Puisi,
sebagai genre sastra, merupakan karangan yang tidak bisa sendirinya merujuk
suatu makna dengan terang. Seperti yang diungkapkan Ignas Kleden dalam Sastra
Indonesia dalam Enam Pertanyaan, mengungkapkan bahwa bahasa sastra adalah
bahasa yang berpotensi mengungkap dan menyembunyikan suatu makna. Bahkan, tulis
Ignas Kleden, kedua sifat itu bisa berlaku sekaligus. Misalkan saja kata
“mawar” dalam sebait puisi, bisa mengungkap makna denotasinya sekaligus
menyembunyikan makna dasarnya.
Itu
sebab, bahasa puitik adalah bahasa yang bermakna polisemi, beragama makna bisa
berkembang. Sampai akhirnya, makna yang berjangkar banyak itu bisa masuk ke
dalam beragam pengalaman manusia.
Barangkali
karena itulah, pengalaman berbahasa pembaca puisi dalam menemukan makna syair
bisa beragam.
Di
KLPI pekan 27, persoalan di atas tak kunjung benderang. Berawal dari puisi
Ma’sum yang berjudul Perempuan, menjadi jalan masuk dari beragam soal yang
dipercakapkan, semisal, apakah batasbatas antara puisi modern dan puisi lama,
apakah puisi lama selalu berpusat kepada pengalaman di luar “sang Aku” penyair,
berkebalikan dari puisi modern? Atau, apakah semua puisi modern selalu
mengitari “sang Aku” dan membahasan pengalamanpengalaman “sang Aku” sebagai
pusat syairnya? Dengan kata lain, bukankah puisi pada hakikatnya adalah bahasa
“sang Aku” dari pengalaman dunia yang dibahasakan?
Yang
paling banyak dipercakapkan adalah apakah puisi harus menyuarakan hal yang
universal atau tidak? Ini jadi problem yang diutarakan ketika membincang
kecenderungan puisi modern yang berjarak dari pengalaman banyak orang.
Asran Salam, --sejauh mengingat—mengatakan kecenderungan puisi kontemporer
terhadap pengalaman eksistensial sang penyair bermasalah akibat jarang
membahasakan halhal “universal” yang seharusnya menjadi perhatian
penyairpenyair kontemporer.
Tapi,
setidaknya menurut Bahrul Amsal, sejauh pengalaman penyair adalah “asalusul”
lahirnya karya puisi, indikator “universal cum objektif”-“partikular cum
subjektif” tidak relevan lagi dinilai dikarenakan dalam praktik bahasa penyair
saat membuat syairnya adalah pergulatan dari keduanya. Ini seperti hubungan
yang saling mengandaikan antara “Aku” dan “dunia” dalam membentuk pengalaman
sang penyair.
Walaupun
begitu, di forum, ada kesepakatan bahwa sesubjektif bagaimana pun puisi dari
seorang penyair, akan menjadi pengalaman bersama dan beragam dari pembaca puisi
akibat bahasa puisi yang bersifat metaforik.
Soal
lain lain yang menarik dibahasakan dalam forum adalah apa yang diutarakan
Ruslan. Ruslan, terlepas dari pembicaraan puisi modern dan puisi lama,
menyatakan seorang penulis syair atau prosa, dan juga esai, harus berpihak.
Keberpihakan penulis kepada suatu maksud begitu penting, sebab dalam
kaitannya dengan tanggung jawab penulis berhubungan langsung dengan moral
etik penulis itu sendiri.
Moral etik penulis dapat ditunjukkan dari
seberapa besar perhatian penulis terhadap dampak pengertian karya tulis yang
dibuatnya. Kadang, di antara beberapa penulis, moral etik bukanlah menjadi hal
yang penting sebab bahasa yang dipakainya merupakan kepemilikan umum penafsir
pasca karya tulis dibuat. Dengan kata lain, pemahaman yang lahir dari karya
tulis merupakan hak pembaca dalam menafsirkannya.
Berbicara
bagaimana makna pemahaman terbentuk, moral etik sang penulis kadang bersembunyi
di balik “kematian sang pengarang” Roland Barthes. Dengan kematian sang
pengarang, pengertian akhirnya dengan bebas ditafsirkan pembac a sesuai dengan
pengalaman sang pembaca.
