dalil kesadaran Cartesian, Freud sebaliknya memperkenalkan libido manusia yang banyak mengintervensi kesadaran. Bagi Freud, kesadaran bukanlah satu-satunya faktor kunci pemahaman manusia. Libido-lah paling banyak menentukan kesadaran. Bahkan, kesadaran hanyalah citra libido yang bekerja diam-diam di bawahnya.

Libido menurut Sigmund Freud selalu bekerja berdasarkan prinsip kesenangan. Dia adalah pusat jiwa yang menghendaki hasrat segera mesti terpenuhi. Paradoksnya, kesenangan libido tidak serta merta dapat mencukupi kebutuhan dirinya. Dengan kata lain, libido adalah hasrat yang tidak akan pernah terpuaskan sampai kapan pun.

***

DUA kisah jiwa di atas sama-sama dialami manusia.  Jiwa-ilahiat selalu mengajak sang manusia kepada “keterikatan kepada yang suci.” Jiwa-ilahiat bahkan selalu mengajak manusia menemukan paras otentiknya di “ketinggian” puncak-puncak keadaban.

Sebaliknya, jiwa-libidinal merupakan “liang pasak” keinginan manusia agar rela bertungkuslumus di “kerendahan” lembah tak berdasar. Ibarat mulut sumur menelan apa saja tanpa diketahui seberapa dalam lubang yang dimiliki. Menyedot apa saja. Meringkus segalanya. 

Kisah manusia terjebak jiwa-libidinal tak bisa disepadankan dengan kisah yang diliterasikan tradisi sufisme. Sang manusia dalam konsepsi antropologi-filosofis sufisme adalah karakter manusia yang bersetia dengan ideal-ideal “jiwa-ilahiat”. Agama-agama menyebut manusia yang hidup dalam idealitas “jiwa-ilahiat” sebagai para nab-nabi utusan Tuhan.

Sebaliknya, kisah manusia terikat  jiwa-libidinal, adalah orang-orang yang melahirkan tragedi, dan mati sebagai orang yang dikutuk peradaban.

***

FRIEDRICH Nietzsche melalui Beyond God and Evil. Nietzsche mengucapkan suatu isyarat lahirnya tragedi manusia yang ditengarai hasrat yang dikandung diri manusia itu sendiri. Jauh lebih radikal dari dua kisah di atas, Nietzsche bahkan menyatakan manusia adalah mahluk yang menanggung tragedi semenjak asal keberadaan. Mahluk malang tanpa pegangan, kecuali  hasrat dirinya sendiri melahirkan tragedi untuk menguasai suatu segala.

Abad 21 ibarat identifikasi Nietzsche mengenai kondisi kehidupan yang melahirkan tragedi demi tragedi. Sang manusia mengalami banyak kekalahan demi kekalahan di hadapan totalitarianisme “rezim hasrat.” Bahkan manusia di era sekarang --meminjam rumusan Thomas Hobbes ketika berhadapan dengan konteks silam masyarakat Eropa: bellum omnes contra omnia, perang semua melawan semua.

Bellum omnes contra omnia dalam politik menandai kekuasaan adidaya tirani dan totalitarian menindas golongan satu atas golongan lain. Dalam ekonomi, hasrat merusak kemakmuran bersama melalui rezim pasar global. Dalam hukum, hasrat merongrong tatanan keadilan dan kejujuran. Dan dalam kebudayaan, akibat hasrat konsumerisme, manusia menjadi semakin terasing dari dirinya sendiri. Bahkan dalam agama, hasrat bagai sang raja secara imperatif harus diakui sebagai satu-satunya tuan kebenaran.

Dominasi hasrat, akhirnya, membuat sang manusia menjadi mahluk dengan kesadaran temaram. Sang manusia terombang-ambing kehilangan pegangan. Tanpa ada sandaran untuk mencandra kebenaran dan keutamaan. Dikotak-kotakkan diperdaya libido di semua lini kehidupan.

Republikanisme dan Warga Negara sebagai Subjek Politik: Suatu Telaah Singkat

Penulis: Robertus Robert & Hendrik Boli Tobi
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN 978-979-1260-32-9
ix + 219 hlm, 14 x 20,3 cm


MELALUI suatu kesempatan, Robertus Robert menyatakan kaburnya konsep republik sebagai basis pemahaman mengantarai interaksi antara warga, posisinya di tengah negara, dan pemilahan hak dan kewajiban sebagai warga negara, adalah sumber masalah yang sekarang banyak menyebabkan isu-isu kewarganegaraan di negara ini belum dapat terpecahkan. Masalahnya menjadi semakin dalam akibat sejauh ini wacana kewarganegaraan tidak pernah mengemuka dalam khazanah ilmu-ilmu sosial-politik dan hukum.

Secara historis, wacana republik sebagai basis kedaulatan warga Indonesia hanya pernah muncul sekali di saat sidang persiapan kemerdekaan Indonesia. Itu pun konteks pemikiran mendasarinya belum radikal mengupayakan suatu dalil teoritis yang akan memungkinkan setiap warga negara dipandang sebagai subjek politik, dan memiliki dasar hukum yang setara dalam negara.

Menurut Robertus Robert, republik dipilih sebagai bentuk negara kala persiapan kemerdekaan Indonesia, hanya berdasarkan politik diferensiasi sederhana dari bentuk negara yang ada pada saat itu. Republik dipilih sebagai bentuk negara hanya karena ingin membedakan negara Indonesia di masa depan dari bentuk negara berbasis feodalisme yang mencuat dengan model pemerintahan kerajaan.

Kedua, republik menjadi satu-satunya pilihan hanya untuk menjadi dasar legitimasi bagi kekuasaan negara pasca kemerdekaan saat itu agar absah berdasarkan suara seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa itu, kekuasaan negara pasca kemerdekaan hanya meneruskan dan tidak memutuskan mata rantai bentuk-bentuk pemerintahan berciri tradisional dan feodalistik. Semangat dan model kekuasaan ini akan sangat berbeda dengan cita-cita founding father saat itu yang menghendaki suatu bentuk negara yang menjunjung kesetaraan dan bersifat modern.

Praktis pasca kemerdekaan, republik sebagai suatu konsep politik dan bentuk negara, tidak pernah lagi dibincangkan. Padahal, menurut Robertus Robert, melalui pemahaman republik-lah yang akan menjadi fondasi bernegara ketika mendasari praktik-praktik politik warga negaranya. Hal ini juga sekaligus akan memberikan dalil-dalil kewarganegaraan secara epistem dan ontologisbagi bagi setiap individu dalam  hubungannya sebagai warga  negara dan negaranya.

Tapi, akibat minimnya penggalian makna republik, ditilik dari konsep filosofis, pandangan politik, dan hukum, konsep republik akhirnya hanya menjadi terma yang kabur dan ahistoris. Juga, apa implikasi-implikasinya terhadap kehidupan warga negara dalam hubungan dengan negaranya menjadi sulit diterangkan. Bahkan, imbas dari gelapnya makna republik, dan minimnya pencarian dan penggalian atasnya, republik sudah hilang dalam perbincangan intelektual sebelum ditemukan.

Atas beberapa pertimbangan itulah, sampai sekarang praktik-praktik yang mendasari keberadaan warga negara, kebebasan warga negara sebagai subjek politik, hubungannya dengan negara, dan hak dan kewajibannya dalam negara, masih ditandai dengan kecenderungan-kecenderungan yang mendeskreditkan warga negara dengan mengabaikan kedaulatannya dan posisinya di mata hukum dan politik.

Republikanisme Aritoteles dan Polis

Republik yang mendasari wacana kewarganegaraan berakarpanjang dalam pemikiran Aristoteles dan Cicero. Menurut Hannah Arendt hampir semua penelusuran pemikir republik menunjuk praktik dan pemikiran Athena klasik yang ditemukan dalam karya-karya klasik Aristoteles.

