Eike belakangan ini berusaha
merenung-renungkan perkataan seorang budayawan sekaligus sosok penting bagi
keberlangsungan pelbagai komunitas Literasi di Makassar, Alwy Rachman, pasca
launcing dan diskusi buku Tutur Jiwa karangan Sulhan Yusuf tempo waktu di
Dialektika Cafe. Saat itu Alwy Rachman mengatakan membaca adalah mendengarkan,
suatu pengertian yang tidak biasa bagi eike. Bagaimana mungkin, membaca yang
identik menggunakan indera penglihatan harus diartikan sama dengan
mendengarkan, aktifitas yang lebih banyak melibatkan telinga. Kata yang secara
literer di pengertian Alwy Rachman, seketika sepadan dengan bunyi.
Apakah ini sama berartinya bahwa
tradisi literasi yang mendasarkan dirinya pada tradisi tulisan tidak berdampak
signifikan terhadap masyarakat tinimbang tradisi lisan? Ataukah membaca
sebenarnya tidak seperti pengertian hari ini yang hanya menyasar dimensi
kognitif daripada mendengarkan yang lebih radikal menelusup hingga dimensi
kejiwaan manusia? Atau jangan-jangan pengertian dari Alwy Rahcman yang
dikatakannya malam itu adalah suatu strategi membaca untuk menemukan arti
mendalam dari karangan yang kala itu berkaitan dengan buku Tutur Jiwa Sulhan
Yusuf?
Namun ada clue yang dibeberkan Alwy
Rahcman malam itu berkaitan dengan pengertian membaca. Membaca sama artinya
dengan mendengarkan hanya bisa terlaksana jika melibatkan kepercayaan. Alwy
Rachman mendaku, kepercayaan adalah kunci dari mendengarkan. Mendengarkan kata
Alwy Rachman adalah pemberian kepercayaan kepada orang yang akan kita dengarkan
suaranya. Dengan kata lain, tanpa kepercayaan sebelumnya, sulit bagi
orang-orang mau mendengarkan perkataan dari orang lain.
Eike kira ilustrasinya juga dapat
dipahami melalui aktifitas mendengarkan itu sendiri yang ikut menghadirkan
orang yang bertutur sebagai wujud pentingnya. Berbeda dari membaca,
mendengarkan mengharuskan kehadiran sang sosok sebagai satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan untuk menerbitkan pemahaman.
Suara dari sang sosok sangat
menentukan dalam suasana mendengarkan, seperti sepenting “wajah” sang sosok
sebagai bagian dari dasar pemaknaan. Mimik muka, gesture tubuh, warna wajah,
pandangan mata, gerakan bibir adalah unsur fundamental dalam hal ini. Dengan
kata lain, mendengarkan berarti sekaligus mau menerima personalitas sang sosok
sebagai sumber pemahaman.
Sementara membaca, memiliki konteks
pemaknaan yang berbeda. Membaca bukan mendasarkan dirinya pada bunyi teks,
melainkan teks itu sendiri sebagai unsur terpentingnya. Artinya, teks tanpa
bunyilah yang ditangkap di saat membaca. Di saat demikian, berarti pemaknaan
atas suatu teks adalah suatu pengertian tanpa harus mengikutkan personalitas
sang penutur atau sang sosok di balik teks. Dalam literasi kesusastraan
kontemporer, sang penutur menjadi absen pasca teks diciptakan. Sang pengarang
sudah mati kata Roland Barthes.
Itulah sebabnya mengapa Alwy
Rachman lebih memilih cara membaca dengan mendengarkan “suara” penuturnya.
Membaca yang baik adalah dengan cara mendengarkan sang penuturnya langsung.
Membaca sama artinya dengan mendengarkan karena kita mau percaya kepada budi
pekerti sang penutur. Tidak sekadar percaya kepada kata-kata, daku Alwy
Rachman.
Dengan strategi demikian, eike
menganggap Alwy Rachman sebenarnya sedang menghidupkan kembali strategi
penuturan yang ditemukan dalam tradisi kelisanan. Melalui cara itu, seperti
yang dikatakannya, Alwy Rachman dengan sendirinya menyeleksi kata-kata melalui
kategorisasi mana kata yang hanya sekadar bunyi tanpa arti, dan yang mana
sebenarnya-benarnya bunyi yang membawa pengertian mendalam.
Akhir 2016, demi kepentingan
penelitian, eike sempat bertemu Ammatoa, pemimpin masyarakat hukum adat Kajang
di Bulukumba. Seperti diketahui sebelumnya, tradisi lisan masih kukuh dipegang
masyarakat hukum adat Kajang. Seperti yang dinyatakan Ammatoa kepada eike saat
itu, tulisan memudahkan orang akan mengalami kelumpuhan ingatan di suatu titik
hidupnya. Tulisan membuat rongga ingatan manusia menjadi tidak fleksibel, tidak
berisi, mudah pecah, begitu kira-kira maknanya.
