Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh
hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media,
untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang
baru.
Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam.
Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun hujan
enggan pergi. Makassar memang sering basah, tapi asa harus diasah.
Karena itulah sudah pekan ke 6. Kelas menulis sudah sampai di
sini, akhir Februari. Banyak yang datang, sedikit yang bertahan. Yang begini
hukum alam. Siapa nyaman dia pasti bertahan.
Selalu ada harap kelas ini bukan tempat singgah. Kelas ini diharap
jadi rumah, home. Begitu kirakira prinsip yang mau ditanam. Saling asah, asuh,
dan asih. Makanya sampai sekarang kelas ini bisa bertahan. Tak ada yang
mulukmuluk. Yang penting, saling perhatian, saling beri masukkan, sesekali
kritik.
Omongomong soal kritik, kali ini jadi perkara yang panjang. Pola
baru diajukan, kalau setiap karya dapat jatah diintrogasi. Soalnya pekan
sebelumnya kurang maksimal, malah tidak fair.
Perlu dibilang ulang di sini, di kelas ada dua mekanisme dipakai.
Ini pola kami belajar. Pertama, mekanisme yang punya tugas menarasikan karya
tulis. Di mekanisme ini, kawankawan punya waktu untuk membahasakan ide
tulisnya, mulai dari motif sampai bentuk tulisan. Tahap ini kawankawan punya
kemungkinan mau menceritakan kembali karya tulisnya atau dengan tujuan apa
tulisan itu diniatkan.
Kedua, mekanisme kritik. Ini sering dibilang tahap introgatif.
Maksudnya tak ada karya tulis yang bersih. Semua punya cela. Makanya di sini
perlu penggeledahan. Perlu kritik. Dua hal bisa terjadi di sini, sebagai
tersangka, penulis diintrogasi apa motifmotif dia menulis karya bersangkutan.
Kenapa temanya demikian, kenapa judulnya demikian. Tapi ini jarang ditanyakan.
Kritik belum sampai mau singgung halhal macam itu.
Kemungkinan kedua kritik struktur dan konten. Analisanya ditujukan
kepada struktur kalimat dan gagasan apa sebagai isinya. Kadang, di sini juga
sering ada kesalahan ejaan. Bahkan kata sering jadi soal.
Mekanisme kedualah jadi perkara panjang. Tulisan kawankawan
digeledah satusatu. Dipreteli. Kemungkinan kedua yang jadi alur. Kalimat per
kalimat dikritik. Susunannya. Kesalahan ejaannya. Macamamacam.
Lewat mekanisme itu tiap kawankawan jadi waswas sekaligus senang.
Waswas karena banyak kritik dijukan, senang karena ada perbaikan.
Kalau mau dirangkum, ini hal yang jadi problem di kelas pekan ke 6:
Pertama, masalah klasik. Soal ejaan yang sempurna. Kadang
"yang disempurnakan" bisa menjadi anutan kalau menulis itu berarti
berproses. "EYD" akronim yang sering di dengar itu, tidak begitu saja
jadi pakem. Sejarah kesusastraan juga bilang begitu, kalau bahasa itu
berkembang. Perkembangannya bisa oleh banyak hal, tapi kebudayaan paling
dominan di situ.
Kadang suatu kata atau bahkan cara mengucap tiap kebudayaan
berbeda. Apalagi bahasa yang beragam. Sejak Indonesia lahir, bahasa Indonesia
juga lahir. Bahasa budaya tetap bertahan, namun Indonesia sebagai bangsa
merdeka punya bahasa kolektif. Itulah sebabnya bahasa budaya bukan bahasa
nasional. Yang lokal hanya berlaku pada teritori tertentu. Tapi bahasa
Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ekor timur jauh, jadi bahasa nasional.
Semenjak itu, banyak penyempurnaan kalau bahasa juga butuh aturan.
Kalau tidak bahasa jadi medan yang rentan karena waktu dan perubahan. Makanya
perlu pembakuan agar punya cara yang sama. Karena akan jadi perkara bila bahasa
cair, bisa jadi berbeda. Lewat proses sedemikian, bahasa akhirnya terus dijaga
lewat ejaan yang disempurnakan. Bukan dibekukan.
EYD akhirnya jadi patok buat orangorang yang mau menurunkan bahasa
lisan jadi tulisan. Aksara yang ditulis harus taat aturan. Bahasa yang
diverbatimkan harus ikut EYD.
EYD itu penting, makanya di kelas ini hal pertama yang jadi
sorotan. Hasilnya, masih ada beberapa kawankawan yang kurang peka. Misalnya,
kalau bahasa asing harus dimiringkan. Kalau yang benar itu bukan
"muda" jika mau menyebut tidak susah, tapi "mudah." Bukan
"kesustraan" tapi "kesusastraan", bukan "dirumah"
tapi "di rumah". Dan, jenisjenis perkara yang dilanggar. Ini memang
soal klasik. Barangkali lolos dari tahap editing.