Dalam republikanisme, warga negara dan politik adalah satu mata rantai yang saling mengandaikan. Politik hanya mungkin jika ditunjang dengan konsep warga negara. Dan sebaliknya, warga negara hanya dapat eksis melalui kerja-kerja partisipasifnya dalam kerangka politik.

Kesatuan mata rantai yang saling mengemuka itulah yang menjadi inti dari republikanisme. Republikanisme mengyakini politik adalah wahana tindakan subjek politik dari warga negara. Itu berarti kebebasan menjadi kerangka dasar dalam suatu wahana politik yang mendasari suatu tindakan dari warga negara.

Kebebasan bagi republikanisme adalah tindakan. Tidak sebagaimana konsep kebebasan dalam liberalisme yang memiliki kecenderungan metafisik dan abstrak, kebebasan dalam republikanisme merupakan suatu upaya yang ditunjukkan dalam tindakan konkret. Itulah sebabnya, politik dalam republikanisme hanya dapat dilihat dari mereka yang bertindak langsung. Sebagaimana yang diandaikan Hannah Arendt, rasion d’etre politik adalah kebebasan, dan medan pengalamannya adalah tindakan.

Melalui pandangan republikan, ide mengenai siapa itu warga negara hanya bisa dilihat dalam hubungannya dengan polis. Menurut Hannah Arendt, polis sebetulnya bukan negara kota dalam lokasi fisiknya: ia adalah organisasi rakyat karena tumbuh dari bertindak dan berbicara bersama-sama, dan ruangnya yang sesungguhnya bertempat di antara rakyat yang hidup bersama demi tujuan ini, tak peduli di mana pun kebetulan letaknya.

Dengan kata lain, polis tidak serta merta hanya dimaknai seperti selama ini dipahami sebagai negara-kota. Pemaknaan demikian hanya akan membuat makna polis menjadi sekadar teritorial geografis dan bersifat lokal spasial. Implikasinya kemudian membuat polis menjadi suatu fenomena diam dan statis dari suatu kawasan geografis.

Dalam imajinasi masyarakat Yunani kuno, polis adalah suatu wahana yang berbeda dengan oikos. Perbedaan polis dengan oikos berdasarkan suatu pengertian bahwa polis adalah “ranah publik kehidupan politik.” Oikos sebagai ranah privat yang menjadi titik seberang dari polis diandaikan sebagai “ranah privat kehidupan rumah tangga.”

Melalui konteks yang lain, polis menemukan padanan latinnya dalam res publika yang secara subtansial sangat berbeda dengan oikos yang bergerak dalam ranah yang lebih privat.

Menurut Hannah Arendt, polis adalah wahana yang digerakkan dengan semangat dan sistem berpikir “logika deliberatif.” Di bawah motivasi demikian, individu yang tampil dalam polis adalah subjek yang mencari kebutuhan mencari apa yang terbaik bagi orang banyak (yang umum, yang publik). Itulah sebabnya, polis selalu merujuk ke dalam suasana yang spesifik berupa dalam “kerangka kebersamaan.”

Sementara oikos dalam pengertian Aristotelian menundukkan segala urusannya di dalam “logika pertahanan hidup”. Di masyarakat Yunani kuno, oikos berarti wahana yang berurusan dengan benda-benda dalam konteks perdagangan, beranak pinak, dan perang. Dengan demikian, dua wahana ini secara esensial sangat berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan dengan cara semena-mena.

Percampuran dua wahana ini, akibat dua “sistem” yang berbeda akan menunjukkan segi krisisnya apabila tidak ada pemisahan secara total antara oikos dan polis. Dalam pengenalan lebih lanjut polis inilah yang menjadi akar kata dari politik.

Melalui pendasaran inilah, dalam pengertian Aristotelian dan republikanisme awal siapa itu warga negara menemukan pengertiannya. Pertama, warga dalam polis berdasarkan pemilahan antara polis dan oikos adalah individu yang sudah meninggalkan urusan-urusan privatnya. Dalam konteks masyarakat Yunani kuno, segala urusan privat diserahkan kepada golongan perempuan dan budak. Kedua, dalam arti yang lain, pemisahan ini juga dipahami dalam konteks bahwa warga yang berurusan dengan polis tidak boleh menggubris atau ambil bagian dalam urusan-urusan privat.

Dengan kata lain, siapa itu warga negara adalah mereka yang telah memenuhi kualifikasi dalam arti telah melampaui urusan privat dengan mengedepankan urusan publik (polis) dengan syarat tidak lagi terikat kepentingan-kepentingan pribadinya. Dalam hubungannya dengan kebebasan, warga negara adalah subjek politik yang benar-benar bertindak atas dasar dorongan “kepublikan” tanpa bisa diintervensi oleh siapa pun dalam urusan privatnya.

Pengertian yang lebih dalam mengenai siapa itu warga negara juga dapat ditemui dari pemilahan Aristoteles tentang phone dan logos. Phone adalah kemampuan untuk menyuarakan sesuatu, misalnya rasa lapar, rasa sakit dlsb. Phone adalah kemampuan yang dimiliki hewan dan juga manusia. Namun, logos adalah kemampuan ekslusif yang hanya dimiliki manusia, yakni kemampuan yang untuk berdialog secara deliberatif dan rasional, sehingga dengan itu manusia mampu menyuarakan –tidak saja rasa sakitnya, misalnya—tetapi tentang apa yang adil dan tidak adil bagi kehidupannya.

Logos dalam wahana polis, dengan begitu adalah kemampuan warga negara untuk membangun dan menyuarakan dialog dalam kerangka yang deliberatif dan rasional. Itu artinya politik selalu mensyaratkan pertemuan rasional melalui dialog dalam bentuk praktik. Politik adalah urusan untuk mencapai kebaikan bersama dengan cara deliberatif demi memenuhi kebutuhan dan tuntutan keadilan itu sendiri.

Dengan demikian, Aristoteles memandang politik atau polis bersifat konstitutif dalam pendasaran mengenai siapa itu manusia. Manusia sebagai mahluk politik adalah individu yang hidup dengan logos.  Aristoteles  mengandaikan bahwa manusia yang hidup tanpa politik berarti mengingkari logos sebagai kemampuan ekslusif yang dimilikinya. Hal ini didasarkan kepada pengertian bahwa manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup dalam logos, dan logos hanya dapat diandaikan dalam polis. Singkatnya, kualitas manusia hanya bisa diukur melalui keterlibatannya di dalam polis.

Cicero, Romawi Kuno: dari Zoon Politikon ke Homo Legalis

Cicero-lah orang yang memodifikasi secara mendasar ideal republikanisme awal dari pemahaman zoon politikon menjadi homo legalis. Pergeseran ini ditandai dari cara Cicero memahami polis bukan sekadar keberadaan alami bagi orang yang mengyakininya, melainkan suatu persekutuan yang memiliki dimensi legal-formal dan satu-satunya yang dianggap sah.

Dengan demikian, orang-orang Romawi kuno-lah yang pertama kali yang menganggap polis bukan seperti yang dipahami dalam pengertian Aristotelian, yakni hanya dalam dimensi moral-politiknya, tapi juga sebagai res publika. Res publika dalam nuansa yang lebih demografis dinyatakan Cicero sebagai; an “assemblage” of people in large numbers held ini common when it came together “ini agreement with respect to justice” and “for the common good”, regardles of the form of government and citizens alike.

Dalam pengertian yang diberikan Cicero, maka perbedaan mendasar siapa itu warga negara dari konsep warga negara Aristoteles adalah ditandai dari keberadaan keperluan praktis dan tata kemasyarakatan yang konkret. Menurut Robertus Robert pengertian warga negara Aristoteles lebih didasarkan kepada kapasitas moralnya terlebih dahulu dibandingkan Cicero yang lebih mengutamakan aspek legal warga negara berupa kedudukan hukumnya di hadapan negara. Dengan kata lain, siapa itu warga negara diarahkan sebagai peran, status, dan kedudukan hukum dari “orang banyak”.

