Nasib
adalah kesunyian masing-masing. Chairil Anwar
Di New York Café, Jake Blount,
dengan mulutnya yang sering kali berbau gin atau bir, bakal menemukan pendengarnya
yang paling setia: Dari mulutnya dia sering kali membicarakan dunia yang tidak adil,
pikirannya, sistem kapitalisme di mana pun selalu membuat orang-orang mengalami
kehidupan yang terlunta-lunta. Membaca The Heart is a Lonely Hunter adalah
membaca kisah orang-orang yang kesepian. Hidup di suatu kawasan yang
terpinggirkan. Kehidupan masyarakat di kepung pabrik-pabrik. Perbedaan ras, dan
pekerjaan yang menyita waktu tidak lebih dari 12 Dollar. Begitulah kisahnya.
Segalanya di mulai dari jiwa-jiwa kesepian yang saling berinteraksi di sebuah kafé
kecil di pinggiran kota. Kisah orang-orang yang terkucil dari lingkungannya. Suara-suara
yang sering kali dipinggirkan begitu saja. Jake Blount seorang sosialis yang
tidak diketahui asal usulnya, Biff Brannon sang pemilik kafe yang ditinggal
istrinya yang mengalami kesepian kasih sayang, John Singer sang bisu yang kerap
dianggap orang paling tenang tempat semua orang merasa dipedulikan, Mick Kelly
gadis 12 tahun yang tumbuh dengan gaya tomboy dan tidak pernah jauh dari dua
adiknya, Spiros Antonapoulus si Yunani yang gila, dan Benedict Copeland, dokter kulit
hitam yang hidup di masa yang salah. Setiap jiwa adalah pemburu-pemburu
kesunyian. Carson Mc Cullers menarik siapa pun yang membaca novel ini dengan
tanpa terhindari dari jiwa yang selama ini terabaikan. Kita barangkali merasai
sehari-hari tak ada yang luput dari pembicaraan, setiap kepala memilih
mengutarakan semua isi kepalanya. Mengatakannya berulang-ulang, kepada semua
orang. Tanpa henti-henti. Akhirnya semuanya sesak, dan setiap orang merasa
telah menemukan kehidupan yang mampu menyelesaikan persoalan. Namun tanpa kita
sadari tidak semuanya berharga. Di titik itu, saya merasa lebih baik bisu
seperti nasib yang dialami John Singer. Lebih banyak mendengar dibanding berbicara. Karena itulah sosok seperti
Singer menjadi semacam pusat bagi orang-orang yang ditimpa kesepian. Seperti
Mick Kelly, seorang gadis yang merasa Singer adalah orang yang tepat ketika ia
ingin menyampaikan setiap maksud yang terpendam di kepalanya. John Singer yang
bisu bagi Jake Blount dan Benedict Copeland yang memercayai dunia mesti
dibersihkan dengan setiap ide di kepala mereka, adalah ceruk dalam yang bisa
diisi oleh benda apa saja. Tanpa suara ketika setiap benda masuk ke dalamnya. Juga
bagi seorang seperti Briff Brannon, orang semacam Singer merupakan jenis
manusia yang layak dijadikan seorang pendengar setia. Tapi ketika setiap orang
menemukan pendengarnya masing-masing, tidak seluruhnya mampu mengusir setiap
kesepian yang dialami masing-masing. Setiap pembicaraan yang dilakukan seperti
menelan sendiri maksudnya dengan akhirnya meninggalkan kekosongan yang masih
menganga. Pada akhirnya tidak semua bisa menemukan suatu pegangan. Semua pada
asalnya harus menemukan sendiri “suara” dari dalam yang selama ini tergeletak
entah di mana. Novel ini telah
menceritakan pertemanan atau mungkin semacam persahabatan yang ganjil antara
orang-orang yang dirundung soal, yakni orang-orang yang membutuhkan perhatian
ketika mereka memberikan perhatian kepada yang lain. Tidak semua yang
memberikan perhatian seolah-olah adalah orang yang nampak bijak, tapi di balik
perhatian masing-masing bersembunyi soal yang tak gampang untuk dibicarakan. Selalu
ada bahasa yang sulit diucapkan. Walaupun novel ini bukan novel politik, tapi
sesungguhnya ada bagian-bagian kecil dari obrolan yang mengikutkan pandangan
politik atas suatu nasib umat manusia. Apalagi jika itu ditemukan dari tokoh Dokter
Copeland yang sampai-sampai mencita-citakan pembebasan kaum negro dengan
memberikan nama anak keduanya tokoh komunis dunia, Karl Marx. Juga seorang
Blount, pekerja paruh waktu di komedi keliling yang memiliki
pandangan-pandangan sosialis yang akut. Namun tetap saja, betapa pun dunia
dihardik dari pikiran-pikiran yang kalut, kabut kesepian masih saja menjadi
tembok pemisah antara setiap orang. Juga setiap tokoh di novel ini. Seperti
dalam kutipan sinopsisnya kisah orang-orang yang merasa bersinggungan satu sama
lain tapi tidak tidak terkait dan menyerah pada kenyataan atas kesendirian yang
dirasakan. Jiwa yang terasing, tak didenagr dengungnya, juga keberadaannya. Nasib
memang kesunyian masing-masing, kata Chairil Anwar.