Berubahnya
wujud layar kaca juga menandai peralihan cara masyarakat berinteraksi. Melalui
layar kaca televisi, model interaksi masyarakat hanya bersifat satu arah,
monoton, dan pasif. Namun, melalui screen
smartphone (dengan basis internet), interaksi terjadi bersifat dua arah,
kompleks, dan aktif.
Perubahan
ini pada akhirnya membuat cara interaksi masyarakat menjadi jauh lebih
revolusioner. Akibat bersifat dua arah, masyarakat tidak lagi sekadar konsumen,
melainkan turut ikut menjadi produsen informasi. Posisi masyarakat demikian
membuat komunikasi jauh lebih interaktif. Belakangan, screen smartphone berubah bukan sekadar layar kaca yang
merepresentasekan segala informasi, tapi dunia itu sendiri.
Dunia layar kaca
Yasraf
Amir Pilliang dalam Dunia yang Dilipat,
menandai peralihan masyarakat industri menuju masyarakat pascaindustri dengan
tumbuhnya generasi masyarakat yang berinteraksi atas basis screen. Kemajuan teknologi yang begitu cepat telah mengambil fungsi
masyarakat sebagai entitas pertukaran interaksi dan komunikasi menjadi hubungan
yang dimediasi layar.
Artinya,
di dalam menunjang aktivitas sehari-hari, layar menjadi penting. Tanpa layar,
kehidupan interaktif masyarakat akan berhenti total. Apalagi, di saat yang
bersamaan layar tidak mandiri menjadi alat yang terpisah dari jaringan network
berbasis virtual. Kebutuhan terhadap dua hal ini secara organik telah aplikatif
di dalam kerja-kerja produktif masyarakat.
Dalam
konteks masyarakat informatif, layar ikut menunjang bergesernya paradigma
masyarakat terhadap kebutuhannya dalam menemukan informasi. Kemampuan adaptatif
layar yang lebih portabel dibanding kertas koran ataupun majalah (dan juga
televisi dan radio), membuat layar satu-satunya pilihan utama untuk
merepresentasikan beragam kejadian di sekitar kita.
Melalui
layar sebagai kekuatan besar perwakilan dunia, membuat segala hal harus
diwakilkan melalui layar kaca. Ini akhirnya membuat kenyataan nampak jauh lebih
mudah sekaligus rumit. Salah satu penyebab hal ini karena layar kaca bukan lagi sekadar screen yang membingkai kenyataan, tapi ikut mengubah,
bahkan membuat dunia baru yang jauh berbeda dan lebih kompleks.
Akibatnya,
pengambilalihan realitas oleh layar kaca, membalikkan persepsi layar
kaca sebagai dunia. Peralihan realiti kongkrit menjadi dunia layar kaca adalah
ciri-ciri pergeseran makna ontologis yang menempatkan layar kaca sebagai
satu-satunya realiti dunia itu sendiri.
Manipulasi layar kaca
Layar
dalam media komunikasi telah menjadi realitas yang mengamputasi dunia sebenarnya.
Reality (gambar, foto, sinema,
bahasa, meme, logo) yang direpresentasikan dalam layar merupakan jalinan
penandaan dan simbol-simbol yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Melalui
jalinan simbol inilah dunia direpresentasikan yang mengubah basis kenyataan. Dengan cara ini pula, hubungan ekonomi, konsumsi, politik,
kebudayaan, dan pengetahuan dibangun dan direpresentasikan.
Kompleksnya
jaringan penandaan dan simbol di dalam layar kaca, tidak serta merta membuat
pemahaman jauh lebih mudah. Terkadang tidak ada hubungan pemaknaan antara
penanda dan yang ditandakan, antara simbol dan yang disimbolkan, sehingga
membuat relasi keduanya nampak membingungkan. Ibarat penandaan yang dinyatakan
dalam simbol dunia sinema yang terkadang tidak dapat dirujuk di dalam alam
kenyataan sesungguhnya.
Kebingungan
terhadap sistem penandaan dan simbol, dinyatakan Baudrillard sebagai biang dari
simulakrum. Simulakrum dalam pernyataan Baudrillard ibarat dunia fantasi yang
kehilangan hubungan pemaknaan dari dunia sebenarnya. Kemampuan simulakrum yang
dapat memfantasikan kenyataan, juga sekaligus mampu menghilangkan representasi
dunia dengan menghadirkan dunia baru berupa dunia imajinatif dan maya.
Bentuk
kongkrit simulakrum seperti ditunjukkan maraknya iklan yang mereprentasikan
dunia imajinatif dan fantasi melalui keberadaan produk. Simbol produk iklan
beserta dengan jalinan cerita di dalamnya, hanyalah penampakan simbolikum yang
memalsukan kenyataan. Sistem simbol dan jalinan penandaan di dalam iklan
akhirnya bukan merujuk kepada dunia di luarnya, melainkan dunia fantasi dan
imajinasi yang diciptakannya sendiri.