Cicero melalui konsep warganya yang lebih legal-formalis, dengan kata lain memperkenalkan republik sebagai persoalan rekonstruksi hak dan kewajiban dalam arena relasional antara pemerintahan dan warga. Pengandaian ini berarti setiap pemerintahan dituntut untuk bersetia dengan ideal keadilan, atau menurut Robertus Robert “ikatan kepada yang adil”. Sementara warga yang baik adalah mereka yang memegang tanggung jawab dan taat terhadap hukum.

Singkatnya, pergeseran konsepsional dalam antropologi filosofis siapa itu warga negara (subjek politik) Aristotelian yang secara moral teleologis dinyatakan sebagai subjek yang bermoral melalui logos dalam polis, maka dalam pengertian Cicero, siapa itu subjek politik adalah mereka yang dipandang melalui aspek legalis-instrumentalis sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan taat kepada hukum.

Implikasi dari konsep antropologi filosofis siapa itu warga negara dari Aristoteles dan Cicero dengan sendirinya akan memberikan pengertian bahwa warga negara dalam tradisi Athena adalah subjek politik yang bertindak bebas dalam polis, dan dalam tradisi Romawi kuno, warga negara ditandai dengan keberanggotaan dalam sebuah komunitas bersama atau hukum bersama yang bisa identik dengan sebuah komunitas teritorial.

---

*Saduran dan dikutip dari bab 7 Kewarganegaraan dalam Republikanisme dalam buku karangan Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi: Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan Dari Marx sampai Agamben

Selamat Jalan, Tuan Presiden, Gabriel García Márquez



Selamat Jalan Tuan Presiden
Karangan Gabriel Garcia Marquez
yang terkenal dengan Seribu Tahun Kesunyian



Kemengan terbesar dalam hidupku adalah bila semua orang melupakanku.

Barangkali ironi, barangkali juga adalah paradoks. Dua pengertian ini menjadi sejenis benang merah yang menghubungkan empat cerita Gabriel García Márquez dari Selamat Jalan, Tuan Presiden, kumcer yang diambil dari Strange Pilgrims. Manusia sesungguhnya adalah mahluk yang menanggung ironi, dan juga belenggu kesepian. Di suatu waktu ia bisa menjadi seseorang yang di tiap waktunya disorot lampu panggung, tapi ketika dia susut, tak ada satu pun mulut dan mata yang menyanjungnya. Kesepian, dengan demikian adalah saat-saat kritis ketika semua mata mulai luntur dan menghilang dari tubuh Anda, pergi tanpa sisa dengan suara yang bisu meninggalkan kita di suatu keadaan yang tiba-tiba menjadi asing. Kumcer ini dibuka dengan kisah seorang bekas presiden yang dipapar kesepian pasca digulingkan dari kekuasaannya. Dia presiden yang telah melewati dua perang dingin. Presiden yang memimpin suatu negeri dengan cara yang tidak disenangi warganya. Tapi, kesepiannya bukan kesepian yang biasa akibat pengasingan yang dia alami sendiri. Jauh dari negerinya, di suatu negara yang sangat berbeda dari kampung halamannya, dan juga tak ada satupun yang mengenalnya. Di suatu sudut taman daerah yang dikelilingi danau, perubahan sangat cepat berlalu, di bawah pepohonan berdaun kuning, sambil melihat angsa-angsa berdebu, waktu bukan saja telah banyak mengubah dirinya, melainkan juga dunianya. Kekuasaan memang ada masanya, ada batasnya. Namun, jika suatu hasrat keabadian tiba-tiba dimentalkan dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari hanya kekuasaan yang berada di atas singgasana, maka sebesar apapun kekuasaan itu akan jatuh juga. Apalagi jika itu terjadi bagi seseorang yang sudah berusia renta. Sang presiden sudah berumur tujuh puluh tiga tahun, masa-masa tua yang juga digerogoti penyakit yang awalnya membuat bingung semua dokter yang telah banyak memeriksanya. Mereka mencari di hatinya, di dalam ginjal, pankreasnya, prostatnya, di mana pun tak ada penyakit. Sampai akhirnya penyakit itu dikatakan mengendap ditemukan di bagian tubuh yang ditunjuk dokter dengan jari telunjuknya: kepala. Semuanya memang dimulai dari dan dalam benak. Scholar psikologi bahkan mendefenisikan diri kita sebagai apa yang kita pikirkan. Ini semacam sugesti yang bisa membuat Anda akan menjadi super hero jika Anda memang berpikiran demikian. Atau seorang miliarder yang akhirnya secara tidak sadar akan menuntun Anda bekerja layaknya seorang miliarder mengumpulkan pundi-pundi kekayaan di tiap harinya. Itulah kekuatan sugesti, atau dengan kata lain suatu pikiran. Sugesti memang memiliki dampak yang tidak ringan jika Anda selalu mendengung-dengungkan tujuan hidup Anda di setiap saat dalam kepala Anda. Dengan sendirinya kekuatan sugesti akan mengubah cara Anda menjalani hidup sehari-hari, dimulai dari ketika Anda membuka mata sampai Anda menutupnya kembali di malam hari. Tapi, pikiran yang terlalu diidealkan akan menjadi semacam kangker yang menggerogoti pikiran Anda juga. Menjadi penyakit mematikan yang bahkan Anda tak tahu keberadaannya. Sang bekas presiden hanya pasrah dengan penyakit yang berimpikasi ke mana-mana di tubuhnya yang tidak lagi muda. Kita pernah menyaksikan bekas presiden di sebuah negeri yang mati walaupun dikerumuni alat-alat pernapasan yang serba canggih. Pengobatan yang serba mahal. Dan alat-alat yang sangat jarang disaksikan di puskesmas-puskesmas kampung Anda. Dia mati dengan meninggalkan bekas kekuasaannya yang dipimpinnya hampir seperdua abad. Dan dua juta penduduk yang sebagian di antaranya menyimpan dendam kesumat agar ia tidak saja mati secara normal, melainkan di gantung di sebuah lapangan terbuka yang disaksikan banyak orang akibat dosa-dosa sosial dan kemanusiaannya. Presiden semacam itulah yang kuat dugaan menjadi persamaan dengan bekas presiden ini. Tapi kehidupan masih bersetia dengannya. Dengan caranya yang unik segala pantangan yang dikemukakan dokternya, dilanggar dengan perasaan yang ringan seperti kapas untuk menghadapi kematian. Tapi, umurnya panjang. Bahkan di masa pengasingannya dia bertemu sepasang suami istri yang mengundangnya makan malam. Ngobrol panjang lebar jika ia datang berkunjung ke rumah teman barunya yang diketahuinya adalah petugas ambulance di rumah sakit tempattnya sering kali berobat. Tidak di negerinya, di bawah atap rumah teman barunya, sepasang  suami istri itu seperti penduduk di tempat negerinya pernah berkuasa. Suka-tidak suka memang bisa di mana saja, termasuk apa yang dirasakan istri dari sang suami yang sebaliknya menyukai sang bekas presiden. Di masa mudanya, ia pernah terlibat menjadi bagian dari sejumlah pemuda yang mendukung sang presiden menduduki tahta kepemimpinannya. Sembari dia menunjukkan selembar foto yang menunjukkan dirinya bersama sang bekas presiden di sebuah tempat di masa-masa sang bekas presiden berkampanye. “Mengejutkan” dia berbisik. “Aku selalu mengatakan, sebuah masa lebih cepat dalam sebuah foto daripada dalam kehidupan yang sebenarnya.” Begitulah perubahan itu hanyalah suatu alamat yang berlaku dalam selembar kertas. Sang presiden kembali memakan banyak daging, meminum kopi bercangkir-cangkir, dan menenggak minuman keras yang disesuaikan takarannya. Di umurnya yang tidak lagi muda, memasuki masa 75 tahun, sembari kembali merokok, takdir kematiannya hanyalah ketakutan yang sudah dia tanggalkan seiring ujung kehidupan yang sulit diprediksi. “Tuhanku…tidak ada yang bisa membunuh lelaki itu” ucap sang suami ketika melepas pergi sang Presiden. Sekalipun akhirnya, sang presiden menyatakan diri berniat kembali ke negerinya untuk memimpin sebuah gerakan reformasi. Hasrat kekuasaan memang tidak akan kemana, termasuk pada sang bekas presiden tua.