Pasang ri Kajang dikatakan Ammatoa
dituruntemurunkan melalui ingatan berdasarkan pengucapan, bukan tulisan. Itulah
sebabnya, tidak akan kita temukan selembar pun kitab Pasang ri Kajang selain
daripada tersimpan dalam ingatan orang-orang Kajang.
Penuturan lisan dalam masyarakat
hukum adat Kajang dengan begitu menduduki posisi penting dalam merawat ingatan.
Lisan yang bersandar pada bunyi dan pendengaran sebagai media epistemiknya,
merupakan dua hal yang secara kultural mampu mempertahankan komunitasnya
melalui suatu kekerabatan tanpa jarak komunikasi yang renggang secara tempat
dan waktu seperti masyarakat hari ini.
Orang-orang Kajang berbeda dari
masyarakat hari ini yang sehari-harinya mengandalkan tulisan untuk
berkomunikasi. Teks menjadi penting saat ini, sebagaimana pentingnya lisan
dalam masyarakat era sebelumnya. Secara ambivalen teks memang mampu merenggang
sampai batas waktu dan tempat yang panjang. Namun, akibat kehilangan sang sosok
dan sifatnya yang mampu memperpanjang usia dan menembus batas-batas fisik, teks
malah memperpendek daya ingat. Ingatan orang-orang modern malah mengkerut
ibarat kulit jeruk yang mengering.
Sayangnya, di samping itu, cara
masyarakat memberlakukan teks hari ini serta merta dengan cara memutus mata
rantai pemakanaan yang menghubungkan teks dengan sang penuturnya. Sosok di
balik teks diberlakukan tanpa melihat ia sebagai unsur utama dalam menangkap
makna di balik teks.
Sang sosok memang bagian periperi
dalam tradisi literasi masyarakat modern. Dia bukan pusat, apalagi sumber
pemahaman. Makna dengan sendirinya dalam masyarakat sekarang tidak sama dengan
kehadiran sang sosok sebagai lawan bicaranya. Dalam tradisi filsafat dan
religiusitas, sang sosok seperti jiwa dan Tuhan tidak sendirinya hadir dalam
usaha pencarian makna. Hidup seperti proyek pencarian pribadi, tidak harus
melibatkan siapa-siapa di dalamnya.
Dalam wacana Deridean, misalnya,
sang sosok hanyalah pecahan jejak yang tidak merujuk kepada siapa-siapa. Jika
diibaratkan makna, arti dari suatu teks hanyalah menyisakan keterpautan dengan
teks yang lain. Ibarat kamus, satu kata membutuhkan kata lainnya untuk
menjelaskan dirinya. Dengan kata lain, makna suatu kata tidak pernah ada,
selain hanya jalinan penandaan yang tak berujung merujuk kepada teks-teks baru.
Sang sosok artinya, tidak pernah ada dalam praktik penandaan Deridean.
Sementara mendengarkan, yang
akhir-akhir ini hanya bisa menangkap fhonem (bunyi), bukanlah praktik
mendengarkan seperti yang diharapkan Alwy Rachman. Teks hanya sekedar teks,
bunyi-bunyian yang lewat begitu saja. Bunyi-bunyian teks yang belakangan dapat
ditemukan dalam dunia politik, misalnya, hanya suara bising tanpa kedalaman,
tanpa gagasan, dan tanpa bobot.
Dengan maksud lain, mendengarkan
sebagai strategi membaca adalah kritik terhadap bunyi-bunyian teks tanpa
gagasan. Mendengarkan adalah cara suara ditransformasikan untuk memilih dan
memilah bobot dari bunyi-bunyi pelbagai teks selama ini. Lewat aktifitas
mendengarkan, kita mampu menelusuri siapa yang layak didengarkan, diterima dan
ditolak akibat hanya menghasilkan bunyi yang banal.
Teks menurut eike dalam pemahaman
Alwy Rachman, mesti disuarakan, dan didengarkan dalam-dalam. Ibarat wahyu dalam
tradisi kenabian, Tuhan lebih memilih “bersuara” dalam kehanifan jiwa
nabi-nabinya. Bukan memilih cara lain yang bisa saja berbeda dari “suara”
Tuhan.
Sebab itulah bunyi suara sebenarnya
begitu penting dibanding teks. Bukan saja penting, namun juga tinggi. Tiada
sebenarnya “suara” ilahi ketimbang ia berbicara melalui ketinggiannya sebagai
sang sosok, dan “bunyinya” yang ditangkap bagi jiwa-jiwa yang hanif.
Mendengarkan dengan kata lain, mau
menempatkan sang jiwa manusia kepada suatu titik yang rendah, hanif, tanpa
embel-embel kebesaran. Hanya dengan cara itulah suara mampu menembusi jiwa sang
pendengar (pembaca). Hanya melalui itulah pemahaman dapat terbit. Melalui suatu
kepercayaan. Melalui suatu pencerahan.