Louis Althusser, filsuf marxis
Perancis yang akhinya gila itu memiliki keyakinan, filsafat seharusnya menjadi
tajam. Filsafat seharusnya memiliki sumbangsih. Filsafat harus menjadi senjata
revolusi. Bukunya yang dituliskannya dengan judul "Filsafat Sebagai
Senjata Revolusi", nampaknya teguh mengikuti bahasa Marx; filsafat tidak
sekedar menafsir dunia, melainkan mengubahnya.
Saya agak sulit membayangkan,
filsafat yang ditandai sebagi ilmu yang abstrak dapat jauh menyentuh halhal
yang kongkrit, yakni suatu kehidupan praktis. Dalam hal ini malah mendorong
suatu perubahan masyarakat; revolusi.
Tapi, di mata orangorang semacam Louis
Althusser, atau yang teguh dengan marxisme, itu adalah hal yang mesti. Filsafat
tidak seperti ungkapan Hegel yang berpretensi atas gerak ruh yang menyejarah
dalam alam. Dalam marxisme, jusru sejarah adalah milik manusia kongkrit.
Sejarah adalah milik orangorang yang ingin keluar dari tindihan beban kerja.
Dalam sejarah sebenarnya adalah perubahan yang dicipta kaum pekerja. Dan di
sanalah filsafat bekerja, di antara orangorang yang dihimpit beban kerja.
Sebab itulah filsafat diperuntukkan untuk kaum pekerja. Bukan untuk orangorang yang banyak memiliki waktu luang dan dengan enteng berpikir akan halhal yang jauh di atas batasbatas imajinasi. Filsafat demikian disebut Marx adalah pemikiran yang berjalan dengan halhal yang abstrak, filsafat yang berjalan dengan kepala. Filsafat yang untuk kaum pekerja harus diawali dari penyelidikan kongkrit. Dari hidup seharihari. Dari masalahmasalah praktis. Filsafat ini punya nama; materialisme historis.
Dengan demikianlah Louis Althusser
menganjurkan sebuah cara berpikir yang historis. Yakni penyelidikan atas
asalusul kehidupan yang dialami dan dijalani. Suatu cara materialisme untuk
mengubah sejarah. Suatu filsafat emansipatif. Suatu filsafat revolusioner
sebagai senjata perubahan.
Dalam arti itulah filsafat memiliki
dengan sendirinya suatu tanggung jawab. Kata Alain Badiou suatu resiko. Resiko
sebagai suatu konsekuensi atas sudut pandang. Dengan begitu filsafat menjadi
konsekuen.
Filsafat yang konsekuen itu
barangkali dapat kita temukan dalam kisah seorang Socrates, filsuf yang mati
dengan menanggung resiko sudut pandang yang ia teguhi. Di sana, di suatu sudut
penjara kota Athena ia membuktikan ucapannya; berfilsafat berarti bersiap
menanggung mati dikemudian kelak.
Melalui cara pandang yang
diperjuangkannya, akhirnya Socrates mati dengan cara yang teguh; keyakinannya
ia pertahankan hingga racun cemara merenggutnya bersamaan dengan kematiannya.
Dan tak ada yang lebih puitis dari
berbicara tentang kebenaran. Frase ini pernah diucap Gie. Anak muda yang resah
sekaligus risau atas keadaan di sekitarnya. Kerisauannya kita tahu, ia tuliskan
dalam catatan yang akan terkenal kelak; "Catatan Seorang Demonstran."
Melalui catatancatatanya kita
akhirnya bisa tahu bahwa Gie adalah orang yang mudah risau. Sebab ia menanggung
sebuah cara pandang yang konsekuen terhadap keyakinannya. Cara pandangnyalah
yang sebenarnya membuatnya harus bersikap demikian teliti terhadap keadaan di
sekitar. Dan dari sanalah ia menulis catatancatatannya. Dari keresahan.
Baik Socrates atau pula Gie,
mungkin tidak seperti yang dikehendaki Althusser, bahwa konsekuensi dan
keresahan dari suatu pandangan tidak berhenti pada suatu ruangan gelap penjara
dan bukubuku catatan. Filsafat harus jauh menaksir yang tak pernah tersentuh
oleh capaian perubahan manapun. Dalam marxisme, keyakinan demikian mereka sebut
sebagai hukum dialektis.
Oleh cara demikianlah filsafat
menjadi ilmu yang bekerja dalam sejarah. Mao menyebutkannya dengan cara
berpikir dua tahap: pencerapan dan pengamatan. Dengan cara demikian, Mao
menyepakati suatu keyakinan purba dalam ilmuilmu; teori dan praktik adalah dua
hal yang tak bisa ditanggalkan salah satunya.
Sebab itulah fisafat yang disebut Althusser sebagai senjata revolusi yang ilmiah. Ini berarti seluruh asumsi filsafat harus diujicobakan dalam kehidupan praktis. Ini berarti filsafat juga mesti dipraksiskan. Dengan kata lain, filsafat sebagai senjata revolusi adalah jenis ilmu yang menjawab kebutuhan praktik seharihari. Ilmu yang menutupi kekurangan seharihari.
Sebab itulah fisafat yang disebut Althusser sebagai senjata revolusi yang ilmiah. Ini berarti seluruh asumsi filsafat harus diujicobakan dalam kehidupan praktis. Ini berarti filsafat juga mesti dipraksiskan. Dengan kata lain, filsafat sebagai senjata revolusi adalah jenis ilmu yang menjawab kebutuhan praktik seharihari. Ilmu yang menutupi kekurangan seharihari.
Tapi kata Alain Badiou filsafat
hari ini sedang mati suri. Di kehidupan seharihari ia diserang sanasini oleh
alam yang tak jemujemu menawarkan kebebasan, kesimpangsiuran, ketidaklogisan
dan keacuhan terhadap komitmen. Filsafat menjadi ilmu yang tersisihkan dari
kehidupan yang tak bertujuan. Filsafat kata Badiou harus dibangkitkan. Filsafat
harus dibangunkan dari tidur panjangnya. Filsafat ia sebut sedang sakit bahkan
sekarat. "Tapi saya yakin dunia," ungkapnya di suatu waktu,
"sedang berkata pada filsafat: "bangkit dan berjalanlah!"
Hanya saja bagaimana ia harus
dibangkitkan? Jika ingin disebut sebagai senjata revolusi? Jika Socrates,
barangkali ia akan menuruni keramaian dan bertanya kepada banyak orang akan
segala hal ikhwal, seperti saat ia berkeliling di Agora untuk berdiskusi dengan
siapa saja. Atau seperti Gie yang memilih jalan memutar untuk menyimpannya
dalam bentuk refleksi pemikiran; menulis catatancatatan. Atau seperti marxisme
yang menganjurkan cara praksis revolusioner gerakan massa. Atau di luar dari
semua itu, bahwa seperti keyakinan Heidegger; berjalanlah sebagaimana anak
kecil untuk pertama kalinya melihat alam yang asing.