---

Pernahkah Anda terkesima kepada seorang perempuan dalam suatu perjalanan di atas angkasa. Ketika cukup waktu yang banyak yang bisa Anda manfaatkan untuk bertegur sapa, membicarakan tujuan perjalanan Anda, berbicara makan apa Anda sebelumnya, apa pekerjaan Anda, buku apa yang sudah Anda baca di hari ini, shampoo apa  yang Anda gunakan saat mandi di siang yang terik seperti hari ini, dan segala perbincangan remeh temeh yang membuat Anda akan merasa menjalani hari yang amat beruntung. Atau sebaliknya, Anda yang bertanya kepadanya: mau kemana kamu setelah ini, apa yang ada dalam isi kopernya; sudahkah kamu menikmati secangkir kopi sebelum menjalani penerbangan yang lumayan akan memakan banyak waktu ini; atau menyatakan bahwa lipstik yang kamu pakai cukup membuat kedipan mataku sanggup bertahan lebih dari lima detik; atau caramu memegang rambutmu yang kemudian kamu kibaskan tiba-tiba ke belakang membuatku mengerti mengapa perempuan sangat suka memanjangkan rambutnya. Tapi semua itu hanya kejadian dalam kepala Anda. Sang gadis cantik seperti langit-langit yang sulit dijangkau. Sekalipun Anda menaiki puncak gunung tertinggi. Jarak Anda hanya bersebelahan dengannya di saat Anda pun duduk di kabin yang sama karena memilih secara tiba-tiba nomor tempat duduk yang akan Anda tempati. Lagi-lagi ini ironi. Apalagi jika perempuan cantik itu hanya tidur selama perjalanan. Dan yang Anda lakukan hanya melihatnya melalui ketakjuban yang mendasari pandangan Anda. Anda dan dia dibekuk jarak yang dekat, tapi dipisahkan tanpa perbincangan apapun. Satu-satunya perbincangan hanya terjadi dalam kepala Anda, dan suara itulah yang Anda ajak berdialog. Anda bisa saja membangunkannya. Atau sengaja menyuruh pramugari di belakang pesawat agar dapat menyodorkan minuman dingin supaya dengan cara itu dia bisa terbangun. Mungkin juga Anda akan berharap terjadi guncangan ringan. Pesawat tiba-tiba saja masuk ke dalam gumpalan asap awan yang tebal, dan akibat sedikit guncangan yang mirip duduk di atas punggung banteng liar, dia mulai membuka mata dan menanyakan apa yang sedang terjadi kepada Anda. Dari situlah Anda menyadari bahwa di situasi itulah kemenangan Anda. Itu adalah momen peting. Sayang untuk dilewatkan. Itu adalah waktu yang tepat untuk membuka percakapan. Dan, akhirnya Anda akan menanyakan namanya, dan tidak lama kemudian Anda berdua sudah saling bertukar nomor telepon. Benar-benar pertemuan yang tak diduga-duga. Di negeri yang jauh bertemu seorang gadis dengan keistimewaan gadis-gadis tropis dengan warna kulit kuning langsat. Kulit yang hanya mengenal dua musim. Dan rambut hitam khas perempuan Asia. Sungguh, tapi itu adalah suatu ironi. Anda begitu dekat dengannya sampai-sampai hidung Anda dapat menangkap bau parfumnnya yang bercampur keringat. Menciptakan bau khas yang dapat mengundang seekor harimau jantan mempertahankan betinanya agar dapat melahirkan keturunan-keturunannya. Dan, semua itu hanyalah kejadian yang hanya Anda sendiri rasakan. Ketika Anda hanya mampu melihatnya dari dekat, begitu dekat. Betapa eksotisnya seorang perempuan yang tak dapat Anda jangkau, tapi Anda seperti akan mengatakan langsung di hadapannya bahwa Anda cukup tertarik kepadanya, si cantik yang tertidur di atas pesawat.

---

Waktu dan tempat salah menempatkan Maria de la Luz Cervantes. Atau Maria-lah sendiri yang malang. Dia terjebak salju yang tebal. Tepatnya mobil yang ia sewa menuju Barcelona yang dipakainya mogok di tengah perjalanan di saat salju turun dengan lebat. Selama satu jam ia mencari tumpangan. Di saat itulah kemalangannya bermula. Ia diangkut oleh sebuah bis yang berisi banyak perempuan dari segala usia. Dengan maksud mencari telepon untuk menghubungi suaminya, tanpa sepengetahuan Maria, akibat tertidur bis yang ditumpanginya membawanya pada sebuah bangunan yang mirip biara dengan tembok-tembok pagar yang tinggi di tengah hutan. Mereka pun turun, perempuan-perempuan yang dilihat Maria tidur selama perjalanan seperti anak-anak domba yang diperintah berjalan begitu saja. Tanpa suara sekali pun mereka mengikuti instruksi dari perempuan yang mirip seorang wasit lengkap dengan peluitnya. Mereka nampak tidak normal. Setiba di halaman bangunan yang cukup luas, ia berlari menuju sebuah gedung yang ia sangka mempunyai telepon. Tapi di sinilah ironiya; dirinya di sangka bagian dari perempuan-perempuan yang mengalami gangguan mental. Maria menemukan kejadian yang tidak pernah dia sangka sebelumnya; dia di bawa ke suatu tempat berupa tempat semacam rumah sakit jiwa. Lengkap dengan penjaga-penjaga bermuka tidak ramah dan dokter-dokter yang hanya terlihat di waktu-waktu tertentu. Maria hanya membutuhkan telepon untuk mengabarkan kepada suaminya, bahwa ia tidak akan sampai ke rumah seperti yang ia sudah janjikan kepada suaminya sebelumnya. Sebenarnya itulah yang sebenarnya akan terjadi. Namun, sekali lagi dia berada pada situasi yang serba salah. Malangnya, dan ini memang kemalangan Maria, di dalam rumah sakit jiwa itu tidak ada yang berhak memutuskan siapa sebenarnya yang waras selain suatu otoritas medis tertentu. Situasi inilah yang disinggung Michel Foucault tentang rezim medis tertentu. Kewarasan seseorang dipandang dari segi otoritas yang mengendalikannya. Seperti di abad-abad 16 di Eropa, bagaimana penyakit dikendalikan dari atas kekuasaan dengan menganggap siapa pun tidak layak berbicara atas dirinya selain dari otoritas itu sendiri. Termasuk kegilaan, adalah suatu kondisi yang tidak layak dinilai oleh diri sendiri. Segala upaya yang menjelaskan dirinya sendiri bahwa ia tidak gila akan dianggap sebagai kegilaan itu sendiri. Dapatkah Anda percaya omongan seseorang yang dinyatakan gila oleh medis bahwa dirinya tidak gila? Tentu akan sulit kita memercayai perkataan orang yang kita anggap gila. Apalagi jika ia membicarakan suatu pembicaraan yang tidak kita ketahui sebelumnya. Kita akan menganggap itu adalah hasil dari pikirannya yang kacau, atau imajinasi gila yang tak pernah terbukti sekalipun dalam kenyataan. Termasuk keinginan meminjam telepon. Siapa yang akan memercayai Maria, seorang perempuan yang turun bersama barisan perempuan-perempuan bergangguan mental dan tiba-tiba berlari ingin meminjam sebuah telepon. Orang gila mana yang memiliki teman di dunia lain yang ingin diajaknya berbicara melalui saluran telepon di saat musim begitu dingin. Kemalangan itu tetap berlanjut dari hari ke hari. Setiap hari menjadi semakin berat dengan menjalani model pegobatan yang dialami orang bergangguan mental. Makanan-makanan yang buruk, serat bentakan-bentakan ibu-ibu penjaga. Hari demi hari hingga dengan cara tertentu tanpa disadari Maria telah berada dalam sebuah ruangan kosong tanpa seorang pun dengan sebuah  telepon yang berbunyi. Dengan keberaniannya, entah dari mana, ia masih mengingat nomor rumahnya. Dia pun menelepon. Suaminya mengangkatnya, dan akibat kecurigaan yang tidak beralasan –selama Maria tidak pulang ke rumah, suaminya menyangka Maria pergi bersama mantan pacarnya dan meninggalkannya sendirian—dia merasa dipermainkan, dan menutup telepon secara tiba-tiba. Tapi suatu waktu entah dengan cara bagaimana suami Maria, yang seorang magi kabaret, datang ke rumah sakit biara tempat Maria mendekam secara paksa. Dan ketika melihat Maria yang bermuka lecet akibat menjatuhkan dirinya dengan melompat dari lubang jendela, hanya menganggap sang istri benar-benar gila. Di sinilah kemalangan itu yang sebenarnya, untuk tidak mengatakannya sebagai ironi, saat orang terdekat yang kita cintai juga tidak mampu membawa kita keluar dari lubang jarum penderitaan. “Aku bahkan tidak tahu berapa hari aku di sini, atau berapa bulan, atau tahun, yang aku tahu hanyalah setiap hari selalu lebh buruk dari yang terakhir,” dia mengeluh dengan seluruh jiwanya. “Aku tidak berpikir bahwa aku akan selamat.” “Semuanya sudah berakhir sekarang,” dia mengatakan sambil mengusap-usap bekas luka di wajahnya dengan ujung jarinya. “Aku akan datang setiap hari Sabtu. Lebih sering dari itu, jika direktur mengizinkanku. Kamu akan lihat, semuanya akan baik kembali.” Dia menatap Saturno (suaminya). Saturno mencoba menggunakan pesonanya. Dia mengatakan pada Maria tentang ramalan dokter. “itu berarti,” dia menyimpulkan, “Bahwa kamu masih memerlukan beberapa hari lagi untuk menyembuhkan penyakitmu secara total.” Maria mengerti tentang kebenaran itu. “Demi Tuhan, sayang,” dia memohon. “Jangan katakan padaku bahwa kamu juga mengira aku gila!” Begitulah titik yang sulit dipercaya. Tak ada seorang pun yang dapat menolong Maria de la Luz Cervantes. Bahkan, orang yang dia sangka dapat mengeluarkannya dari tempat terkutuk yang dipenuhi orang-orang gila. Tidak sekali pun suaminya sendiri.

