madah duabelas

Daniel Bell pernah menyeru, dalam bukunya; ideologi telah mati. Dan ini tidak sepenuhnya salah, sebab dia berbicara tentang jatuhnya sosialisme dan keyakinankeyakinan politik peninggalan abad sembian belas. Seruan ini pernah gaung di pertengahan enam puluhan, tetapi hingga saat ini nampaknya pernyataan sosiolog itu masih terasa benarnya. Namun nampaknya ia menyebut ideologi yang lain. Ia menyebut  ideologi yang pernah dianut hampir sepertiga kawasan dunia. Kini, dunia telah berganti rupa. Ia sepertinya salah memperhitungkan, bahwa ada yang lain, dan juga sebenarnya adalah ideologi. Kapitalisme yang tak pernah matimati itu, kini di sini, dengan kemasan yang dibungkus menarik; iklan.

Iklan yang disebut sebagai media yang mengagungagungkan objek oleh Baudrillard, memang sudah menggusur apa yang kita yakini. Simulakrum yang disebutnya sebagai realitas virtual yang semu sepertinya sudah kita anggap sebagai kenyataan. Ini persis dengan mahluk gua Plato; yang nyata adalah apa yang menjadi bayangbayang dari pantulan diri kita sendiri. Itulah sebabnya mengapa konsumsi adalah peristiwa yang lebih mirip seperti ibadah; ada sesuatu yang diagungagungkan.

Di saat demikianlah, yang agung kita terima sebagai yang keramat. Di sana ada yang fethis, sesuatu yang sakral. Dan di mana ada yang sakral berarti itu sesuatu yang personal, yang pribadi.  Sebab itulah F. Burkhardt menyebut masyarakat konsumsi adalah peristiwa akbar yang sedang mencari sesuatu yang personal dari barangbarang, sesuatu yang membahagiakan dan menyenangkan

Iklan memang sakral dan telah melampaui sesuatu yang rasional. Melalui iklan, yang nyata ditaklukkan sementara di dalamnya yang fantasi ditegakkan. Objekobjek yang kongkrit, padat, pejal, terbatas dan gampang habis dengan mudah menjadi benda yang dibangun atas jejaring tanda dan penandaan. Yang kongkrit akhirnya nirbatas, dibentuk oleh simbol, cap, dan makna yang virtual. Dari apa yang disebut sebagai totalitas penandaan, iklan memang mujarab membangun keterlibatan melalui tindak konsumsi; jual beli.

Dibalik jual belilah justru sebuah pasar tegak. Marx menggambarkan bagaimana sebuah industri bisa tegak dan lurus berdiri dengan sesuatu yang ”awalnya kongkrit akirnya menguap ke angkasa.” Memang Marx tak menyebut langsung “semula yang padat akhirnya menguap” sebagai sebuah tindak pertukaran, tetapi sekarang, zaman modern memang telah banyak mengubah “yang kongkrit menguap ke angkasa.” Di dalam industri ada buruh, manusia yang kongkrit dengan pekerjaannya yang sentuhbersentuhan dengan bendabenda yang material, ada produksi yang bersumber dari yang kongkrit, tenaga dari kalori yang juga kongkrit, tetapi di pasar “yang kongkrit meluap mengangkasa.” 

Dan itulah yang sepertinya banyak kita konsumsi; suatu simbol, “yang telah menguap ke angkasa.” Sesuatu yang anganangan, ihwal yang imajinatif. Maka sepertinya saat demikianlah, yang rasional malah nampak seperti ungkapan atas yang irasional. Dari sanalah jual beli bisa berarti sikap yang bukan apaapa selain kegilaan yang dianggap masuk akal.

Iklan memang mujarab hingga kita akrab. Iklan memang banyak mengubah barangbarang yang sosiologis menjadi bendabenda yang teologis. Sebab iklan adalah produk manifes dari yang pusat, yakni kekuasaan entah siapa (atau apa) yang tak dapat kita jangkau. Mungkinkah ini sesuatu yang sudah mirip tuhan? Tetapi sesuatu yang pasti, yakni yang pusat, sesuatu yang menggerakkan, yang mengontrol, memang sedang mencipta ritual yang mistis dari tindak massal jual beli; masyarakat konsumer.