Pasca
pidato Jokowi dalam peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, tentang
pemisahan politik dengan agama, akhir Maret lalu, berakibat banyak reaksi.
Tiba-tiba diskursus hubungan agama dan politik, atau agama dan negara menguat
kembali. Sesungguhnya perdebatan ini berakar panjang dalam sejarah Indonesia.
Mulai dari memanasnya perdebatan Soekarno dengan M. Natsir, dalam sidang BPUPKI,
piagam Jakarta, hingga pada sidang Majelis Konstituante pasca kemerdekaan. Secara umum wacana relasi agama dan negara
terbelah menjadi dua kubu, yakni nasionalis sekuler dengan nasionalis agama.
Mengapa mesti negara Islam
Apabila
menelisik asumsi-asumsi agama sebagai dasar negara, berangkat dari pengalaman
historis Rasulullah ketika mendirikan negara-kota Madinah pasca hijrah.
Pendasaran ini bukan saja menjadi ideal type bagi kelompok muslim yang ingin
mendirikan negara agama, melainkan juga ditopang dengan sejumlah ayat-ayat yang
menjadi dalilnya.
M.
Natsir, misalnya, mendakukan pendasarannya melalui ayat “Tidaklah aku jadikan
jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku” sebagai dalil ideologi
Islam bahwa semua perilaku manusia adalah hanya untuk menyembah kepada Tuhan.
Menurutnya, urusan kenegaraan merupakan bagian intergral di dalam risalah
Islam. Bahkan, Natsir menganggap Islam adalah ajaran universal yang mengatasi
negara sebagai alat untuk merealisasi ajaran-ajaran Islam.
Prinsip
universalitas syariat Islam dianggap sebagai dasar utama mengapa negara harus
berdasarkan aturan agama. Agama sebagai ajaran yang komperehensif dalam
kaitannya dengan negara, memiliki posisi yang tinggi dibanding negara yang
berurusan dengan wilayah profan. Selain itu pemosisian agama sebagai domain
yang lebih tinggi dibanding agama secara tidak langsung adalah cerminan dari
agama sebagai satu-satunya pandangan dunia yang siap pakai tinimbang bentuk pemikiran
lain.
Diposisikannya
agama sebagai satu-satunya pandangan dunia yang sah, juga didorong sejarah
silam yang mengacu kepada zaman pemerintahan empat khilafah. Perspektif sejarah
ini menjadi semacam garansi bagi kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara
Islam, untuk memberikan jaminan tidak akan muncul persoalan seperti dirasakan
sekarang ketika negara Islam kelak berdiri. Cara pandang demikian, juga
diperkuat hitung-hitungan mayor-minor yang mengartikan mendirikan negara Islam
adalah kewajiban sebagai penjamin berlangsungnya kehidupan.
Melampaui negara agama
Alam
Indonesia adalah wajah yang majemuk. Beragam suku bangsa dan agama hidup di
dalamnya. Juga, cara mengamalkan dan penghayatan atas nilai-nilai ideal
berbeda-beda di pelbagai komunitas masyarakat. Itulah sebabnya, perdebatan
mengenai dasar-dasar bernegara melalui sejarah panjang Indonesia, tidak pernah
menyebut satu agama pun sebagai dasar utamanya.
Pancasila
sebagai dasar negara, mesti dipahami sebagai semesta makna yang secara
subtantif menyerap pelbagai nilai-nilai agama yang ikut membentuknya. Bahkan
jika menyesapi butir-butir yang dikandung dalam sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa, bukanlah sila yang mengandung makna khusus bagi umat Islam, misalnya.
Bahkan butir-butir yang menguatkan sila
itu mengandung makna kemanusiaan, kebebasan, penghormatan, kerukunan, tenggang
rasa antara perbedaan keyakinan yang menjadi kenyataan sosial bangsa Indonesia.
Tidak
diutamakannya salah satu agama sebagai satu-satunya dasar negara, dan tidak
diterakannya secara eksplisit dalam pancasila, adalah cara pendiri bangsa ini
menjadikan pancasila sebagai buah pikir yang melampaui konsepsi negara atas
agama apa pun. Pelampauan ini merupakan pikiran radikal sekaligus cemerlang
untuk menyatukan pelbagai ragam kepercayaan yang menjadi takdir bangsa
Indonesia.
Belajar dari sejarah
Piagam
madinah itu buah percakapan lintas iman yang didialogkan Rasulullah dengan
mengakui eksistensi kelompok secara setara. Dengan kata lain, dalam konteks
kenyataan sosial, piagam madinah tidak serta merta mengakomodir iman kalangan Islam saja, melainkan ikut serta mempertimbangkan eksistensi
keimanan lainnya.
Jika
mengacu kepada tesis Thomas Hobbes, Piagam Madinah itu sejenis kontrak sosial,
undang-undang, atau hukum bersama yang diberadakan demi menjaga keutuhan
eksistensi masyarakat. Disebut kontrak sosial karena masing-masing kelompok
diakui dan ikut dipertimbangkan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Berdasarkan
penjelasan di atas, tidak ada dasar pembenaran sosial negara harus didasarkan satu
ajaran agama tertentu saja. Kejamakan yang dihadapi Rasulullah merupakan
pertimbangan utama mengapa perlu ada aturan main bersama yang mesti dirumuskan
dengan cara demokratis. Dengan kata lain, dalam konteks masyarakat modern Indonesia,
Pancasila lebih menyerupai Piagam Madinah jika dilihat dari caranya dirumuskan.
Sebagai panutan bersama, berarti mesti dilahirkan dari beragam sudut pandang
yang mewakili kelompok masyarakat tertentu.
Yang
prinsipium dari Pancasila, selain merupakan buah pemikiran yang melampaui
sekat-sekat agama, merupakan perwakilan dari kamajemukan alam pikiran bangsa
Indonesia yang beragam jenis kepercayaan, tradisi, dan pandangan dunia. Tidak
juga dapat dikatakan jika Pancasila adalah pandangan dunia kebangsaan yang
sekuler. Toh di dalamnya banyak diisi dengan semangat ketuhanan yang merupakan
cerminan langsung dari kemajemukan masyarakatnya. Hatta, sebenarnya, apa yang
kurang istimewa dari Indonesia?
---
Terbit di harian Radar Makassar, 11 April 2017
---
Terbit di harian Radar Makassar, 11 April 2017