---


Cahaya itu seperti air. Toto dan Joel berhasil mengubah cahaya seperti air laut yang maha luas. Kemampuan yang mereka miliki ibarat sang alchemis yang dapat mengubah setiap logam menjadi sebongkah emas murni. Di tiap malam rabu, ketika kedua orangtua keluar menikmati malam-malam pertunjukkan film, kedua anak berprestasi ini mengubah isi rumah mereka ibarat samudera yang di isi titik-titik pulau yang mengapung. Cahaya ibarat air. Karena itulah di malam “pengembaraan” mereka, lampu-lampu dinyalakan seterang-terangnya hingga menempus sela-sela pepohonan yang tumbuh di luar rumah mereka. Dari atas sebuah sampan alumunium yang mereka tempatkan dalam sebuah kamar, melalui kekuatan imajinasi mereka, mereka berubah menjadi dua orang pelaut yang mengapung-ngapung mencari daratan. Ibarat kenyataan yang sebenarnya, setiap benda yang mereka temui dari isi rumah menjadi benda-benda laut yang menunjang pelayaran mereka. Hingga Rabu berikutnya, kepergian kedua orangtuanya adalah karunia yang tak mereka sia-siakan. Setelah mendapatkan harapan mereka berupa seperangkat alat selam dan beberapa mainan sirip hiu, mereka kembali menjadi pelaut yang tangkas menyelam sampai ke dalam karang-karang tersembunyi. Mereka menyelam sampai di bawah tempat tidur, di bawah meubel yang diimajinasikan berupa benda-benda yang hanya ditemukan di kedalaman laut tertentu. Kekuatan imajinasi yang membuat mereka bagaikan seekor lumba-lumba, sesekali menjadi seekor hiu, mendorong mereka mengundang teman sekelas mereka agar ikut bermain di tiap rabu malam. Bermandikan cahaya yang disulap bagaikan air. Hingga satu apartemen itu memancarkan cahaya yang super terang sampai ke ujung jalan raya, seperti sebuah kemilau mutiara yang menyala terang diterpa cahaya mentari. Begitu berkilau hingga membuat mereka tidak menyadari betapa gembiranya mereka, dengan sampan alumunium, seperangkat alat selam, berenang di antara barang-barang kedua orangtua mereka, di dalam lautan, yang sebenarnya adalah sebuah ruangan di apartemen mereka yang jauh dari lautan sekali pun. Tapi begitulah anak-anak, kenyataan hanyalah keberadaan sederhana dibandingkan imajinasi yang jauh lebih dahsyat di mata mereka.

Dua Literasi Sang Aku

Ego atau diri dalam khazanah teori sosiologi adalah konsep yang mendua. Tidak sebagaimana dalam ilmu psikologi, diri dalam teori-teori sosiologi tidaklah berparas tunggal. Diri, atau ego, melalui teori-teori sosiologi, adalah serangkaian perubahan yang ditentukan dan dipengaruhi oleh hubungan-hubungan konkret masyarakat sebagai fondasi kenyataannya.

Diri yang berparas jamak, dengan begitu adalah rupa yang licin, dan bahkan mudah menipu. Erving Goffman, seorang sosiolog Amerika, mendakukannya melalui dramaturgi.

Tiada orang-orang yang tidak bermain peran dalam interaksi sehari-hari. Begitu kira-kira maksud dari teori dramaturgi Goffman. Baik-buruk, etis-tidak etis, bohong-tidak bohong, bahagia-tidak bahagia, adalah peran yang diambil setiap orang. Ibarat sinetron, di sana selalu ada peran antagonis dan protagonis.

Yang unik dari dramaturgi Goffman, sang manusia seringkali menyembunyikan peran utamanya melalui drama panggung. Di atas panggung, sang manusia bisa memakai topeng dan berperan baik, namun tidak sebaliknya di belakang panggung. Jauh dari sorot lampu panggung, di belakang panggung sang manusia kembali kepada watak sebenarnya melalui skenario yang disusunnya ketika hendak mementaskan dramanya.

Di atas panggung (front stage) dan belakang panggung (back stage) adalah metafora dramaturgi Gooffman. Dua medan itu seringkali tampak ambivalen. Semuanya tergantung skenario pertunjukkan. Peran sang manusia di atas panggung dan belakang panggung adalah tegangan yang melibatkan identitas yang sebenarnya tidak stabil, dan mudah berubah sejauh interaksi yang mengikatnya.

Itulah sebabnya, diksi persona (latin) “memalsukan” identitas seseorang melalui kata personal (inggris) yang berarti topeng. Person, yang menunjuk kepada diri, sebagaimana asal artinya, adalah topeng yang dipakai untuk menyembunyikan identitas diri seseorang yang sebenarnya.

Jika sudah demikian, yang manakah identitas asli seseorang: di atas panggungkah yang bersembunyi di balik topeng,  atau ketika turun ke belakang panggung yang jauh dari sorot mata masyarakat jamak?

George Mead, yang juga seorang sosiolog Amerika menyatakan identitas seseorang selalu berjangkar kepada dua kemungkinan: “i” dan “me”. "I " adalah aku bebas yang spontan, diri yang menjadi subjek dalam percakapan dan interaksi. Sementara "me" adalah saya yang menjadi objek dalam tindakan berbahasa melalui interaksi sehari-hari.

“I” atau “sang aku” didakukan Mead sebagai pasak dari nilai-nilai yang diyakini. Di dalam "I"-lah sang manusia menyimpan dan mengembangkan nilai-nilai yang dianutnya. "I" adalah tempat sang manusia berhadapan dengan subjektifitasnya. “I” adalah identitas asli atau “sang aku” yang bertopeng dan bersembunyi di balik person yang menghadap keluar.

