Di sini di mana udara terasa begitu ganjil, suara-suara itu kudengar jauh lebih jelas. Suara-suara itu ada dalam diriku, begitu nyaring dan bising (Juan Preciado)
Saya membutuhkan
lebih banyak konsentrasi membaca Pedro Paramo (terbitan Gambang, terjemahan
Lutfi Mardiansyah) akibat setting ceritanya yang tanpa disadari seketika
berubah begitu saja (bahkan saat menulis tulisan ini saya juga masih membaca
untuk kedua kalinya). Tehnik penceritaan yang mirip lorong waktu ini, yakni penceritaan
yang hampir bersamaan dan juga bolak balik antara masa sekarang dan masa lalu
dengan intens, membuat gaya penceritaan Juan Rulfo mesti dibaca dengan
hati-hati dan lebih teliti. Perubahan konteks cerita dengan tokoh-tokoh yang
kurang lebih berjumlah 20, membuat cerita menjadi tumpang tindih sekaligus
menjadi acak. Alur yang demikian mengingatkan saya kepada gaya penceritaan yang
menjadi khas dari sastra Amerika Latin terutama yang ditemukan dalam Seratus
Tahun Kesunyian-nya Marquez (Pedro Paramo disebut-sebut teks yang paling
menentukan dan mempengaruhi banyak penulis Amerika Latin setelahnya, semisal
Carlos Fuentes, Mario Vargas Llosa, dan Marquez sendiri [disebutkan di situs
berita Independent, tanpa Pedro Paramo tak akan lahir Seratus Tahun Kesunyian]).
Apalagi dua setting waktu yang intens berubah seketika, dan berpusat pada dua
tokoh yang berbeda dengan masing-masing tokoh tambahan di cerita yang berbeda
pula, pelan-pelan akan menguak isi cerita yang sebenarnya akan membuat kaget
pembacanya. Dengan cara ini, Pedro Paramo adalah novel yang menyimpan
teka-tekinya sejak awal ketika membacanya. Pedro Paramo dibuka dengan kisah
Juan Preciado, seorang pemuda yang ditinggal mati ibunya yang di saat terakhir
hidupnya, berpesan kepadanya untuk mencari ayahnya di suatu tempat bernama
Comala. Comala adalah tempat nun jauh yang tak pernah didatangi Juan Preciado,
namun karena amanah terakhir ibunya, maka itu dilakukannya juga. Sampai di
sini, setting ceritanya membawa imajinanasi saya tentang kisah yang akan menceritakan
perjalanan Juan Preciado ke Comala untuk menjalankan misi mencari ayahnya. Di
perjalanan, dia bertemu seseorang yang menunggangi keledai bernama Abundio,
yang menceritakan seperti apa Comala, tempat yang akan dituju Juan Preciado (di
perjalanan bersama Juan Preciado, Comala dikisahkan Abundio sebagai tempat yang
sangat panas, kota yang “bertengger di atas bara api bumi, tepat di atas mulut
neraka”, metaforanya menarik: “ketika orang-orang di sana mati [Comala] dan
pergi ke neraka, mereka yang mati itu akan datang kembali untuk meminta
selimut”—bayangkan betapa panasnya Comala dibandingkan neraka). Dan, dari mulut
Abundio-lah, Juan Preciado tahu, bahwa Pedro Paramo, yang dinyatakan oleh
ibunya sebagai ayahnya, yang menjadi tujuan pencariannya, telah mati
bertahun-tahun yang lalu. Di sinilah imajinsai pembaca seketika stuck, tetapi
sekaligus teka-tekinya itu sendiri. Sebelum sempat kita mengetahui siapa Pedro
Paramo, bagaimana keperawakannya, bagaimana ia hidup, kenapa ia harus dicari,
tiba-tiba dinyatakan sudah mati bertahun-tahun lalu. Lantas untuk apa kisah
Juan Preciado dilanjutkan? Nah, justru di sinilah petualangan Juan Preciado
sebenarnya akan dimulai. Setelah sebelumnya misi kisahnya adalah mencari Pedro
Paramo yang disangka masih hidup, tiba-tiba mundur bertahun-tahun lalu di kota
Comala. Setelah Pedro Paramo dinyatakan mati oleh Abundio, dan sudah terlanjur
tiba di Comala –dikisahkan semenjak Juan Preciado sampai di Comala,
keheranannya mencuat melihat suasana kota yang tak biasa. Kota itu adalah
tempat yang sepi dan tak berpenghuni, bahkan sudah lama ditinggalkan
penduduknya-- Juan Preciado menyempatkan singgah sekaligus istirahat di tempat
yang direkomendasikan Abundio. Rumah itu adalah rumah Eduviges, seorang
perempuan tua yang mengenal ibu Juan Preciado di masa lalu, dan Pedro Paramo
itu sendiri. Dikisahkan, Eduviges sudah menanti kedatangan Juan Preciado dan
mengetahui kedatangannya melalui informasi ibunya (bagaimana ia bisa tahu,
bukankah ibu Juan Preciado sudah meninggal?). Melalui perbincangan dengan
Eduviges di rumahnya, tersibak kenyataan aneh bahwa lelaki yang bertemu dengan
Juan Preciado di perjalanan yang bernama Abundio ternyata adalah roh
gentayangan, dan seseorang yang tuli di masa hidupnya. Di sinilah letak titik
yang membuat saya mengerutkan jidat. Jadi ternyata orang yang berbicara selama
perjalanan dan mengatakan Pedro Paramo sudah meninggal kepada Juan Preciado
adalah sesosok hantu? Hantu yang mengabarkan kematian? Pantas ketika Juan tiba
di Comala kecurigaannya mencuat, Comala adalah kota yang sepi dan sudah lama
ditinggalkan penghuninya. Lantas, kejutan selanjutnya adalah Eduviges itu
sendiri. Ketika Juan Preciado tersadar dari waktu istirahatnya di pagi hari,
seorang wanita datang menemuinya. Dari wanita bernama Damiana inilah Juan
Preciado juga mengetahui, Eduviges yang mengajaknya berbicara dan menawarkannya
ruangan tempat tidur semalam, yang ternyata bekas ruangan orang terbunuh,
adalah juga sesosok hantu bergentayangan. Ya, Eduviges sesosok hantu, roh yang
bergentayangan. “Evudiges yang malang. Pasti dia masih bergentayangan seperti
jiwa yang tersesat,” kata Damiana. Dan semakin ke sini, kisah Pedro Paramo
menyadarkan saya ternyata Comala adalah kota hantu—termasuk Damiana sendiri.