Terputusnya
jalinan pemaknaan dari dunia di luar simulakrum, berimplikasi terhadap nihilnya
pemaknaan yang dapat ditangkap sebagai pesan. Selain fantasi dan imajinasi,
makna hanyalah kekosongan yang dibuat-buat oleh keduanya. Imbasnya, krisis ini
dinyatakan Baudrillard sebagai kebimbangan realitas.
Irisan simulakrum
Agama
merupakan pesan yang diwahyukan kepada nabi-nabi untuk mengangkat harkat
manusia. Secara kolektif, agama diperuntukkan untuk membangun peradaban.
Membuat masyarakat beradab yang terdiri dari komunitas bermartabat.
Sepanjang
sejarah, nabi menjadi representasi tuhan di muka bumi. Menjadi pemimpin menjadi
pengayom. Dengan cinta kasih, disiplin, dan sejumlah kualifikasi paripurna,
nabi menjadi sokoguru peradaban. Melaluinya kenyataan menjadi terang.
Sekarang
kedaan dunia pasca masa kenabian dunia yang jauh berbeda. Dalam agama, segala
sumber informasi “ditampung” di atas lauf mahfus, dan nabi sebagai penyampai
dan pembawa pesannya. Era mutakhir, saat agama bukan lagi satu-satunya sumber
informasi, lahir satu sumber baru yang tidak kalah dahsyatnya: internet.
Keberadaan
internet yang diperantai layar kaca memang banyak mengubah dunia. Melalui
mesin-mesin pencari, dunia jauh lebih dekat, mini, dan mungil. Hambatan-hambatan
yang sebelumnya ditemukan akibat jarak geografis, melalui internet berubah jauh
lebih mudah, efektif, dan efisien.
Sudah
disebutkan sebelumnya, akibat sentral dan pentingnya layar kaca dan jaringan
internet, membuat semuanya harus dinyatakan dalam perwujudan layar kaca.
Apalagi segala informasi yang memenuhi lalu lintas interaksi masyarakat hanya
bisa massif dan komunikatif melalui screen
berbasis internet.
Konteks
kekinian, agama sudah banyak beririsan dengan dunia layar kaca. Di dalam layar
kaca, agama menjadi realitas baru yang berbeda dari paras asli agama itu
sendiri. Melalui representasi simbol-simbol (gambar, sinema, suara, foto, bahasa,
meme, logo) dan jaringan pemaknaan yang kompleks, agama mengalami penyusutan
atau bahkan pendangkalan nilai agama.
Agama
dengan parasnya yang direpresentasekan layar kaca, selain mengalami modifikasi
melalui simbol-simbol, juga mengalami irisan langsung simulakrum. Irisan ini
sedikit banyaknya mengubah status ontologis agama dari agama yang bernilai
sakral berubah bernilai fantasi. Transformasi ini otomatis ikut mendangkalkan
nilai agama menjadi hanya sekadar imajinasi belaka.
Agama layar kaca
Imbas
irisan simulakrum, paras agama yang ditunjukkan melalui simbol-simbol, bahasa, dan
penandaan sistem tanda tidak berbeda jauh dengan simbol-simbol lainnya. Simbol-simbol
agama dengan makna yang dirujuk melalui sistem penandaan, bisa mengalami bias,
atau bahkan hilang sama sekali. Biasnya penanda dan makna yang dirujuk dari
suatu simbol agama, berimplikasi kepada hilangnya makna asli agama.
Hilangnya
makna asli agama, pada akhirnya membuat paras agama seperti lapisan
gelas kaca. Tiada apapun yang mampu dirujuk di dalamnya selain kebeningan kaca
itu sendiri. Makna apapun yang akan disematkan di dalamnya hanyalah cahaya bias
yang dibelokkan dinding bening kaca.
Di
dalam layar, paras agama yang tidak merujuk kepada makna apapun, akhirnya
termodifikasi berdasarkan kepentingan ideologi tertentu. Melalui konteks ini,
agama mengalami pelucutan dua kali secara bertahap. Pertama, agama menjadi
realitas simulakrum yang mencipatakan paras agama fantasi, kedua, agama menjadi
perwujudan dari kepentingan ideologi itu sendiri.
Melalui
dua level inilah sehingga agama menjadi komoditi yang harus mengikuti pasar
sebagai ideologi yang berada di balik layar. Di level kedua, ideologi bukan
saja bisa melakukan representasi atas kenyataan tertentu, bahkan melakukan
pembalikan dengan cara misrepresentasi. Artinya, agama dalam hal ini mengalami
perubahan berdasarkan cara kerja ideologi pasar.