Person, atau “me” sebaliknya adalah “sang aku” yang ditundukkan nilai dan aturan main masyarakat. Dalam masyarakat, “me” adalah identitas yang mengemban peran tertentu setelah “bernegosiasi” dengan kehidupan orang banyak. Kasarnya, "me" adalah identitas pragmatis yang licin mengubah perannya sesuai konteks masyarakatnya.

Masa sekarang, sang manusia banyak bersembunyi di balik topeng-topeng. Sang manusia membangun jarak antara “i” sebagai sang aku, dengan “me” sebagai topeng yang bermain peran. “I” dan “me” ibarat dua sknario di atas pundak “kejahatan” dan “kebaikan” yang saling menipu sang manusia.

“Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri”. Begitu salah satu bunyi syair Gurindam 12 Raja Ali Haj, seorang penyair dari masa silam. Syair didaktik ini mendedahkan sesuatu yang misterium dari “diri”, yang sebenarnya adalah pintu masuk mengenal “diri” Tuhan yang Maha Dalam.

Siapa mengenal “diri-nya”, maka telah mengenal Tuhannya, juga adalah ungkapan “perjalanan” yang ditemui dalam tirakat-tirakat sufisme. Barang siapa berjalan mengenal “ego dirinya”, maka dia bakal membuka selubung tabir tempat dia mengenal Tuhannya.

“Diri” dalam dua literasi syair dan sufisme, adalah pangkal utama dari semua topeng-topeng identitas. “Tempat” sang aku berpulang dan berkenalan dengan dirinya yang sebenarnya. Di sanalah “sang aku” menemukan asalnya. Dalam dua literasi syair dan sufisme, asal sang aku adalah “Sang Pemilik semua Diri”.

Ketika sang manusia di era sekarang banyak memuja “person-person” yang menipu, alangkah baiknya kita berbalik arah berjalan “pulang” menemukenali diri yang sebenarnya. “Sang aku” seperti yang diliterasikan dalam syair 12 gurindam dan tirakat-tirakat sufisme. “Sang aku” yang reflektif mencari identitasnya yang asali.

Hatta, “diri”, “sang aku” atau “self”, bukanlah apa yang tampak dalam gambar-gambar yang mudah ditangkap mata. Diri yang demikan ibarat pasir gersang drama modernisme yang menyuguhkan fatamorgana. Semuanya menguap tanpa sisa, dan licin menipu seperti minyak. Ibarat kisah burung sufi Simurgh mencari Maha Raja Para Burung, “Sang aku” sejati hanya bisa ditemukan di dalam “sang aku” itu sendiri sebagai pangkal segala asal.

---

Terbit sebelumnya di kalaliterasi.com, 12 September 2017

Kewarganegaraan dalam Tinjauan Sosiologi Kewarganegaraan

Penulis: Robertus Robert & Hendrik Boli Tobi
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN 978-979-1260-32-9
ix + 219 hlm, 14 x 20,3 cm


Tiga pengertian kewarganegaraan: Pertama, kewarganegaraan sebagai bagian dari demokrasi yang dinyatakan dalam bidang politik bahwa semua warga negara setara di hadapan negara. Kedua, kewarganegaraan dimengerti sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Ketiga, kewarganegaraan sebagai keberanggotaan dari komunitas yang khas dan hubungan-hubungan sosialnya yang khas pula.

Ditinjau dari teori-teori sosiologi, kewarganegaraan disebutkan Brian S. Tunner sebagai gejala yang beciri sosiologis. Dari teori-teori sosiologi klasik, dua pemikir sosiologi awal, yakni Karl Marx dan Max Weber, secara tersirat sudah membahas kewarganegaraan melalui tulisan-tulisan mereka. Marx misalnya, seperti yang dikemukakan dalam buku ini, memunculkan konsep kewarganegaraan yang khas melalui pemikirannya setelah sebelumnya mengajukan kritik terhadap Bauer yang mengulas peristiwa orang-orang Yahudi Jerman yang berjuang mendapatkan status kewarganegaraan di negara Jerman.

Kritik Marx terhadap tulisan Bauer menyangkut dua hal, yang pertama, berkaitan dengan agama sebagai sumber masalah alienasi manusia yang dilihat melalui relasi agama dan negara, dan yang kedua kritik fondasionalnya terhadap kapitalisme yang dinyatakannya sebagai sumber dari keterasingan manusia yang sebenarnya.

Menurut Marx, berbeda dengan Bauer, agama bukanlah sebab utama keterasingan, toh jika disebut agama yang menjadi dasar keterasingan dalam negara, Marx mengambil contoh Amerika yang mengambil bentuk negara yang tidak memihak kepada satu agama sebagai fondasi kenegaraannya adalah negara yang dinyatakan “baik” walaupun masyarakatnya banyak menganut agama tertentu. Berbeda dari Jerman atau Prussia waktu itu di mana Kristen menjadi “agama resmi” negara, sehingga dinyatakan Bauer sebagai sumber keterasingan rakyat Jerman.

Dengan menunjukkan kelemahan analisa Bauer, Marx mengemukakan pemilahan dua konsep masyarakat berdasarkan apa yang ia sebut political community dan civil society dalam konteks masyarakat kapitalis. Menurut Marx dalam dimensi political community, manusia dilihat dan menyatakan diri sebagai makhluk komunal. Dalam dimensi ini, manusia memperlakukan manusia yang lain dengan cara yang sederajat dalam negara.

Sementara dalam civil society, manusia dimaknai sebagai makhluk privat. Akibatnya, dalam civil society, manusia melihat manusia lainnya sebagai alat. Dalam civil society, menurut Marx, kaum borjuasi memiliki keleluasan untuk menguasai segelintir orang demi mencapai kepentingan mereka. Artinya, tidak ada kesetaraan dalam konteks civil society diakibatkan munculnya manusia satu yang memperlakukan manusia lainnya sebagai alat pemenuhan kepentingan pribadi.

Singkatnya, menurut Marx, kesetaraan yang ada dalam political community hanyalah semu semata akibat adanya penjajahan manusia atas manusia lainnya di wilayah civil society. Bagi Marx, kewarganegaraan yang sebenarnya harus diperjuangkan dalam wilayah civil society dengan mengusulkan suatu model masyarakat baru yang dikenal sebagai masyarakat komunis.

Sementara Weber jauh lebih teliti mengamati perkembangan terbentuknya kewarganegaraan melalui sejarah tumbuhnya kota dan pasar dari era masyarakat klasik, pertegngahan, dan modern.

Menurut pendakuannya, Weber melihat status kewarganegaraan pertama-tama muncul seiring dengan fungsi kota sebagai benteng pertahanan dan pasar sebagai arena pertukaran. Kota-kota di masa peradaban klasik dibangun dengan maksud mempertahankan diri dari serangan bangsa lain berupa didirikannya tembok-tembok tinggi hingga disebut benteng. Melalui konteks ini, masyarakat yang ikut mendirikan dan mempertahankan benteng dari serangan bangsa luar menjadi warga negara yang memiliki kedudukan penting dimasyarakat. Itulah sebabnya menurut Weber, di kemudian hari militer menjadi unsur penting dari sebuah kota yang sekaligus menjadi dasar kewarganegaraan.

Di sisi lain, Weber juga menyoroti perkembangan selanjutnya yang ditandai dengan kehadiran gilda-gilda yang lahir dan berkembang dari bengkel-bengkel kerja dan para tuan-tuan tanah. Dua unsur baru masyarakat ini memiliki posisi penting di kemudian hari, setelah melalui pertentangan di antara mereka ketika memperebutkan tenaga-tenaga kerja yang dipekerjakan. Melalui aktivitas perekonomian, dua jenis kelas masyarakat ini juga turut memberikan dasar pengertian kewarganegaraan yang dikemukakan Weber (prajurit dan pedagang).