Kota yang berisikan roh-roh yang bergentayangan tepatnya. Melalui roh
bergentayangan inilah, yang mencuat dan mengendap dan bersuara di sekitar
tembok-tembok mati, penglihatan dan di telinga Juan Presciao kisah Pedro
Paramo, satu persatu terkuak. Tanpa disadari sebelumnya, kisah yang dikuak melalui
plot yang maju mundur di antara
tokoh-tokoh yang banyak bermunculan tanpa latar belakang yang cukup (bahkan
dalam dialog-dialognya unsur kemewaktuan masa lalu dan masa sekarang banyak
berlaku dalam satu paragraf sekaligus), sebenarnya adalah gema dari kota,
cinta, sejarah, kemiskinan, pencurian, pemerkosaan, skandal dan penderitaan
masyarakat miskinnya, orang-orangnya, dan Pedro Paramo itu sendiri. "Kota
ini penuh dengan gema… Seperti mereka terjebak di balik dinding atau di bawah
batu-batuan ketika Anda berjalan, Anda merasa seperti seseorang di belakang
Anda, melangkah dalam langkah Anda, Anda mendengar gemeresak.. Dan orang
tertawa… Tawa yang terdengar habis… Dan suara-suara yang aus oleh tahun.” Pedro
Paramo bisa dibilang adalah kisah sejarah suatu kota dengan masyarakatnya yang
terjerat skandal yang berpusat kepada Pedro Paramo sebagai orang berpengaruh di
Comala. Dengan gaya kepemimpinannya yang culas, penuh tipu muslihat, acuh tak
acuh, Pedro Paramo “memimpin” kota Comala menuju masa-masa depresinya. Melalui
figurnyalah novel ini mengetengahkan asal-usul sejarah Comala dan penduduknya
yang dibentuk dengan perampasan, pemerkosaan, korupsi, dan cinta yang rumit.
Melalui Juan Preciado, novel Pedro Paramo tersirat kisah seseorang anak yang
mencari asal-usulnya yang berpusat dari bapaknya yang “misterius”, tetapi juga
pencarian itu harus berakhir ke dalam kematian ayah yang sebenarnya bukan
tujuan pencarian itu sendiri. Juan Preciado nyatanya memulai pencarian bukan
dari siapa sebenaranya Pedro Paramo, melainkan membuka sejarahnya sendiri
melalui kematian yang secara "kebetulan" melalui Pedro Paramo. Dengan
kata lain, jika ingin mencari asal-usul, titik permulaannya bukanlah mencarinya
kedalam sejarah orang-orang tertentu, tapi ke dalam kematian (akhir) itu
sendiri sebagai suatu peristiwa yang menyejarah. Pedro Paramo novel yang di
satu sisi mengaburkan atau bahkan mencampuradukkan dimensi waktu dan ruang
lingkup kehidupan orang-orangnya, sehingga nampak seperti waktu yang abadi
tanpa mengenal batas-batas masa lalu dan sekarang. Dialog-dialognya tumpang
tindih, berlapis-lapis seiring pergantian kata ganti orang. Gaya penceritaan
yang demikian seolah-olah membuat semacam pemahaman, bahwa kenangan suatu
tempat hanya akan bertahan dengan kenangan itu sendiri melalui penceritaan
terus menerus yang melintasi ruang dan waktu, walaupun orang-orang datang silih
berganti. Mati ataupun hidup. Orang yang masih menginjakkan kakinya di bumi,
atau sudah bergentayangan seperti hantu-hantu di Comala. Dengan kata lain, Pedro
Paramo dibangun bukan saja dari suara-suara orang-orang yang masih hidup,
melainkan juga gema suara orang-orang yang sudah mati melalui cara yang
menajubkan tetapi juga aneh: tokoh-tokohnya yang hidup dikisahkan telah mati,
dan sekaligus yang mati diceritakan masih hidup. Ya, cerita Pedro Paramo
dibangun dari hantu-hantu yang bercerita tentang kenangannya di suatu kota yang
tidak bisa mereka tinggalkan (Juan Preciado sendiri juga adalah sesosok hantu
ketika ia menyadari melihat tubuhnya terkubur di suatu pemakaman [jadi semenjak
awal cerita Juan Preciado adalah juga sesosok hantu]). Akhirnya, dengan begitu
antara kematian dan kehidupan menjadi tidak jelas batasnya, yang membuat
seluruh apa yang ditinggalkan di Comala termasuk arwah yang bergentayangan di dalamnya,
menjadi penduduk kota hantu yang abadi. Tersesat di dalamnya, selama-lamanya.