Walaupun
demikian, ketidakberadaan penulis atas karyanya, bukan berarti menghilangkan
penuh keterlibatan pengarang dalam membentuk pengertian yang sebenarnya saat
penafsiran itu hadir. Maksud lain dari ini, keberadaan sang pengarang
hanyalah satu dari keberadaan pembaca yang berhak pula dalam menafsirkan sebuah
karya.
Namun,
yang paling penting sebenarnya adalah, bagaimana moral etik bekerja di dalam
proses produksi penulisan karya tulis. Sang penulis, entah itu berupa esai,
harus mempertimbangkan penggunaan bahasa yang bisa jadi tidak berperspektif
humanis atau sebaliknya justru menjadi penyulut kisruh sosial.
Begitu
pula, kejujuran yang bagian dari moral etik, sudah harus diperhatikan untuk
menghindari praktik copy-paste yang kerap sering terjadi. Moral etik
penulis, jika dituliskan dengan best practice, barang tentu akan
menghasilkan karya tulis yang jernih dan licin dari kesalahan.
Sebagian
kawankawan KLPI karena baru memulai menulis sebagai tradisi, dengan terus
melatih diri menulis, moral etic juga hal penting yang harus terus diingat.
Bagi
penulis pemula, moral etik yang harus pertama kali ditempuh adalah kemampuan
memabaca dan memahami konteks suatu bahasa yang dituliskan. Mampu mengambil
kesimpualan dalam kaitannya dengan konteks masyarakat yang sedang berlangsung.
Dan, mampu memberikan solusi dari persoalan yang ditulisnya.
***
Pasca
menuliskan karya tulis, jadilah editor bagi karyatulis sendiri. Begitulah pesan
yang kadang dilupakan begitu saja. Padahal, tiada karya tulis yang bersih jika
tidak sebelumnya menjadi editor bagi karya tulis sendiri. Ini penting, walaupun
di dalamnya membutuhkan kesabaran.
Menjadi
editor bagi karya sendiri susahsusah gampang. Menjadi susah, kendati karena
menuntut kesabaran dan ketelitian, juga sang penulis dalam pengertian tertentu
menjadi “orang lain” bagi tulisan sendiri. Dalam proses ini, sang penulis harus
mengambil jarak sebelumnya untuk melihat tulisan dari luar pemikirannya
sendiri.
Kesulitan
menjadi “orang lain” akan mudah teratasi akibat kedekatan dengan tulisan
sendiri. mengetahui sendiri apa yang dituliskan, de ngan sendirinya membuat
penulis yang telah menjadi “orang lain” bebas mengutakatik karya tulisnya. Jika
kesulitannya itu kadang membuat penulis merombak habis tulisannya, maka
kemudahannya akibat bebas memperlakukan tulisan sendiri adalah kemampuan membangun
kembali tulisan yang sebelumnya telah dirubuhkan.
***
Sebanyak
duabelas orang yang kali ini mengikuti KLPI pekan 27. Banyak diantaranya
yang membawa tulisan bergenre sastra. Peristiwa ini jarang terjadi selama ini.
Selama KLPI dibuka dari sekira tahun lalu, sastra menjadi genre tulisan yang
pinggiran. Namun, peralihan ini bukan penanda genre lain mengalami
penurunan. Bukan pula ada genre yang lebih dominan. Peristiwa ini di anggap
wajar karena kebebasan minat menulis di KLPI dikembalikan kepada kawankawan
yang terlibat. Malahan ini menandakan bahwa menyangkut dinamika genre tulisan,
adalah perkembangan yang dinamis.
Yang
terakhir, tak baik jika perkembangan keberadaan website resmi KLPI tidak
disebutkan catatan ini. Icha, seorang kawan yang pernah terlibat di KLPI
(sekarang melanjutkan kuliahnya di Bogor) telah membuatkanwebsite khusus KLPI
sebagaimana yang telah direncakan sebelumnya. Dari tugas mulia ini, akhirnya,
kawankawan dapat mengunjungi website KLPI dengan alamat________.
Sengaja
alamat website KLPI belum dituliskan dikarenakan masih dalam tahapfinishing.
Insyaallah, dalam waktu dekat ini, website yang bernama Kalaliterasi, sudah
dapat dinikmati bersama. Kita tunggu saja perkembangannya.