Melalui khazanah sosiologi kontemporer, kewarganegaraan sedikit banyak dapat diterangkan dari perspektif Antony Giddens dalam memandang posisi subjek yang mengandaikan kebersatuan lokus struktur dan tindakan. Dengan kata lain, kewarganegaraan berarti pengukuhan individu melalui tindakannya tanpa meninggalkan konteks sosial tempatnya terbentuk dan bertindak. Artinya, kewarganegaraan menghilangkan dualisme tindakan aktor dan determinasi struktur yang selama ini menjadi masalah dalam teori ilmu-ilmu sosiologi.

Diri sebagai konsep dari proyek yang berkelanjutan Giddens juga menjadi sumbangsih bagi teori kewarganegaraan. Menurutnya, identitas dalam diri adalah suatu proses kemampuan untuk mempertahankan narasi mengenai diri. Dengan pengertian yang lebih sederhana, diri adalah identitas yang bukan final. Diri bukanlah tujuan akhir, melainkan gerak yang dinamis dan terbuka terhadap segala kemungkinan yang dihadapinya.

Sementara di sisi lain, Turner berpendapat teori sosiologi masa kini sudah mengembangkan konsep yang lebih maju yang melampaui dikotomi antara alam-kebudayaan, pikiran-tubuh, dan individu-masyarakat. Upaya memahami relasi di antara keduanya yang dalam kajian teori sosiologi mutakhir, menurut Turner dapat diajukan melalui konsep yang ia sebut “emboided personhood”. Artinya, menurut Turner setiap kali kewarganegaraan dibincangkan maka itu berarti ikut membicarakan  suatu model subjek yang terikat dengan relasi-relasi sosial yang menjadi dasar kenyataannya.

Turner sendiri mendefenisikan kewarganegaraan sebagai seperangkat tindakan baik itu yuridis, politis, ekonomi, maupun kebudayaan, yang darinya sesorang diartikan sebagai anggota kompeten dari suatu masyarakat yang berakibat kepada mengalirnya sumber daya ke individu ke kelompok-kelompok sosial.

Dua hal yang patut diperhatikan dari defenisi kewarganegaraan Turner di atas adalah pertama, kewarganegaraan adalah seperangkat tindakan, bukan sekadar kumpulan hak dan kewajiban yang pasif. Dengan pemahaman demikian, kewarganegaraan adalah rangkaian proses yang dibentuk dan bergerak melalui kontruksi sosial dan sejarah. Kedua, dengan melihat implikasi aliran sumber daya individu  ke kelompok,  maka kewarganegaraan juga mesti memerhatikan soal-soal mengenai dsitribusi kekuasaan, ketaksetaraan, dan perbedaan dalam kelas-kelas sosial di masyarakat.

Turner juga mengemukakan empat dimensi pokok yang untuk melakukan studi kewarganegaraan, yaitu: pertama content of citizenship (isi dari kewarganegaraan) yang berangkat dari hak dan kewajiban dari keeranggotaan seorang warga dari bagian politiknya. Menurut Turner, soal inti dari content of citizenship yang mesti diejawantahkan adalah asal mula hak dan kewajiban yang mnendefiniskan seorang individu menjadi warga negara. Kedua, type of citizenship (tipe kewarganegaraan). Pengertian ini merujuk kepada bentuk spesifik apa saja yang menata partisipasi sosial dan politik warga negara dalam melakukan aktifitas kewarganegaraannya. Ketiga, condition of citizenship (kondisi kewarganegaraan) yang diandaikan Turner sebagai kondisi kewarganegaraan yang melihat aneka relasi dan kekuatan sosial yang memproduksi dan mereproduksi partisipasi warga dalam pebagai bentuk tindakan politiknya. Keempat adalah arrangements of citizenship (modus penataan kewarganegaraan) yang melihat mekanisme dan prosedur seperti apakah konsep kewargaan dicocoktanamkan dalam masyarakat.

Menjadi Pembaca Berkesadaran

Tinimbang menulis, membaca merupakan pekerjaan purba. Umurnya hampir setua manusia. Tiada perlu tulisan jika hanya untuk memaknai sesuatu. Peristiwa alam dengan tanda angin, perubahan suhu, bunyi kicauan burung, pasang surut air laut, konstelasi bintang dlsb., ialah isyarat alamiah memulai ikhtiar pemaknaan. 

Membaca tanpa disadari ialah aktivitas di luar kesadaran manusia. Seperti bernapas belaka. Membaca tiada perlu kontrol kesadaran bekerja. Dengan kata lain, membaca merupakan gejala otomatis benak manusia. Mau tidak mau, manusia pasti melakukannya.

Sementara tulisan membutuhkan suatu kecakapan. Suatu kesadaran. Berbeda dengan membaca yang dekat daripada alam bawah sadar manusia, menulis mesti dikontrol, dilatih, dan dibiasakan. Di bawah kesadaran manusia, menulis bisa disebut pekerjaan yang diteknologisasi.

Syahdan, membaca ialah peristiwa yang diarahkan tanpa sadar. Dilakukan dengan cara bebas, otomatis, dan polos belaka. Sementara menulis adalah aktivitas yang diatur sistem sadar manusia, terarah, terkontrol, dan bertujuan.

Membaca membuat manusia lebih intens mencerap apa-apa yang datang daripadanya, masuk melalui internalisasi. Di hadapan saf-saf teks, membaca sepenuhnya pasrah seperti yang apa sudah dituliskan. Diarahkan dan dituntun oleh teks, dan kemudian tujuan akhir daripadanya ialah memaknai, bukan sebaliknya.

Sementara menulis jauh lebih teknis. Menulis selalu membutuhkan pikiran. Kesadaranlah yang mengarahkan teks. Teks sudah selalu dikontrol dan ditata. Dan tujuan akhir daripada menulis bukan pemahaman, melainkan ilmu itu sendiri.

Di zaman sekarang, membaca menjadi lebih krusial akibat berjuta-juta informasi datang silih berganti. Proggresnya kemajuan teknologi informasi mendorong aktifitas membaca bukan lagi sekadar pekerjaan alamiah dan sederhana, melainkan membutuhkan perangkat logis untuk menemukan kebenaran dari segala jenis informasi yang beredar pesat.

Artinya, sebagaimana menulis, membaca juga akhirnya harus dikontrol oleh kesadaran. Membaca juga membutuhkan keteraturan dan keterarahan. Dengan kata lain, membaca bukan lagi aktifitas yang bebas dan otomatis. Membaca sudah harus melibatkan kesadaran yang jauh lebih mawas.

Hal ini perlu dilakukan karena tidak semua informasi yang diterima patut dipercayai. Jika suatu informasi mesti dipercayai, maka disitu mesti ada indikator yang mesti dipakai. Artinya, untuk suatu informasi, dibutuhkan prinsip-prinsip berpikir logis hanya untuk menyatakannya sebagai informasi yang benar.

Kadang, membaca menjadi tindakan yang pilih-pilih. Sebelum seseorang membaca buku misalnya, dia punya kehendak dan pertimbangan sendiri mengapa harus membaca buku bersangkutan, mengapa bukan buku lain? Itu artinya, di balik tindakan membaca, seseorang sudah lebih dulu memiliki kewenangan dalam menentukan bacaannya.

Artinya, jauh lebih utama dan fundamental kesadaran di balik aktifitas membaca oleh karena sebelumnya tindakan berkesadaran itulah yang bakal mempengaruhi konten apa saja yang akan kita terima dari membaca suatu teks.

Namun akan menjadi lain jika dalam tindakan membaca, seseorang tidak melalui momen berkesadaran dalam menentukan teks-teks yang dipilihnya. Akibat ketiadaan “momen kritis” dalam menentukan selera bacaannya, maka seseorang akan dengan mudah digiring oleh apa yang tidak ia pahami dari teks yang dihadapinya.