Perkara editing kadang banyak yang lupa. Sesi ini sering disebut
bukan bagian proses kreatif menulis. Banyak yang mau karya tulisnya langsung
jadi begitu saja. Seolaholah tanpa itu karya tulis sudah jadi belaka. Padahal
tidak. Editinglah justru proses menulis sebenarnya. Di situlah, mulai ada
perhatian lebih soal ide, kata, kalimat, sampai paragraf. Perhatiannya apakah
sudah koherenkah gagasan, tertata baikkah kalimat, sudah baiikkah kata yang
dipakai, juga betulkah yang sudah ditulis. Singkatnya, di sini penulis harus
berpikir dua kali dibanding tahap pertama saat menulis.
Kedua, soal struktur berpikir. Kalau yang ini kawankawan sudah
banyak paham. Tapi, beda struktur pikir, beda struktur kalimat. Boleh dibilang
beda yang dipikirkan, beda juga yang telah dituliskan. Ini juga sering jadi
soal. Tulisan yang baik adalah tulisan yang mampu menurunkan gagasannya lewat
susunan kalimat yang runut. Lewat kalimat yang runut, pasti ditunjang struktur
berpikir yang kokoh. Kadang banyak kalimat jadi runyam akibat struktur pikiran
yang berantakan. Sudah bisa dipastikan, orangorang yang punya struktur pikir
yang baik, kalau bikin susunan kalimat pasti rapi.
Ketiga, lingkaitnya dengan sudut pandang. Kehebatan seorang
penulis bisa ambil sudut pandang yang tak didugaduga. Ini seperti seorang juru
kamera yang memainkan angelnya. Di sudut mana dia arahkan kameranya. Banyak
kameramen handal, ditunjang dengan lensa beratusratus pixel, tapi tidak
memiliki sudut pandang yang unik saat ambil gambar. Banyak penulis dengan
gagasan jernih, tapi tidak ditunjang sudut pandang yang berbeda.
Soal ini lebih banyak ditentukan dengan latihan. Banyak membaca karangan orang lain, dan mau belajar terus menerus.
Keempat soal insight. Yang ini bisa dua hal; pengetahuan dan
pengalaman. Kawankawan hampir semuanya punya pengetahuan yang bagus. Tapi,
barangkali minim pengalaman. Insight tumbuh seusia seberapa jauh gagasan
dikembangkan. Mau buka ruang bagi halhal baru. Terutama jika soal pengetahuan
mendalam. Yang terakhir kaitannya kuat dengan refleksi, kontemplasi.
Ada dua hasil karya, karya reflektif dan karya aplikatif. Yang
pertama, tulisan yang bisa menggubah daya pikir. Karya yang bisa mengajak orang
menimbang kembali soalsoal, macammacam. Yakni, karya yang mampu membuat orang
tahu, bahwa "soalsoal" bukan sekedar soal belaka, tapi perkara
penting. Bisa jadi karya begini bahkan mengubah sudut pandang orangorang. Ini
kadang tulisan yang meresahkan.
Karya aplikatif, tulisan yang mengandung teknikteknik, tata cara,
juga metode. Kalau yang ini tulisan yang mengajak orangorang lebih banyak
berbuat, bukan berpikir. Tulisan karya begini banyak. Bahkan disukai orangorang.
Soal keempat inilah sekaligus diasah di kelas menulis PI. Bukan
sekedar menulis, namun juga punya insight.
Barangkali empat hal itulah yang pokok. Kelas begitu panjang,
sekaligus juga mengisi yang lenggang; pengetahuan yang bertambah.
Kali ini kelas ditutup sampai sekira pukul sembilan. Sebagian yang
lain sudah pulang lepas magrib. Katanya tidak bisa berlamalama. Soalnya baru
habis sakit. Yang lain memilih tinggal melanjutkan kelas yang dipending. Kritik
karya dilanjutkan, sampai interupsi datang; kelas dilanjutkan pekan depan. Ada
kawan yang harus diutamakan, dia belum tidur seharian. Makanya jelang malam
agak kurang fit. Karena itu kelas disusul pekan depan.
Pekan depan kelas dimulai sedari siang; pukul satu. Tempatnya
masih sama, sekretariat PI. Kawankawan, ini tantangan. Besokbesok butuh banyak
energi, perhatian, kemudian juga waktu. Barangkali karena itu bisa maklum,
tidak ada penulis yang lahir karena waktu lenggang. Setiap detik begitu
penting. Karena itulah menulis berarti siap menderita.
Syahdan, di angkasa masih sama, setiap sudut penuh kabut mendung.
Ini memang pekan yang kadung basah. Akhir Februari tinggal dibendung kenangan.
Maret, selamat tiba. Jangan sungkan, asa sudah dibubung tinggitinggi..