Dahulu, August Comte, Bapak Sosiologi
itu merumuskan suatu sistematika ilmu, untuk kenyataan, untuk fenomena yang ia
cerap. Ilmu yang ia katakan sebagai puncak segala Ilmu. Setelah melepaskan dari
genggam filsafat, ia memberikan nama ilmu yang ia prakarsai sebagai
Sosiologi.
Sosiologi sebagai ilmu di Eropa
disambut dengan eksploratif. Semenjak kehadirannya, banyak ilmuwan sosial yang
turut menyempurnakannya sebagai ilmu yang komplit. Menutupi lubanglubang yang
di tinggalkan Comte. Di tangan Durkhem, Sosiologi tampil dengan melepaskan
secara penuh karakteristik filsafatnya sepenuhnya. Di suatu waktu ia berujar,
Comte masih membawa gen filsafat pada apa yang ia sebut sebagai ilmu positif.
Sosiologi harus sepenuhnya ilmiah. Sosiologi harus mengikuti kaidahkaidah
sains. Itu berarti ia harus objektif.
Dan memang semenjak Eropa meninggalkan
zaman yang traumatis, seluruhnya serta merta merayakan kemajuan sains. Eropa
memang berhasil keluar dari ekternalitas yang dogmatis, meninggalkan lubang
mendalam terhadap kejumudan era yang dekaden. Sehingga seluruhnya begitu gegap
dengan penemuanpenemuan yang lahir dari tangan manusia, dimana sains adalah
buah tangan langsung yang lahir ditengatengah reruntuhan era pertengahan.
Tepat di tengahtengah inilah Sosiologi
menjawab lubang yang ditinggalkan. Bisa kita bayangkan, seperti apa hidup
ditengahtengah penemuanpenemuan baru yang keluar dari eksternalitas abad
kegelapan. Tentu bisa kita bayangkan, begitu dalamnya dampak traumatis yang di
alami bangsa eropa. Terhadap sisi gelap intitusi gereja yang melukan pemurnian
dimanamana. Pembakaran bukubuku yang terkandung bahasa objektif ilmu,
penghancuran perpustakaanperpustakaan dan pembunuhan massal bagi yang menentang
iman gereja. Dimasa ini, ilmu dan agama, penemuan sains dan iman gereja
menampil dengan persitegangan yang tak kepalang tanggung.
Sampai saat revolusi dimanamana pecah.
Otoritarian aristokrasi pun beralih menuju spirit demos yang mengedepankan
krasi. Kuasa gereja akhirnya pelanpelan kehilangan kendalinya terhadap
masyarakat. Dan sains pun menjadi alternativ pada gundah yang menerjang.
Kemudian Sosiologi datang sebagai ilmu yang ingin memproduksi tatanan yang
telah berhancuran. Sebuah sistem masyarakat yang ingin tumbuh dari hasil
terjemahan sains. Sehingga masyarakat akhirnya menjadi topik yang mulai masuk
dalam pembicaraan ilmu.
***
Kemudian zaman berubah. Segalanya
mulai dikritisi. Tak ada yang mapan, semuanya di runtuhkan kembali. Mazhab
Frankfurt dengan semangat pencerahannya mulai membuka selubung ilmuilmu sosial,
termasuk sosiologi.
Ada yang menjangkiti dalam ilmuilmu
sosial selama ini. Yang secara geneatik mengendap dan lalai dari penyelidikan
kritis ilmuan. Kaidah ilmiah akhirnya tergugat, sebab dibaliknya ada selubung
kekuasaan yang mengendap. Dimana kaidah ilmu sosial menuntut ilmu yang lahir
dari kaidah sains untuk objektiv dan ilmiah. Sehingga segalanya terlepas dari
tuntutan sang ilmuan. Ilmu sosial harus bebas nilai. Tepat pada keyakinan
inilah Mazhab Frankfurt, ilmu yang kritis itu, memvonisnya sebagai penyakit
yang harus dibasmi.
Tentang ilustrasi ilmu yang bebas nilai
itu, seorang Sosiolog Islam memiliki teorinya dalam memboboti ilmu yang
mendukung status quo selama ini. Menurutnya, ilmuilmu sosial selalu merangkap
pada dua lapisan kerja. Yang pertama adalah lapisan “judgement of faith”
dan yang kedua yakni “Judgement of value”.
Pada tingkatan yang pertama;
“judgement of faith”, ilmu dalam kerangka kerja seorang ilmuan diprediksikan
dalam semangat saintis. Dimana pada penarikan teorinya, ilmu secara
ambilavalensi tidak mengikutsertakan penilaian pribadinya dalam menentukan
skala objektiv pengamatan yang di ambilnya. Atau dengan kata lain, ilmu dimata
ilmuan pada tingkatan ini merujuk pada kaidah sains yang menuntut sebuah
gagasan harus bebas terhadap apa saja yang bisa mengganggu keobjektivitasannya.
Dengan begitu ilmu yang ditarik dari pengamatan hanyalah sekedar mencermati dan
mendesrkipsikan hubunganhubungan, kaidahkaidah, karakteristikkarakteristik
objek yang diamati. Dalam bukunya, Ali Syariati mengilustrasikan model hubungan
secara deskripsi yang melihat interaksi seorang ilmuan dengan teorinya
seperti hubungan cermin dengan orang yang bercermin. Dimana antara
gambaran dicermin dan orang yang bercermin tidak saling mempengaruhi.
Tepat pada level inilah, seorang
ilmuan akhirnya harus mengikuti keyakinan saintisnya. Yang kita tahu ilmu dalam
keyakinan ini adalah ilmu yang pasiv. Ilmu yang hanya berhenti pada tahap
membaca bukan mengubahnya. Sepertinya pada situsi seperti inilah, Marx dengan
apologetik memberikan sanksi terhadap ilmu yang hanya bekerja dalam kerangka
deskriptiv.
Lantas apa seharusnya; Dari mana kita
harus mulai,
Ketika ilmu disuatu waktu akhirnya
tergugat. Wewenang ilmiah yang disandang ilmuan pada akhirnya
menuntut tanggung jawab dalam wewenang sosialnya. Sehingga ilmu
bukanlah sekedar hasil tangan yang berhenti dari pengamatannya, melainkan turut
mengubahnya. Dan disinilah paradigma seorang intelektual itu mendapatkan
statusnya; “Judgement of Value”, menimbang nilai.
Seperti keyakinan Mazhab Frankfurt, di
balik sosiologi ada tirani kuasa yang menjangkiti. Maka nilai ilmu Sosiologi
kembali harus dipertimbangkan. Apatah lagi ilmu secara bersamaan selalu
mengimbangi kekuasaan yang ada. Sehingga pada level “judgement of value” nilai
keperpihakan Ilmuilmu sosial (sosiologi) harus dinilai dalam kerangka apakah ia
mengusung kekuasan ataukah justru sebaliknya. Dan juga
barangkali, sepertinya mengapa status quo masih mapan, keadaan masih
tetap saja sama, melainkan karena sokongan ilmuilmu sosial yang
diproduksinya. Bukan dengan prinsip yang lain, prinsip bebas nilai?