Empat model misrepresentasi agama
Empat
model misrepresentasi ini diambil dari praktik media massa yang kerap
memodifikasi pemberitaan berdasaarkan ideologi yang dianutnya. Dalam kaitannya
dengan agama sebagai bagian dari komoditas, maka wajah agama juga tidak
terlepas dari empat model misrepresentasi.
Pertama,
ekskomunikasi. Istilah ini mengacu ke
dalam situasi ketika agama atau bagian-bagian agama dijauhkan dari komunikasi
publik. Dalam hal ini, subtansi agama yang asli dikeluarkan dari lalu lintas interaktif
media di layar kaca dengan hanya menyisakan tampakan-tampakan luarnya saja. Simbol-simbol
eksoteris agama yang mengalami modifikasi ekskomunikasi, di saat yang bersamaan
menghilangkan simbol esoteris agama yang menjadi inti dari agama itu sendiri.
Proses ekskomunikasi juga berarti membuat simbol inti agama menjadi “the other”
yang tidak layak diperhatikan.
Kedua,
eksklusi. Yang diandaikan melalui eksklusi adalah penyingkiran secara bertahap
simbol-simbol inti agama dari layar sebagai mediasi realitas. Dalam konteks
agama layar kaca, penyingkiran paras subtansi agama menjadi simbol-simbol yang
dikucilkan karena sifatnya yang bertentangan dengan ideologi pasar.
Marginalisasi
adalah model misrepresentasi yang ketiga. Pengertian ini mengacu kepada
penggambaran buruk simbol-simbol agama melalui manipulasi gambar, foto, ataupun
bahasa. Di model ini, simbol agama layar kaca lebih menyerupai
penampakan-penampakan yang berlawanan dengan agama itu sendiri.
Marginalisasi
juga beroperasi dengan menggunakan bahasa eufimisme atau disfemisme untuk
menghaluskan makna-makna inti agama, atau sebaliknya, membuat bahasa-bahasa
agama menjadi terdengar kasar.
Keempat
merupakan delegitimasi, berupa penghapusan legitimasi simbol, gambar, dan
bahasa agama yang menjadi inti ajaran agama menjadi tidak sahih dan absah. Melalui
ideologi pasar, delegitimasi agama bertujuan untuk menghilangkan
perintah-perintah, makna, atau simbol agama yang bertentangan dengan ideologi
pasar itu sendiri.
Agama
layar kaca yang telah mengalami pelucutan dari semangat, motivasi, konteks, dan
ajaran aslinya, dengan sendirinya mengalami kekosongan yang akan memberikan
ruang besar kepada simbol-simbol agama fantasi yang menggantikan makna dan
simbol agama sesungguhnya. Agama fantasi yang diandaikan di sini seperti yang
sudah diutarakan sebelumnya, yakni agama yang menjadi realitas simulakrum itu
sendiri.
Kebimbangan massal abad 21
Sudah
disebutkan sebelumnya, hilangnya hubungan pemaknaan antara kesadaran manusia
dengan realitas asli imbas fantasi dan imajinasi simulakrum mengakibatkan kebimbangan makna.
Malangnya, akibat layar begitu massif digunakan masyarakat sebagai satu-satunya
dunia kehidupan, mengakibatkan kebimbangan semakin eskalatif menghinggapi
komunitas masyarakat luas.
Massalnya
kebimbangan pemaknaan juga dianut oleh penganut agama itu sendiri. Agama layar
kaca yang hanya memberikan pencitraan simulakrum dan realitas palsu menjadi
sebab utama fenomena ini terjadi. Ibarat kehilangan pegangan normatif yang
dipreteli kepentingan ideologi di balik layar, mengakibatkan krisis
berkepanjangan yang bersifat patologis.
Patologi
abad dua satu ini dapat disimak dari banyaknya pemahaman keagamaan yang salah
kaprah. Akibat agama fantasi simulakrum, banyak praktik-praktik keagamaan yang
berujung kepada histeria akut berupa fundamentalisme agama. Keinginan jalan
pintas meraih kehidupan layak melalui kekerasan agama, adalah salah satu contoh
betapa pemahaman keagamaan saat ini telah dikooptasi agama layar kaca.
Syahdan,
kebimbangan massal abad dua satu akibat hilangnya relasi pemaknaan terhadap
agama yang asli, merupakan akibat tidak langsung minimnya peran literasi media
dalam mengupayakan perbaikan pemahaman atas sifat dan karakter realitas
berbasis layar. Dan, yang paling utama adalah masih minimnya peran agamawan
dalam menyikapi agama layar kaca yang banyak mempreteli spirit dan nilai agama
yang sebenarnya. Sampai di sini, salah satu cara melawan kebohongan dan
kepalsuan agama layar kaca, tentu dengan menyiapkan perangkat-perangkat kritis berupa, salah satu misalnya, akal sehat.