Kasus merebaknya hoax dan informasi berbau radikalisme merupakan salah satu contoh minus kesadaran masyarakat dalam menjadikannya filter sebelum berhadapan dengan teks. Pasifnya masyarakat ketika menggunakan pemahaman kritisnya inilah sehingga hoax begitu gampang dipercayai dan diyakini. Malangnya, pasca itu, apa yang diyakininya dari informasi hoax dituliskan tanpa memahami dampak sosial yang akan ditimbulkannya.

Hatta, di era kemajuan informasi, saat seluruh informasi gampang digenggam dan berpindah tangan, pemahaman dan kehendak sadar dalam memilih teks yang bernilai akan sangat berpengaruh dalam mengubah kebiasan membaca dan berbagi informasi yang saat ini menjadi “tindakan tanpa sadar” masyarakat saat menggunakan kemajuan media informasi.

Sang Ego di antara Kisah Qurban Ibrahim-Ismail

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. (Surah Maryam: 54)

ISMAIL pasrah, barangkali tercengang kaget. Di tempat yang bernama Jabal Qurban itu, dia yang sudah menggeletakkan diri, berakhir dengan leher hewan gembala yang menganga. Sementara pedang Ibrahim, ayahnya, urung memenggal leher buah hatinya. Ibrahim mungkin tersentak. Tapi, di akhir peristiwa itu, mimpi yang pernah datang kepadanya berubah  mencengangkan.

Memang tak ada mukjizat di hari itu. Tapi itu adalah momentum bersejarah. Suatu peristiwa yang berkisah tentang jiwa sabar. Jiwa yang rela bersetia.

Qurban juga kisah kemanusiaan. Adegan yang mempertontonkan tegangan antara rasa cinta tanpa pamrih dan pengorbanan yang tak gentar.

Tak ada peristiwa pengurbanan setelah kisah Habil dan Qabil, selain kisah pengurbanan Ismail dan Ibrahim yang menghentak sekaligus menyejarah.

Ibrahim, bertahun-tahun tak diberi anak merasakan ujian yang begitu berat. Sejak ia menerima wahyu, kasih sayang terhadap anak semata wayangnya diuji. Ibrahim menghadapi dilema: mengikuti rasa cinta mempertahankan anaknya, atau bersetia terhadap perintah Tuhannya.

Ibrahim tahu konsekuensinya. Dia bakal kehilangan Ismail. Tapi, Ibrahim seorang nabi. Dia tahu suatu perintah Tuhan jauh lebih utama kendati dibandingkan anaknya.

Maka diceritakanlah mimpinya.

Dan, tiada  kesetiaan tulus seperti kerelaan Ismail mendengar permintaan mimpi ayahnya. Ismail tidak sedikit pun menyoal mimpi Ibrahim. Kerelaan Ismail kesetiaan terhadap isi mimpi ayahnya. Kesetiaan Ismail cermin keyakinan dan kepatuhan terhadap perintah yang diemban Ibrahim, ayahnya.

Sementara Ibrahim, dengan cintanya terhadap buah hatinya, setelah Ismail menyatakan kesetiaannya, menjadi terang. Tak ada mesti dikhawatirkan. Ismail seorang anak kala itu berusia tujuh tahun, sudi menyatakan kesediaannya.

Di hari itu, akhirnya keduanya melampaui batas hubungan sempit antara sang ayah dan sang anak. Kasih sayang yang bertumpu dari ikatan biologis semata, bertransformasi menjadi kerelaan keduanya untuk “memenangkan” misi tersembunyi di balik peristiwa itu. Rela berkorban dan rasa cinta antara Ibrahim dan Ismail, seketika menjadi misi ideologis yang kelak akan diperagakan seantero bumi dengan peragaan menyembelih hewan qurban.

Syahdan, begitulah kisahnya. Ibrahim dan Ismail dinyatakan lolos sebagai hamba yang bersetia dan sabar atas perintah Tuhan. Menjadi dua hamba bagi sejarah manusia tentang kerelaan berkorban, apapun konsekuensinya.

***

Jiwa sehat adalah jiwa yang rela berkorban. Begitu pendakuan Clarissa Pinkola Estes, seorang psikoanalisis pasca trauma. Clarissa Pinkola Estes menyatakan, jiwa sehat selalu merindukan “kisah” sebagai narasinya. Di hadapan kisah, jiwa menjadi “anak-anak” yang digembleng menjadi dewasa.

Kisah Ibrahim-Ismail, adalah kisah tanpa kejadian supranatural. Ibrahim sebagai sang ayah, dan Ismail sebagai sang anak, adalah dua makhluk berdaging dan bertubuh. Mereka hidup di dalam sejarah dan mati dalam sejarah. Walaupun demikian, kisah mereka menjadi monumen kesadaran di hadapan “sang ego” yang licin dan mudah terbakar.

Di masa-masa sekarang, “sang ego” yang dibilangkan Sigmund Freud –seorang psikonalisis– sebagai ruang “sang id” bergerak liar, banyak merepresentasikan paras manusia yang mudah kesal, beringas, dan individualis. “Sang ego” yang dikontrol liar “sang id” pada akhirnya menjadi sulit ditundukkan.

Dalam politik, “sang ego” menjadi kekuasaan penindas, dalam ekonomi, “sang ego” merusak tatanan keadilan, dan dalam kebudayaan “sang ego” menandai keterasingan manusia. Bahkan dalam agama, “sang ego” bagai raja secara imperatif harus diakui sebagai satu-satunya kebenaran.

Kiwari, “sang ego” bagai lupa kepada keadaannya yang asali, yakni jiwa yang selalu mendudukkan “kisah” sebagai pasangannya.

Dalam keadaan “sang ego” hegemonik itulah kisah Ibrahim-Ismail, menjadi “palu godam” untuk menghentak “sang ego” agar jangan sampai lupa diri. “Sang ego” walaupun senantiasa diperebutkan oleh kerakusan “sang id”, memiliki “kisah” sebagai narasinya.

Itulah mengapa jiwa manusia akan mudah gemetar jika diliterasikan “kisah” di hadapannya. Dalam agama, jiwa gemetar mendengarkan nama Tuhannya, itulah jiwa sebaik-baiknya jiwa.

Kisah pengurbanan Ibrahim-Ismail, jika dibilangkan sebagai suatu “pengalaman kemanusiaan”, mestinya disikapi sebagai “pengalaman keseharian” yang mampu dihayati seluruh umat manusia. Agak berbeda jika dikatakan kisah serupa sebatas peristiwa singular yang hanya dialami Ibrahim dan Ismail. Padalah, dalam tataran kisah, Ibrahim dan Ismail adalah simbolisasi universal dari paras jiwa yang rela dan bersetia untuk memerangi “sang ego”.

Di hari Idul Qurban, kemenangan hanya milik “sang ego” yang berhasil mengalahkan sifat “kerelaan”, “kesetiaan”, dan “kesabaran”. “Sang ego” yang telah bertransformasi melampaui dirinya menjadi “ego-kekitaan”.

Melalui ego-kekitaan, tubuh Ibrahim-Ismail bertransformasi dan menginisiasi pelaksanaan qurban. Pelaksana qurban adalah tubuh Ibrahim yang menyetarakan kasih sayang di dalam daging kurban. Ia  menjadi “sang ego” memerdekaan “kerelaan” kepada orang penerima kurban. Dan tubuh Ismail bermetamorposa menjadi sang penerima kurban yang memenangkan “kesabaran” dan “kesetiaan” dari sang pelaksana kurban. Hubungan saling membebaskan inilah yang diharapkan menumbuhkan sikap saling mengasihi antara sesama.

Akhir kata, perayaan Idul Qurban merupakan kemenangan bersama. Kemenangan solidaritas dan kebersamaan siapa pun. Perayaan pembebasan kelas masyarakat yang selama ini ditawan “sang ego” kekuasaan. Di hari Idul Qurban, sekali lagi, “sang ego” harus turun dari atas ketinggian singgasananya mengunjungi pelataran “kisah”, tempat dia mendekat dan menjadi setara di hadapan “Sang pemilik jiwa”.